Bab 17: Kenyataan

Amber mengetuk daun pintu gubuk yang terbuka. Dua orang yang ada di dalam bangunan sederhana tersebut seketika menoleh ke sumber suara. Wajah Rossum yang semula murung berubah menjadi lebih ceria ketika melihat putrinya telah tiba. Wanita tua itu bangkit dari duduknya, melangkah cepat ke pintu dan langsung memeluk Amber.

"Syukurlah kau berhasil keluar dari Shadow Grove," ucap Rossum. Lega, ia melepas pelukannya. Dielusnya pipi lembut Amber, seakan ia tidak akan pernah berjumpa dengan wajah manis itu lagi.

"Jangan khawatir, Ibu," balas Amber. "Ekspedisi itu penuh tantangan, tetapi aku bisa mengatasinya."

Reuni mereka berdua berakhir saat pria sepuh yang ada di dalam gubuk ikut bergabung dalam perbincangan. Raut wajahnya tampak serius sejak tadi, ia mengamati Amber dari atas kepala sampai kaki.

"Rossum, diakah orangnya?" tanya pria tua itu dengan suaranya yang dalam.

"Benar, dia Amber," Rossum mengencangkan genggaman tangannya pada Amber.

Amber melirik Ibunya, sekelebat, ia melihat ada sesuatu yang tampak membuat Ibunya gusar. Sepertinya bukan hanya tentang ekspedisi.

Pria tua di hadapan mereka menghela napas, matanya melihat ke arah langit, lalu memberi isyarat untuk masuk ke dalam.

"Masuklah Amber, kita akan bicara di dalam."

"Terima kasih," ucap Amber, sopan. Dituntun oleh Rossum, keduanya pun masuk ke dalam gubuk tersebut.

Walau dari luar tampak kecil, ternyata di dalam terasa cukup luas dan lega. Terdapat dua buah kamar masing-masing berisi satu ranjang kasur. Di ruang tengah terdapat meja, empat kursi, meja berisi perabotan memasak dan kuali besar yang pernah Amber gunakan saat pelajaran ramuan di pelatihan dulu.

Pria tua itu mempersilakan keduanya duduk. Sementara, ia mulai menyuguhkan tiga mangkuk sup di atas meja. Lalu ia mengeluarkan beberapa roti kering dan saus bawang putih.

"Kau pasti lelah," ucap Rossum. "Makanlah, masakan Theo sangat lezat."

"Theo?"

Pria tua yang sedang menuangkan air ke gelas berdehem. Amber manggut-manggut, paham. "Jadi, namanya Anda Theo?"

"Benar," pria itu menjawab singkat. "Makan dulu, isi energimu, baru kita bicara."

Amber menatap Ibunya, menuntut sedikit penjelasan, tetapi Rossum hanya tersenyum kecil sambil mengelus punggung tangannya.

"Makan dulu ya," ucap wanita itu.

Amber menurut. Mereka bertiga menghabiskan sup dan roti di atas meja dalam keadaan hening, tidak ada yang bercakap-cakap. Hanya terdengar suara remasan roti dan kunyahan di ruangan tersebut.

Piring dihadapannya sudah kosong, Amber siap untuk mewawancarai Ibunya. Ia melihat Ibunya meletakkan gelas yang kosong di atas meja, wajahnya terlihat puas setelah menyantap makanan tersebut.

"Ibu," Amber menatapnya lekat. "Ada apa sebenarnya?"

Rossum menoleh kepada Theo, pria tua itu mengangguk, lalu Rossum beralih kembali kepada Amber. Entah mengapa, Amber melihat riak kesedihan dari mata Ibunya. Rossum membuka mulutnya, jelas ia berat untuk mengatakan kalimat berikutnya. Tampak keraguan, wanita itu membungkam mulutnya lagi.

Wanita tua itu menggeleng lesu, ia tidak sanggup.

"Rossum, kau harus menceritakan yang sesungguhnya," titah Theo, tegas. "Ini demi kebaikannya. Waktunya sudah tipis."

Amber menatap kedua orang tersebut bergantian. "Ada apa sebenarnya?"

Gadis itu meletakkan kedua tangannya pada pundak Rossum, matanya menatap dalam-dalam manik sang Ibu.

"Ibu, apa yang sebenarnya terjadi? Sikapmu sangat aneh belakangan ini, kau datang ke Kerajaan Aeston, meninggalkan surat dengan peta, lalu kau berada di tempat ini bersama dengan Theo. Aku tidak kenal Theo, kau juga tidak pernah membicarakan tentangnya. Siapa dia? Apa hubungannya denganku?"

Suara Amber terdengar bergetar di akhir kalimat. Kepalanya mulai menyusun beberapa kemungkinan. Sebuah pertanyaan yang sudah mengusik Amber sejak lama bangkit kembali ke permukaan. Ia menyadari hal tersebut sejak kecil, di rumahnya, Rossum tidak pernah membahas tentang ayah Amber.

Beberapa kali, Amber menanyakan dimana keberadaan ayahnya. Ibunya selalu bilang kalau Ayahnya suda meninggal, tetapi tidak ada bukti fisik keberadaan seorang laki-laki di kediaman mereka. Ia penasaran, ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ia tidak tega menggali luka lama Ibunya. Wajah wanita itu selalu tampak kesakitan setiap Amber menanyakan perihal ayahnya.

Ia menduga, Ibunya akhirnya akan menceritakan siapa Ayah kandungnya. Itu karena Rossum berada di tempat ini bersama seorang pria yang Amber taksir, usianya tidak jauh berbeda dengan Ibunya. Tetapi, kenapa baru sekarang? Kenapa harus repot-repot ke Kerajaan Aeston?

Berbagai pertanyaan liar sudah memenuhi kepala Amber, Rossum pun dapat melihatnya dari air wajah gadis itu. Ia tidak ingin menyiksa anaknya lebih jauh lagi, jadi Rossum menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun kalimat yang tepat di kepalanya, lalu ia memberanikan diri membalas tatapan Amber.

Dengan suara yang kalem dan tenang, Rossum akhirnya mulai bicara. "Amber, kau pasti kebingungan saat ini."

Amber tidak memberi respon selain anggukan. Ia memang benar-benar dibuat bingung oleh sikap Ibunya. Itu sebabnya, ia menuntut jawaban dan penjelasan saat ini.

"Hal pertama yang harus dirimu ketahui," Rossum menarik napas dalam-dalam, dadanya terasa sesak menyampaikan fakta pertama, "Kau bukan anak kandungku."

Tubuh Amber bergetar seketika, belum selesai memproses hal tersebut, Rossum sudah melanjutkan. "Amber, kau sering bertanya dimana Ayahmu, tetapi jawabanku soal itu masih sama, Suamiku sudah tewas jauh sebelum dirimu ada di dunia ini."

"Jangan salah paham, Theo bukanlah Ayahmu," seakan bisa menangkap gambaran di kepala Amber, Rossum keburu membantah tebakan tersebut. "Theo adalah teman Suamiku."

"Suamiku dulu adalah seorang Guardian of The Realm, bersama dengan Theo. Sebelum berkebun, aku mengikuti kemana pun suamiku ditugaskan, kami sangat menginginkan anak dan berusaha semampunya untuk memiliki anak."

"Tetapi sampai ajal menjemput suamiku, pada akhirnya, kami tak dikaruniai seorang anak pun." Rossum berhenti sesaat. Ia mencengkram pakaiannya, menahan luapan emosi. Matanya sudah tampak berkaca-kaca.

"Aku putus asa, sempat kehilangan keinginan untuk hidup. Lalu, aku mendapatkan sebuah mimpi. Di dalam mimpi tersebut, ada suara yang menuntunku masuk ke Shadow Grove, ia bilang, ada sesosok Creature yang cukup bijak dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginan."

Rossum melanjutkan. "Akhirnya, aku memberanikan diri memasuki Shadow Grove. Meminta bantuan Theo, ia berhasil mengantarku sampai pinggir hutan Shadow Grove, tetapi setelah itu ia kembali ke markas Guardian of The Realm. Aku masuk ke dalam hutan gelap tersebut, berjalan begitu jauh ke dalam, di saat kakiku sakit dan sudah tidak sanggup berjalan, sepasang mata merah muncul."

Amber terkesiap, ia bertanya-tanya apakah sepasang mata itu milik Colossal Creature, jadi kalau begitu, mahluk tesebut memang sudah lama ada di hutan tersebut.

"Aku memohon untuk diberikan anak, itu sudah cukup untuk wanita tua kesepian sepertiku. Pemilik mata itu menyanggupi permintaanku dengan sebuah syarat, ia akan mengambil anak itu kembali saat usianya mencapai tujuh belas tahun."

"Tujuh belas?"

"Ulang tahunmu, beberapa hari lagi, bukan?"

Amber tertegun. Benar, minggu pertama pergantian bulan adalah ulang tahunnya, yaitu enam hari lagi. Namun, Amber ragu. Apakah raksasa itu benar-benar menjemputnya, tetapi bagaimana kalau itu hanya bualan belaka dari sang raksasa, atau Ibunya yang berhalusinasi.

"Ibu, yang kau ceritakan ini, sungguhan?"

"Dia berkata yang sejujurnya," sela Theo. "Aku memang belum pernah melihat mahluk tersebut, tapi, jika dirunutkan pada linimasanya, semua yang terjadi ini sesuai dengan prediksi Caerulla."

"Caerulla?" Amber menautkan kedua alisnya, merasa asing dengan nama tersebut.

"Dia adalah Mantan Petinggi Penyihir yang diasingkan karena meramal kedatangan Colossal Creature."

"Dia masih hidup?" Amber seketika teringat dengan kisah anggota keluarga Marina yang pernah menjadi Petinggi Penyihir, ada kemiripan ciri dari kisah keduanya.

"Dia tinggal di puncak gunung in," jawab Rossum. "Dialah yang memintaku membawamu ke sini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top