Chapter 2 : Kebenaran Yang Lenyap

Sudah sepuluh hari sejak Jungkook tinggal di Seoul bersama Suga, selama itu pula hubungannya dengan Suga tetap buruk. Mereka tidak saling bicara, bahkan terkadang Jungkook tidak mau memakan makanan yang dibeli Suga untuknya. Selama di Seoul, Suga melarang Jungkook meninggalkan apartemen dengan alasan keamanan dirinya. Hal itu jelas saja membuatnya kesal.

Tinggal bersama Suga seakan-akan kebebasannya terenggut. Jungkook merasa seperti orang bodoh karena sepanjang hari hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Dia tidak betah tinggal di sini dan ingin segera kembali ke Busan. Taehyung pasti sudah kembali ke rumah, pikir Jungkook. Tapi dia tidak bisa kabur begitu saja meninggalkan Seoul.

Karena kesal, diraihnya remote TV dari atas meja. Alih-alih menonton TV, Jungkook terus memindahkan saluran tanpa ada minat untuk menonton. Sesuatu menarik perhatian Jungkook, menambah volume TV, matanya terbelalak ketika melihat tetangganya sedang diwawancarai saat ini.

"Kudengar dari tetangga lain jika Taehyung sempat berkelahi dengan seseorang sebelum menghilang. Tak lama setelah itu adiknya, Jungkook, juga ikut menghilang. Kuharap berita ini tidak benar. Tapi saat mendengar jika mereka melihat darah di sana, aku jadi khawatir pada Taehyung dan Jungkook."

Melangkah dengan terburu-buru ke kamar Suga, Jungkook membongkar tasnya untuk mencari ponsel. Setelah mengaktifkan ponsel, ada lebih dari sepuluh pesan singkat yang berasal dari tetangganya tampak pada pemberitahuan ponselnya. Kembali ke depan TV, Jungkook melanjutkan acara menontonnya.

"Malam itu memang ada perkelahian dan suara minta tolong. Karena terlalu takut, kami tidak berani keluar untuk melihat. Kabarnya, seseorang tewas malam itu, tapi jasadnya tidak ada di sana."

Tampak tayangan di mana ada bekas darah yang telah mengering di jalan. Jungkook ingat betul jika itu adalah tempat Taehyung tergeletak dengan pakaian berlumuran darah. Sekujur tubuh Jungkook lemas. Dia mematikan TV, rautnya tampak bingung. Matanya panas, dan tak lama kemudian air matanya mengalir.

Jungkook menangisi nasib tragis Taehyung. Jika memang benar saudaranya sudah tewas, di mana jasadnya saat ini? Seandainya orang-orang membuang jasad Taehyung ke sungai atau laut, pasti ada seseorang yang akan menemukannya. Biasanya penemuan jasad korban pembunuhan akan menjadi berita besar bukan?

Membuka situs pencarian dari ponsel pemberian Taehyung, Jungkook menulis kata kunci tentang penemuan jasad selama bulan Februari. Selama satu jam lebih, dia tidak menemukan apa pun. Dari beberapa kasus penemuan jasad, tak ada satu pun yang berkaitan dengan Taehyung. Muncul pikiran buruk dalam benaknya. Bagaimana jika jasad Taehyung dibuang ke jurang atau dikubur di suatu tempat?

Alasan mengapa tidak ada berita tentang penemuan jasad bernama Kim Taehyung sudah pasti karena orang-orang yang membunuh Taehyung tidak membuang jasadnya di suatu tempat. Pikiran seperti itu semakin membuat perasaan Jungkook hancur. Entah kenapa nasib Taehyung tidak pernah mujur, renung Jungkook. Demi adiknya, Taehyung sudah banyak berkorban, tapi kenapa Tuhan begitu kejam padanya.

Didasari oleh putus asa dan frustrasi, Jungkook mengambil pisau dari dapur, berniat mengakhiri hidupnya. Bilah tajam pisau menggores pergelangan tangan Jungkook, diiringi rasa sakit, kilasan kebersamaannya dengan Taehyung tampak seperti potongan-potongan film yang bergerak cepat. Sekarang semua itu hanya tinggal kenangan. Taehyung sudah tiada dan tidak ada alasan lagi baginya untuk hidup.

Samar-samar Jungkook mendengar seseorang menyebut namanya, tapi itu bukan Taehyung, melainkan Suga. Mengerjapkan matanya dengan lambat, Jungkook tidak menyangka jika Suga ada di sana dan merampas pisau dari tangannya.

"APA YANG KAU LAKUKAN?" Bentak Suga.

Merasa tak cukup dengan bentakan, secara refleks Suga menampar Jungkook sampai anak muda itu terjatuh. "Ya! Jungkook! Apa kau sudah gila? Kenapa kau mau bunuh diri?!"

Tak ada jawaban. Air mata Jungkook terus mengalir setelah menyadari apa yang hendak dilakukannya.

"Bukankah kau harus tetap hidup agar bisa membenciku? Ya! Apa kau sudah melupakan hal itu?!" Teriak Suga.

"Mereka tidak menemukan jasad Taehyung Hyung," gumam Jungkook sambil tertunduk.

"Apa yang kau bicarakan?"

"Aku harus pulang dan mencari tahu apa yang terjadi," tukas Jungkook.

"Bicaralah dengan jelas. Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!"

Masih dalam keadaan terguncang, Jungkook menceritakan apa yang dilihatnya di TV, serta kesimpulan yang didapatnya sendiri.

"Tolong jangan halangi aku, Hyung," ucap Jungkook, nadanya memohon.

"Baiklah, kau boleh pergi." Suga berdiri, mundur satu langkah untuk memberi ruang pada Jungkook. "Dengan syarat, aku juga akan ikut denganmu."

"Kau-"

"Seperti halnya dirimu, aku juga ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Taehyung," sela Suga. "Mungkin saja kita bisa mendapat petunjuk dari warga di sekitar tempat itu."

Jungkook mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita pergi."

Dengan cepat Suga menarik tangan Jungkook, menahannya. "Kita tidak bisa pergi sebelum luka di tanganmu diobati."

***

Bukan rasa senang yang dirasakan Jungkook ketika kembali ke Busan, melainkan cemas dan takut. Busan seakan meninggalkan trauma besar untuknya sekarang, apa lagi ketika harus kembali ke tempat di mana Taehyung mengalami kejadian tragis. Sulit menahan agar tubuhnya tidak gemetar ketika tiba di sana, seakan-akan kejadian tersebut baru kemarin menimpa Taehyung.

Usapan di punggung Jungkook memberinya sedikit kekuatan sekaligus mengingatkan Jungkook jika dia tidak sendiri saat itu. Menoleh pada Suga, saat mendapati mata sipit Suga berkaca-kaca membuat Jungkook ingin menangis. Sambil bertolak pinggang, Jungkook mendongakkan wajahnya, sambil menata perasaannya.

"Tunggu sebentar di sini. Biar aku yang menanyai mereka," ucap Suga, lantas berlalu.

Ternyata ini tidak mudah, renung Suga. Tidak mudah harus kembali kemari dan mencari tahu apa yang terjadi pada Taehyung setelah mereka pergi. Tetapi Suga tidak bisa mundur, jika dia mundur sekarang maka dia tidak akan sanggup menatap Jungkook.

Mengetuk pintu pertama yang disambanginya, sambil menunggu penghuni rumah membukakan pintu, Suga menatap Jungkook. "Selamat sore, Nyonya," sapa Suga.

Wanita setengah baya tersebut mengangguk, rautnya tampak gugup. "Mau cari siapa?"

"Begini. Apakah Nyonya mengetahui kejadian sepuluh hari yang lalu di sekitar sini?"

"Tentu saja. Apakah kau polisi?" Wanita itu balik bertanya.

Sontak Suga menggeleng. "Tidak. Aku keluarga dari pria yang tewas pada malam itu." Jeda sejenak, Suga membutuhkan kekuatan lebih untuk memulai tugasnya mencari informasi. "Anda lihat di sana," Suga menunjuk ke arah Jungkook dan wanita pemilik rumah ikut melihat ke arah tersebut. "Itu adiknya."

"Ah, anak yang malang," gumamnya. "Malam itu suamiku sempat menegur mereka karena bernyanyi di tengah malam. Kupikir saat itu mereka berdua mabuk. Lalu tak lama setelah itu kami mendengar suara perkelahian."

"Lalu apa yang terjadi?" Selidik Suga.

"Seseorang berkata jika dia akan membunuh. Saat itu tidak satu pun dari kami yang berani mengingtip. Lalu ada pria yang menjerit."

Membayangkan bagaimana Taehyung menjerit saat itu membuat perasaan Suga sakit, tidak terima jika temannya mendapat perlakukan kejam seperti itu.

"Setelah beberapa menit, kami tidak mendengar suara dari luar. Suamiku mengintip dari lantai dua, katanya ada anak muda tergeletak di sana. Sampai tiba-tiba muncul satu lagi anak muda."

Seketika Suga mengangkat pandangannya. "Siapa anak muda itu?"

"Entahlah. Karena terlalu gelap kami tidak bisa melihat wajahnya. Namun yang pasti, anak muda itu tampaknya ingin menolong pemuda yang tergeletak di sana."

Suga menduga itu adalah Jungkook.

"Tadinya kami berpikiran seperti itu, kemudian muncul satu orang lagi dan membawa anak muda tadi pergi."

"Bagaimana dengan Taehyung?"

"Oh, nama anak muda itu bernama Taehyung. Dia masih terkapar di sana. Kami tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Lalu datang lagi tiga orang pria menghampirinya. Salah satunya menendang anak muda itu. Ya ampun, kasihan sekali dia. Lalu mereka membawanya pergi. Sepertinya ada mobil yang sudah menunggu orang-orang itu."

"Apakah tidak ada orang yang tahu ke mana mereka pergi?"

"Sepertinya tidak. Orang-orang itu tampaknya bukan orang sini." Kemudian wanita tersebut melihat ke arah Jungkook. "Kulihat dari TV, katanya anak itu menghilang."

"Tidak," kata Suga sambil memaksakan senyum. "Dia mengalami trauma setelah kejadian itu dan aku membawanya pergi."

"Ah, anak malang."

"Saya permisi dulu. Terima kasih atas waktunya, Nyonya." Setelah membungkuk untuk memberi hormat, Suga berlalu dari sana.

"Bagaimana?" tanya Jungkook tak sabar. "Apakah ada informasi tentang Taehyung Hyung?"

Suga menggeleng, rautnya sedih. "Nyonya tadi bilang, tak lama setelah kita pergi, orang-orang itu membawa Taehyung."

"Mem... membawanya? Ke mana?" kejar Jungkook.

"Tidak ada yang tahu, Jungkook."

Mendengar jawaban Suga, Jungkook mengacak-acak rambutnya, frustrasi.

"Eh? Lihat siapa ini?"

Suara tersebut sontak mengalihkan perhatian Suga dan Jungkook.

"Katanya kau hilang, tapi kenapa ada di sini?"

"Bukan urusanmu," ujar Jungkook dengan nada ketus.

"Ha! Padahal aku punya informasi tentang saudaramu. Tapi setelah melihat reaksimu, sebaiknya aku pergi saja. Bye!"

Mengepalkan tangannya, orang yang baru saja berbicara dengannya adalah teman satu sekolah Jungkook yang selalu memerasnya di sekolah. Namanya Byung Jae. Biarpun tidak ingin berurusan dengan orang itu, mau tidak mau Jungkook mengejar Byung Jae.

"Ya! Kang Byung Jae, siapa yang menyuruhmu pergi! Informasi apa yang kau maksud?!"

Byung Jae menyeringai. "Kau mencari saudaramu, kan? Dia sudah dibawa pergi."

"Kalau itu, aku sudah tahu," tukas Jungkook.

"Tapi, apa kau tahu kalau saudaramu masih hidup saat dibawa pergi?"

Sontak raut Jungkook berubah, tampak terkejut. "Apa? Kau tidak mengada-ada, kan, Byung Jae?"

Byung Jae mengumpat. "Jika kau mau tahu kepastiannya, beri aku lima puluh ribu Won."

Amarah yang sudah sejak tadi ditahan Jungkook akhirnya meluap. Menyeret Byung Jae ke arah gang sempit, di sana Jungkook melayangkan tinjunya, tak hanya sekadar memukul, Jungkook menghajar Byung Jae dan berujung perkelahian antar dua remaja.

Suga yang sejak tadi hanya menonton, akhirnya turun tangan untuk melerai keduanya. Dicengkeramnya kerah jaket Jungkook, kemudian mendorongnya hingga punggung Jungkook menaberak dinding. "Dia bisa mati jika kau memukulnya seperti itu," geram Suga.

Jungkook balas mendorong Suga. "Dia meminta uang sebagai imbalan untuk sebuah informasi. Apakah menurutmu dia tidak pantas untuk dihajar!" Teriak Jungkook.

Menoleh pada teman Jungkook yang masih terkapar, Suga berjongkok di dekat Byung Jae, lantas menampar pelan wajah pemuda tersebut. "Ya! Jika kau masih sayang dengan nyawamu, cepat beritahu apa yang kau lihat malam itu," ujar Suga. Nada bicaranya terlalu tenang untuk orang yang sedang melancarkan ancaman.

"Kenapa aku harus memberitahunya? Toh, tidak ada untungnya buatku."

Suga mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi, bermaksud untuk memukul. Akan tetapi Byung Jae langsung berteriak sambil memohon ampun pada Suga.

"Anggap saja kau sedang membantu teman. Cepat katakan, apa yang terjadi malam itu."

Byung Jae menatap Jungkook dan Suga bergantian, kemudian berkata. "Taehyung Hyung belum mati saat dibawa pergi."

"Kau melihat sendiri jika dia masih hidup?" Desak Suga.

"Tentu saja. Aku bersembunyi di dekat sini saat melihat Jungkook dan Taehyung Hyung dihajar kawanan preman. Bahkan aku sempat merekamnya saat mereka memukuli Jungkook. Aku akan menjual video-nya ke teman-teman dan memberitahu mereka kalau Jungkook sebenarnya bukan orang yang baik."

"Bajingan Tengik," tukas Suga sambil menampar pelan wajah Byung Jae. "Bicara yang jelas sebelum kesabaranku habis."

"Maaf, Hyung," ucap Byung Jae hampir menangis. "Aku berhenti merekam setelah orang-orang itu mengejar Jungkook, lalu tak lama setelah itu tiba-tiba Taehyung Hyung menjerit. Saat kuintip, orang itu baru saja mencabut pisau dari perut Taehyung Hyung," kata Byung Jae, sekilas menatap Jungkook yang mematung di belakang Suga. "Kupikir dia sudah mati karena kau dan Jungkook meninggalkannya di sana. Tapi sebenarnya dia masih hidup."

Byung Jae terdiam ketika melihat Jungkook menangis. Rautnya langsung berubah dan dia langsung memalingkan wajah. "Aku mendengarnya mengatakan sesuatu sebelum mereka pergi. Dia terus berbicara bahkan berteriak. Tapi aku tidak tahu apa yang diucapkannya."

"Kau melihat nomor kendaraan yang membawa Taehyung?" tanya Suga serius.

Byung Jae menggeleng.

Suga berdiri, berbalik badan, menatap Jungkook.

"Apa aku boleh pergi?" tanya Byung Jae takut-takut.

"Pergilah," tukas Suga, tanpa menatap pemuda itu. Menghampiri Jungkook yang masih terdiam, sambil memaksakan senyum, Suga menepuk bahu Jungkook dan berkata, "Paling tidak kita tahu satu hal, Jungkook," kata Suga. Rautnya tampak serius. "Kemungkinan Taehyung masih hidup."

Jungkook mengusap wajahnya, frustrasi. "Tapi di mana dia sekarang?!"

"Seoul," jawab Suga cepat.

Sontak Jungkook menatap Suga.

"Markas mereka ada di sana dan Ketua tidak pernah memindahkan markasnya."

"Itu berarti, kau tahu tempatnya?"

Suga mengangguk. "Tapi kita tidak bisa pergi seenaknya ke sana," tambahnya, tahu betul jalan pikiran Jungkook.

"Kenapa?" tanya Jungkook cepat.

"Tempat seperti itu tidak bisa didatangi oleh sembarang orang. Jika kau tetap nekad pergi ke sana, itu artinya mati konyol."

Melihat Jungkook masih menangis, secara refleks Suga memeluk Jungkook, mengusap-usap punggungnya sebagai bentuk penghiburan. "Kita masih punya harapan. Saat kembali ke Seoul, aku akan mencari tahu tentang mereka. Aku janji."

"Terima kasih," gumam Jungkook, suaranya parau.

"Sebelum meninggalkan Busan, sebaiknya kita selesaikan dulu urusanmu di sini. Kita temui tetanggamu dulu."

Jungkook menyetujuinya. Hari itu hari terakhir bagi Jungkook menginjakkan kaki di Busan. Pada kesempatan terakhir itu, Jungkook mengunjungi rumahnya. Semua kenangannya bersama Taehyung akan tertinggal selamanya di rumah ini. Setelah menutup pintu rumah lamanya, Jungkook tidak menoleh lagi.

***

Seoul, Oktober 2018

Dua tahun sudah berlalu sejak Jungkook pergi meninggalkan Busan dan menetap di Seoul. Tidak banyak yang berubah dari kehidupan Jungkook. Dia dan Suga masih tetap mencari keberadaan Taehyung hingga sekarang. Dua tahun lalu ketika kembali ke Seoul, Suga langsung mencari tahu tentang tempat kerjanya yang lama. Namun sayangnya dia tidak mendapat apa pun dari sana. Markas yang pernah dikatakan Suga sudah berpindah tempat.

Kesalahan informasi tersebut membuat Jungkook dan Suga mengalami kesulitan, mereka tidak punya petunjuk apa pun tentang tempat itu, hingga sampai saat ini kebaradaan Taehyung masih menjadi misteri. Biarpun tidak mempunyai petunjuk, namun dalam hati Jungkook masih percaya jika Taehyung masih hidup dan berada di suatu tempat.

Menatap langit biru di atasnya, biarpun Jungkook merasa sedih hari itu, entah kenapa dia malah tersenyum ketika melihat langit. Cuaca cerah saat itu mengingatkannya pada Taehyung yang selalu ceria. Ah, rasanya Jungkook rela memberikan nyawanya agar bisa tertawa lagi bersama Taehyung. Menunduk, senyumnya lenyap ketika gambaran Taehyung yang sekarat melintas dalam ingatannya.

Mengingat betapa lamanya dia mencari Taehyung, membuat Jungkook sadar jika keadaan sekelilingnya banyak yang berubah. Sebagai contoh, sekarang teman sekolahnya yang bernama Shinwoo sudah debut menjadi Idola. Menjadi Idola pernah menjadi cita-cita Jungkook untuk memperbaiki hidupnya dan Taehyung. Namun sekarang, cita-cita itu harus dilupakan. Dia sama sekali tidak iri melihat temannya dikenal bahkan dielu-elukan setiap orang. Kehidupan seperti itu bukan jalan untuk Jungkook.

Hari-hari kelam Jungkook selalu diisi dengan pertengkaran dengan Suga dan perkelahiaan jalanan. Tinggal bersama dengan Suga selama dua tahun ini tidak pernah membuat hubungan mereka membaik, justru sebaliknya. Komunikasi yang terjadi di antara mereka ketika keduanya bertengkar atau saling adu tinju. Sikap Jungkook yang membangkang selalu menjadi awal pertengkaran mereka.

Hal itu semakin buruk ketika Suga tahu bahwa Jungkook sering pulang dalam keadaan babak belur. Jungkook tidak pernah memberitahu Suga alasan mengapa keadaannya seperti itu. Tentu dia punya alasan. Suga mencari keberadaan Taehyung dari teman-temannya yang masih bekerja di sana, maka Jungkook pun punya caranya sendiri.

Pernah suatu hari dia menyalin foto orang-orang yang menculik Taehyung dari ponsel Suga secara diam-diam, kemudian menggunakan foto tersebut untuk mencari keberadaan orang-orang tersebut. Dia pernah dengar dari Suga jika orang-orang ini cukup dikenal dikalangan penjahat jalanan. Jadi, berbekal informasi tersebut, Jungkook melakukan pencariannya sendiri.

Memasang tudung jaket ketika memasuki gedung apartemen, saat ini Jungkook betul-betul merasa lelah. Bekas memar di tubuhnya bertambah karena semalam dia harus berkelahi karena menemui orang yang salah. Selalu seperti itu, tetapi demi secuil petunjuk tentang keberadaan Taehyung, Jungkook rela tubuhnya babak belur. Melepas pakaian, memar di rusuk membuatnya meringis. Belum sempat mengenakan kembali pakaiannya, Suga telanjur melihat memar-memar tersebut.

"Kali ini berkelahi dengan siapa lagi?" tanya Suga sambil bertolak pinggang.

"Kita sudah sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing, Hyung," tukas Jungkook sambil lalu.

"Ya, aku tahu. Tapi setelah keadaanmu seperti itu, tidak mungkin aku mengabaikannya."

Jungkook memutar matanya, sikapnya itu menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap reaksi Suga.

Suga mendengus. "Lihat, tingkahmu. Aku heran dengan Taehyung, bisa-bisanya dia tahan tinggal bersama adiknya yang pembangkang sepertimu."

Jungkook yang hendak minum, tetapi setelah mendengar ucapan Suga, dia melupakan rasa hausnya. Dibantingnya gelas hingga pecah, dengan tatapan tajam, dihampirinya Suga. "Sudah kubilang, jangan sebut namanya. Kau tidak pantas menyebut nama Hyung-ku," ujar Jungkook, nadanya geram.

"Ups. Aku lupa soal itu," kata Suga berlagak bodoh. "Ah, benar! Karena kau adiknya, hanya kau saja yang pantas menyebut nama Taehyung di sini. Taehyung yang malang."

Tinju Jungkook tiba-tiba melayang ke wajah Suga hingga membuatnya terdorong ke belakang. Menyentuh sudut bibirnya yang berdarah, Suga menyeringai, kemudian membalas pukulan Jungkook. Biasanya Jungkook tidak pernah jatuh setelah mendapat pukulan dari Suga, tapi kali ini pemuda itu tersungkur di lantai.

"Jika kau merasa pantas menjadi adik Taehyung, beginikah caranya kau menunjukkannya padaku? Setiap hari kau pulang dengan luka, keluyuran sepanjang malam, berkelahi, apa yang kau cari? Apa?!" Teriak Suga. "Ingin balas dendam padaku karena sampai saat ini Taehyung belum ditemukan? Jika memang itu tujuanmu, bukan seperti ini caranya membalasku. Ayo bangun, Jungkook!"

Menyadari jika Jungkook kepayahan untuk berdiri, muncul rasa bersalah dalam diri Suga. Apakah aku memukulnya terlalu kuat?

Maksud hati ingin membantu Jungkook berdiri, namun ketika tangannya ditepis dengan kasar oleh Jungkook, Suga pun mundur.

"Jangan pernah mengasihaniku, Hyung. Aku tidak akan pernah bisa terima dikasihani oleh orang yang kubenci," gumam Jungkook, bangkit dengan kepayahan dan melangkah tertatih menuju sofa panjang-tempat tidurnya.

Mengusap wajahnya karena kesal, selama sepuluh detik Suga mematung di sana, kemudian meninggalkan Jungkook. Dengan suasana hati yang kacau, Suga pergi ke loteng, tempat favoritnya untuk menyendiri. Di pojok ada setumpuk barang tak terpakai, Suga menyingkirkan kotak lantas mengambil tiga kaleng bir yang disembunyikan di sana. Dibukanya kaleng pertama dan menyeruput sedikit, kemudian dia menghidupkan rokok.

Suga menghabiskan waktu berjam-jam dengan minum-minum sendiri. Sambil minum, pria bermata sipit itu memikirkan banyak hal. Salah satunya mengenai Jungkook. Dia dan Jungkook tidak pernah akur walau satu hari pun. Jika Suga bisa cepat akrab dengan Taehyung, tidak demikian dengan Jungkook. Anak itu jelas-jelas membangun benteng di antara mereka dan Suga tidak bisa menembus benteng tersebut. Tentu saja dia tahu mengapa Jungkook bersikap demikian.

Mungkin jika Suga berada di posisi Jungkook, Suga tidak akan membiarkan orang yang menyebabkan masalah ini hidup lebih lama. Menurutnya Jungkook masih berbaik hati padanya setelah apa yang terjadi pada Taehyung. Suga tahu pada dasarnya Jungkook anak yang baik, seperti yang sering Taehyung katakan. Hanya saja sekarang hati Jungkook diselimuti kegelapan.

Suga tidak akan pernah bisa menyingkirkan kegelapan tersebut. Sekuat apa pun dia berusaha, Jungkook akan tetap membencinya. Jika saja dia memiliki satu kesempatan, Suga ingin memperbaiki hubungannya dengan Jungkook, mungkin tidak sebagai saudara, karena di mata Jungkook saudara hanyalah Taehyung. Teman, itulah yang diinginkannya. Suga ingin menjadi teman Jungkook. Seperti halnya Taehyung, Jungkook pasti bisa dijadikan teman yang andal jika tidak ada kejadian seperti ini.

Mengenyahkan pikirannya tentang berteman dengan Jungkook, Suga sadar jika dirinya mabuk, dia memutuskan untuk pulang. Hal pertama yang dilakukannya ketika masuk ke rumah adalah mengecek keberadaan Jungkook. Rupanya malam ini Jungkook memutuskan untuk tidak pergi keluyuran, catat Suga, kemudian dia pergi ke kamarnya untuk tidur.

Baru saja akan terlelap, tiba-tiba Suga terjaga dari tidurnya setelah bermimpi buruk-padahal biasanya dia terjaga karena mendengar Jungkook mengigau dalam tidurnya-namun kali ini dia sendiri yang mengalami mimpi buruk. Terlalu hening, renung Suga. Tidak mungkin Jungkook tidur selelap itu, pikirnya. Beranjak dari tempat tidur, pandangan Suga langsung tertuju pada sofa tempat biasa Jungkook tidur.

Jungkook tidak ada di atas sofa, melainkan lantai. Tampaknya dia terjatuh dari sofa, tetapi jika memang benar Jungkook terjatuh harusnya kembali naik ke sofa. Hal tersebut terasa janggal bagi Suga, oleh karena itu dia memeriksa Jungkook, membangunkan pria itu dengan menepuk-nepuk pelan pipinya namun tak ada respons.

"Ya! Jungkook!" Seru Suga sambil mengguncang-guncangkan badan Jungkook.

Jungkook hanya mengerang, tetapi tidak bereaksi apa pun. Ingatlah dia dengan memar yang tadi dilihatnya. Menyingkap ke atas kemeja Jungkook, Suga dibuat terbelalak dengan memar di bagian rusuk Jungkook.

"Apa yang kau lakukan di luar sana hingga mendapat luka seperti ini," ujar Suga, panik.

Sambil mengumpat, dipapahnya Jungkook menuju belakang gedung, tempat mobilnya diparkir. Langsung tancap gas menuju rumah sakit terdekat, melihat keadaan Jungkook sekarang, Suga merasa tindakannya ini sudah tepat. Masalah Jungkook akan protes karena hal ini, akan dihadapinya nanti.

"Dokter." Raut Suga tampak tegang ketika dokter yang menangani Jungkook menemuinya di ruang tunggu. "Dia baik-baik saja, kan?"

Dokter tersebut mengangguk. "Dilihat dari kondisinya, memar di rusuk tersebut tampaknya terjadi beberapa hari yang lalu. Apakah pasien terlibat kecalakaan belum lama ini?"

"Entahlah, dokter. Anak itu tidak pernah mengeluhkan apa pun padaku," jawab Suga sekenanya.

"Melihat adikmu, mengingatkanku pada putraku. Dia juga seperti itu," kata si dokter sambil tersebut. "Ini resep obat untuk tiga hari."

"Terima kasih." Suga tetap di sana hingga dokter tadi pergi, kemudian dia pergi ke apotek untuk membeli obat berdasarkan resep dari dokter. Dia kembali dengan buru-buru karena khawatir dengan keadaan Jungkook. Namun apa yang dilihatnya di dekat ruang rawat Jungkook membuat langkah Suga terhenti. Dilihatnya Jungkook baru saja menutup pintu ruangan tersebut, sepertinya berniat untuk meninggalkan rumah sakit selagi dirinya tidak ada. "Ya! Jungkook!" Seru Suga.

Jungkook terlonjak, namun dengan cepat dapat menguasi diri. "Kenapa aku ada di sini?!" tanyanya dengan nada tak senang.

"Apa kau bodoh? Aku membawamu kemari karena kau terluka. Dokter bilang rusukmu memar, jadi kau harus dirawat."

Bukannya berterima kasih, Jungkook malah mendengus. "Ini terlalu berlebihan. Toh besok juga sudah sembuh. Kau hanya membuang uang dengan membawaku kemari." Melangkah dengan pelan sambil memegangi bagian tubuhnya yang nyeri, saat melewati Suga, Jungkook berbalik badan. "Ah, benar. Aku harus membayar uang ganti rugi. Aku harus bayar berapa, Hyung?"

Tamparan dari Suga adalah jawaban yang didapat Jungkook. Saking kerasnya suara tamparan tersebut, perhatian beberapa pasang mata kini mengarah pada mereka berdua.

"Saat melihatmu tidak sadarkan diri, yang terlintas dalam pikiranku saat itu aku harus segera menyelamatkanmu. Sial. Apa kau tidak pernah berpikir jika aku benar-benar mengkhawatirkan keselamatmu?"

Rahang Jungkook mengeras.

"Kau tidak pernah memikirkannya." Suga berbalik badan, sengaja tidak ingin menatap Jungkook. "Sepertinya Taehyung salah mengenai adiknya. Dulu dia selalu berkata jika dia beruntung mempunyai adik sepertimu, adik yang baik hati dan pengertian." Suga mendengus. "Baik hati? Pengertian? Omong kosong. Kurasa dia hanya melebih-lebihkan saja."

"Selama ini aku bisa memaklumi semua ucapan dan tingkahlakumu, tapi untuk kali ini, perkataanmu tadi membuatku tersinggung."

Suga tidak menatap mata Jungkook ketika menjejalkan kantung plastik berisi obat kepada Jungkook. Dia berbarik badan dan tidak menoleh lagi. Cepat atau lambat, pasti akan tiba hari dimana dia akan menyerah pada Jungkook, namun Suga tidak menyangka jika hari itu datang secepat ini.

>> (Un)Dead 언데드
Taehyung dan Jungkook harus bertahan hidup di tengah wabah yang menyerang manusia, mengubah mereka menjadi sesuatu yang mengerikan.
Kalau suka cerita zombi, jangan lewatkan (Un)Dead.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top