Detak 21: Reminds Me of You
22-02-2022
NooN, tak ada yang istimewa dari nama kafe itu selain bisa dibaca bolak - balik menghasilkan bunyi yang sama, NooN. Kafe bernuansa vintage itu berdiri kokoh sejak fenomena palindrom "Om telolet Om" merebak di kota ini. Terakhir kali berkunjung, bangunan di sekitaran NooN hanyalah ruko kosong dengan cat mengelupas di sana-sini. Saat dia menjejakkan kaki lagi ke tempat ini, deretan bangunan tiga lantai itu sudah menyerupai deretan lapisan rainbow cake penuh warna. Semua telah berubah, berbeda. Namun, aroma Iced Tiramisu Latte tak akan pernah tergantikan. Baginya, keasingan di tempat ini terobati dengan minuman dingin yang manis khas NooN.
Wanita itu terdiam, dia sudah duduk di sudut tersepi. Dari kaca pembatas dirinya dengan dunia luar yang panas dan berisik, dia melihat pantulan samar gadis yang tengah menggigit kuku sambil memandang ke luar. Dia tak tersenyum, hanya garis samar menyerupai senyum yang hanya muncul sekilas. Bahkan sebelum seseorang menyadarinya, senyum tawar itu sudah lenyap. Mungkin sekelebat ingatan kenangan yang terjadi di Noon melintas di benaknya. Detik berikutnya dia benar-benar tersenyum simpul saat melihat sesosok lelaki berkemeja mauve.
Dalam balutan jas hitam, lelaki itu berdiri di samping trotoar, persis di seberang kafe. Lelaki bertubuh tegap itu sedang merogoh saku kemudian mengutak-atik gawainya mungkin sedang mengetik sebuah pesan. Dia berdebar hebat seakan tahu akan mendapatkan pesan itu. Namanya Navan, dia orang yang memiliki arti khusus bagi Ava. Kini dia berjalan tanpa ragu ke arah NooN. Lelaki itu sudah menyeberang jalan, melewati dua toko lain sebelum berhenti di tempat dia berada. Jari-jari itu saling terkait kemudian meremas satu sama lain.
Dia mulai merasa resah. Pertemuan pertama setelah dua tahun tak bertemu bukan hal mudah baginya. Setahun waktu yang sangat cukup untuk mengubah seseorang. Seseorang dapat berubah dengan cepat dalam dua tahun itu. Ava tak yakin laki-laki yang sedang berjalan ke meja nomor 22 itu masih sosok yang sama, Navan Si Paling Pandai Bicara. Navan Si Pendengar Paling Baik. Navan yang memiliki arti segalanya bagi Ava, seharusnya seperti itu. Terlepas dari semua itu, ada hal lain yang ingin disampaikan kepada Navan. Hal itu sangat mengganggunya. Dia tak tahu bagaimana memulainya, dengan susah payah dia mencoba mengumpulkan keberanian.
"Kamu terlihat baik, Ava."
Ava yang tengah menekuri jari-jarinya itu mendongak saat mendengar suara bernada rendah menyebutkan namanya. Segaris senyum langsung terpatri di wajah Ava. Pipinya seakan memanas, pasti rona merah bertengger di wajah tirusnya.
"Jadi apa kamu baik-baik aja, Ava?"
Ava mengangguk dan mempersilakan duduk. "Kayak yang Kakak lihat sekarang. Mau pesan sesuatu, Kak? Biar aku pesankan."
"Hm, boleh. Secangkir kopi tubruk tanpa gula."
"Oke, akan kupesan sekarang," kata Ava sembari mengambil ponsel yang tergeletak di meja.
NooN sudah menggunakan aplikasi untuk semua pemesanan. Bahkan sudah tidak menerima uang tunai untuk pembayarannya. Kafe itu sudah memaksimalkan perkembangan teknologi digital untuk pelayanannya. Ava pun merasakannya, dia tak perlu menunggu lama untuk pesanan Navan. Seorang pramusaji datang dengan nampan berisi kopi tubruk tanpa gula. Kedatangan pelayan itu bahkan terlalu cepat, saat pesanan datang, suasana di sekitar keduanya terlalu kaku. Ava sedikit canggung, padahal dia sudah menghabiskan ratusan jam selama tiga tahun terakhir berbicara dengannya. Namun, sekarang situasinya berbeda. Ava sembilan belas tahun.
Di tengah keramaian kafe, suara Navan nyaris tenggelam, jika pusat perhatian Ava bukan padanya. "Selamat ulang tahun, Ava."
"Kakak ingat ultahku?"
"Aku punya sesuatu untukmu," kata Navan.
"Beneran?"
"Memang kapan pernah bohong sama Ava, sih?" Ava cemberut, dia baru akan menyebutkan sebuah momen saat Navan membohonginya, tetapi ... gadis itu tak ingin merusak momen ini. Sudah lama dia menginginkannya, kebersamaan bersama Ava tanpa terhalang kode etik profesi. Dua tahun terakhir Ava mencoret kalender setiap harinya, menunggu momen di mana usianya sembilan belas tahun. Saat itu tiba, Navan akan memenuhi janji yang dibuat dua tahun lalu.
"Tutup matanya, jangan bergerak, oke?"
"Yeay," pekiknya dengan girang.
Beberapa pasang mata memandang ke arah mereka, gadis itu benar-benar tersipu. Lesung pipi yang terbit di wajah Navan makin membuat badan Ava semakin panas dingin dibuatnya. Senyuman lelaki itu semakin lebar menampakan gigi gingsul di sebelah kiri saat dia berkata, "Jadilah dirimu sendiri Ava."
Ava menunduk memejamkan mata, meresapi perkataan Navan.
"Menjadi diri sendiri," katanya. Padahal waktu itu, lelaki di hadapannya mengatakan bahwa saat bertemu nanti, Ava harus sudah menjadi pribadi yang baru. "Kenapa Kak Navan membuatku bingung?" Ava sibuk bermonolog dengan hatinya.
Dia merasakan tangan Navan mengumpulkan rambut ikal Ava ke bahu kanan. Saat Ava membuka mata, sebuah liontin emas yang manis telah menggantung di lehernya.
"Manis sekali, Kak." Ava berbinar mengamati benda itu.
"Ava tahu, itu bukan sekedar kupu-kupu. Lihat badannya baik-baik."
"Semicolon?"
"Benar, Ava. Aku bangga sama kamu karena hari ini kita bisa bertemu dan aku harap, kita akan ketemu lagi nanti."
"Semuanya belum berakhir dan masih berjalan," sahut Ava begitu lirih. Ava menghela napas panjang. Sampai kapan hubungan dirinya dan Navan tidak hanya sebatas mantan pasien dan terapisnya? Telapak tangan Ava terkepal, matanya sudah memanas. Dia tak punya harapan, padahal dirinya bukan Ava empat belas tahun lagi, sekarang usianya sembilan belas. Ketika seorang gadis sudah berusia sembilan belas, dia sudah menjadi miliknya sendiri. Dia bisa mengambil keputusan tanpa campur tangan siapa pun. Refleks Ava merogoh saku belted cardigan dan menemukan sebuah nail clip wood . Dia menggenggam gunting kuku yang ukurannya lebih besar dari ukutan standar itu. Menggenggamnya lebih erat lagi, erat, erat. Tangannya yang terbebas memainkan sedotan hingga bunyi es saling berbenturan terdengar.
Ava merasa Navan terus memperhatikannya, tetapi gadis itu seakan tak peduli. Dia merasa marah. Tidak bisakah lelaki di hadapannya ini lebih peka? Wajahnya yang tampan itu bahkan terlalu datar dan minim ekspresi sekarang. Ava sangat kesal tak bisa membaca dia.
"Ava, kamu marah?" Navan menyentuhnya. Sensasi hangat di permukaan kulit yang bersinggungan mengantar desir perasaan asing. Rasa asing seperti candu akan sebuah keakraban, sentuhan ini yang Ava inginkan. Kedua telapak tangan Navan yang besar membungkus telapak tangan kanan Ava. Genggaman itu semakin erat memperjelas getar halus yang merambat ke ulu hati. Menyulut kembali kerinduan yang nyaris mati. Ava membiarkan semua tetap seperti itu. Tak ada yang berubah, tangan mereka masih tertaut saat Ava berdiri. Jarak pun terpangkas, setelah Navan membayar minuman mereka secara cashless keduanya meninggalkan NooN.
Mereka disambut udara luar yang cukup panas. Jam pulang kerja membuat orang-orang yang bekerja di pabrik-pabrik hampir memenuhi jalanan. Deru kendaraan bermotor membuat suasana sore semakin pengap. Rasanya, waktu berputar cepat sekali saat bersama lelaki ini. Baru sebentar saja Ava tak menyadari langit sudah hampir berubah warna.
"Mobilku parkir di seberang," kata Navan menggamit tangan Ava. Ketika jari-jarinya yang besar menyelip di antara jari lentik Ava, tatapan lelaki itu tertaut pada pergelangan tangan Ava yang dipenuhi keloid. Ada embusan napas panjang yang Ava dengar membuatnya bergegas menutupkan lengan jaket yang sedikit tersingkap. Dia harus menyembunyikan semicolon butterfly itu.
Terima kasih, masih berjuang untuk tetap hidup kemarin. Lakukan hal yang sama hari ini, Ava. Lelaki itu hanya bisa membatin, dia berusaha menekan gemuruh dalam dada yang menguasainya sejak tadi. Sudah setahun sejak pertemuan terakhir mereka, gadis remaja di depannya telah bertransformasi dalam wujud yang sangat elok dan sempurna parasnya. Hanya saja saat ini, wajahnya semakin tirus. Ava yang putih tak terlalu cerah, dia murung. Bibir tipisnya seringkali sengaja digigit, pasti dia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu.
Kamu hebat, Ava.
Lampu lalu lintas berganti merah, tanpa melepas tangan yang bergandengan, mereka menyeberang dalam kebisuan. Hanya deru kendaraan bermotor bergemuruh di perempatan. Sampai lampu berganti warna, mereka sudah berdiri di dekat lampu jalan. Tiba-tiba Navan berhenti. Sorot mata lelaki itu terlihat takjub melihat pendar kuning menyorot Ava. Kini, gadis itu seperti sesosok rapuh yang perlu Navan lindungi. Navan menarik Ava ke pelukan. Gerakannya sangat cepat membuat Ava tak sempat berpikir apa pun. Dia hanya berkedip beberapa saat sebelum dia bisa merasakan hatinya menghangat, rasa yang menggumpal dalam dada seakan mencair.
"Terima kasih untuk tetap hidup hari ini Ava," bisik Navan. Suaranya bergetar beriringan dengan napasnya yang hangat. Seketika Ava melirik semicolon di lengan kirinya. Saat dia mendongak mencoba menangkap sorot mata gelap Navan, lelaki itu berkaca-kaca. Dia menunduk membabat habis jarak dan menyatukan bibir mereka. Tiga detik. Tiga detik krusial itu memberi kejut jantung bagi Ava.
"Kakak." Ava celingukan. "Aku ingin bicara."
Beberapa pedestrian menatap mereka. Tatapan yang seakan menguliti Ava, merendahkan dirinya. Tatapan itu .... Navan menariknya ke sebuah gang tanpa pencahayaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top