Detak 15: We United Spy


Ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa dipinjamkan, salah satunya identitasmu. Ava tak habis pikir, apa yang sudah Afifa lakukan di kelasnya sampai dipanggil ke ruang BK. Bukankah sejak awal dia yang menjamin tidak akan ada masalah baru lagi saat bertukar posisi, tetapi apa yang sudah terjadi? Ava mendesah pelan. Jika kamu punya saudara kembar dan kebetulan kembar identik, pasti kamu pernah melakukan kenakalan-kenakalan seru seperti bertukar peran. Mereka pun demikian. Ava memang sering kali keberatan, menjadi Afifa butuh effort yang luar biasa. Dia harus beradaptasi dengan keramaian, membaur dengan teman-temannya biar tidak terlalu kaku kayak kanebo kering. Asal tidak harus mengurus katak-katak dalam kotak kaca itu sepertinya tidak masalah.

"Ava, kenapa sejak beberapa hari terakhir nggak nemuin ibu di BK?"

"Maaf, Bu. Tiba-tiba saya harus ke toilet."

"Setiap hari?"

"Ya," jawabnya tak yakin.

"Oke, jadi kenapa belakangan ini kamu bikin keributan di kelas?"

"Itu, saya ... saya nggak bermaksud bikin kacau pelajaran. Saya hanya, hanya–"

"Begini Ava, banyak guru-guru bilang belakangan sikapmu aneh, suka melamun, kadang berbicara sendiri. Teman-temanmu malah bilang katanya kamu beberapa kali menangis di kelas tanpa sebab. Apa kamu ada masalah serius di rumah?"

"Itu, saya hanya kurang enak badan."

"Ava, kamu harus ingat, kamu nggak sendirian. Ada Afifa, ada kami. Kamu bisa menceritakan apa pun yang mengganggumu kepada kami. Apa ada yang mengganggumu di sekolah?" Ava menggeleng ragu. "Kamu nggak usah takut, kita akan bantu. Kalau ada anak yang merisak, kita akan memberi mereka pengertian dan peringatan kami akan melindungimu. Apa salah satu di antara teman-temanmu suka mem-bully?" Ava menggeleng lagi. "Kamu yakin? Bagaimana keadaan di rumah?"

"Baik." Ava tak berani menatap mata itu, dia kembali mengulangi jawabannya untuk menyakinkannya atau mungkin meyakinkan dirinya sendiri. "Baik. Semua baik-baik saja."

Tangan Bu Lily mendarat di pundak, Ava yakin dirinya tersentak. Wanita itu menatapnya tajam, "Apa kalian bertukar peran?"

Napas Ava nyaris berhenti. Detak jam di dinding seakan melambat untuk selamanya. Semua indra seakan semakin tajam fungsinya. Ava bisa mendengar detak jantung Bu Lily, napasnya, dan ....

"Ava aku tahu kalian bertukar tempat, sejak kapan?" Ava menggeleng hebat, tetapi tak ada pembelaan dari mulutnya. Terdengar desah napas kasar lolos dari guru itu. Mereka akan menghukum, beasiswa akan dicabut, yang paling parah, Madam akan tahu kenakalannya. Kenakalan ini bukan kenakalan biasa, Ava tak menyangka konsekuensinya akan diberikan secepat ini. "Bisa jadi ini lebih serius dari yang aku duga, saat aku menyentuh pundaknya, dia menyerangku, Ava. Matanya memelotot waspada. Dia ketakutan. Mulutnya berkomat-kamit, dia sakit."

"Apa maksud Bu Lily? Sampai pagi tadi kurasa tidak ada yang berubah."

"Aku ingin bertemu dengan kalian lagi sepulang sekolah, pergilah, cari kembaranmu aku curiga ada sesuatu dengan dia."

"Baik, Bu. Terima kasih, saya permisi."

Udara panas di luar ruang BK menyambut Ava. Namun, perasaannya seperti membeku. Seperti ada angin kencang mengarak awan hitam menciptakan hujan es yang memperburuk suasana hatinya. Dia merasa badai akan menimpa dia dan kembarannya sebentar lagi. Atau mungkin, tornado itu sudah menyerang dan dirinya tak menyadari keadaan bencana yang menghantamnya.

Afifa sakit?

Ketukan sepatu terdengar lambat. Instuisinya berkata dia harus mencari keberadaan Afifa. Namun, sesuatu seakan menghalanginya. Otaknya lebih suka berpikir. Mencari-cari benang merah dari kejadian yang menimpanya. Apa kejadian di bawah tangga mengguncang kejiwaannya hingga dia sakit. Ava yakin dampaknya nggak akan secepat itu terlihat. Kata Navan, mereka yang sampai menunjukkan gejala sakit bisa saja sudah memendam sesuatu dalam waktu yang lama.

Apa Afifa merahasiakan sesuatu dariku selama ini? Apa ada sesuatu yang terjadi saat aku tidak di rumah dua tahun lalu? Dia terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang berubah kecuali sedikit sedih dan kebingungan, kecuali memang dia agak pucat belakangan. Sering menyendiri dan menolak keluar ruangan.

Itu bukan karakter Afifa yang dia kenal. Ava tidak menyadari bahwa itu sebuah perubahan besar. Bagaimana bisa Ava tak menyadarinya lebih awal?

"Apa kamu melihat Afifa?" tanya Reinier

"Apa maksudmu? Aku–"

"Aku tahu kamu Ava," jawabnya. "Dia nggak ada di kelasmu."

"Mungkin lagi di toilet."

"Nggak ada."

"Darimana kamu tahu? Kamu nggak mungkin menguntit sampai toilet wanita, kan?"

"Nggaklah. Aku hanya bertanya di sekitar sana."

"Mungkin lagi di kantin."

"Kamu ini saudaranya bukan, sih? Masa nggak ngerti kebiasaan dia. Dia nggak akan ke kantin saat pelajaran. Dia nggak suka di perpustakaan. Dia nggak ada di sekolah ini."

Ava menatapnya dengan tajam seakan bertanya, "Di mana dia kalau nggak di sekolah?"

"Siapa kamu Rei yang berhak menilai aku saudara yang baik apa bukan? Hanya karena kamu menyukai Afifa bukan berarti itu memberimu hak menghakimiku! Apa yang terjadi pada Afifa bukan kesalahanku, kenapa aku yang harus menanggung semua ini? Kenapa dia merahasiakan sesuatu yang besar dariku bertahun-tahun? Kamu nggak tahu apa-apa tentang Afifa, jadi diamlah." Ava menyeka air matanya. Dia meninggalkan Reinier sendiri.

"Maaf, aku nggak memahamimu, tapi aku melihat ayahmu menjemputnya."

Bola mata Ava membelalak tak percaya.

Nyatanya, sampai pulang sekolah dia tak menemukan Afifa di sudut-sudut sekolah. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Ava sangat khawatir, dia ingin pulang lebih cepat, dia pun memilih menelepon ojek langganannya untuk saat ini daripada harus mengetem lama. Dia menunggu di bawah pohon randu di tepi lapangan olahraga. Biasanya dari sana, tukang ojek akan menjemputnya. Supra X merah berhenti di depan Ava, dia agak kecewa karena bukan ojek langganan yang dipesannya melainkan salah satu siswa SKTB, Reinier.

"Ayo, aku anter."

"Nggak usah, trims. Aku udah pesan ojek."

"Batalin aja sekarang," katanya dengan enteng.

"Nggak, lah, yang benar aja."

"Lagi buru-buru, kan? Batalin aja ojeknya sekarang, aku antar cari Afifa."

Angin yang bertiup memainkan rambut Ava. "Aku nggak bisa."

"Kenapa, sih, kepala batu banget. Sebentar lagi kayaknya bakal ujan deh. Kamu masih belum bisa maafin aku soal kemaren? Anggap saja ini salah satu upayaku untuk minta maaf."

"Nggak ada SIM aja sok-sokkan." Reinier meringis, dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ava mencoba membaca ekspresi cowok di depannya itu, ada segurat penyesalan yang membuat Ava luluh. Seketika itu dia merogoh ponsel dan melakukan pembatalan dengan mengirim pesan singkat. Dengan gamang, Ava naik ke motor itu. Reinier memeganginya, tetapi Ava menarik tangan dengan cepat. Dia memilih berpegangan pada behel motor. Kata maaf pun meluncur cepat dari Reinier, separuh hati Ava ingin memaafkannya. Namun, separuh hati lagi mencegahnya. Segalanya terasa bias.

Ava selalu tidak yakin, jika semua ini tentang dirinya. Apa pun tentang Ava akan selalu terbagi. Itulah kekurangan anak kembar yang tidak diketahui siapa pun. Selain akan dibanding-bandingkan dengan saudara kembarmu seumur hidup, kamu akan selalu meragukan identitasmu selamanya. Bukan saatnya untuk iri atau semacamnya, bisa jadi saudaramu dalam bahaya.

"Berapa nomor plat mobilmu?" tanya Reinier. "Va, berapa?"

"Ah, apanya?"

"Berapa nomornya?"

"Maaf nomor apa?"

"Plat mobil bajingan itu."

"Ah, sori. Aku nggak yakin." Reinier menyebutkan sederet angka yang membuat Ava menoleh, memindai keberadaannya sekarang. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri saat Reinier mengajaknya berkeliling, Ava pun tak sadar dia dibawa ke sebuah kafe. Kafe baru yang aneh, dia memilih membuka sebuah kafe di deretan gedung yang nyaris mati.

"Kita masuk? Biar aku yang traktir." Reinier menghentikan sepeda motornya di pelataran NooN. Laki-laki itu menggenggam tangan Ava, tetapi sebelum berhasil masuk, Ava menepis tangannya. Dia tak ingin buang-buang waktu. Pintu kafe terbuka saat Ava mendorongnya, bel di atas pintu berdenting. Ava memindai ruangan itu setelah duduk di salah satu bangku di dekat pintu. Jantungnya berdebar hebat saat dia menemukan sosok itu. Afifa bersama bapak tiri mereka, Nababan.

"Mereka memang seakrab itu?" Pertanyaan Reinier juga menjadi pertanyaan terbesar Ava sekarang. Dia pun tak bisa menjawab pertanyaan itu. Entah apa yang mereka lakukan berdua di dalam sebuah kafe. Mengingat bagaimana Madam marah belakangan ini, seharusnya Afifa menolak ajakan Nababan. Madam sampai healing ke luar kota, mereka justru tengah menyantap roti bakar dengan santai. Memang tak terlihat ada perbincangan, tetap saja menempatkan Afifa bersama dengan Nababan bukan pilihan yang tepat.

Ava akan mendekati mereka, tetapi Reinier lebih cepat mencegahnya. Keduanya berbicara dengan bahasa isyarat bahwa Ava tidak akan menurut kali ini, dia harus menemui Afifa. Namun, Reinier tak mau melepas tangan Ava. Keduanya terlibat pertengkaran kecil sampai gelas Iced Tiramisu Latte terjatuh dan pecah. Keributan tak bisa dihindari. Dalam sekejap, mereka menjadi pusat perhatian. Banyak dari pengunjung mengamati pergerakan Ava dan Reinier yang kini terlihat konyol menyerupai bocah yang sedang putus dari cinta monyet mereka.

Masalah sepele itu teratasi dengan kesepakatan, keduanya harus membayar ganti rugi. Sialnya pihak kafe menolak ganti rugi dalam bentuk uang. Katanya, uang itu tidak akan memberi mereka pembelajaran dan efek jera. Mereka pun harus mencuci seluruh piring dan gelas selama seminggu penuh sepulang sekolah. Kesepakatan sepihak pun terbentuk. Namun, saat masalah itu teratasi, dia justru tak menemukan Afifa dan Nababan di mana pun. Target pun lolos.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top