Bab 18: Asal Usul
Suara burung hantu dan air terjun di belakang gubuk Theo mengisi suasana malam Amber. Gadis itu masih duduk di meja tempat tadi ia makan malam dan berbincang bersama Theo dan Ibuya. Rossum dan Theo sudah masuk ke kamar masing-masing, Amber menolak panggilan Ibunya, ia bilang akan menyusul tidur nanti.
Gadis itu mengurut keningnya, kepalanya terasa pusing karena diterpa informasi bertubi-tubi. Kenyataan atau hanya khayalan, Amber hampir tidak bisa membedakannya. Tidak tampak kebohongan dari mata Ibunya, ditambah ada Theo yang bersaksi bahwa yang diceritakan Ibunya adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Amber memutar kembali percakapannya dengan Rossum dan Theo beberapa jam lalu.
"Jika aku bukan anak Ibu, lalu, aku anak siapa?" tanya Amber dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sedih, tetapi ia tahu dirinya sudah siap menerima apa pun jawaban yang keluar dari mulut Rossum.
"Kau tidak pernah terlahir dari rahimku, tidak ada satu pun manusia yang pernah melahirkanmu, Amber."
Gadis itu tercekat, jawaban Rossum sungguh diluar bayangannya. Bibirnya terasa berat saat ia bertanya, "Lalu bagaimana caranya aku bisa berada disini?"
Rossum mendesah berat, "Setelah aku bertemu dengan sosok itu, ia menjatuhkan sebuah biji. Biji itu lebih mirip seperti pecahan batu amber yang cantik. Ia menyuruhku untuk menanamnya. Lantas, sekembali dari Shadow Grove, aku pulang ke rumah orang tuaku di pinggir Kota Atria. Orang tuaku sudah lama meninggal, jadi rumah itu kosong."
"Aku menanam biji itu di samping rumahku, hanya satu malam dan esoknya biji itu sudah tumbuh menjadi pohon kecil dengan sebuah bunga besar, di tengah kelopak bunganya ada sebuah lapisan kulit bundar, aku menyentuhnya dan lapisan itu bergerak—seakan ada yang hidup di dalam sana."
"Akhirnya aku robek kulit itu dan di dalamnya terdapat seorang bayi—yaitu kamu, Amber—cantik, sehat, begitu sempurna sampai aku menangis saat memelukmu untuk yang pertama kalinya. Keajaiban itu sungguh nyata, mimpi yang mendatangiku ternyata benar-benar memberikan apa yang kumau."
"Apakah para tetangga tidak curiga saat Ibu tiba-tiba memiliki bayi?" tanya Amber.
Rossum menggeleng. "Mereka mengira aku hanyalah janda yang malang, kehilangan suami lalu akhirnya kembali ke rumah orang tuanya—pulang membawa bayi tanpa ayah."
Satu kepingan pertanyaan lainnya terjawab, Amber hampir mendapatkan seluruh gambaran dari masa lalu yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh Rossum. Gadis itu memang sudah menyimpan banyak pertanyaan sejak lama, seperti siapa ayahnya, mengapa tidak ada satu pun foto sang ayah di rumah tersebut, kenapa ibunya tidak pernah membahas tentang ayahnya, para penduduk desa yang tidak tahu menahu tentang suami ibunya, dan berbagai pertanyaan lain. Ia lega karena malam itu ia mendapatkan jawaban atas hal-hal yang belum terjawab.
Rossum meneguk air di gelasnya, ia tampak lelah karena menumpahkan banyak hal yang selama ini ia rahasiakan. Tidak mudah menceritakan kebenaran tersebut. Ia tidak tahu seperti reaksi Amber, apakah gadis itu akan marah dan meninggalkannya atau justru kecewa karena ia sampai termakan bujuk rayu mendatangi sosok misterius di Shadow Grove hanya untuk memiliki seorang bayi.
Namun, respon Amber jauh lebih baik dari yang diperkirakannya. Gadis itu tidak menunjukkan kemarahan atau kekecewaan, justru, terpancar rasa ingin tahu yang besar. Sesekali Amber mengangguk saat mendengar kisahnya, terkejut, tetapi kemudian kembali menyimak dengan antusias. Rossum sempat ragu apakah gadis itu benar-benar sudah mencerna dan menerima masa lalunya.
"Aku minta maaf jika ceritaku menghancurkan ekspetasimu, Amber," ucap Rossum sambil menunduk. "Aku tahu sudah sejak lama kau bertanya-tanya siapa ayahmu, tetapi, itulah kenyataannya, kau lahir dari sebuah biji yang diberikan mahluk Shadow Grove."
Amber tertegun untuk beberapa saat, tetapi sejurus kemudian segaris senyum muncul di wajahnya.
Amber menggeleng pelan, "Jangan khawatir Bu, aku tidak kecewa, aku juga tidak marah. Justru aku merasa semakin bersyukur karena kau sudah mau membesarkanku."
Tangisan Rossum pecah mendengar perkataan Amber. Wanita tua itu langsung merangkul punggung putrinya. Disela isak tangisnya, Amber masih sempat mendengar wanita itu berulang kali mengucapkan maaf.
Amber menepuk punggung Ibunya beberapa kali seraya ia berbisik, "Sudah, sudah, tidak apa, yang penting kita masih bersama sekarang."
"Tetapi, mahluk itu akan mengambilmu dalam beberapa hari," ujar Rossum. "Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Rossum melepaskan pelukannya perlahan. "Setelah dirimu lahir, ingatanku tentang Shadow Grove dan pertemuanku dengan mahluk itu mengabur hingga akhirnya aku benar-benar lupa. Baru beberapa hari lalu, aku mendapatkan mimpi dari mahluk itu, seketika semua memori itu terbangun kembali."
Tangannya mencengkram erat pundak Amber, seakan Rossum tidak rela gadis itu diambil begitu saja darinya. "Aku tidak ingin kau dibawa pergi mahluk itu, aku tahu ada perjanjian diantaraku dan mahluk itu, tetapi jika ada sedikit pun peluang untuk menyelamatkanmu, aku akan melakukan apa pun."
Amber terharu mendengar ucapan Ibunya. Tanpa ia sadari, air matanya menetes, aku juga masih ingin hidup.
"Dia akan benar-benar datang saat usiaku tujuh belas tahun? Kenapa harus di usia tujuh belas?" tanya Amber.
"Hal itu juga aku belum tahu mengapa, Theo pun tidak tahu," Rossum menatap pria berjanggut putih tersebut.
"Namun, Caerulla mungkin tahu," Theo menimpali. "Kita akan pergi ke tempat Caerulla besok."
"Dia sudah menunggumu," ucap Rossum. "Di hari aku mendapatkan mimpi tersebut, Caerulla juga mendapatkan penglihatan yang sama, ia langsung mengirimkan surat padaku."
"Ia memintamu membawaku ke tempat ini?" tebak Amber.
"Benar," Rossum mengelap air matanya yang mengering. "Waktu kita sempit, nyawamu dalam bahaya."
"Namun, jika mahluk itu menerobos batas Realm dan masuk ke wilayah kerajaan, bukan hanya Amber yang dalam bahaya, tetapi seluruh umat manusia," ujar Theo.
Amber sekarang mulai memahami apa yang tengah terjadi. Hal-hal yang dialaminya ini, kemungkinan besar tidak diketahui oleh para Petinggi Penyihir dan Guardian of The Realm. Jika semua terjadi sesuai perkataan Theo, Amber menduga, tidak akan ada yang tersisa dari Kerajaan Aeston yang terletak di samping perbatasan Shadow Grove.
Amber bangkit dari tempat duduk. Kepalanya sudah selesai memproses berbagai informasi dari Rossum dan Theo. Ia berjalan ke arah jendela yang tidak tertutup. Matanya memandangi langit berbintang yang cerah.
Jika Colossal Creature memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginan orang, mengapa ia tidak menarik semua manusia ke dalam hutan tersebut, kenapa hanya Rossum? Kenapa harus menunggu dirinya sampai berusia tujuh belas? Kemana Colossal Creature pergi selama ini? Bukankah dengan kekuatannya ia seharusnya bisa meratakan sebagian besar kerajaan di luar wilayah Shadow Grove.
Ternyata, masih ada beberapa pertanyaan yang belum Amber bisa jawab. Ia berharap pertemuannya besok dengan Caerulla tidak hanya mendapatkan jawaban tetapi juga solusi. Jika memang benar Colossal Creature akan mengambil dirinya, itu berarti mahluk itu kemungkinan besar akan menyebrangi perbatasan dan masuk ke wilayah kerajaan. Jika itu terjadi, pasti akan ada pembantaian.
Guardian of The Realm harus bersiap saat waktu itu tiba, tetapi bagaimana caranya Amber memberi tahukan informasi ini kepada para ksatria penyihir tersebut. Itu pun jika mereka percaya dengan ceritanya yang hanya bersumber dari mimpi Ibunya. Ibuku bahkan bukan penyihir!
Amber memutar otaknya, pasti ada yang bisa ia lakukan untuk memperingatkan Guardian of The Realm.
"Hoffman," gumam gadis itu. Benar! Dia percaya dengan ceritaku! Perkumpulan kecil yang diperkenalkan Hoffman beberapa hari lalu, mereka adalah orang-orang yang percaya dengan keberadaan Colossal Creature. Bahkan Marina, percaya dengan ramalan neneknya yang diasingkan oleh para Petinggi Penyihir.
"Semoga sempat," Amber berjalan keluar gubuk. Di depan kolam ia mengucapkan mantra SIhir Pemanggil. Dari lingkaran biru yang bersinar di depannya muncul sebuah rupa burung gagak.
Amber mulai memasukkan pesan yang ingin disampaikannya melalui burung tersebut. Ia memejamkan matanya, berkonsentrasi menyusun kalimat demi kalimat. Selesai, ia mengucapkan nama penerima yang dituju. Setelah itu, dengan satu ayunan tongkat, burung gagak itu terbang melesat meninggalkan Gunung Valleyfall.
Di dalam hati, Amber berharap, Hoffman percaya dengan pesan tersebut dan bisa berbuat sesuatu untuk melindungi penduduk di kerajaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top