Bab 13: Penjaga Pos

Sinar matahari masuk melalui celah-celah teralis jendela. Cahayanya menerpa wajah Erick. Pria itu membuka kelopak matanya perlahan. Sambil mengerang, ia mencoba untuk bangun. Masih duduk di atas kasur, pria itu merenggangkan bagian atas tubuhnya. Tangannya menggaruk tengkuk yang gatal, Erick bangkit dari kasur dan berjalan ke lemari untuk berganti pakaian.

Bagi sebagian orang, tinggal di dalam Shadow Grove mungkin pengalaman yang buruk, bahkan para penyihir yang baru pertama kali mengikuti ekspedisi biasanya tidak bisa tidur di malam-malam pertama, terganggu oleh suara Creature yang menggema sampai ke Pos Lampu Merah.

Berbeda dengan Erick, teriakan para Creature itu sudah terdengar bagaikan permainan musik yang menemaninya melewati malam-malam yang sunyi. Ia tinggal di Pos Lampu Merah sendirian, selama hampir setahun. Tidak setiap bulan Tim Ekspedisi akan datang ke pos itu. Seingatnya, selama ia bertugas menjaga pos tersebut, Tim Ekspedisi hanya pernah tiga kali datang ke tempatnya.

Orang-orang menatapnya penuh rasa kasihan seakan pekerjaan yang diembannya itu sangat menyedihkan. Mereka salah. Erick tidak pernah merasa keberatan menjalani tugasnya. Bukan karena ia ksatria penyihir yang berdedikasi, tetapi karena Erick hidup sebatang kara. Ia yatim piatu, tidak punya rumah, tidak ada sanak saudara.

Erick tumbuh di pasar ikan yang berada di kerajaan bagian utara. Ia hidup mengandalkan insting berburunya, mencuri, berkelahi, mengais dari tempat sampah. Erick cukup beruntung karena dirinya memiliki bakat sihir. Saat ia sudah cukup umur, ia mendaftar pelatihan sihir yang diselenggarakan gratis oleh kerajaan.

Erick ternyata cukup berbakat di bidang sihir. Setelahnya, ia mendaftar di pelatihan Guardian of The Realm, ikut seleksi dan ternyata lolos. Demikian hingga akhirnya ia bergabung dengan Tim Ekspedisi yang dipimpin oleh Hoffman. Ia cukup senang mendapatkan asrama di markas Guardian of The Realm. Begitu pun saat mendapatkan tugas menjaga markas di Pos Lampu Merah, ia tidak keberatan selama mendapat tempat tinggal yang kayak.

Ia sudah biasa hidup sendiri. Bahkan di masa lalunya, untuk makan roti sisa yang sudah berjamur ia harus berkelahi dulu dengan anak terlantar lainnya. Baginya, sendiri tapi tidak ada yang mengusik jauh lebih baik ketimbang hidup di dalam masyarakat tetapi orang-orang selalu mengganggumu.

"Ah, hari ini masak apa ya?" gumam Erick sambil melangkah menuruni tangga batu. Ia tiba di dapur dengan nuansa bebatuan kelabu. Cahaya yang masuk dari lubang-lubang ventilasi memberikan penerangan di dapur tersebut.

Erick menarik kotak kayu yang ditutupi oleh kain, di dalam sana terdapat beberapa kaleng berisi makanan yang diawetkan. Para ksatria penyihir selalu mengeluh dengan rasa makanan kaleng, tetapi Erick menyukainya. Rasanya tetap jauh lebih lezat ketimbang sisa makanan yang sudah basi dari tempat sampah.

Pria itu keluar dari dapur, berjalan menuju ke tempat penyimpanan kayu. Ia mengambil beberapa batang, lalu dimasukkan ke perapian di bawah tungku memasak. Ia meletakan panci berisi air di atas tungku. Sambil menunggu air mendidih, Erick pergi ke kebun sayuran yang ada di belakang markas. Kebun itu diberi pagar kawat, ia tidak mengizinkan satu pun penyihir Guardian of The Realm memetik sayuran tersebut.

Sayuran itu ia tanam untuk stok bahan makanan pribadinya. Ia mengambil tomat, wortel, lobak dan kentang. Setelah itu ia kembali ke dapur dan memotong semua sayuran menjadi ukuran kecil. Air sudah mendidih, ia masukkan semua sayuran ditambah bumbu sederhana seperti lada dan garam. Di tungku satunya, ia meletakkan wajan penggorengan. Tomat ia hancurkan sampai lembut, lalu ia masukkan ke wajah, tidak lama ia menambahkan kacang-kacangan dari makanan kaleng.

Hidangan sudah matang. Ia mengambil rebusan sayur dari panci, lalu sepiring kacang dengan saus tomat. Di ruang makan yang luas, ia duduk sendirian sambil menikmati sarapan sederhana tersebut.

Jika Tim Ekspedisi sedang tidak berkunjung ke Pos Lampu Merah, Erick memiliki jadwal kegiatannya sendiri. Usai sarapan, ia akan pergi ke ladang di belakang markas. Tempat terlarang bagi orang selain dirinya. Ia akan membuka lahan baru, memberi pupuk lalu menabur bibit yang dibawakan oleh Hoffman. Bisa memakan sayuran segar di Shadow Grove adalah kebahagiaan tersendiri, tetapi, merawat tanaman sayur ternyata cukup sulit, ia sebabnya ia pelit membagikan hasil panennya.

Setelah mengecek pertumbuhan tanaman di ladang, ia akan pergi mencuci pakaian, menjemur, lalu melanjutkan dengan berkeliling di markas untuk pengecekan infrastruktur. Saat matahari sudah berada di atas kepala, ia akan pergi makan siang. Setelah itu ia akan berjaga di atas menara pengawas sampai menjelang malam hari.

Duduk seharian di menara pengawas bisa sangat membosankan. Untungnya, Erick punya cara tersendiri untuk menghabiskan waktu. Ia akan duduk di atas sana, menggunakan teropong monokuler dan mengamati burung-burung. Ia akan mencatat setiap temuan tersebut di buku catatannya. Kadang, matanya menemukan satu atau dua Creature yang berlalu lalang di sekitar Pos Lampu Merah.

Creature itu tampak kebingungan. Mereka pastinya merasaan keberadaan manusia, tetapi tidak bisa melihat apa pun karena markas itu ditutupi oleh kristal dan sihir barier yang membuatnya tampak kasat mata dari luar. Itu menjadi salah satu alasan mengapa Erick tidak pernah merasa khawatir tinggal di tempat itu seorang diri.

Matahari hampir tenggelam, Erick buru-buru turun dari menara. Ia harus menyalakan lampu-lampu di markas tersebut. Setelah berganti pakaian santai, Erick akan menuju kamar mandi dan berendam di air yang sudah ia hangatkan dengan sihir api. Menarik, sihir bisa sangat praktis untuk membuat seseorang hidup dalam kenyamanan. Sehabis mandi, ia menuju ruang makan untuk menghabiskan sisa makanannya hari itu.

Begitu tenang dan senyap, hanya terdengar suara burung dan serangga malam dari hutan. Erick membersihkan piring dan alat masak yang kotor, lalu kembali ke kamarnya. Pria itu duduk di tepi tempat tidur, membuka jendela dan memandang bulan yang bersinar perak. Satu hari lagi terlewati, Erick memberi goresan di ujung halaman catatannya, menandai lamanya waktu yang telah ia habiskan di Pos Lampu Merah.

"Seperti biasa ya," ia berucap sambil merebahkan kepalanya di atas bantal. "Hari-hari yang tenang di Shadow Grove." Erick memejamkan matanya, seketika ia tenggelam dalam bunga tidurnya.

Andaikan malam itu akan berakhir seperti yang ia kira. Samar, Erick menyadari kalau tubuhnya terguncang oleh suatu getaran. Matanya nyalang memandang langit-langit, terbangun dari mimpi. Ia bangkit dari atas kasur, getaran itu semakin terasa nyata. Ia tidak sedang bermimpi.

Pria itu keluar dari kamar, berlari di lorong-lorong batu yang hanya diberi penerangan dari lampu minyak, lalu ia naik ke tangga kayu sampai ke puncak menara pengawas. Sambil berpegangan pada sisi menara, ia mencoba melihat ke dalam kegelapan.

Awalnya, ia mengira sorot cahaya merah di hutan berasal dari serangga. Dugaannya salah, itu bukan cahaya dari serangga, melainkan sepasang mata dari mahluk yang sangat besar sekali. Dibawah sinar bulan ia dapat melihat dengan jelas pohon-pohon tersibak saat raksasa itu berjalan mendekat ke wilayah Pos Lampu Merah.

Kaki Erick gemetar, bibirnya kelu, matanya mengerjap tak percaya melihat apa yang disaksikannya. Raksasa. Bukan raksasa biasa, itu adalah Colossl Creature. Mahluk dengan wajah buruk rupa dan mengerikan, sorot mata merah yang liar dan kelaparan, jambangnya terurai sampai dada. Ujung telinganya runcing dan mahluk itu memiliki sepasang tanduk. Tubuhnya berwarna hitam dengan garis-garis menyala berwarna merah.

Erick berusaha menenangkan dirinya. "Tenang, dia pasti akan melewati tempat ini, seperti Creature lainnya."

Lagi-lagi, dugaan pria itu meleset. Colossal Creature yang tingginya mencapai 15 meter itu tiba-tiba berhenti, tepat di depan sisi timur kristal merah yang melindungi markas. Erick merasa jantungnya berdegup kencang, ia sampai menahan napas saking takut ketahuan. Kenapa dia tiba-tiba diam? Firasat Erick mulai tidak enak. Apalagi saat ia melihat raksasa itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan berkuku tajam.

Satu hempasan bertenaga tidak hanya menyebabkan barier pecah, tetapi juga menghancurkan dinding pelapis kristal di luar. Erick hampir terjatuh saking kagetnya. Suara pecahan seperti kaca memenuhi indera pendengarnya, seketika alam sadarnya memerintahkan ia untuk lari.

"Ce-celaka!" Erick turun dari menara pengawas dengan wajah pucat pasi. Disaat bersamaan, ia lagi-lagi mendengar suara benturan disusul oleh kaca yang pecah. Pria itu gemetaran. Baginya, malam ini adalah malam terburuk yang pernah ia alami selama hampir setahun tinggal di Pos Lampu Merah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top