Detak 12: When Everything Seems Impossible
Aku nggak kuat lagi.
Ava mulai menekan luka bekas infus, dia merasakan denyutan nadinya sangat jelas bersama gelombang ngilu yang menjalarinya. Dia hanya perlu menekannya dengan sesuatu agar sensasinya lebih kuat lagi. Sebuah pena di meja belajar dijadikan alat untuk membuat luka tambahan di sana. Darah merembes, ngilu yang nikmat. Ava menggenggam pena lebih erat lagi, menekannya lebih dalam lagi, menancapkannya lebih cepat lagi hingga darah benar-benar menetes. Kemudian selembar tisu dijangkau, dia memakainya untuk membersihkan darah itu.
Sesaat, fokus Ava teralihkan. Dia sedikit lebih lega dari sebelumnya.
Beberapa meter dari Ava, tersekat sebuah partisi. Di sana, seseorang tengah ragu mengetuk pintu penghubung kamar mereka atau tidak. Dia sangat sadar bahwa perbuatannya tak termaafkan. Dia tak berhak mendapat maaf dari Madam, pihak sekolah, juga Ava. Satu perbuatan itu telah menghancurkannya, menghancurkan semua orang. Dia yakin tak ada rahasia yang abadi. Hanya menunggu waktu, semua ganjaran akan diterima olehnya–Afifa.
Afifa jatuh terduduk, tangannya terlalu berat untuk mengetuk. Dia terlalu malu menampakkan wajah di depan kembarannya itu. Dia meraba nama Ava yang tertoreh di tengkuknya, tangis kembali pecah. Mereka menangis semalaman. Keduanya sama-sama menangis menyelami duka dan penyesalan masing-masing.
***
Kamu tahu rasanya dunia menghilang tepat di depan matamu? Orang bilang, terlahir kembar merupakan sebuah keajaiban. Ketika kakak-adik biasanya terpaut usia dalam hitungan bulan atau tahun, saat lahir ke dunia saudara kembar lahir bersama teman bermainnya. Kedekatan yang terjalin di antara saudara kembar akan lebih lekat daripada kakak beradik biasa. Madam mengakui itu, jika tidak, dia tidak akan kesal setiap waktu. Setiap kali ada satu di antara mereka berbuat salah saat bermain, saudaranya yang lain akan membantu. Entah itu menutupi kesalahannya atau membagi hukuman dengan menjalaninya bersama-sama. Mungkin karena saudara kembar identik berbagi gen yang sama.
Melihat apa yang dilakukan Afifa, mereka semakin menunjukkan bagaimana kedekatan keduanya terjalin. Meski begitu, Madam selalu kesal dengan perbedaan karakter keduanya yang saling berseberangan. tidak seperti Afifa yang bisa diandalkan, Ava sangat payah dan merepotkan. Dua tahun lalu, dia diduga mengalami ODGJ–Orang dengan gangguan jiwa–mungkin saat ini Ava sudah di titik puncaknya. Gadis itu dengan lancang berani menggoda suami ibunya!
Jika awal masuk sekolah dia tak mendapat beasiswa, Madam tak perlu berpikir ulang untuk memasukannya ke sekolah yang biasa-biasa saja. Terbukti dengan dicabutnya beasiswa Ava karena nilainya tidak mengalami kemajuan yang berarti, beasiswa itu dialihkan kepada mereka yang lebih berpotensi. Puncaknya adalah kemarin, Madam terlalu marah untuk menceritakannya. Mengingatnya saja membuat wanita itu ingin melempar selusin piring agar kepala Ava berfungsi dengan benar. Memalukan, menjijikkan!
Dalam balutan celemek polkadot, Madam wira-wiri di dapur. Suasana hatinya belum membaik sama sekali. Wajahnya masih terlihat masam. Di tangannya sudah membawa sepiring roti bakar yang masih hangat. Asapnya yang tipis mengepul menebarkan wangi yang gurih. Aromanya menyebar mendominasi ruangan ini.
Di depan meja keramik berbentuk bundar, sudah duduk seorang lelaki berwajah tampan. Di keningnya terpasang perban. Lingkaran merah dari darah bercampur betadin menandakan dahi sebelah kirinya terluka benda tajam.
"Pasti sakit sekali, ya, Mas?" Madam membelai puncak kepala sang suami.
Dia tersenyum manis. "Hanya luka kecil."
Madam meletakkan sepotong roti yang dioles selai kacang.
"Kamu berhutang cerita kepadaku, Mas," singgung Madam.
"Aku pasti cerita. Ayo, makan dulu, Sayang."
"Aku akan buatin kopi untukmu dulu," katanya meninggalkan meja makan sembari melirik ke arah dua orang remaja yang baru turun dari tangga.
"Berangkat, yuk, Fa," ajak Ava. Dia bersumpah melihat seringai menyebalkan ayah tirinya.
"Sarapan dulu," kata Afifa. "Aku nggak akan sarapan tanpa kamu."
Ava bergeming, dia tidak masalah melewatkan sarapan. Dia memiliki tubuh yang kuat. Sedangkan Afifa, dia tidak bisa melewatkan jam makan. Daya tahan tubuhnya tak sebaik saudara kembarnya itu.
Afifa yang baru duduk di salah satu kursi kemudian berdiri menarik saudaranya duduk. Dengan cepat dia menyiapkan roti. Ketika tangannya akan menyentuh selai kacang, Madam yang baru kembali dengan secangkir kopi tiba-tiba menyambarnya. Matanya yang besar memelotot seakan berkata, ini selai kesukaan Bapak, jangan sentuh!
"Mam–"
"Bapakmu belum kenyang dan dia nggak suka roti pakai cokelat."
"Sayang, itu hanya selai kacang. Kita bisa membelinya nanti," sahut Nababan. Lelaki itu memiliki senyum yang manis, entah kenapa Ava melihatnya sebagai seringai yang mematikan.
"Ayo, Afifa bubuhkan selai kacangnya. Ayo, Ava duduk dan sarapan dulu."
"Nggak usah, terima kasih. Ayo, berangkat, Fa. Kita akan terlambat." Ava tidak yakin akan tahan duduk semeja lebih dari lima menit bersama Madam dan Nababan. Setidaknya untuk saat ini, rasa muak membuatnya ingin berada di radius sejauh mungkin dari mereka berdua.
"Kamu, tuh, jadi anak bener-bener pembangkang, ya, Ava. Beruntung Bapakmu nggak mempermasalahkan kejadian kemarin. Kamu masih aja nyolot. Apa susahnya duduk dulu, habisin rotinya baru berangkat. Lagipula Afifa belum pulih benar, dia butuh sarapan."
Ava melihat Afifa menatapnya sangat lama sampai suara Nababan menginterupsi.
"Kamu juga, dong, Sayang. Sarapan dulu," perintah Nababan seraya mengusap pundak Madam yang langsung disetujui olehnya.
Sekali lagi lelaki itu tersenyum, rasanya Ava ingin menjejalkan selai kacang beserta pisaunya. Hanya karena Afifa menarik tangannya lagi, Ava bergabung dengan mereka. Suasana sarapan yang sangat canggung dan aneh untuk ukuran keluarga yang utuh. Kali ini tak ada penolakan. Selai kacang kesukaan Ava bahkan seakan tak ada rasanya. Namun, dia melahapnya secepat mungkin. Dia tak ingin berlama-lama pada kebahagiaan semu yang tidak akan mewujud.
Ayah bukan sosok yang baik, tetapi mendiang ayah pun tak pernah menunjukkan sisi buruknya terhadap anak-anaknya. Heran, Madam tahan dengan lelaki seperti itu. Tanpa meminjam mata siapa pun, dia melihat suaminya itu dalam keadaan telanjang bersama salah satu anak gadisnya yang masih berusia enam belas tahun. Yang terjadi sungguh di luar dugaan, Madam terlihat seakan tak melihat apa-apa. Sikapnya tak ada yang berubah dalam menghadapi suaminya. Namun, dia justru memusuhi anaknya. Emosi dalam diri Ava menggelegak. Panas dan membakar dirinya dalam kesunyian.
Sarapan itu berakhir kebisuan, mereka membubarkan diri untuk memulai hari sibuk masing-masing. Ava dan Afifa berjalan beriringan. Sisa hujan semalam membentuk genangan keruh. Atap dan dedaunan masih basah. Udaranya sangat sejuk sekali. Untuk sesaat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan sampai puluhan meter jauhnya tak ada yang memulai pembicaraan. Sayangnya, momen seperti ini sangat menjengkelkan. Mereka tak pernah seperti ini, termasuk di saat Ava ingin menikmati musik kesukaan melalui earbud, Afifa akan tetap mengganggunya. Membuat Ava sibuk dengan pertanyaan random yang absurd.
"Kamu baik-baik aja, Va?" tanya Afifa.
"Maksudnya?" Ava mendongak, tatapan mereka bertemu.
"Ini," Afifa mengambil tangan kiri Ava. Di sana ada plester cokelat di lengannya. "Reinier menelepon semalam. Dia menanyakan kabar. Apa yang terjadi? Maaf semalam aku nggak memperhatikanmu, aku sibuk dengan diriku sendiri."
Rahang Ava mengeras ketika mengingat kejadian yang menimpanya. "Yang jelas, aku nggak ingin sekolah, tapi di rumah nggak aman. Gimana denganmu, Fa?"
"Kenapa kamu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan baru?"
Ava yakin Afifa tahu benar apa yang dia maksudkan.
"Kejadiannya baru kemarin, Fa."
Afifa tak bisa menjawab apa pun. Namun, matanya yang berkaca-kaca tak bisa dibohongi. Dia tidak baik-baik saja.
"Aku tahu," jawab Afifa. Suara itu begitu lirih nyaris tak terdengar. Dia berhenti, tangannya menggenggam erat strap tasnya. Saat mendongak, matanya sudah berkata-kaca. "Ava ...." Dia menghambur ke pelukan saudara kembarnya dan menangis di sana. "Semuanya nggak baik-baik aja."
"Aku tahu." Ava tak mengerti ke mana air matanya menguap, dia tak bisa menangis walau ingin.
"Aku iri sama kamu." Afifa melerai pelukan. "Kamu sangat kuat." Ava hanya tersenyum tipis.
"Kita akan terlambat," kata Ava mendahului.
Afifa berlari kecil menyamakan langkah. Air dari genangan menciprat membasahi pantovelnya. Keduanya berjalan dalam diam. Rasanya aneh sekali, biasanya tidak pernah secanggung ini. Bising kendaraan, suara-suara pedagang kaki lima mulai terdengar menandakan mereka hampir mencapai ujung kompleks. Dari jalan raya, mereka akan menaiki angkutan umum.
Hampir semua angkutan umum melewati Sekolah Kesatuan Tunas Bangsa. Namun, ketika sudah siang seperti ini, bukan hanya diisi oleh pelajar saja. Awalnya tak ada yang memperhatikan saat Ava masuk. Namun, ketika Afifa mengikutinya, perhatian penumpang tertuju kepada mereka.
Kemiripan yang nyaris sempurna membuat mereka takjub. Hanya frekles di wajah Ava dan kacamata yang dipakai Afifa yang membedakan keduanya. Tentu saja barang-barang yang mereka pakai juga tidak ada yang serupa. Mereka memiliki selera, hobi, dan kebiasaan yang berbeda pula. Mendapat tatapan seperti itu jelas bukan hal yang baru. Ava akan menyibukan diri dengan ponsel dan earbud yang menyumbat telinganya. Sementara Afifa mengamati lingkungan dari jendela. Ketika gerbang sekolah sudah terlihat, Afifa menghentikan angkutan dengan cara yang sama seperti orang-orang kebanyakan. Setelah membayar, Afifa menarik Ava ke arah toilet.
"Bentar lagi masuk, ih, apaan, sih?"
"Aku sudah memikirkannya baik-baik," kata Afifa membuat alis Ava menukik tajam. "Kita harus bertukar peran."
"Lagi?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top