Chapter 11 : Harga Dari Kebenaran

        Setelah dua tahun akhirnya mereka mendapat kepastian jika saat ini Taehyung memang masih hidup. Jungkook terlihat luar biasa gembira mengetahui hal ini. Mengetahui jika saat ini Taehyung masih hidup dan berada di luar sana menjadi kebahagiaan yang tak ternilai harganya bagi Jungkook. Tetapi hal itu juga membuatnya sedih. Pasalnya biarpun Taehyung masih hidup tetapi saudaranya itu tidak bisa menemuinya karena cengkeraman Ketua.

        Ada tanda tanya besar dalam hati Jungkook. Apakah selama dua tahun ini Taehyung pernah mencoba untuk melarikan diri? Dia yakin Taehyung pasti pernah sekali-dua kali mencobanya. Terbayang dalam benaknya kesusahan seperti apa yang diterima Taehyung saat dia gagal melarikan diri sana. Jungkook tidak berani mengira entah berapa kali saudaranya itu nyaris mati saat tertangkap basah ketika hendak melarikan diri.

        Dari cerita-cerita yang didengarnya dari Suga, nasib orang-orang yang terlibat dengan Ketua jika tidak mati dibunuh maka dijadikan anak buah untuk mengerjakan pekerjaan kotornya. Lalu bagaimana dengan Taehyung yang selama dua tahun ini berada dalam kekuasaan Ketua? Sekujur tubuh Jungkook merinding. Dia menolak pikiran jika Taehyung mungkin adalah salah satu dari mereka. Saudaranya itu tidak mungkin tega memukul orang lain, apa lagi membunuh. Perut Jungkook dibuat melilit memikirkan jika saudaranya dipaksa melakukan tindakan keji seperti itu. Tidak, Jungkook tidak menginginkan hal itu terjadi.

        Langkah kaki Suga terdengar, Jungkook hanya menatap pemuda itu melintas di depannya dengan membawa bungkusan plastik. Setengah detik kemudian Suga meletakkan dua mangkuk dan sumpit di atas meja serta bungkusan plastik yang tadi dibawanya.

        “Makanlah duluan, aku mau mandi.”

        Tetapi Jungkook tidak menyentuh makanannya sampai Suga menarik kursi di hadapannya.

        “Aku sudah menyuruhmu makan duluan.” Tanpa memedulikan Jungkook, Suga memakan makanannya.

        “Menurutmu Taehyung Hyung punya kesempatan tidak lolos dari sana seperti yang kau lakukan?”

        Suga yang sedang melahap Jjajangmyeon-nya sontak menghentikan aktivitas makannya dan melirik Jungkook dengan tatapan tajam. “Tidak.”

        “Kenapa begitu?” tanya Jungkook dengan alis bertaut.

        “Pertama, tempat itu punya sistem keamanan yang ketat. Setiap orang—termasuk aku—dipasangi alat pelacak yang ditanam dalam tubuh. Kau lihat bekas luka ini,” Suga menyingkap sweater untuk memperlihatkan bekas luka di lengan bawahnya. “Pelacak itu ditanam di sana. Aku mengetahuinya setelah berhasil menyusup ke ruang kontrol. Di sana mereka punya beberapa layar yang menunjukkan aktivitas setiap orang.”

        “Berdasarkan perkataanmu itu, berarti tidak banyak yang tahu tentang pelacak itu?”

        Suga mengangguk membenarkan. “Sekitar 90% orang yang bekerja dengan Ketua tidak mengetahuinya.”

        “Keterlaluan sekali dia.”

        “Kedua,” ucap Suga hingga perhatian Jungkook kembali fokus padanya. “Jika Taehyung ingin melarikan diri dari sana dia harus punya orang dalam yang dapat dipercaya. Tidak hanya itu, orang itu juga harus jauh dari mata Ketua dan tentunya punya royalitas yang tinggi pada Taehyung.”

        “Dia punya Seo Joon Hyung di pihaknya.”

        Menggeleng, tampak senyum kecil di wajah Suga. “Kesetiaan Seo Joon Hyung separuhnya untuk Ketua. Orang itu tidak sepenuhnya bisa dipercaya.”

        “Kemarin kau bilang musuh dari musuhmu adalah temanmu, hari ini kau bilang dia tidak bisa dipercaya. Sebenarnya kau menganggapnya teman atau musuh kita?”

        “Bukankah jawabannya sudah jelas.”

        “Tapi, kau bilang dia membantu Taehyung Hyung.”

        Saat itu juga Suga kehilangan nafsu makannya, diaduk-aduknya Jjajangmyeon dalam mangkuk, tatapan pria itu tampak kosong. “Ya, itu dilakukannya tanpa sepengetahuan Ketua. Jika Ketua mengetahuinya, Seo Joon Hyung akan mati begitu juga dengan Taehyung.”

        “A-apa?”

        Saat menatap Jungkook tatapan dan raut Suga terlihat serius. “Itulah sebabnya aku harus bertemu dengannya untuk membicarakan pelarian Taehyung. Taehyung tidak mungkin bisa melarikan diri dari sana tanpa bantuanku dan Seo Joon Hyung.”

        Jungkook ingin menyetujui rencana itu, namun hatinya melarang karena tahu seperti apa risikonya. Berdiri, sambil menggigit bibir bawahnya pemuda itu berjalan mondar-mandir. “Kau memang pernah melakukannya satu kali, tapi aku tidak yakin kau bisa melakukan itu untuk kedua kalinya.”

        “Tidak usah khawatirkan itu, aku bisa mengurusnya,” kata Suga santai.

        “Kau membuatku semakin takut dengan bicara begitu, Hyung. Sungguh,” tukas Jungkook. Dengan langkah lebar meninggalkan Suga sendirian.

        Langkah kakinya cepat menaiki anak tangga menuju loteng. Menendang pintu loteng hingga terbuka, disambarnya sebotol soju dari atas kotak kayu lalu membawanya ke pinggir dinding pembatas. Terpaan angin malam yang sejuk membelai wajah Jungkook kala itu, tetapi angin yang sejuk itu tidak mampu menyejukkan hatinya. Membuka tutup botol soju dengan kasar, Jungkook menenggak minuman itu seperti minum air putih saja. Dulu tiap kali kesal pada Suga dia akan pergi dan membuat onar lalu pulang dengan keadaan babak belur, tapi sekarang tidak bisa seperti itu lagi. Dia bukan lagi pemuda yang suka membangkang dan bersikap kekanakan seperti dulu. Jungkook sedikit bangga pada dirinya sendiri karena tidak bertingkah seperti itu lagi.

        Sudah banyak yang berubah sejak mereka tinggal di tempat ini, renung Jungkook. Salah satu perubahan yang tampak begitu nyata adalah dia dan Suga tidak pernah lagi bertengkar. Mereka semakin kompak dan entah sejak kapan Jungkook merasa Suga sudah seperti saudaranya sendiri. Dia takut membayangkan jika Suga tetap nekad pergi menemui Seo Joon, sementara dia tidak tahu Seo Joon itu orangnya seperti apa dan seberapa berbahayanya dia. Dengan keadaan Suga sekarang Jungkook skeptis usaha temannya itu akan berhasil. Kali ini dia hanya melihat kegagalan Suga di depan matanya.

        “Memangnya di dunia ini ada orang beruntung sampai dua kali,” gumam Jungkook sambil menatap ujung botol di tangannya.

        Menyugar rambutnya ke atas, Jungkook semakin takut memikirkan ucapan Suga. Dibantingnya botol soju ke lantai hingga pecah berkeping-keping dan sisa air dari dalam botol menciprati sepatu dan celananya. Bukan hanya Seo Joon dan Taehyung saja yang akan mati, Suga pun akan mengalami nasib yang sama jika tetap meneruskan rencana tersebut. Kepercayaan diri pemuda itu akan menghancurkannya dan Jungkook tidak mau itu terjadi.

        Dia berlari menuruni anak tangga sampai nyaris tergelincir di undakan terbawah. Saat membuka pintu tempat itu kosong, Jungkook memeriksa semua ruangan, tetapi tidak menemukan Suga. Menyambar jaket dan topi hitamnya, Jungkook berlari ke luar, sempat kebingungan harus mulai dari mana mencari Suga di tempat seluas ini. Dia memilih jalan ke kiri, berlari-lari kecil sambil mengawasi tiap jengkal kawasan yang dilewatinya. Sepuluh menit sudah berlalu sejak Jungkook keluar mencari Suga, lalu dia mengambil jalan memutar dan naik lagi ke loteng.

        Akan tetapi Suga tidak ada di sana. Tidak mempedulikan rasa letih yang menghinggapinya, Jungkook kembali berlari menuruni tangga. Napasnya terputus-putus saat dia membungkukkan badan sambil menopangkan sebelah tangan di salah satu dinding. Untuk beberapa detik lamanya Jungkook memulihkan tenaga lalu melanjutkan pencariaannya. Berlari sambil meneriakan nama Suga, Jungkook melakukan itu sampai tenggorokannya terasa perih.

        Dimasukinya gedung-gedung terbengkalai di lingkungan itu. Entah berapa kali Jungkook berlari menaiki dan menuruni tangga hingga pada akhirnya dia tidak kuat lagi untuk berdiri dan terduduk di atas debu yang kotor. Suara derap langkahlah yang membuat Jungkook berdiri dan mencari asal suara. Jungkook bersiap melayangkan tinju ketika pundaknya disentuh oleh seseorang. Namun tinjunya itu tidak sempat mengenai karena ternyata Suga mempunyai gerak refleks yang lebih bagus hingga bisa menangkap tinju tersebut.

        “Hyung! Kupikir tadi kau orang lain,” ujar Jungkook dengan napas memburu.

        “Ada apa? Kudengar tadi kau berteriak memanggilku?” tanya Suga cemas.

        “Ya! Kau dari mana saja!” Pekik Jungkook kesal, lalu segera menyadari jika dia telah bersikap kasar. “Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Ah, Hyung, kupikir kau pergi menemui Seo Joon Hyung sendirian. Aku takut sekali kau melakukan itu.”

        Dahi Suga berkerut dalam melihat reaksi Jungkook. “Kenapa kau jadi takut?”

        “Pertanyaan bodoh macam apa itu? Kau berencana masuk ke kandang singa dan bunuh diri di sana. Tempat itu pasti penjagaannya lebih ketat sekarang. Mereka akan membunuhmu bahkan sebelum kau masuk ke sana.”

        Suga tersenyum kecil dan berkata, “Aku masuk ke kandang singa bukannya tanpa tujuan. Ada seseorang yang harus kuselamatkan. Sudah kukatakan sebelumnya jika kau dan Taehyung adalah keluargaku. Akan kulakukan apa pun demi keluargaku, Jungkook.”

        Mendengar ucapan tersebut dengan sangat terpaksa akhirnya Jungkook menerima rencana Suga. Dalam hati dia menjerit. Semoga ini bukan awal dari kehancuran Suga. “Baiklah,” kata Jungkook sambil menghela napas. “Ada satu hal yang ingin kuketahui. Siapa yang akan kau ajak pergi bersamamu?”

        “Yang pasti bukan kau,” jawab Suga cepat.

        Jungkook tidak melayangkan protes ketika mendengar jawaban dari Suga. Entah kenapa dia sudah bisa menebaknya sejak awal.

        “Masalah itu bisa dibahas nanti setelah aku dan Seo Joon Hyung membuat kesepakatan.”

        Menunduk, Jungkook tidak berkata apa-apa lagi selagi dia dan Suga berjalan bersisian dalam kegelapan untuk pulang.

        Setelah keluar dari kegelapan yang ditatapanya pertama kali adalah Suga. Dia baru menyadari sekarang jika pemuda di sampingnya ini begitu baik padanya, hal yang dulu tidak bisa dilihat Jungkook. Timbul rasa sesal dalam hatinya atas sikapnya di masa lalu pada Suga. Ingin rasanya Jungkook berkata betapa beruntungnya Taehyung punya teman yang setia seperti Suga.

        Seberapa pun inginnya dia mengucapkan kata-kata itu, namun mulutnya bagai terkunci hingga dia tetap bungkam. Malam itu Jungkook tidur dalam keadaan gelisah dan ketika terbangun, Suga sudah pergi.

***

        Cerita Seo Joon mengenai anak buah Ketua yang tewas dibunuh setelah mengambil halaman dalam arsip terus mengganggu pikiran V. Tidak masuk akal rasanya jika Ketua membunuh anak buahnya sendiri. Kecuali ada alasan lain hingga Ketua harus berbuat demikian. Sejenak V memikirkan kira-kira alasan apa itu. Sontak pemuda itu tersentak saat mengetahuinya.

        Orang yang tewas itu tampaknya merupakan suruhan orang lain. Mengetahui jika orang itu mencoba membocorkan informasi mengenai dirinya, maka Ketua dengan cepat mengambil tindakan. V duduk tegak seperti patung. Jika apa yang disangkanya ini benar, berarti ada seseorang yang menginginkan informasi dalam halaman yang dicuri itu. Sekujur tubuhnya mendadak merinding. Siapa orang dibalik semua ini? Mengapa dia memerlukan halaman arsip itu?

        “Yang jelas orang itu bukan Seo Joon Hyung,” gumam V sambil mengosok dagunya dengan jari telunjuk.

        Muncul berbagai pertanyaan dalam benaknya yang tidak mungkin akan terjawab. Entah siapa orang itu, yang jelas masalah baru ini cukup membuat kepala V pusing. Namun dirinya tidak bisa menampik rasa penasaran yang muncul dalam hati. Di satu sisi dia ingin menyelidiki siapa kira-kira orang yang mencari dirinya, tetapi di sisi lain ada mata-mata suruhan Ketua yang membatasi ruang gerak V sekarang.

        Mengetahui jika di luar sana ada seseorang yang mencarinya menimbulkan perasaan aneh dalam hati V. Apa yang diinginkan orang itu darinya? Apakah dia Suga? V cepat-cepat menggeleng, rautnya tampak tidak senang memikirkan kemungkinan itu. Mengingat dalam arsip itu ada foto dirinya bersama Suga semakin membuatnya cemas. Entah kenapa V takut jika dugaannya ini benar. Bangkit dari posisi duduk dan berjalan mondar-mandir sambil meremas tangannya, V tidak menyadari jika dirinya mendapat banyak tatapan di sana.

        Perhatiannya teralih ketika Seo Joon memanggilnya. V memasang tampang cemberut pada Seo Joon yang tersenyum padanya, lalu merangkulnya dan mereka duduk bersisian.

        “Dari jauh kulihat sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu.”

        V tidak menanggapinya dan tetap memasang tampang cemberutnya.

        “Kudengar kau dipukuli saat mendapat tugas dari Ketua.”

        “Tidak hanya aku yang dipukuli,” kata V ketus. “Kenapa belakangan ini kau selalu menggangguku?” Kali ini nada V terdengar begitu kesal.

        Seo Joon tertawa kecil, lalu sedetik kemudian rautnya berubah. V bisa melihat kesedihan di mata Seo Joon saat mereka melakukan kontak mata selama tiga detik sebelum Seo Joon menundukkan pandangan. Tatapan sedih Seo Joon tadi sepertinya memiliki arti, namun V tidak memiliki keberanian untuk mencari tahu.

        “Kau masih ingat pada adik Suga yang kau bunuh itu?”

        Untuk satu detik lamanya V merasa jantungnya diremas mendengar pertanyaan Seo Joon. Bagaimana dia bisa lupa pada pemuda itu? Rasa bersalah terkadang masih membayanginya mengingat kejadian itu. Dari sekian banyak orang yang telah dibunuhnya, hanya wajah pemuda itu yang masih diingatnya dengan jelas. Tiba-tiba V merasa sangat sedih dan tidak suka karena Seo Joon telah mengingatkannya pada pemuda itu.

        “Kenapa kau bertanya soal itu? Aku tidak suka membahas apa pun yang berbuhungan dengan Si Berengsek itu.”

        Seo Joon menahan V agar kembali duduk. “Tunggu sebentar. Ada yang mau kuberitahu soal pemuda itu,” kata Seo Joon dengan memelankan suara.

        “Beritahu apa? Dia sudah lama mati, Hyung.”

        “Tidak. Dia masih hidup. Aku melihatnya beberapa hari yang lalu.”

        Keterkejutan tampak begitu jelas di wajah V setelah mendengar perkataan Seo Joon.

        “Kau yakin itu dia?”

        Seo Joon mengangguk cepat. “Kau ingat kerusuhan di klub tempo hari? Dia juga ada di sana.” Seo Joon sempat tertawa saat berkata, “Dia bahkan memukulku.”

        “Tidak mungkin. Seharusnya dia sudah mati, aku sendiri yang....” V kehilangan suaranya. “Aku meninggalkannya tergeletak di pinggir jalan, berlumuran darah, dan tidak bergerak. Bagaimana mungkin dia masih hidup?”

        “Keberuntungan masih berpihak padanya. Untunglah kau tidak membunuhnya,” kata Seo Joon dengan nada penuh syukur.

        “Kenapa? Kau terlihat senang sekali melihatnya masih hidup.”

        “Karena dia adalah ad—” Apa pun yang hendak diucapkan Seo Joon, kata-kata itu ditelannya kembali.

        “Dia apa, Hyung?”

        Seo Joon cepat-cepat berdiri, rautnya tampak gugup. “Kita sambung lain kali. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

        V berteriak kesal, tetapi Seo Joon tidak berbalik dan meninggalkan tempat itu. “Apa lagi ini? Dia mau main teka-teki denganku. Menyebalkan sekali.”

        Kembali duduk, perasaan berasalah V seperti terangkat setelah mendengar ucapan Seo Joon tadi. Dia tidak pernah sesenang ini mengetahui jika musuhnya ternyata masih hidup. Terbesit dalam benaknya untuk mencari pemuda itu, tetapi begitu teringat ada mata-mata yang tengah mengawasinya V mengurungkan niat tersebut.

***

        Seo Joon merasa bersyukur karena ponselnya berdering di saat yang tepat. Tadi itu dia nyaris saja memberitahu V perihal adiknya. Suasana hati Seo Joon mendadak sedih mengetahui jika temannya itu nyaris saja membunuh adik kandungnya sendiri. Jika kelak ingatan pemuda itu kembali, Seo Joon tidak berani membayangkan bagaimana reaksi V mengingat kejadian itu.

        Mengambil ponsel dari dalam saku, melihat nomor tak dikenal muncul di layar ponselnya membuat Seo Joon sedikit was-was. Memperhatikan sekeliling, dengan terburu-buru Seo Joon membuka pintu menuju tangga darurat. Merasa tak ada yang akan mencuri dengar di sini, digesernya tombol hijau di layar ponsel untuk menjawab panggilan tersebut.

        “Siapa ini?” tanyanya lebih dulu.

        “Ini aku, Suga.”

        Raut Seo Joon memucat mendengar nama si penelepon. Sebelum bicara lebih lanjut dia menuruni beberapa anak tangga dengan cepat. “Kau sudah tidak waras ya?! Berani sekali kau menghubungiku.”

        “Kalau bukan karena keadaan, aku juga tidak mau melakukannya.”

        Nada bicara Suga yang terdengar kesal tidak digubris oleh Seo Joon.

        “Jadi, ada maksud apa kau menghubungiku?”

        “Kau pasti sudah tahu apa alasanku. Sekarang biarkan aku yang bertanya. Apakah kau mau membantuku?”

        “Dasar tidak waras,” maki Seo Joon dengan suara yang ditahan. “Kau memintaku membantu—”

        “Bantu aku membebaskan temanku. Namanya Kim Taehyung. Kau mengenalnya, kan?”

        Mendengar nama yang tidak familier tersebut alis Seo Joon berkerut. “Ya! Aku tidak mengenal orang itu. Di sini tidak ada orang bernama Kim Taehyung.”

        “Ayolah, jangan berbohong padaku. Jelas-jelas kau menyimpan fotonya.”

        Foto apa yang dibicarakan Si Berengsek ini? Selama sepuluh detik Seo Joon mencoba mencerna ucapan Suga. Tubuhnya mendadak membeku mengingat sebuah foto yang belum lama ini ditunjukannya pada adik V. Jadi namanya Kim Taehyung. Perasaan haru melanda Seo Joon mengetahui nama asli temannya. Mata sipit pemuda itu tampak memerah dan berkaca-kaca.

        “Halo. Hyung, kau masih di sana?”

        “Orang itu—”

        “Aku tahu kau mengenalnya dan kau mencoba membantunya,” sela Suga. “Aku tidak tahu apa alasanmu melakukan itu. Begini saja, temui aku dan kita bicarakan cara membebaskan Taehyung dari sana.”

        Melihat adanya kesempatan untuk mendapat informasi lebih, Seo Joon tidak pikir panjang dan menyanggupi ajakan tersebut. “Tentukan waktu dan tempatnya. Aku akan datang.”

        Tak lama setelah sambungan telepon terputus, Seo Joon mendapat pesan singkat dari Suga.

        Dia terlihat meninggalkan markas pada sore harinya untuk menemui Suga. Alamat yang dikirim Suga lumayan sulit untuk ditemukan sehingga cukup memakan waktu.

        Memelankan laju kendaraannya begitu dilihatnya seseorang di depan sana memberi sinyal dengan cahaya senter. Seo Joon mematikan mesin mobil dan turun dari mobilnya, tampak duduk di atas kap mobil sambil menunggu Suga menghampirinya. Dia berdiri tegak begitu melihat Suga dari jarak dekat. Seo Joon tidak mampu menyembunyikan seringai melihat teman lamanya itu berdiri di hadapannya.

        Banyak yang berubah dari Suga, catat Seo Joon. Wajah pemuda itu tidak lagi semuram dulu, bahkan Seo Joon sempat mengira jika dia salah mengenali orang. Tetapi orang ini memang Suga. Tampak tersenyum kecil menghiasi wajah Suga namun tidak sama halnya dengan Seo Joon yang memasang tampang datar.

        Seo Joon membiarkan Suga mendekatinya, akan tetapi dia tidak tahu jika tindakan itu malah disesalinya pada detik berikutnya. Dengan gerakan cepat Suga melukai lengan bawahnya lalu mencongkel luka tersebut hingga membuat Seo Joon menjerit. Dahinya mengernyit, tetapi bukan karena menahan sakit melainkan karena melihat seutas wayar tipis dan chip berlumuran darah yang disodorkan ke depan wajahnya.

        Dengar suara bergetar Seo Joon bertanya, “A-apa itu?”

        “Ini pelacak,” kata Suga. Diambilnya batu sebesar kepalan tangan dan menghancurkan chip tersebut.

        “Kenapa benda seperti itu ada di dalam tubuhku? Siapa yang melakukannya?”

        “Jadi kau tidak tahu? Setiap anak buah dan pengawal Ketua memiliki pelacak seperti ini dalam tubuh mereka. Kalian semua diawasi 24 jam. Aku mengeluarkannya agar tidak ada yang melacak lokasimu.”

        Fakta itu cukup membuat Seo Joon tercengang. Sungguh, selama ini dia tidak tahu jika Ketua melakukan hal sepicik ini.

        “Apa pun yang sedang kau pikirkan saat ini, itu bisa dipikirkan nanti. Ayo, aku akan mengobati lukamu baru setelah itu kita bicara.”

        Seo Joon tidak membantah dan membiarkan Suga memapahnya memasuki kompleks gedung yang sudah lama terbengkalai itu. Dalam hati dia memuji kepandaian Suga. Pantas saja selama ini orang-orang yang mengejar Suga tidak pernah berhasil menangkapnya, rupanya orang ini pintar bersembunyi seperti tikus. Tak heran kalau Suga mengeluarkan pelacak itu, siapapun yang tengah mengawasi dirinya, dia yakin orang itu pasti akan mengetahui tempat ini jika Suga tidak menghancurkan pelacak itu.

        Pintu yang dikira Seo Joon tadinya adalah dinding tiba-tiba mengayun terbuka dengan perlahan. Melihat keadaan di balik dinding, sekali lagi Seo Joon memuji kepandaian Suga dalam memilih tempat tinggal. Namun kekaguman Seo Joon segera menguap begitu melihat pemuda yang ditemuinya tempo hari, adik V. Pemuda itu membelalakkan mata saat melihatnya. Terlihat jelas ketegangan melintas di wajah pemuda itu ketika melihat Seo Joon.

        “Kenapa kau membawanya kemari, Hyung?” tanya Jungkook, nadanya terdengar tidak senang.

        “Tenaglah. Tolong ambilkan kotak obat agar aku bisa mengobati lukanya.”

        Jungkook menyeberangi ruangan sambil berlari kecil dan meletakkan kotak obat di atas meja di dekat Suga.

        “Jelaskan apa yang terjadi sekarang. Kenapa dia bisa ada di sini? Orang-orang Ketua pasti sudah melacaknya,” ucap Jungkook sambil berjalan mondar-mandir.

        “Tidak ada yang bisa melacakku sekarang.”

        “Dari mana kau mendapatkan keyakinan seperti itu?” Kali ini nada Jungkook terdengar marah.

        Seo Joon memberi isyarat melalui gerakan kepala dan berkata, “Dia sudah mengeluarkan pelacaknya. Sialan. Kupikir tadi kau mau membunuhku.”

        Suga memberikan tatapan tajamnya pada Seo Joon. “Aku tidak akan membunuh orang tanpa alasan.”

        “Benarkah?” Seo Joon tertawa hambar, merasa tidak yakin dengan ucapan Suga. “Tapi aku merasa akan mati tak lama lagi. Apa lagi setelah mereka tahu pelacakku sudah dihancurkan.”

        “Kau tidak akan mati jika kau membantu Taehyung. Aku akan membantumu agar Ketua dan orang-orangnya tidak bisa menemukanmu. Tinggallah di sini bersama kami. ”

        “Aku tidak mau tinggal bersama kalian. Tempatku di sana bukannya di sini.”

        Suga tidak berucap apa pun setelah mendengar penolakan dari Seo Joon.

        Tatapan Seo Joon beralih pada Jungkook. Ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang disadari Seo Joon sebagai harapan. Biarpun dia telah berkata bohong pada pertemuan mereka sebelumnya, entah bagaimana harapan tersebut tidak luntur, justru sekarang Seo Joon merasa jika harapan kedua orang ini semakin besar.

        “Jangan terlalu berharap aku akan membantu kalian.”

        “Kenapa kau tidak mau membantu kami?!” Bentak Jungkook.

        “Kau mau tahu kenapa? Ketua akan mengutus seseorang untuk membunuhku sebelum kuberitahu semua kebenaran ini padanya. Harusnya aku tidak datang ke sini. Menemui kalian hanya membuang waktuku yang berharga. Harusnya kugunakan waktuku untuk bicara dengannya.”

        Jungkoon menarik kursi dan duduk persis berhadapan dengan Seo Joon. “Apa tidak ada cara lain agar mereka tidak membunuhmu?”

        Sambil tersenyum kecil Seo Joon menggeleng. “Ah, sepertinya aku harus memberitahu kalian soal Choi Jin Hyuk. Jangan mengharapkan bantuan dari Choi Jin Hyuk lagi. Kemarin kudengar jika dia tewas terbunuh.”

        Suga dan Jungkook serempak menundukkan wajah mendengar berita buruk yang disampaikan Seo Joon.

        Selagi tak ada yang memperhatikan, Seo Joon mengeluarkan ponsel untuk mengirim pesan singkat pada V, atau dalam hal ini adalah Taehyung. Tetapi begitu teringat soal pelacak, Seo Joon mengurungkan niat tersebut dan kembali memasukkan ponselnya yang mati ke dalam saku.

        “Jika tidak ada yang mau dibicarakan lagi aku pergi dulu.”

        “Tunggu.” Jungkook berlari mengejar Seo Joon yang sudah sampai di depan pintu. “Kenapa tetap mau pergi jika kau tahu akan mati?”

        Sambil menaruh sebelah tangan bahu Jungkook, Seo Joon berkata, “Memangnya aku bisa apa lagi? Hukuman itu pantas untukku karena tidak bisa membantu temannya sendiri. Sudahlah, aku tidak punya waktu untuk mengobrol denganmu. Tolong bukakan pintunya.”

        Dia buru-buru menaiki anak tangga dan berlari ke mobilnya. Tidak ada waktu, pikirnya. Taehyung harus mengetahui semua kebenaran ini sebelum waktunya habis. Setelah jauh dari lokasi tempat tinggal Suga, Seo Joon baru mengaktifkan kembali ponselnya dan mengajak Taehyung untuk bertemu. Dia tiba lebih dulu di tempat tujuan. Sengaja tidak turun dari mobil karena tidak ingin ada orang lain yang melihatnya.

        Menegakkan punggung ketika tiga mobil menepi di dekat mobilnya. Seo Joon mengawasi ketiga mobil itu, sampai akhirnya beberapa orang turun dari mobil dengan membawa senjata di tangan masing-masing. Tahulah dia jika orang-orang ini adalah utusan Ketua untuk melenyapkannya. Seo Joon tidak menyangka jika Ketua bergerak secepat ini. Itu artinya, dia tidak bisa memberitahu kebenaran yang diketahuinya.

        Apakah semua itu akan dibawa mati olehnya? Dengan mata berkaca-kaca Seo Joon menunggu apa yang akan terjadi padanya.

***

        V sontak menginjak rem ketika didengarnya suara tembakan beruntun tak jauh dari sini. Mematikan lampu mobil, dia kembali melajukan mobilnya dengan pelan hingga sampai di tempat tujuan. V merasa janggal dengan kehadiran tiga mobil lain di tempat dia dan Seo Joon seharusnya bertemu. Dan yang lebih mengherankan lagi, orang-orang yang berada di sana adalah anak buah Ketua.

        Tahu jika situasinya mungkin akan berbahaya, V turun dari mobilnya diam-diam dan mencari tempat untuk mengawasi dari jarak aman. Alangkah terkejutnya V begitu tahu apa yang telah terjadi di sana. Kaca mobil Seo Joon pecah, pada badan mobil tampak lubang-lubang bekas peluru. Ketakutan mencekik leher V memikirkan apa yang terjadi pada Seo Joon. Dari tempatnya bersembunyi dia tidak melihat keberadaan Seo Joon, dan itu semakin menambah ketakutannya.

        V harus menunggu lebih lama sampai para utusan Ketua meninggalkan tempat itu. Setelah mereka semua pergi barulah dia keluar dari tempat persembunyiannya. Hal pertama yang dilakukannya ada mencari Seo Joon. V tercengang, matanya terbelalak melihat keadaan Seo Joon tak sadarkan diri di dalam mobil itu. Tubuhnya miring ke sisi jok di sebelahnya, ada darah, dan tampak luka tembak di beberapa bagian tubuhnya. Membuka pintu mobil dan menarik Seo Joon keluar dari sana, V menempelkan telinga ke dada Seo Joon untuk mencari tahu apakah temannya ini masih hidup atau tidak. Tidak terdengar suara detak jantung, air mata V pun seketika mengalir.

        “Hyung,” panggilnya pelan. Diletakannya kedua tangan di sisi wajah Seo Joon, sampai V menyadari jika ada yang menempel di telapak tangannya, darah.

        Diperiksanya luka tersebut, mengetahui jika peluru telah menembus kepala Seo Joon membuat hati V hancur. Padahal beberapa menit yang lalu dia masih berbicara Seo Joon melalui sambungan telepon. Tapi, kenapa sekarang temannya ini bisa tewas dengan cara seperti ini?

        “Kenapa Ketua melakukan ini padamu, Hyung? Kejahatan seperti apa yang kau lakukan hingga Ketua harus melenyapkanmu.”

        V menduga jika tewasnya Seo Joon berhubungan dengan sesuatu yang ingin disampaikan Seo Joon padanya. Amarah menyelimutinya jika dugaannya ternyata benar. Rupanya Ketua tidak ingin kebenaran apa pun yang diketahui Seo Joon mengenai dirinya terungkap.

        Menunduk, dalam keremangan V menatap wajah Seo Joon cukup lama lalu pergi dari sana.

- 120919 -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top