Detak 17: All Hell A Brooke Loose


"Aku memang gila, pertukaran peran itu membuatku gila!" Afifa terduduk di kursi belajar. Sementara Ava mencoba mencerna kejadian di hadapannya.

Afifa membuat keributan di kelas Ava, pulang mampir ke NooN dijemput Nababan, sekarang meledak-ledak seperti menumpahkan lahar panas tanpa sebab yang jelas. Pertukaran peran itu ... mustahil sebagai pemicunya. Apa yang sudah Nababan lakukan?

"Apa maksudmu? Semua ini idemu, Afifa. Kenapa kamu sangat marah?"

"Sekarang kamu menyalahkan aku?""

"Menyalahkan untuk apa? Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak ngerti."

Afifa menyugar rambutnya dengan frustrasi, sementara Ava duduk di tepian ranjang di dekat saudara kembarnya.

"Ava, itu kamu lagi nyalahin aku karena ide pertukaran peran ini adalah ideku dan aku sendiri yang menyesalinya saat ini. Kamu puas gitu? Kamu bisa menertawakanku sekarang seperti aku menertawakan diriku sendiri."

"Kenapa harus menertawakan diri sendiri? Coba bicarakan yang urut, kamu acak banget tahu nggak, sih."

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," kata Afifa mulai terisak. "Semua seperti mimpi buruk buatku."

"Aku akan mendengarkanmu."

"Aku benci menjadi lemah, aku sudah mencoba menjadi gadis yang periang, aktif, berusaha untuk disukai semua orang. Namun, tetap saja aku nggak bisa kayak kamu yang bisa dapat perhatian tanpa perlu pekerja keras. Aku ingin menjadi dirimu, nggak perlu berpura-pura, nggak perlu menutupi sesuatu. Hanya menjadi dirimu."

"Kita sudah sering melakukan ini bukan? Aku menjadi kamu, kamu menjadi aku, tapi aku nggak ngerti kenapa kamu bilang menyesal?"

"Meski aku berusaha keras menjadi dirimu, aku masih diikuti ketakutan. Aku nggak bisa seperti kamu. Aku nggak suka!"

"Madam sangat menyayangimu, Rei dan teman-teman di kelasmu peduli dan sangat hangat, kamu punya sesuatu yang nggak aku punya. Kamu punya banyak teman, aku hanya punya dirimu." Ava menarik napas panjang. "Sedangkan aku, siapa yang akan duduk bersamaku dan tertawa bersama? Nggak ada Afifa."

"Ada banyak hal yang aku sembunyiin dari kamu."

"Kamu berhak punya privasi, kamu bisa menyimpannya sendiri."

"Bagaimana mungkin aku bisa menyembunyikan hal ini terus?"

Afifa mulai resah, dia meremas jari kuat-kuat. "Va, apa Navan benar-benar menyenangkan seperti yang kamu tulis di buku itu?"

"Tentu saja, kamu mau menemuinya?"

"Apa dia nggak akan menolakku?"

"Kenapa harus menolak? Nggak apa-apa kalau kamu belum bisa ngobrol sama aku, kamu bisa bicara kepada Navan."

"Serius dia akan mendengarkanku?"

"Ya, apa pun ceritamu. Dia akan mendengarkan."

"Syukurlah, apa bisa aku menggantikanmu menemui Navan minggu ini?"

"Apa? Kukira kamu akan menemuinya sebagai diri sendiri."

"Ya. aku akan ke sana sendiri menggantikan dirimu."

Sunyi terasa begitu hening. Namun, hanya sesaat. Ava memeluk saudaranya dan berkata, "Kenapa tidak."

***

Tempat praktik Navan hanyalah bangunan kecil di antara deretan ruko. Tidak ada fasilitas mewah di sana, tetapi cukup nyaman. Ruang konsultasinya bernuansa biru langit yang menenangkan. Beberapa tanaman hias menghiasi beberapa titik di ruangan itu. Satu kursi putar yang diduduki Navan menjadi titik sentral di ruangan itu. Sementara sofa empuk yang memiliki sandaran landai menjadi tempat duduk Afifa.

"Pembunuhnya adalah aku."

Navan menatapnya tanpa ekspresi apa pun. Dia menunggu pernyataan selanjutnya. Berjam-jam kemudian tak ada yang berubah. Keduanya diam sampai detik jam di ruangan itu bahkan terdengar dengan jelas. Navan memeriksa waktu, kunjungan kali ini setengah jam lebih lama. Navan pun harus mengakhirinya. Ketika dia akan menutup sesi, Afifa bersuara.

"Tidak ada yang tahu madam sudah meninggal. Aku dan bapak sepakat membuat cerita bohong bahwa ibu sedang healing ke luar kota."

"Apa saudaramu tidak bertanya?"

"Tentu saja bertanya."

"Apa dia tidak curiga dengan kepergian Madam yang diam-diam."

"Sepertinya tidak. Madam biasa bepergian mendadak tanpa kabar. Dia hanya menelepon kepada bapak. Saat Ava bertanya, kurasa bapak bisa menanganinya dengan baik."

"Kalian berdua melakukan ini secara terencana?"

"Tentu saja tidak. Sebenarnya ...." Afifa meremas ujung kaos over sized yang dikenakannya. Afifa mulai menceritakan kejadian yang paling ingin dia lupakan seumur hidupnya. Waktu itu, Afifa ingat benar, kejadiaannya pada minggu ke-3 di bulan Februari, Afifa masih tidak enak badan.

Setelah memberi serangga beku pada peliharaannya, dia menghabiskan waktu seharian di kamar. Tentu saja setelah mengganti dan membersihkan tempat tinggal katak-katak kesayangannya. Namun, keributan di bawah tangga mengusiknya. Madam meninggikan suara saat berteriak. Suaranya melengking-lengking. Siapa pun yang mendengar pasti mengatasi keingintahuan mereka dengan datang berduyun-duyun. Sayangnya, pintu pagar rumah lebih sering tertutup. Hampir tidak ada tetangga yang bertamu. Semua jenis pertemuan dilakukan di luar rumah. Itu salah satu aturan tak tertulis dari Madam. Tidak heran baik Ava atau Afifa tak pernah mengundang siapa pun ke kediaman mereka.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Mas?" Suara Madam menggaung menggantikan suara televisi yang dimatikan.

"Waktu itu kamu lagi capek, kan? Nggak ada yang terjadi. Aku baru saja mandi lalu terpeleset."

"Mandi bareng anakku, Mas?"

"Kok bisa mikir gitu, sih. Enggak, lah," jawab Nababan dengan ketus.

"Kamu ditemukan pingsan dalam keadaan telanjang di bawah anak tangga. Nggak mungkin, dong, kamu terpeleset dari kamar mandi sampai ke situ. Penjelasan apa yang bisa Mas berikan saat kamu tahu di sana kamu nggak sendirian? Ava ada di sana. Dia anakku, Mas. Tega kamu, ya."

"Tega apanya?"

"Tega apanya? Sekarang jelasin dong kenapa dia juga sedang menangis dalam keadaan bugil. Apa yang sudah kamu lakukan kepadanya? Dasar, Bajingan!"

"Berani banget, kamu ya ngomong gitu sama suami. Apa sih yang nggak aku berikan buat kamu. Gajianku tiap bulan masuk ke rekeningmu. Perhatian, aku masih memberimu perhatian, kasih sayang, aku masih memperlakukanmu sebagai istri. Maumu apa, sih?"

Wanita itu naik pitam, "Jadi bener kamu melakukannya?" Tak ada jawaban membuatnya kembali berteriak. "Dia masih enam belas tahun, Mas. Masih anak-anak, kurangku apa, Mas sampai kamu tega melakukan itu kepada anak perempuanku?"

Percakapan selanjutnya tak mereda. Keduanya masih saling beradu argumen. Meninggikan suara satu sama lain. Seakan dengan begitu, mereka yang memiliki suara paling keras adalah yang paling unggul di antara yang lain. Afifa menuruni anak tangga, pelan sekali. Mengendap-endap tak bersuara. Saat satu jeritan membelah keheningan, Afifa bergegas ke arah dapur di mana keributan itu berlangsung.

"Kamu mau jadi jagoan dengan main tangan? Mau disebut laki-laki sejati, hah?"

Wajah Nababan yang putih sudah memerah, otot di sekitar dagu tampak menonjol. Afifa bisa merasakan aura kemarahan itu. Dia sering melihatnya. Saat bersama gadis remaja itu di vila, gadis itu berakhir dengan meregang nyawa. Nababan mendorongnya dari lantai dua. Tubuhnya yang kurus membentur paving block. dalam sekejap darah tercecer di mana-mana.

Saat Nababan bersama Ava, kembarannya itu berlari jauh dan berakhir terperosok jatuh ke sungai dan ditemukan berkilo-kilo meter jauhnya dari vila. Ava mengalami cedera di beberapa bagian. Ketika Nababan bersama dengan Afifa dengan emosi seperti itu, dia pun mengalami nasib yang buruk. Pria itu meninggalkan noda yang nggak bisa dilupakan seumur hidup. Orang seperti Nababan seharusnya tidak pernah ada di dunia ini.

Adrenalin Afifa seakan terpacu, dengan perlawanan Madam, apa pun bisa terjadi. Yang jelas bukan hal yang positif. Mereka sudah berada di dapur, tetapi pertengkaran semakin sengit. Di tangan Nababan sudah ada penggilas adonan kue. Sedangkan Madam sudah terpuruk di lantai. Afifa berlari ke arah Madam, membantunya berdiri. Pukulannya mengenai kepala, Afifa bisa melihat Madam sudah kehilangan fokus. Madam berhasil berdiri memegangi tepian meja, Afifa yang sudah memegangi pisau dapur menatap Nababan dengan tatapan menantang. Dia siap menyerang, pria itu mengayunkan penggilas adonan ke arah Afifa. Dengan gesit dia menghindar. Namun, sayang benda itu mendarat ke lengan Madam.

Wanita itu terhuyung. Tangannya menggerapai menjangkau apa pun. Tangan itu berhasil mencapai toaster, tetapi benda itu tak cukup kuat menopang tubuh Madam. Benda itu tertarik dan menimpa wajahnya sebelum jatuh ke lantai. Darah keluar dari mata dan hidung Madam.

"Mam." Afifa hendak mendekat untuk menolongnya, tetapi tangan kokoh menariknya dan mendekap dari belakang.

Afifa menjerit melihat wanita itu terbaring. Dia menatap Afifa yang menangis.

"Mam," bisik Afifa.

"Daripada buang-buang energi buat dia, mending kamu sama aku aja."

"Mam," rengek Afifa. Dia bisa melihat bola mata Madam membola. Tatapan terakhir yang menyiratkan keterkejutan. Juga ketakutan yang semakin jelas saat dia pergi membawa kebenaran. Kejadian yang tidak ingin diceritakan itu terjadi di depan jazad mendiang istri Nababan. Dengan berlinang air mata, dia hanya bisa pasrah saat ayah tirinya kembali menggaulinya untuk ke sekian kali. Dia benar-benar tak punya energi. Saat pria itu sudah selesai dan mencampakkan dirinya, Afifa merangkak menuju mayat ibunya. Dia mendekapnya dan menangis di sana. Ketika rasa kantuk nyaris merenggut kesadarannya, Afifa dikagetkan dengan kemunculan Nababan. Dia mengenakan baju lengan panjang dan boot hitam, pria itu membimbing Afifa. Merapikan wajah yang basah karena air mata. Setelah menyingkirkan anak rambut dari wajahnya, Nababan meminta dirinya membersihkan diri.

"Sebentar lagi saudaramu pulang. Kamu nggak mau, kan, dia menyaksikan kekacauan ini?"

"Aku nggak peduli."

Nababan tersenyum sekilas sebelum mulai merapikan dapur. "Mandilah."

Afifa membantu mengangkat toaster meletakkannya ke meja. Namun, Nababan mencegatnya. "Jangan menyentuh apa pun."

Setelah menyelesaikan ceritanya yang panjang dan paling rahasia, dia yakin pertemuan seperti ini dengan Navan tidak akan pernah terjadi lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top