Detak 11: The Hate You Give

Februari 2018

Minggu lalu, Ava baru saja mendapat kabar baik. Dia terpilih menjadi salah satu kandidat perwakilan SKTB dalam rangka Pekan Olahraga antar Sekolah. Dia bahkan tak bisa melupakan suara Pak Supangat, guru olahraganya saat mengumumkannya, "Kamu menjadi salah satu kandidat terpilih mewakili pekan olahraga buat tim putri. Berjuanglah, jadilah yang terbaik agar terpilih nanti."

"Bapak serius?" tanya Ava dengan mata berbinar.

"Bapak percaya salah satu dari kalian akan membawakan setidaknya sebuah mendali emas untuk sekolah. Kabar baiknya, jika itu terjadi kepala sekolah akan mempertimbangkan adanya beasiswa lewat jalur olahraga."

Berita beasiswa olahraga adalah angin segar bagi Ava, walaupun Pak Supangat menegaskan bahwa itu baru sebuah wacana yang sedang dipertimbangkan. Sudah satu semester beasiswa Ava dicabut. Nilai-nilai akademisnya tidak bisa naik lagi. Hal itu membuat Madam punya alasan kuat memarahi Ava habis-habisan. Mereka harus mengeluarkan uang tak sedikit untuk bulanan di sekolah itu. Sedangkan Afifa, saudara kembarnya tidak banyak membantu kecuali satu hal yang selalu menjadi motif dasar pertukaran peran di antara mereka.

Satu hal yang tidak pernah dia prekdisi adalah campur tangan takdir. Pertukaran peran pun berantakan. Reinier mencium kejanggalan pada gerak-gerik dan gelagat Ava, kejadian tak terduga pun terjadi. Dampak buruknya melebar dan menyebar tak terkendali. Ava tidak tahu sampai berapa lama dia akan bisa berlari dengan baik, dia tak bisa berpikir lagi. Besok adalah penentuannya, salah satu alasan Ava menyetujui pertukaran peran hari ini adalah pelajaran olahraga. Dia pikir akan bagus bisa berlatih untuk pemanasan sebelum seleksi.

"Jadi di mana Afifa, Mbak?" Ava bisa mendengar samar-samar suara familier. Suara itu milik Madam.

Ava terkesiap dan lemas di saat yang bersamaan. Disela-sela padatnya kegiatan Madam, wanita itu menyempatkan diri menjemputnya, menjemput anak yang dikira Afifa. Bukan hal baru jika Afifa mendapat perhatian Madam juga. Secara alami saudara kembarnya itu pandai merebut hati orang lain. Dia cerdas secara akademis, dia berpenampilan manis, dan menarik. Semua orang lebih suka gadis remaja seperti itu daripada gadis pendiam yang menghabiskan seharian penuh di kamar tanpa berbicara dengan siapa pun setelah lari pagi.

Gorden blackout itu tersibak menampakkan Madam. Setelan wolly crepe silver membuat Madam terlihat memesona seperti biasa. Ada jeda sesaat menimbulkan hening yang aneh. Mata Ava berkaca-kaca, lama sekali dia tak pernah melihat tatapan penuh cinta dari Madam.

"Coba cerita apa yang terjadi, Sayang. Seseorang mencoba menjebakmu?" Madam mengelus puncak kepala Ava yang tertunduk sambil memeluk lututnya. Perhatian madam membuat hati Ava semakin perih. Dia hanya bisa menggeleng pelan yang menyiratkan, aku benar-benar capek dan butuh istirahat.

Kamu nggak coba jedotin jidat ke jendela mobil? Sensasinya bakal beda kalo kamu jedotin ke tembok. Dia memejamkan mata.

"Afifa, ini bukan kejadian biasa. Mami sudah mendengar semuanya dari pihak sekolah. Tenang, Sayang. Mami sudah urus semuanya. Pihak sekolah akan mengusut kasus ini sampai tuntas. Ayo, kita pulang sekarang."

Ava hanya bisa mengangguk dan mengikuti Madam ke dalam mobilnya. Mereka menempuh perjalanan empat puluh lima menit untuk sampai ke rumah. Dia menatap jauh ke luar jendela, melihat bagaimana gedung-gedung itu seakan berjalanan berlawanan arah dengan laju mobil yang mereka tempati. Dia hanya ingin merasakan semua ini sendirian tanpa perlu menjawab pertanyaan dari siapa pun lagi. Wajahnya masih pucat, dia sangat lelah. Diam-diam, dia mengusap lelehan hangat di ujung mata dengan punggung tangan.

Coba sekali aja, setelah itu semua Terserah sama kamu. Enakan jedotin kepala ke jendela atau tembok kamar saja.

BMW 320i memasuki kompleks perumahan, mobil putih itu kemudian parkir di tepi jalan persis di samping pintu gerbang. Rumah mungil berlantai dua di hadapan mereka adalah bangunan tipe 90 yang didominasi warna flint dan mauve. Saat memasuki pintu gerbang, akan disambut sebuah taman kecil dan garasi yang hanya muat satu mobil dan dua sepeda motor.

"Bisa jalan sendiri atau mami bantu?" tanya Madam.

Ava mengangguk. Dia masih merasa sedikit pusing, tetapi kalau hanya ke kamarnya saja, dia masih bisa. Tangga ke lantai dua tak terlalu tinggi, sebagian besar suara di rumah itu akan terdengar. Setiap undakan anak tangga yang Ava lewati mengantarkannya pada ingatan bertahun-tahun lalu. Setiap pertengkaran Madam dan ayahnya ketika masih hidup. Perasaan familier itu seakan memenuhi dada Ava hari ini. Kesepian, kehilangan, dan kesendirian.

Tangisan dari dapur, bentakan ayah yang keras, bunyi benda jatuh yang membentur dinding. Suara-suara itu seperti memantul secara acak di setiap sudut rumah. Bahkan tangisan itu terdengar terlalu nyata sampai menghentikan langkahnya, Ava menepuk-nepuk pipinya. Isakan itu masih ada, sumbernya dari bawah tangga. Ava yang baru melepas dasi yang mencekik lehernya seharian bergegas ke turun seraya berlari. Kaki Ava seperti terpaku sesuatu ketika tiba di anak tangga terbawah, lututnya tiba-tiba lemas.

Ava menoleh ke arah Madam yang baru masuk rumah setelah memarkir mobil. Wanita itu berhenti di sana. Dia menjatuhkan kunci mobil, sesaat Madam limblung. Namun, dalam sekejap matanya berkilat marah. "Nggak tahu diuntung, dasar bocah sialan!"

Madam mendekat dengan cepat, jantung Ava berdebar cepat. Dia melihat ke arah remaja seusianya yang meringkuk di sudut bawah tangga. Ava berlari, dia melepas blazer navy-nya dan menutup tubuh bugil remaja itu. Ava memeluknya, menjadikan tameng saat Madam menghantamkan Prada KW-nya dengan membabi buta. Tas berukuran kecil itu memiliki sudut yang cukup tajam untuk mendarat pada kelopak mata.

"Minggir, Afifa! Bocah sialan nggak tahu diri ini harus diberi pelajaran," perintahnya.

"Cukup, Mam!"

"Lihat apa yang dia lakukan saat nggak ada siapa pun di rumah?!"

Di depannya tergeletak sesosok laki-laki tanpa busana dalam keadaan tak sadarkan diri. Darah mengalir dari keningnya meleleh ke lantai.

"Dia hanya membela diri," jelas Ava.

"Dari mana kamu tahu! Cukup, Afifa. Nggak usah membela dia lagi. Kalian memang kembar, tapi kalian berdua sangat berbeda. Jangan sampai kamu terpengaruh. Lihat apa yang dia lakukan pada Bapakmu? Dia benar-benar kelewatan!"

"Atau ... apa yang bapak lakukan sama Ava?" Ava tak peduli madam mendengarkannya apa tidak.

"Telepon ambulans, Bodoh! Kamu malah melindungi jalang ini. Nggak ngotak, Berengsek!" umpat Madam. Dia meraih kembali Prada hitam dan menelepon ambulans. Sementara Ava membawa Afifa yang menangis gemetaran.

"Dia menggodaku, Ava. Percayalah aku nggak mungkin melakukan hal itu, apalagi saat aku sedang menjadi dirimu." Afifa tak bisa membeberkan dengan jelas di sela isaknya. Ava yang belum pulih benar terhuyung lemas, dia mencoba tetap kuat. Yang terjadi pada dirinya saja sudah buruk. Saudara kembarnya yang selalu tersenyum dan ceria ini–Afifa–pasti sangat terpukul. Ava tak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Dia bahkan tak mengerti gelombang aneh apa yang seakan menghantam dadanya itu.

"Aku janji akan memperbaiki semua ini."

Bisikan Afifa bahkan tidak berpengaruh sama sekali.

Aku bahkan nggak tahu gimana cara memperbaiki nama yang hancur ini.

Nama Ava baru saja dirusak. Julukan baru Jalang Sialan disebabkan Afifa. Jika pertukaran peran tidak terjadi .... Kamar Ava dan Afifa hanyalah satu kamar yang disekat dengan partisi. Triplek 32 mm dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai dinding. Terdapat pintu penghubung yang menjadi jalan pintas. Dari kamarnya, Ava bisa mendengar isakan Afifa tak kunjung berhenti. Ava pun demikian, rasanya kesedihan itu berlangsung selamanya. Tak ada lagi yang tersisa bagi mereka. Kehilangan bisa sesakit ini. Beasiswa yang belum Ava gapai bahkan terancam gagal. Lagian cowok bernama Reinier itu, kenapa tiba-tiba dia mencoba meracuni dengan soda dan tetes mata segala? Belum lagi sesampainya di rumah, semua yang terjadi lebih buruk lagi. Nama Ava hancur, Madam menganggapnya Jalang Sialan.

"Kamu, tuh, kapan jadi bener dan nggak ngerepotin orang tua? Tirulah Afifa, dia sekolah dengan beasiswa, dia tidak merepotkan, dia pinter dan menghasilkan duit. Sedangkan kamu? Ngajuin beasiswa gagal mulu, ngabisin duit aja kerjaannya, coba jadi lebih berguna. Pakai suaramu buat cari duit." Perkataan Madam terus saja berputar di kepala. "Dasar, nggak berguna!"

Ava merasa suara-suara itu semakin nyata.

"Nggak usah ngabisin duit mulu coba! Bentar-bentar minta beliin sepatu, beli tas, minta bayar buku, SPP. Tiru kembaranmu dikit ngapa, Va? Dia nggak pernah minta uang lagi sama Mami untuk sekadar jajan dan kebutuhannya."

Afifa memang segemilang itu. Selain dia dibebaskan dari biaya pendidikan karena memperoleh beasiswa, dia juga mempunyai pekerjaan yang dikelola saat senggang. Ketelitian, kerapian, dan kemampuannya mengorganisir barang membuat Afifa membuka jasa konsultasi tata letak atau ruang via daring. Meski belum melaba, terbukti penghasilannya bisa mencukupi kebutuhan pribadi Afifa.

Meski kembar keduanya sangat berbeda dalam segala hal.

Afifa yang terbaik. Hanya Afifa!

Kedua tangan Ava sudah meremas telinganya, dia tak ingin mendengar apa pun. Tak ingin mendengar siapa pun. Ava ingin sekali berteriak menghentikan suara-suara itu, tetapi yang meluncur hanya tangis tanpa suara. Dada rasanya sesak sekali menahan semua beban. Rasanya nyaris tidak sanggup merasakan sakitnya dibanding-bandingkan. Bukankah perbedaan itu hal yang wajar? Bukankah yang membuat standar itu diri kita? Lantas kenapa semua orang menuntut lebih banyak! Seharusnya semuanya berakhir!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top