Detak 1: Heart of Darkness [Mature Content]

16 Desember 2016

Aroma busuk menusuk hidung saat gadis itu mengeluarkan seluruh isi perutnya. Rasanya sakit bukan main, bagian selangkangan apa lagi. Nyeri luar biasa seperti ribuan jarum panas merajamnya tanpa ampun. Bapak bilang, akan mengajaknya bermain. Permainan yang menyenangkan. Permainan yang konon bisa mengundang seribu kupu-kupu beterbangan di dalam perut. Dia tidak mengerti kenapa semua perih dan ngilu begini? Mengapa ada orang yang mau diajak bermain seperti ini? Apa mereka juga biasa bermain? Mengapa menyembunyikan semua ini? Berapa lama mereka sudah bermain? Rasanya, dia ingin sekali segera meminta penjelasan terkait semua ini. 

Bapak tirinya itu memaksa membuang limbahnya ke mulut, sumpah! Dia tidak tahan lagi.

Remaja itu langsung berlari ke kamar mandi, meski bapak menggerutu katanya belum selesai. Tak ada yang berniat membabat habis kesabaran yang minim itu. Saat menyadari apa yang terjadi, yang ingin dilakukan olehnya hanyalah menghabisi nyawa sang ayah untuk selamanya.

Dia yakin benar, ingatannya tentang sang ayah tidak seburuk itu sebelumnya. Delapan tahun sejak menikah dengan ibunya, bapak tidak pernah berbuat seburuk itu. Bapak yang dia kenal mudah tersenyum, tak pernah lupa memberikan hadiah pada momen tertentu. Bapak nyaris tidak pernah melewatkan acara penting seperti ulang tahun atau ketika dirinya berhasil mempertahankan beasiswa. Terakhir kali, bapak bahkan tidak keberatan membelikan katak berlisensi saat tahu dirinya mempunyai ketertarikan pada binatang amfibi.

Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, kepalanya pening seakan terus berputar.

"Kamu masih sakit, Sayang?" Suara serak itu dibuat agar terdengar selembut mungkin menginterupsi ketukan pintu yang kembali terdengar. Pelan, teratur, dan berirama. Remaja di depan cermin hanya bergeming, matanya memerah, kakinya bergetar. Baju yang dikenakan tertanggal sempurna seperti keperawanan yang paling dia jaga. Akhirnya, terlepas begitu saja dengan kejinya. Bergulung-gulung rasa marah, jijik, dan jengkel menguasainya.

Entah kepada siapa emosi yang mengaduk dada akan digelontorkan. Marah kepada saudara kembarnya yang diam-diam mungkin biasa bermain dengan bapak tiri mereka? Kepada dirinya sendiri yang lalai dan ceroboh tidak mengunci pintu kamar? Atau kepada bapak tiri yang suara seraknya seakan menusuk seperti timah panas saat berkata, "Nggak apa-apa, Sayang. Itu karena kamu belum bisa dan belum terbiasa."

Tangannya kini mencengkeram tepian wastafel. Tangannya yang lain menggerapai menopang tubuh saat berusaha berdiri setelah tubuhnya memerosot ke lantai. Dia terhuyung-huyung. Air matanya terus membasahi seluruh wajah saat becermin. Dadanya terasa sesak bukan main.

"Kamu luar biasa sekali, Sayang. Sudah kuduga kalau kamu masih ...."

Perempuan itu masih terdiam, matanya berkilat marah. Dia mencoba mencerna apa yang terjadi. Permainan yang tidak pernah terlintas dalam benaknya dimainkan seorang remaja empat belas tahun bersama bapak tirinya. Sejak kapan permainan seperti ini dimulai. Dia merasa sangat tersesat. Semuanya menggelap. Dia berusaha keras menarik benang merah yang justru semakin kusut. Sekuat apa pun dia mencari jawabannya, semakin tak masuk akal alasan yang muncul di kepalanya.

"Sayang, kamu harus mencobanya lagi, nanti aku kasih tahu caranya agar kamu juga bisa bersenang-senang," bisiknya. "Ini akan menjadi rahasia kita seperti biasa, iya kan, Sayang?"

"Seperti biasa?" Suaranya bergetar nyaris tak terdengar. Berbagai pikiran negatif tentang bapak tiri dan saudara kembarnya berputar bagai sepoi yang menerbangkan debu-debu. Putarannya bertambah kencang, badai mengguncang hatinya tak tertahankan.

"Ya, ini akan menjadi kebiasaan baru kita. Sejak Saras semakin sibuk, aku sangat kesepian, Sayang. Belakangan, ibumu itu suka sekali bepergian. Ya, ke salon, lah, arisan, sampai di rumah dia kecapekan dan nggak ada waktu buatku lagi. Aish! Nggak penting banget bahas dia. Sekarang, nggak masalah lagi, kan, ada kamu, iya kan, Sayang? Ah, ya! Aku lupa akan memberimu sedikit kenang-kenangan kecil." Pria itu lantas mendobrak pintu toilet.

Dia mengabaikan remaja ranum di depannya terkejut dan mulai terisak kembali. Mata gelap pria itu menatap penuh nafsu, memandangi tubuh sintal yang polos. Tiba-tiba tangan kukuh mencengkeram dan mendorongnya ke ranjang dengan keras sehingga gadis itu mendarat dengan cepat. Pria yang tak lain adalah ayah tirinya itu tak kalah cepat menindih dengan kejam. Kemudian berbisik bahwa lelaki bajingan itu akan mengajarinya cara menutup mulut dengan baik. Dia terus memberikan perlawanan, tetapi tenaganya tak seberapa. Tentu saja dia kalah saing dengan ayah tirinya yang terlatih. Orang yang nyaris tak pernah melewatkan ke gim seminggu sekali. Bapak tirinya membalik tubuh lemas itu hingga tengkurap, kesadaran pun hilang. Entah berapa lama dia pingsan.

Sengatan hawa panas yang datang melalui tetesan demi tetesan membawa kembali kesadarannya secara perlahan. Namun, yang bisa dilakukannya hanya menggeliat dan mengerang. Dia tak bisa lagi mendeskripsikan perasaan yang menyengat di tubuhnya. Perpaduan perih, ngilu, dan panas tak tertahankan. Benda menyerupai tepung bertebaran di sekitar wajah membuatnya terbatuk-batuk. Dia mengenali wangi itu berasal dari bedak tabur milik ibunya. Setiap bedak menyentuh kulit membuat kulit menjadi lebih dingin. Namun, sensasi terbakar itu tak hilang sepenuhnya. Rasa panas itu terulang seiring pengulangan proses pembuatan tato yang dilakukan.

"Jangan banyak gerak, nanti gambarnya jelek. Kalau sampai rusak dan nggak presisi, aku akan mengulanginya dari awal. Kita akan bermain lagi. Ini akan mengingatkanmu pada kejadian hari ini. Aku akan menuliskan namamu di tengkuk yang mulus ini," katanya.

Dia bisa merasakan bapak mengendus tengkuk dan menghidu. Desahan yang bisa dia dengar sangat menjijikkan. Air mata pun menetes, dia tak berdaya. Lelehannya semakin deras saat kalimat bapaknya yang terputus dilanjutkan, "... agar aku bisa mengenalimu dan kamu nggak akan melupakan hari bersejarah ini. Tato temporer akan hilang dalam waktu 14 hari. Namun, sampai kamu membuka mulut tentang gadis itu, tentang apa pun yang terjadi hari ini di depan kembaranmu atau Saras, aku akan membuat tato permanen yang tidak akan hilang dan kamu akan tersiksa setiap kali melihatnya. Seandainya kamu tidak melihat apa yang seharusnya tersembunyi, nasibmu tidak akan seburuk ini."

Dia tersentak, pria itu kembali meneteskan lilin ke atas kulit, mengikuti pola ambigram yang sudah dibuatnya. Lelaki itu pasti menyeringai saat berkata, "Dengan ini, kamu menjadi milikku. Siapa pun nggak akan bisa mengambil sesuatu yang sudah menjadi milikku, Ava Putra Nababan."

Ponsel di atas nakas berdering menginterupsi kesenangan Nababan. Pria itu berdecak kesal, dia melirik ponsel. Nama Ava tertera pada layar membuat Nababan membelalak dan berkata, "Di mana dia?"

Hanya isak tangis yang terdengar membuat Nababan murka.

"Sial!" umpatnya saat menyadari satu hal. "Di mana Ava sekarang, Afifa?!"

Afifa masih menangis saat menggeleng.

"Berengsek!" Nababan bergegas keluar kamar setelah mengenakan celana dengan cepat. Wajahnya gusar saat menelepon. "Dia pasti belum jauh, cari gadis itu, sekarang!" 

😌😌😌
-8.8.23-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top