Detak 2.2: As I Lay Daying
Seseorang yang datang menjenguk selanjutnya diperkirakan ibunya Navan. Wanita itu memiliki bola mata yang persis dengannya. Dia datang dengan nampan di tangan.
"Bagaimana keadaanmu?" Suaranya mengingatkan Ava dengan suara ibu yang tegas dan agak kasar, tetapi perangai wanita ini lebih lembut. Ava mengerti, sikap lembut lelaki itu juga pasti diperoleh dari ibunya. Dalam keadaan lemah sekali pun, Ava yakin pitingannya cukup menyakitkan, tetapi Navan diam saja. Bukankah artinya dia lelaki yang lembut? Lelaki yang penyabar? Artinya Ava harus waspada!
"Kamu tahu bagaimana bisa sampai di sini?" tanya ibu Navan. Wanita dengan terusan kelabu berlengan panjang itu mengamati Ava dengan teliti. Seakan dia baru saja melihat sesuatu yang ... berharga sehingga matanya berkaca-kaca.
"Bagaimana aku bisa sampai di sini?" ulang Ava.
Ava mengumpat dalam hati, bukannya menjawab pertanyaan itu malah bersikap bodoh dengan mengulangi pertanyaannya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu tentang dirinya nanti.
Ah, sudahlah. Apa itu penting? Tidak bukan? Siapa yang peduli? Kenapa aku harus peduli? Dunia bahkan nggak pernah peduli sama aku!
"Kamu nggak ingat?"
"A-aku ingat. Aku sedang berwisata dan aku ... mungkin tersesat."
Mangkelang memang menjadi destinasi wisata alam yang menakjubkan. Dengan bentang alam yang hijau, tebing-tebing curam yang kadang-kadang dipakai para calon tentara berlatih militer. Vila-vila yang nyaman tersebar di beberapa titik untuk kenyamanan akomodasi wisatawan.
Aku nggak bohong sepenuhnya, aku hanya menyembunyikan sebagian kebenarannya. Kurasa.
"Aku tahu, tapi kamu nggak usah membentakku seperti itu. Dasar, anak zaman sekarang tidak tahu sopan santun."
"Apa? Apa aku membentak Anda barusan?"
***
Seminggu lalu, seseorang menemukan Ava di sungai Mangkelang. Labirin raksasa menyesatkan pikirannya, dia tidak bisa menemukan alasan apa yang membawa Ava sampai di tempat ini. Dia hanya tahu, dia harus menemui kembarannya yang bernama Afifa.
Aku pasti akan mengatakan sesuatu kepada Afifa saat itu, tapi apa?
Ava melihat kuku-kukunya yang robek, hitam penuh goresan dan bekas darah yang mengering. Ava dan Afifa pernah melakukan kegiatan bersama. Sehari sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, mereka ikut madam ke salon dan mengecat kuku untuk pertama kali. Momen langka yang membuat mereka bahagia. Keesokan harinya, madam pergi mengunjungi sebuah rumah makan yang baru dibuka. Promo gede-gedean membuat wanita itu tertarik. Setelah mencicipi rasanya, madam akan menanam modal di sana jika hasilnya menjanjikan. Itu yang Ava dengar.
Mendadak keringat Ava merembes di mana-mana. Di kening. Di lengan. Di sekujur tubuh. Dia ingin mengingat secepatnya! Ava tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Benturan keras itu pasti mengacaukan segalanya seperti ada lubang hitam yang terbentuk dalam kepala dan menyerap sebagian memori penting miliknya. Penjelasan dokter umum di desa itu membuat Ava takut. Bagaimana bisa dia melupakan hal sepenting itu. Bagaimana jika yang dia lupakan lebih banyak dari yang Ava bayangkan?
Segelas air di atas nakas disambar dengan begitu cepat. Setengah gelas air putih itu pun ditenggaknya sampai habis dengan terburu-buru. Entah air itu memang terasa sangat manis sampai-sampai tidak memberi jeda saat meminumnya atau lebih tepatnya ada ancaman yang menanti, jika dia tidak menghabiskan saat itu juga. Leher seperti tertusuk saat tersedak. Paru-parunya marah dan memompa udara keluar sampai Ava terbatuk-batuk. Gadis itu meraih dinding kayu setelah gelas terlepas dari tangan. Dia merayap ke arah pintu, memuntahkan seluruh isi perut. Walau secara teknis tidak ada makanan yang masuk selain segelas air, tetap saja dia muntah sampai mengeluarkan cairan empedu.
"Nah, nah, pelan-pelan aja minumnya," kata lelaki itu entah sudah berapa lama ada di sisi Ava.
"Ini bulan apa?"
"Desember. Akhir Desember tepatnya," imbuhnya.
Ava tidak bisa menahan diri. Dia terus muntah. Mendadak dirinya kehilangan kemampuan berlogika. Waktu Ava pergi berlibur, kalender menunjukkan awal Juni. Kalau di tempat ini baru seminggu, seharusnya sekarang baru memasuki pertengahan Juni. Lelaki itu bilang sekarang akhir Desember!
Ava yakin, dia melihat ayah tirinya membawa gadis sepantarannya pada minggu kedua di bulan Juni. Mereka berbincang di serambi, ada madam juga di sana. Mereka seperti tengah membuat kesepakatan. Mungkin gadis itu akan menjadi kurir setiap kali kami memesan bahan makanan dari toko kelontong Berkah Sempoerna melalui telepon. Karena setelah itu, Ava sering melihat gadis itu lagi mengantar barang-barang. Ava bahkan ingat detail air muka gadis itu. Dia mengangguk riang, mungkin dia pikir akan mendapat tip tambahan.
Apa yang terjadi dari Juni sampai Desember?
Sampai Ava terperosok jatuh dan ditemukan di tempat ini, pasti Ava berlari dari sesuatu atau mungkin seseorang.
"Dia pasti mencariku! Aku harus pergi," kata Ava.
"Pergi ke mana?"
"Aku harus pulang," gumam Ava. "Afifa dalam bahaya!"
"Bagaimana kamu yakin?"
"Dia saudara kembarku, perasaanku nggak enak."
"Itu bukan indikator, Ava. Itu hanya perasaanmu saja. Perasaan itu bersifat subjektif, lebih baik berbaik sangka. Dengan begitu kamu akan lebih tenang. Penyembuhanmu akan lebih cepat, ingatanmu akan segera pulih dan aku akan mengantarmu pulang."
Pertanyaan sesederhana itu bahkan cukup membungkam mulut Ava dan menguras sisa tenaganya. Secara teknis, Ava tak ingat apa yang ingin dia katakan kepada Afifa, tetapi kini Ava sadar dia telah pergi terlalu lama. Afifa sendirian di rumah itu, Afifa dalam bahaya!
_____
-9.8.23-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top