Detak 10: To Tell The Truth
Gadis itu tak dapat menutupi keterkejutaannya. Dia menarik pembuka kaleng itu terlalu keras, kukunya berdarah. Matanya membelalak. Dia menoleh ke arah Reinier. Dia benar-benar tidak siap dengan kebenaran di depan matanya. Penyamarannya terbongkar. Ava bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Dia menyibukan diri. Otaknya tengah berpikir keras mengenai berbagai kemungkinan terburuk. Pandangannya tetap tertuju pada anak laki-laki bernama Afbyan. Dia, lelaki berkacamata dengan aura kepercayaan diri yang rendah. Afbyan bahkan tak berhenti menatap lantai. Persis seperti Ava saat ini. Dia merasa berada di ujung tanduk sekarang. Dia akan tamat saat Reinier membuka kedok penyamarannya.
"Afifa," panggil Bu Rima. "Afifa, ayo maju. Sekarang giliranmu. Astaga ... kenapa dengan tanganmu? Seseorang ambilkan tisu, hentikan pendarahannya."
Ava merasa pandangannya semakin mengabur, dia perlu kacamata baru. Ava terpaksa melepas kacamata itu dia terus mengucek matanya. Dia membersihkan lensa dengan tisu dan memakainya kembali. Tak ada yang berubah. Dia semakin pusing. Entah kacamata minus Afifa yang tidak cocok dipakai olehnya atau karena hal lain. Ava tak bisa berpikir jernih.
"Afifa, kamu baik-baik saja? Kamu agak pucat."
Keringat seakan mengumpul di dahi, kemudian turun ke leher setetes demi setetes. Dia merasa tangannya bergetar di luar kendali. Dia sudah meremasnya, tetap saja dia tremor. Gigil itu merambat ke sekujur tubuhnya bersama rasa mual yang mengaduk perut. Sekarang dadanya sesak. Dia sulit bernapas.
***
"Keracunan kali ini berbeda, ini bukan makanan atau minumannya yang kedaluwarsa. Ada kandungan tetrahydrozoline dalam darah Afifa." Suara wanita itu menembus pendengaran saat dia masih terpejam. "Sepertinya ada yang menambahkan tetes mata pada soda yang dia minum," lanjutnya.
Mendengar penjelasan itu, dia semakin ingin membuka mata. Sayangnya, kelopak mata terlalu berat seakan beban berkilo-kilo ada di matanya. Syaraf-syarafnya seperti dilumpuhkan. Gambaran Reinier memberikan sekaleng soda rasa lemon selepas olahraga terputar otomatis dalam benaknya.
Apa katanya? Tetes mata dalam minumanku? Reiner yang melakukan itu? Tapi kenapa? Ava masih tak habis pikir cowok tampan yang dia kagumi melakukan semua itu. Padahal, selama Ava mengenalnya di klub lari, Reinier terkenal sebagai pelajar dengan reputasi yang baik. Dia nyaris tak pernah masuk BK untuk urusan pelanggaran aturan atau sejenisnya. Dia juga aktif di berbagai kegiatan organinasi yang membuatnya sibuk. Tidak mungkin dia punya waktu untuk mengisengi seseorang. Apalagi dengan tetes mata yang sempat viral di sosial media.
Fakta itu sangat memukulnya. Ava mengasihani dirinya sendiri. Setiap penilaian yang dia lakukan mengalami penyimpangan. Dia berharap menyukai Reinier yang baik hati, kebanggaan sekolah. Penyesalan menyeruak memenuhi hatinya. Seharusnya, dia tak perlu menyukai cowok itu. Dia tak punya alasan bagus mengaguminya lagi. Atlet lari yang dia kagumi sejak kelas X bukan sosok yang sama lagi. Mungkin, dulu Reinierlah orang pertama yang memuji dan mengakui kemampuan Ava berlari di saat Madam dan Bapak menganggap lari hanya buang-buang energi.
Semua itu tidak ada artinyanya sekarang.
Kamu memang nggak bisa menilai siapa pun. Tidak tentang ibumu, ayah tirimu, bahkan saudaramu. Miris sekali kamu berharap bisa menilai Reinier dengan akurat saat tak bisa menebak orang-orang di sekitar.
Apa yang ingin Reinier buktikan dengan mencoba memberikan tetes mata pada minuman itu, mencoba meracuninya? Kemungkinannya sangat kecil. Seingat Ava, dia tak memiliki masalah pribadi dengan cowok itu. Membuat dirinya terangsang seperti yang sedang viral di sosial media?
S**t! Cowok itu benar-benar bodoh kalau sampai termakan berita hoaks. Sayangnya, Ava tak menemukan alasan lain lagi yang lebih logis.
"Tapi kejadiannya ada di sekolah, Dok," jelas Bu Lily yang bisa dipastikan dia adalah guru yang bertugas menjadi guru jaga di UKS hari ini. Wanita itu masih tidak percaya dengan kelakuan salah satu anak didik SKTB.
"Namanya juga anak-anak, Bu. Mungkin ada yang berniat coba-coba."
Bu Lily mengangguk kemudian berkata, "Makasih banyak infonya, Dok. Kami akan mengambil tindakan tegas untuk kasus ini dan lebih berhati-hati lagi agar tak terulang ke depannya."
"Sama-sama, Bu."
Ava masih memiliki separuh kesadarannya saat Reinier mengajaknya ke UKS siang itu. Ketika dirinya limblung, gadis itu juga merasakan gaya dorong disertai satu hentakan ke atas yang kuat. Sepasang lengan kokoh mengangkatnya dan membaringkan di brankar UKS, memiringkan tubuhnya ke arah kiri. Telapak tangan Reinier berkeringat dingin saat bersentuhan. Dia agak gemetaran.
Petugas PMR yang bertugas menyambut mereka dengan melepas sepatu Ava, petugas lainnya memanggil guru pembimbing yang bertugas jaga UKS hari ini. Mereka memeriksa sesuai protokol. Mencoba menyadarkan Ava dengan mendekatkan aroma minyak kayu putih. Ava sadar lalu muntah-muntah dengan hebatnya. Badannya masih menggigil membuat guru yang bertanggung jawab itu, Bu Lily menelepon ambulans. Seluruh ingatan seakan terhenti, dia tak ingat apa pun lagi setelahnya.
Di rumah sakit, tepatnya di ruang UGD Ava sudah sadar. Dia mendapati Bu Lily memberikan senyum terbaiknya. "Gimana perasaanmu, Fa?"
Ava tak tahu harus menjawab apa, dia sangat berantakan. Dia masih berpikir ada alasan kenapa Reinier melakukan ini kepadanya. Ava berasumsi bahwa Reinier mungkin ingin mendapatkan Afifa dengan cara apa pun. Namun, kata-kata Reinier di ruang auditorium membuat segalanya terlihat berbeda sekarang. Dia satu-satunya orang yang sadar terkait penyamaran itu.
"Ibu janji pelakunya akan mendapat hukuman yang setimpal." Ava mengangguk, tatapannya terpaut pada Reinier yang juga menatapnya lekat. Aksi saling pandang itu terputus saat Bu Lily berbalik dan mengajak Reinier kembali ke sekolah. "Kami sudah menelepon walimu, tunggu sampai ada yang menjemputmu kamu bisa pulang bersama mereka. Ibu nggak bisa menunggu lebih lama lagi, nggak apa-apa, kan, Ibu tinggal?"
"Terima kasih, Bu."
"Biar saya antar Afifa, Bu," sela Reinier.
"Tidak, Reinier. Kamu harus ke sekolah. Ada beberapa hal yang harus kami tanyakan."
Hening sejenak, Bu Lily terlihat lelah.
"Fa, kami akan kembali ke sekolah, kamu tidak apa-apa, kan, kami tinggal sendiri sebentar lagi orang tuamu akan menjemput."
Orang tua? Orang tua yang mana? Apa Nababan, Bapak tirinya? Dia selalu datang sebagai wali.
Sedangkan Madam, wanita itu terlalu sibuk dengan dunianya sejak kematian ayah. Sudah bertahun-tahun rasanya Ava kehilangan esensi dari makna orang tua yang sesungguhnya. Kedua tangannya saling meremas sekarang. Pikirannya kembali sibuk terseret jejak masa lalu. Saat kecil, semuanya baik-baik saja. Semua terkendali. Ava selalu tahu ke mana dia pulang saat anak-anak lain merisaknya. Namun, saat memasuki usia sekolah dasar, perlahan kebahagiaan itu seperti bayangan kabur yang tak nyata. Ayah dan ibunya yang kini dipanggil Madam kerap beradu argumen satu sama lain, saling berteriak. Kebahagiaan pun memudar sempurna saat koran awal tahun 2007 mengabarkan ditemukannya lelaki dalam sebuah mobil yang tergelincir ke jurang, mobil yang dikendarai ayah.
Ava menekuk menarik lututnya hingga mengimpit dada, kedua tangannya saling memeluk. Dia sendirian. Dia tak bisa mempercayai siapa pun. Guru fisikanya bilang melalui hukum Newton III, setiap benda yang kita berikan gaya aksi, maka benda tersebut akan kembali memberikan gaya reaksi yang sama besar terhadap kita. Secara berlawanan. Guru Agamanya juga bilang, orang yang baik akan mendapatkan perlakuan yang baik. Setelah melihat sederet kejadian hari ini, Ava rasa tidak ada yang baik. Dia kehilangan banyak hal.
✨✨✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top