Chapter 9 : Kerenggangan

        Pagi-pagi sekali Jungkook tersentak bangun dari tidurnya, matanya yang besar menatap langit-langit di atasnya dengan nyalang, semenit kemudian pemuda itu duduk tegak di atas tempat tidur, meraup wajahnya. Tanpa perlu menyentuh dadanya, Jungkook bisa merasakan jika debaran jantungnya tidak normal, hal itu turut membuat napasnya sedikit terengah. Untuk menenangkan diri Jungkook tampak mengatur napas, lalu menurunkan kedua kakinya ke lantai. Sebelum beranjak dari tempat tidur tatapan Jungkook melayang ke seberang ruangan.

        Tempat tidur Suga tampak kosong, bahkan tidak tampak sekali pun jika Suga tidur di situ tadi malam. Takut terjadi apa-apa pada Suga, Jungkook cepat-cepat berlari keluar untuk mencari Suga. Tempat pertama yang didatanginya adalah loteng. Mulanya Jungkook tidak melihat Suga di sana sampai akhirnya matanya yang besar terbelalak ketika mendapati Suga tergeletak di sudut, wajahnya miring ke sisi kanan, sedangkan satu tangan berada di atas perut dan tangan satunya di sisi tubuh.

        Berlari, Jungkook sampai tidak memedulikan lututnya yang panas dan pedih ketika jatuh berlutut—agak tergelincir—di sisi tubuh Suga. Dengan panik, diguncangnya tubuh kurus Suga sambil memanggil namanya—sesekali juga menepuk pelan pipi Suga. Namun pemuda itu tidak menunjukkan respons apa pun hingga Jungkook harus memeriksa apakah ada luka pada tubuh temannya itu atau tidak. Syukurlah dia tidak terluka. Jadi, Jungkook kembali mengguncang-guncangkan tubuh Suga, kali ini sedikit lebih keras.

        Masih tampak panik, di dekat kaki Suga dilihatnya bekas-bekas botol soju berserakan di sana. Jungkook tidak menghitung jumlah pastinya setelah tahu apa penyebab temannya ini tergeletak di sini. Berdiri, sambil bertolak pinggang pemuda itu menatap Suga dengan kesal. Kau jadi seperti ini karena mabuk. Lebih karena tidak tega melihat kondisi Suga saat itu, mau tak mau Jungkook menggendong Suga ke punggungnya, lantas membawanya turun.

        Kakinya gemetar, kedua telinga dan lehernya memerah, serta napas Jungkook tampak terengah saat membaringkan Suga di tempat tidur. Merasa lelah, Jungkook jatuh terduduk di lantai sampai menatap Suga, tampak tengah berpikir apa yang membuat Suga sampai seperti ini. Ingatan Jungkook membawanya kembali teringat apa yang mereka bicarakan kemarin sepulang dari klub. Jungkook tidak mengira jika tindakan Suga membunuh anak buah Ketua saat berada di klub membuat pemuda itu sampai seperti ini.

        Rasa kesal Jungkook langsung menguap, lantas dia beranjak menuju dapur untuk membuatkan air jeruk untuk Suga. Biarpun sibuk dengan pekerjaannya, dalam benaknya Jungkook mencoba membayangkan apa yang terjadi ketika dia—tanpa sengaja—meninggalkan Suga. Akan tetapi Jungkook tidak mendapat gambaran apa pun hingga hal itu membuatnya marah. Menoleh ke arah Suga, suasana hati Jungkook jadi bertambah muram.

        Pasalnya Jungkook tahu kalau Suga tidak akan berbagi cerita padanya. Hal seperti ini sudah terjadi dan menjadi kebiasaan mereka selama dua tahun ini. Diam-diam Jungkook kesal sendiri, sekarang dia tahu bagaimana perasaan Suga saat dia mengacuhkan orang lain dan memendam sendiri masalahnya. Situasi ini tak ubahnya seperti dirinya saat dua tahun lalu. Namun bedanya, waktu itu Suga selalu berusaha untuk berbicara padanya, tapi Jungkook tidak akan melakukan hal serupa.

        Dia tahu tindakan itu akan sia-sia mengingat sifat Suga tak jauh beda dengannya. Jika dia mengungkit hal itu pun hasilnya juga akan memperburuk suasana. Jungkook yakin kalau itu hanya akan membuat Suga semakin sedih dan terluka. Jalan satu-satunya hanyalah memberi waktu pada Suga Hyung untuk menyendiri dan tidak diganggu.

        Karena ingin pikirannya tetap sibuk dengan hal lain, selesai membuat air jeruk Jungkook memutuskan untuk membuat sarapan pagi. Menu yang dibuatnya cukup sederhana, yaitu nasi goreng untuk dirinya sendiri. Selesai makan dibuatkannya roti panggang untuk Suga. Biarpun tidak suka melakukan itu—lantaran takut jika pemanggang roti akan meledak—tetapi Jungkook menunggu dengan sabar sampai roti tawar yang dimasukannya ke dalam pemanggang roti keluar dari pemanggang.

        Saat meletakkan piring berisi roti di atas meja pandangannya terkunci melihat senjata berjenis handgun teronggok di meja yang sama tempat dia menaruh piring. Aku harus menyingkirkan benda ini agar Suga Hyung tidak melihatnya. Dengan sikap hati-hati yang terlalu berlebihan Jungkook memegang gagang senjata dan menaruhnya ke dalam kardus di dekat tempat tidur Suga.

        Menjelang siang Suga pun terbangun. Jungkook yang sejak tadi bosan membaca buku langsung meletakkan bukunya ke lantai dan mengambil nampan dari atas meja, kemudian duduk di dekat kaki Suga, meletakkan nampan tersebut di pangkuan Suga.

        “Apa ini?” tanya Suga dengan nada seperti orang mabuk.

        “Tadinya itu kubuatkan untuk sarapan pagi. Tapi karena kau baru bangun sekarang anggaplah itu makan siangmu.”

        Suga menatap roti dalam piringnya dengan bosan lalu menatap Jungkook sebelum mengunyah rotinya.

        “Kau menghabiskan semua persediaan soju kita.”

        “Nanti kubeli lagi.”

        “Ini bukan soal membeli soju, Hyung. Sebenarnya kau ini kenapa?” sergah Jungkook dengan meninggikan suara. Melihat bagaimana perubahan ekspresi Suga membuat Jungkook langsung menyesali tindakannya barusan. “Maaf. Aku tidak akan mengungkit soal kejadian di klub jika—”

        “Ya, kurasa kita perlu mengungkit-ungkit soal itu lagi,” sela Suga. Lalu tatapan Suga mengarah pada meja yang berada di belakang Jungkook. “Di mana kau menyembunyikan senjataku?”

        “Aku tidak menyembunyikannya tapi kusimpan di dalam kardus tempat menyimpan semua barang-barangmu.”

        Suga menoleh ke samping dan lekas berkata, “Terima kasih,” sambil beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi.

        Ini pertama kali Jungkook melihat Suga bersikap aneh dan itu sangat mengganggunya. Ekspresi muram Suga membuat Jungkook ikut-ikutan sedih. Pemuda itu cepat-cepat menggeleng. Sejak kapan aku jadi begitu peduli padanya?

***

        Hari berikutnya wajah V masih terlihat muram dan masam, hingga orang-orang sontak menjaga jarak dengannya atau sengaja menjauh begitu melihat V. Bagusnya hari itu tak ada seorang pun yang mencari masalah dengannya, seandainya ada orang bodoh yang dengan sengaja mencari gara-gara V tidak bisa menjamin bisa menahan diri. Sejak kemarin pemuda itu terus membawa knuckles dalam sakunya, tahu jika senjata itu bisa menjadi temannya untuk membereskan orang-orang berotak udang yang selalu mengganggunya.

        Saat keluar dari lift entah kenapa saat itu isi kepalanya tak jauh-jauh dari pikiran menghajar orang. Namun alih-alih menghajar orang sampai babak belur V justru menuju gym. Kala itu gym cukup ramai, membuat V menjauh dari keramaian agar dirinya merasa nyaman. Setelah membuka jaket dan menaruhnya di sudut, pemuda berkaus tanpa lengan itu melalukan peregangan. Setelah itu dia mengambil beban, memegangnya dengan kedua tangan lalu memulai gerakan. Gerakan tersebut cukup sederhana, yakni membungkuk sambil menekuk lutut lalu kembali berdiri tegak. Gerakan itu terus diulang sampai bulir-bulir keringat V tampak pada wajahnya.

        Dia selesai satu jam kemudian, lalu mengambil air minum dan menenggaknya hingga setengah. Menatap melalui pantat botol minumannya, V melihat tiga orang tertangkap basah menatapnya lalu ketiga orang itu menunjukkan seringai yang ditujukan untuk mengolok-olok dirinya. Melangkah menuju treadmill dan meletakkan botol minumnya di samping treadmill. Menyetel kecepatan treadmill, tanpa sengaja V mendengar percakapan ketiga orang itu.

        Dari percakapan tersebut V jelas-jelas mendengar namanya disebut-sebut disertai dengan ejekan dan kata-kata lain untuk menghinanya. Biarpun begitu dia mencoba untuk tidak memedulikan mereka. Dia mulai berjalan di atas treadmill selama satu menit. Ketika V hendak menaikkan kecepatan treadmill-nya, seseorang melemparnya dengan botol air hingga air di dalam botol tumpah membasahi rambut belakang dan punggungnya. Melirik dengan tatapan tajam, ketiga orang yang tadi membicarakannya tertawa terbahak-bahak melihat V.

        Mematikan treadmill dan turun dari sana, V menyambar botol minumnya dan balas melempar. Orang yang berdiri di tengahlah yang terkena lemparan V lalu pemuda itu mengambil knuckles dari dalam sakunya, memakainya dengan cepat pada keempat buku jari dan mendatangi ketiga orang itu. Tanpa melontarkan perkataan apa pun V langsung memukul ketiganya. Satu orang pingsan seketika sementara yang lainnya mengalami patah tulang hidung dan memar parah pada mata kirinya. Ekspresi haus darah V membuat yang lain tidak berani mendekat.

        Pemuda itu merasa senang karena tidak ada yang mencegahnya, hingga dia bisa dengan leluasa melampiaskan semua amarah yang dipendamnya sejak kemarin.

        Satu orang pria yang tadi pingsan sudah kembali sadar. Pria itu bangkit dengan sempoyongan dan menghampiri V dengan langkah terhuyung-huyung sambil memegang belati di tangannya. Karena pandangannya masih berputar-putar pria itu hanya mampu menggores lengan telanjang V, hingga darah menuruni lengan pemuda itu.

        “Berengsek,” geram V. Bukannya merasa sakit justru pemuda itu makin kalap. Memutar badan, V mengejar pria tadi, menyergapnya dan memukul pria tersebut berkali-kali.

        Knuckles V nyaris membuat wajah pria tadi tidak bisa dikenali, lantaran beberapa tulang di wajah pria itu patah. Dia sendiri tidak tahu jika pria yang tengah dihajarnya sudah tewas, namun V yang dikenal tidak kenal ampun itu tetap memukuli pria tersebut. Butuh tiga orang untuk menarik V dan salah satunya mengalami kesialan karena terkena pukulan V.

        Aksinya tadi rupanya memancing kemarahan dari yang lain hingga mereka beramai-ramai mengeroyok V. Menyilangkan kedua lengan menutupi wajah, lalu V menekuk tubuhnya di lantai agar organ vitalnya tidak terkena tendangan orang-orang yang mengeroyoknya. Entah berapa lama aksi pengeroyokan itu berlangsung, mereka baru berhenti setelah seseorang menembakkan senjata di dalam gym. Setelah beberapa saat V baru bisa telentang dengan napas pendek-pendek, kelelahan sekaligus menahan sakit di sekujur tubuhnya.

        Matanya terbuka sedikit hanya untuk melihat siapa gerangan orang yang telah menembakkan senjata. Namun tiba-tiba serangan sakit kepala menghantamnya tanpa ampun. Seperti ada bor dalam kepalanya hingga sontak pemuda itu menjambak rambutnya. Di antara rasa sakitnya V seperti melihat kejadian dirinya dikeroyok oleh lima orang—atau lebih—di sebuah jalan. Hanya itu yang diingatnya sebelum hilang kesadaran.

        Dua hari kemudian saat terbangun di ruang perawatan, muncul sebuah nama yang tidak familier terbesit dalam benaknya. Nama itu membuatnya berpikir keras untuk mengingat kira-kira siapa orang pemilik nama tersebut. Namun semakin dia mencoba sakit kepalanya kian menjadi.

        “Jika kau sedang berusaha mengingat sesuatu, sebaiknya jangan,” kata sebuah suara.

        Membuka mata, pemuda itu sontak menoleh ke kanan. “Seo Joon Hyung?” Dahi V berkerut saat mengenali orang itu. “Sedang apa kau di sini?” tanyanya ketus.

        “Kenapa? Kau tidak terlihat senang melihatku. Setelah apa yang kulakukan di gym setidaknya kau berterima kasih padaku.”

Sikap permusuhan ditunjukan V secara terang-terangan dengan berkata, “Aku tidak butuh pertolongan darimu.”

        “Kau itu bodoh sekali,” ucap Seo Joon sambil tersenyum. “Kau mati konyol, hah?”

        Sambil membuang muka V mendengus. “Apa pedulimu. Lagi pula aku tidak akan berteman dengan seorang pengkhianat sepertimu.”

        Dahi Seo Joon berkerut mendengar tuduhan yang dialamatkan V kepadanya. “Pengkhianat? Apa maksudmu?”

        “Oh, sudahlah. Tidak perlu berlagak bodoh. Kau ini pura-pura lupa atau bagaimana, Hyung? Apa perlu kuberitahu apa yang sudah kau lakukan?”

        “Memangnya apa yang kulakukan?”

        V tertawa hambar lalu berkata, “Arsip itu. Kau melenyapkan satu halamannya supaya aku tidak mengambilnya. Benar, kan?”

        Raut Seo Joon langsung berubah. “Aku tidak pernah menyentuh arsip itu. Lagi pula untuk apa aku melenyapkan halaman itu? Tunggu, kenapa kau menuduhku sebagai pelakunya?”

        “Kau masih bertanya kenapa?! Sialan betul kau Park Seo Joon!” Teriak V. “Selain kau tidak ada seorang pun yang kuberitahu. Kau tahu jika halaman dalam arsip itu satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Tapi kau malah melenyapkannya.”

        Tidak senang dengan tuduhan V, Seo Joon tiba-tiba berdiri hingga membuat kursi di belakangnya terdorong. “Aku bukan orang sepicik itu, V. Satu hal yang perlu kau ketahui, aku tidak pernah mengkhianati temanku. Kau salah jika menganggapku orang seperti itu.” Lalu Seo Joon meninggalkan ruang rawat.

        Melihat bagaimana ekspresi Seo Joon tadi V tahu jika pria bermata sipit itu berkata Seo Joon. Lantas kalau bukan dia siapa pelakunya? Selagi dia sibuk berpikir, pintu ruang rawat tiba-tiba terbuka, membuat V terkesiap.

        Tiga orang bersetalan jas menghampiri tempat tidur dimana V tengah berbaring. Dua orang diantaranya masing-masing ke sisi tempat tidur, kemudian mencengkeram lengan V. Dengan raut bingung V mencoba melawan ketika kedua orang itu memaksanya bangun, lantas menyeretnya keluar dari ruang perawatan. Pemuda itu meringis tetapi ketiga pria berjas itu tidak memedulikannya sama sekali.

        “Siapa yang mengirim kalian?!” tanya V membentak.

        Bukannya mendapat jawaban V malah ditampar, membuat pemuda itu jatuh berlutut. Pipi kanannya panas dan pedih, sementara pandangannya berputar-putar. Dua orang yang masing-masing mencengkeram lengannya memaksanya untuk kembali berdiri, menyeret V keluar dari lift. Mereka berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan aksen emas pada bagian kusen pintu. Dilihat dari warna cat tersebut tahulah V dimana dirinya dibawa.

        Pintu terbuka, V didorong sampai tersungkur di atas lantai. Tepat di depan wajahnya sepasang sepatu mengilap nyaris dicium olehnya. Mendongak, raut pemuda itu langsung berubah melihat orang di depannya. Apakah dia tahu apa yang sudah kulakukan tempo hari di ruang arsip? Biarpun diselimuti kecemasan V berusaha menutupinya dan membuat raut wajahnya menjadi dingin ketika kembali mendongak.

        “Berdiri.”

        Dengan perlahan V berdiri dan menegakkan tubuh. Secara otomatis tangan kirinya menyentuh bagian rusuk sebelah kanan saat dia berusaha berdiri dengan tegak. “Ketua,” sapanya dengan nada hormat.

        “Lihat bagaimana tampangmu sekarang, Anak Muda,” ucap pria tua itu. Sengaja berjalan mengitari V. “Kudengar dari laporan anak buahku jika kau sudah dua kali membuat keributan dalam minggu ini. Bahkan kau membunuh salah satu pekerjaku di tempat gym. Apakah itu benar?”

        “Ya, Ketua.”

        Tamparan telak mendarat di pipi kanan V yang masih terasa panas dan pedih. Tamparan dari Ketua nyaris membuat V kehilangan keseimbangan jika dia tidak matian-matian menjaga keseimbangan tubuhnya.

        “Kau merasa sudah menjadi jagoan, huh?”

        Sambil tetap menunduk V tidak berkata apa-apa.

        “Pikirmu dengan kuangkat menjadi pengawal kau bisa bertindak sesuka hati. Keluar masuk ke ruangan mana pun yang kau kehendaki. Begitu?”

        Mata V membelalak. Jadi dia sudah tahu.

        “Kau masih berdiri di sini sekarang karena belas kasihan dariku. Oh, apakah sebenarnya kau sudah bosan hidup? Sae Hwang, berikan pistolmu!”

        Pria tegap yang tadi menampar V mendekat sambil menyodorkan sepucuk senjata api pada Ketua. “Ini, Ketua.”

        Disambarnya revolver dari tangan si pengawal, menempelkan moncongnya yang dingin ke dahi V setelah menarik pelatuknya. “Ini yang kau mau, kan? Persiapkan dirimu, Anak Muda.” ucapnya di dekat telinga V. “Dor!”

        V dibuat terlonjak dengan gertakan tersebut. Sementara Ketua tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi terkejut pemuda di hadapannya.

        “Kau pikir kepalamu akan meledak saat kubilang dor. Kau lucu sekali.”

        Pria itu mengembalikan senjata dan kembali duduk di balik mejanya sambil menyesap segelas bir dingin. “Ini peringatan pertama sekaligus terakhir. Jika kau kembali berulah dan bertindak sesuka hati, maka aku tidak akan mengasihanimu lagi.”

        “Baik, Ketua.”

        “Sebelum kau keluar dari sini, bagaimana hasil pekerjaanmu?”

        “Malam itu Suga menemui seseorang di klub itu. Sepertinya ada orang dalam yang memberikan informasi mengenai sesuatu padanya,” beritahu V.

        “Cari tahu siapa orangnya.”

        “Baik, Ketua.”

        Melalui isyarat V diminta keluar. Sambil menyusuri lorong V tampak berpikir. Siapa kira-kira orang yang memberitahu Ketua jika dia menyusup ke dalam ruang arsip. Padahal di sana tidak ada CCTV dan penjaga. Dia mencoret nama Seo Joon dalam daftarnya, tahu bila Seo Joon tidak mungkin melaporkan dirinya pada Ketua. Kalau begitu pasti ada seseorang yang memata-mataiku.

- 140819 -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top