Chapter 1 : Kehilangan Saudara
Busan, 7 Februari 2016
Hari kelulusan adalah hari yang begitu dinanti Jungkook, hari ini hari terakhirnya datang ke SMA Seongsimbogeon menggunakan seragam sekolah, dan dia ingin segera meninggalkan acara di sekolah. Alasannya, tentu saja karena Jungkook ingin merayakan hari spesial itu bersama saudara laki-lakinya一Taehyung一karena jauh-jauh hari mereka telah membuat rencana untuk merayakannya bersama. Hal lainnya yang membuat Jungkook merasa senang hari ini karena akhirnya dia tidak akan lagi menjadi beban Taehyung.
Karena faktor ekonomi, Taehyung memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih untuk bekerja sepeninggal orangtua mereka. Pada saat itu Jungkook tidak dapat berbuat apa-apa selain menuruti keinginan Taehyung agar dia tetap melanjutkan sekolah. Menyeka sudut mata, teringat bagaimana giatnya Taehyung mencari uang demi dirinya, membuatnya sadar jika dia tidak boleh hanya diam saja. Jungkook membalas kerja keras Taehyung dengan prestasinya di sekolah karena hanya itu yang dapat dilakukannya.
Sekarang masa-masa penuh pengorbanan yang dilakukan Taehyung sudah berakhir. Setelah ini Jungkook berencana pergi ke Seoul untuk mencari pekerjaannya, namun rencana tersebut belum diberitahukannya pada Taehyung. Dia ingin merubah kehidupan mereka dengan menjadi seorang Idol, siapa tahu ada perusahaan agensi yang tertarik pada bakat yang dimilikinya. Memikirkan semua itu membuat Jungkook jadi tidak betah duduk berlama-lama di acara itu.
Begitu Kepala Sekolah mempersilakan mereka untuk meninggalkan acara, Jungkook langsung mengambil tas dan berdiri, mencari-cari keberadaan Taehyung. Aula terlalu ramai hingga dia pun pergi meninggalkan tempat itu. Di luar aula, Jungkook berjalan ke sana-kemari, menoleh, memperhatikan orang yang dilihatnya, namun tetap tidak menemukan saudaranya di antara keramaian. Menundukkan wajah, tersenyum. Jungkook mengerti sekarang, Taehyung tidak datang makanya dia tidak menemukan saudaranya itu di sini.
Walaupun dia sudah lulus sekolah, bukan berarti Taehyung harus berhenti bekerja. Masih ada biaya sehari-hari yang menjadi tanggung jawab pria itu, dan Jungkook tidak boleh egois. Berusaha mengenyahkan perasaan sedih dalam hatinya, toh mereka akan tetap bertemu nanti. Dengan berpikiran demikian, Jungkook melangkahkan kakinya. Diamatinya raut gembira teman-temannya yang lain ketika keluarga masing-masing memberikan ucapan selamat. Sebelumnya dia tidak pernah merasa iri, namun hari ini melihat kebahagiaan orang lain terasa menyakitkan.
Jungkook tidak mengharapkan kehadiran orangtuanya hari ini karena itu hal yang mustahil. Dia hanya ingin Taehyung datang dan mengucapkan selamat. Keinginan sesederhana itu ternyata tidak bisa terkabul untuk orang seperti Jungkook. Mempercepat langkah, di dekat tangga Jungkook menyipitkan mata melihat seseorang yang familier tengah duduk di undakan dasar anak tangga.
Orang itu mendongak, kemudian berdiri sambil mengangkat sebelah tangannya.
"Hyung!" Berlari kecil menuruni anak tangga menghampiri Taehyung, senyum lebar pada wajah Jungkook menampakkan wajah polosnya yang tampak begitu gembira hari itu. "Kupikir kau tidak jadi datang."
Senyum tipis tampak pada wajah Taehyung. "Mana mungkin aku tidak datang. Ini, kan, hari spesial. Selamat atas kelulusanmu."
Masih tetap tersenyum, Jungkook mengangguk-angguk. "Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang. Aku sudah tidak sabar ingin minum soju," ujar Jungkook sambil menggosok-gosok telapak tangannya.
"Hari ini aku akan mentraktir soju dan makanan kesukaanmu."
Untuk menghemat biaya, Taehyung dan Jungkook lebih memilih berjalan kaki menuju tempat makanan yang akan mereka datangi. Sepanjang jalan mereka saling berbincang, melempar lelucon, dan sesekali tampak tertawa bersama. Kurang lebih satu jam berjalan, mereka tiba di kedai sederhana.
"Ah! Pahit," gumam Jungkook setelah menyeruput sedikit isi gelasnya. Rautnya tampak aneh ketika sensasi rasa soju yang baru pertama kali dia minum ternyata jauh dari yang dia bayangkan.
"Habiskan. Buktikan padaku jika kau sudah menjadi pria dewasa sekarang," tantang Taehyung.
Menenggak isi gelasnya dengan cepat, biarpun belum terbiasa, Jungkook sempat menunjukkan seringaian dan berkata, "Lihat, aku sudah menjadi pria dewasa sekarang," katanya, meletakkan gelas kecilnya yang sudah kosong.
Taehyung tertawa, kemudian mengacungkan jempol pada adiknya. "Aku sudah mengumpulkan uang agar kau bisa kuliah."
Perkataan Taehyung sontak mengalihkan perhatian Jungkook dari soju-nya.
"Kau cerdas dan nilaimu selalu bagus, pasti tidak sulit untuk ikut ujian masuk universitas."
Meletakkan gelasnya, ini waktu yang tepat bagi Jungkook untuk mengutarakan keinginannya. "Simpan saja uang itu untuk keperluan lain. Aku tidak akan kuliah."
Raut Taehyung langsung berubah. "Kenapa?"
"Aku berencana pergi ke Seoul dan menjadi idola. Kau tahu, kan, kalau aku punya bakat. Shinwoo memberitahuku jika ada agensi yang akan mengadakan audisi bulan depan. Bagaimana menurutmu, Hyung?"
"Aku lebih suka jika kau melanjutkan pendidikanmu. Rupanya kau sudah punya rencana sendiri. Rasanya tidak mungkin aku melarangmu."
Seketika wajah Jungkook dihiasi senyum lebar. "Terima kasih." Saking senangnya, Jungkook memeluk Taehyung erat sekali. "Kelak, jika aku sudah debut, kau tidak perlu bekerja lagi. Biar aku saja yang mencari uang. Oke?"
"Baiklah," kata Taehyung sambil tersenyum.
Menatap lurus-lurus wajah Jungkook, Taehyung seakan baru sadar jika Jungkook bukan lagi adik kecilnya yang dulu. Ternyata adiknya ini sudah dewasa. Itu membuatnya terharu.
Malam beranjak larut ketika Taehyung dan Jungkook meninggalkan kedai seusai merayakan hari kelulusan Jungkook. Rupanya pengaruh soju yang diminum Jungkook tadi mulai terasa. Kepalanya pusing, pandangannya berputar-putar, jadi dia mencengkeram lengan jaket Taehyung sambil berjalan agar tidak jatuh, bilang jika soju membuat jalanan jungkir-balik dan bergoyang ke sana kemari. Taehyung tertawa, tidak hanya Jungkook yang merasakan demikian. Malam ini dia terlalu banyak minum saking senangnya sang adik sudah lulus SMA.
Biarpun langkah mereka sempoyongan, kedua bersaudara itu tampak riang. Mereka bernyanyi dan tertawa sepanjang jalan, tidak memedulikan ketika seorang paman meneriaki mereka berdua karena membuat keributan saat tengah malam.
Tepat di ujung belokan, lima orang pria memperhatikan tingkah pola kedua saudara tersebut. Tampaknya sesuatu yang jahat telah mereka rencanakan ketika melihat Taehyung dan Jungkook. Salah satu dari lima orang tadi membuang puntung rokok dan menginjakknya, senyum seringai semakin membuat tampangnya bertambah jahat. Dia menghampiri Taehyung, tanpa basa-basi mendorongnya dengan keras hingga menyebabkan Taehyung terjatuh ke belakang.
Terkejut, raut Jungkook tampak panik sekaligus bingung. Biarpun sedikit mabuk, instingnya mengatakan jika dia dan Taehyung harus segera menyingkir dari situasi ini. Berniat membantu Taehyung berdiri, tiba-tiba pukulan menyasar ke wajahnya. Rasa sakit membuat Jungkook sempat kehilangan orientasi, sedetik kemudian dia mendengar Taehyung menyebut namanya sambil berteriak. Berdiri dengan cepat, berlari ke arah Taehyung, namun langkah Jungkook dihadang oleh dua orang yang tampaknya merupakan teman dari orang yang mendorong Taehyung tadi.
"Minggir," kata Jungkook, rautnya tampak tidak senang. Karena tak juga diberi jalan, Jungkook mendorong kedua orang itu.
Tindakan Jungkook tersebut menyulut amarah kedua berandalan itu. Tanpa bisa mengantisipasinya, kepalan tinju mengenai perut Jungkook. Dia jatuh berlutut sambil memegang perutnya, mengerang. Kemudian satu dari dua orang tadi memaksanya berdiri. Seakan belum cukup, Jungkook mendapat hadiah tamparan yang membuat sisi wajahnya panas dan perih.
"Masih bocah tapi sikapmu tidak sopan," ujarnya, sambil memiting kedua tangan Jungkook ke belakang pungung. "Tampaknya kau perlu diajari sopan satun."
Jungkook melihat aba-aba dari orang memukulnya, kemudian tiga orang yang mengelilingi Taehyung memukul dan menendang Taehyung tanpa ampun.
"Hentikan!" Teriak Jungkook, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Orang-orang itu tidak mendengarnya, malah tampaknya mereka begitu menikmati tindakan keji tersebut. Bahkan tak ada satu pun dari mereka yang merasa iba melihat Taehyung sudah babak belur dan tak sadarkan diri saat itu.
Tidak tahan menyaksikan penyiksaan terhadap Taehyung, Jungkook pun berontak. Dia berhasil melepaskan diri, kemudian dia mencari sesuatu untuk mengonfrontasi para berandalan itu. Hanya ada batu kerikil sebesar telur di sana. Jungkook memungutnya dengan cepat, kemudian melemparkan batu tersebut. Lemparannya sungguh jitu, dua orang yang menahannya tadi masing-masing mengerang kesakitan sambil menekan luka berdarah di dahi mereka.
Aksinya tadi memancing perhatian berandalan yang lain. Berbalik badan sebelum dirinya berhasil ditangkap, Jungkook berlari sambil meminta tolong, namun teriakannya tidak membuat satu orang pun keluar dari rumah untuk menolongnya. Sementara tiga orang masih mengejarnya, Jungkook berbelok ke gang kecil gelap lalu terjatuh karena tersandung sesuatu. Rupanya tumpukan balok bekas yang membuatnya terjatuh. Entah kenapa dia merasa beruntung menemukan benda seperti ini pada situasi sekarang.
Mengambil salah satu balok ketika mendengar suara orang-orang yang mengejarnya, Jungkook keluar dari gang tadi dengan balok tergenggam dalam tangannya. Untuk beberapa saat dia membatu di sana, mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi orang-orang itu. Dia harus mengakhiri semua ini dengan cepat.
Terkesiap, salah satu dari tiga orang tadi menemukan Jungkook. Refleks, Jungkook mengayunkan balok di tangannya. Satu orang jatuh setelah rusuknya kena hantam, kemudian datang orang kedua ingin meninjunya, Jungkook menghindar dengan posisi membungkuk, lantas berbalik badan untuk memukul orang tadi. Suara benturan antara permukaan balok dan kepala orang tadi sempat membuat Jungkook tersadar dan merasa iba.
Namun mengingat bagaimana orang ini menghajar saudaranya tanpa rasa kasihan membangkitkan amarah Jungkook. Perasaannya yang campur aduk saat itu, membuat air mata Jungkook jatuh. Beberapa saat lalu dia dan Taehyung baru saja bersenang-senang merayakan kelulusannya, lantas sekarang, dirinya terjebak dalam situasi seperti ini. Datangnya dua orang lagi mengharuskan Jungkook melupakan kesedihannya. Sambil berteriak, dia maju sambil menggenggam baloknya erat-erat.
Kali ini serangan Jungkook tidak sempat mengenai kedua orang itu setelah dirinya mendapat tendangan yang mengenai dada. Mengerang sambil memegang dadanya yang nyeri, tatapan tajam Jungkook yang menyiratkan amarah tersebut tampak tidak bersahabat. Dia sudah membulatkan tekad dan tidak akan menyerah sebelum mengalahkan mereka semua, jadi Jungkook bangkit.
Dia mencoba sekali lagi untuk menyerang walaupun lagi-lagi berhasil dijatuhkan. Wajahnya berdarah-darah, seragam sekolahnya kotor, namun Jungkook tetap tidak akan menyerah. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Jungkook berdiri, melangkah tertatih untuk kembali menyerang.
"Sebaiknya kau pergi dari sini dan tinggalkan Hyung-mu yang tidak berguna itu. Kami masih punya urusan dengannya."
"Bicara apa kau," kata Jungkook sambil menyeringai.
Salah satu dari dua orang tadi menghampiri Jungkook, kemudian mencengkeram kerah kemeja Jungkook. "Kami tidak punya urusan denganmu, Anak Muda. Selagi Ketua masih mengasihani nyawamu, cepat sana pergi."
Ini kesempatanku. Jungkook mendorong orang tadi, melakukan tendangan memutar, kemudian menghantamkan balok kayunya pada orang tersebut hingga pingsan.
Dia bagaikan kesetanan ketika menghajar sisa kawanan tadi. Kesakitan yang dirasakan berubah menjadi kekuatan, membutakannya pada rasa sakit di sekujur tubuhnya. Napas Jungkook putus-putus ketika membuang balok kayunya. Tatapannya nanar, namun dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tiba di tempat Taehyung tergeletak, saudaranya masih di sana, meringkuk seperti udang di jalanan yang dingin. Jungkook menghampiri, merubah posisi Taehyung menjadi terlentang, hingga dia dapat melihat jaket putih milik Taehyung berlumuran darah.
"Hyung!" Suara Jungkook tercekat, air mata menggenang di pelupuk matanya.
Membuka matanya yang berat, menemukan adiknya di sana, Taehyung langsung tersenyum. "Syukurlah kau baik-baik saja. Mereka tidak menyakitimu, kan?"
Sambil menahan tangis, Jungkook menggeleng. "Aku akan membawamu ke rumah sakit. Mereka akan mengobatimu di sana. Ayo," kata Jungkook, berusaha menggendong Taehyung ke punggungnya.
Taehyung menggeleng, kemudian berkata, "Pergilah."
Seketika Jungkook membatu. Dia menoleh, air matanya pun jatuh. "Apa? Kenapa aku harus pergi?"
"Mereka bukan orang sembarangan. Jungkook, tolong dengarkan aku, pergilah. Sebentar lagi Suga Hyung akan tiba di sini dan membawamu. Ceritakan apa yang terjadi padaku, dia pasti membantumu."
Jungkook menggeleng-geleng tanda tidak mau. "Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu di sini."
Taehyung mengerang, darah yang terus mengalir dari luka di perutnya nyaris membuatnya hilang kesadaran. "Mereka akan membunuhmu juga jika kau masih di sini. Lebih baik aku saja yang mati." Seulas senyum tampak pada wajah pucat Taehyung. "Sudah tugasku untuk melindungimu. Kau harus tetap hidup dan raihlah cita-citamu. Mengerti?"
"Tidak. Kita akan pergi bersama-sama."
Merogoh saku jaketnya, Taehyung memberikan ponselnya pada Jungkook.
Terdengar suara langkah kaki. Dengan penuh antisipasi, Jungkook berbalik badan, menanti entah siapa yang mendekati tempat itu.
Seorang pria dengan tudung jaket menutupi rambutanya mendekat, kemudian berlutut di dekat Taehyung. Jungkook menduga jika orang inilah yang bernama Suga. Dilihat dari caranya menggenggam tangan Taehyung yang dilumuri darah, tampaknya hubungan mereka sangat dekat. Jungkook tidak mengenal orang ini, namun setelah melihat bagaimana interaksinya dengan Taehyung, rasa curiganya pun lenyap.
"Hyung, bawa Jungkook pergi dari sini sebelum mereka datang," gumam Taehyung dengan mata setengah terpejam. "Tolong selamatkan adikku."
Suara pelan Taehyung tersebut membuat air mata Jungkook kian mengalir. Ditatapnya Taehyung berlama-lama, kemudian dia sadar jika saudaranya itu tidak bergerak lagi. Kepalanya terkulai ke sisi kiri dan itu terasa menusuk Jungkook.
"HYUNG," teriak Jungkook.
Namun Suga tidak bisa membiarkan Jungkook terus meratap di sana. Dia menarik paksa anak muda itu untuk meninggalkan tempat itu. Tak hanya Jungkook, Suga pun terpukul atas kematian teman baiknya yang tragis, sekaligus merasa bersalah. Untuk saat ini dia harus melupakan rasa bersalah itu dan menyelamatkan adik Taehyung.
Sambil mencengkeram lengan Jungkook, Suga memaksa Jungkook untuk berlari meninggalkan tempat itu. Mereka berhenti berlari ketika Jungkook menyentak tangan Suga dari lengannya.
"Aku harus kembali ke sana."
"Tidak, Jungkook. Mereka bisa menangkapmu jika kau kembali. Aku tidak bisa membiarkannya," tukas Suga.
"Taehyung Hyung masih di sana! Kita tidak boleh membiarkannya!" Teriak Jungkook.
Dengan terpaksa Suga memutar kedua tangan Jungkook ke belakang punggung, tetapi Jungkook berontak. Geram dengan tingkah Jungkook, Suga melayangkan tinjunya hingga menyebabkan Jungkook jatuh tersungkur.
"Apa kau belum mengerti?! Taehyung sudah mati. Tidak ada gunanya kau kembali sana."
Menyeka air matanya dengan cepat, Jungkook yang tidak terima dengan perkataan Suga segera berdiri. "Dia belum mati. Jika kau tidak mau membantu, aku bisa melakukannya sendiri."
"Jangan bertindak bodoh. Pergi ke sana sama saja dengan mengantarkan nyawamu sendiri." Mengusap wajahnya, Suga tampak frustrasi menghadapi Jungkook yang keras kepala. "Kau tidak tahu betapa berbahayanya orang-orang ini. Mereka tidak akan mengampunimu jika kau tertangkap."
"Memangnya siapa mereka? Dan kenapa mereka membunuh Hyung-ku?" tanya Jungkook, suaranya parau.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini terlebih dahulu. Nanti kuceritakan semuanya."
Dari semua tempat, mereka berdua berakhir di rumah keluarga Kim. Jungkook mengemas pakaian ke dalam tas dan beberapa barang yang hendak dibawa. Selesai dengan barang bawaannya, dia memasuki kamar Taehyung, membuka lemari pakaian dan mengambil kotak kayu dari sana. Waktu itu Taehyung pernah berpesan, jika terjadi sesuatu menimpa Taehyung, Jungkook harus membawa semua isi kotak tersebut. Kotak kayu itu berisi uang, Jungkook tidak tahu pasti berapa jumlahnya, yang pasti uang ini sangat banyak.
Ini pasti hasil kerja kerasmu.
Mengangkat pandangan, ketika menatap bingkai foto dirinya bersama Taehyung, tangis Jungkook tak bisa ditahan lagi. Dia menundukkan wajah, menangis sesunggukan. Sulit menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Satu-satunya keluarga yang dia punya pun sekarang sudah pergi meninggalkannya. Jungkook bingung harus bagaimana menjalani kehidupannya setelah ini.
Kejadian ini seakan tidak nyata, jika semua ini adalah bagian dari mimpi buruk, dia ingin cepat-cepat bangun dan bertemu Taehyung. Menoleh ketika seseorang merangkulnya, mau tidak mau Jungkook harus menerima kenyataan yang pahit ini, bahwa Taehyung sudah tiada.
"Kita tidak punya banyak waktu," kata Suga, raut wajahnya tampak sangat tegang.
"Kau mau membawaku kemana?"
"Yang jelas, jauh dari Busan. Aku punya kenalan di Seoul, untuk sementara kita akan tinggal di sana."
"Setelah itu?" tanya Jungkook lagi, nadanya dingin.
"Kita pikirkan itu nanti. Sebaiknya kita pergi dulu dari sini."
Sebelum meninggalkan kamar, Jungkook mengambil jaket bertudung berwarna hitam kesayangan Taehyung dan memakainya. Dia mengikuti Suga tanpa berkata apa pun, bahkan tidak bertanya sama sekali ketika Suga membawanya ke gedung terbengkalai tak jauh dari tempat pelelangan ikan. Jungkook ikut masuk ke dalam salah satu ruangan dalam gedung itu.
Tempat itu minim cahaya, satu-satunya sumber penerangan adalah cahaya bulan yang masuk dari tempat yang dulunya adalah jendela. Cat dindingnya telah mengelupas, bahkan ada bekas lumut di beberapa tempat. Ruangan tersebut ditata lumayan rapi. Di dekat pintu masuk ada ruangan kecil yang tampaknya disulap menjadi kamar Suga.
Tak banyak barang di sana, hanya ada meja dan satu sofa panjang di seberang ruangan. Jika mengintip ke dalam kamar Suga, tak ada lemari pakaian, semua pakaian Suga tertumpuk sembarangan di sudut lain ruangan ini. Rupanya tempat mengerikan itu adalah tempat tinggal Suga selama ini.
Tak peduli dengan reaksi Jungkook ketika melihat tempat tinggalnya, Suga menghempaskan diri ke atas sofa bututnya, tampak tengah memikirkan sesuatu.
"Sekarang, kau bisa memberitahu siapa orang-orang itu." Jungkook memulainya, tanpa repot-repot harus duduk terlebih dahulu.
"Dua tahun yang lalu, aku datang ke Busan untuk melarikan diri dari mereka," kenang Suga.
Dahi Jungkook berkerut. "Kenapa kau harus melarikan diri?"
"Orangtuaku berutang pada mereka. Karena tidak sanggup membayar, mereka membunuh orangtuaku. Nyawa orangtuaku belum cukup untuk membayarnya. Jadi, sebagai gantinya, aku harus bekerja dengan mereka. Menjual narkoba, membunuh orang, dan pekerjaan kotor lainnya. Aku muak dengan semua itu dan ingin berhenti, tetapi mereka tidak menginginkan itu."
Senyum seringai tampak pada wajah Suga. "Mereka bilang, sebagai seorang pembunuh, kerjaku cukup bagus. Berengsek. Mereka kira nyawa orang lain tidak berharga, dan mereka terus memerintahku untuk membunuh orang lain," gumam Suga sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Apa hubungannya dengan Hyung-ku?"
"Tiga bulan yang lalu, Taehyung mengajakku pergi ke Seoul, sialnya kami bertemu dengan beberapa orang itu. Mungkin mereka mengira jika aku memberitahu Taehyung tentang kejahatan mereka selama ini."
"Apakah dia tahu?"
Suga menggeleng, rautnya tampak begitu sedih. "Tidak. Dia hanya tahu jika aku pernah menjadi penjahat." Biarpun terasa berat, Suga menatap mata Jungkook yang berkaca-kaca. "Orang yang pertama kali menawarkan bantuan padaku setelah tiba di sini adalah Taehyung. Berkat dia, aku punya kehidupan baru di sini. Taehyung一"
"Kau membiarkan nyawanya direnggut," sela Jungkook. Wajahnya kembali basah dengan air mata. "Kau tidak berbuat apa-apa, padahal masih ada kesempatan untuk membawanya pergi dari sana. Kau membiarkannya mati. Kau penyebab kematiannya."
Memalingkan wajah, mendengar tiga kata terakhir Jungkook seolah-olah ada pisau yang menusuk dadanya. "Kau benar, semua ini karena salahku. Sampai kapan pun, rasa bersalah atas kematian Taehyung akan menghantui seumur hidupku. Kau berhak menyalahkanku atas apa yang sudah terjadi. Sebagai gantinya, aku akan melindungimu. Mereka pasti mengejarmu juga sekarang."
"Aku tidak membutuhkan perlindungan darimu. Aku bisa melindungi diriku sendiri," tukas Jungkook. Kemudian bergegas meninggalkan ruangan tersebut.
"Bagaimana jika ini adalah keinginan terakhir saudaramu?"
Langkah Jungkook langsung terhenti. Sorot matanya ketika menoleh ke arah Suga tampak menyiratkan duka yang begitu besar.
"Sepertinya dia sudah punya firasat akan meninggalkanmu. Tempo hari, Taehyung berpesan agar aku menggantikan..." Perkataan Suga tertahan sejenak, tenggorokkan tercekat ketika dia hendak mengucapkan kata terakhir dari pesan Taehyung. "Posisinya."
"Sampai kapan pun, tak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi Taehyung Hyung, termasuk kau," ucap Jungkook.
"Aku tahu. Tapi ini adalah keinginan terakhirnya."
"Tetap saja kau tidak akan bisa menjadi saudara untukku."
Seketika Suga berdiri, menghampiri Jungkook yang berdiri di ambang pintu. "Begini saja, tidak peduli dengan pesan terakhir Taehyung, untuk sementara tinggallah bersamaku. Besok kita tetap pergi ke Seoul, setelah situasinya aman, kau boleh kembali ke sini."
"Bagaimana jika situasinya tidak sesuai dengan perkiraanmu?" tanya Jungkook, rautnya masih tampak kesal.
Sambil tersenyum, Suga membuat gerakan mengusap hidungnya dengan jari telunjuk dan berkata dengan enteng, "Aku akan kembali pada mereka. Itu satu-satunya cara agar kau tetap aman."
"Apa? Kau tidak bisa一"
Memasang headset di telinganya, Suga berbalik badan, mengunci pintu kamarnya.
Jujur, Jungkook tidak mengerti sepenuhnya dengan ucapan Suga tadi. Menjatuhkan tas, dia memutuskan untuk duduk dan memikirkan kata-kata Suga. Kembali pada mereka, itu artinya Suga kembali ke kehidupannya yang dulu, menjadi penjahat. Jungkook masih ingat percakapan mereka jika Suga tidak ingin menjalani kehidupan seperti itu, makanya dia harus melarikan diri dan akhirnya bisa memulai hidup yang lebih baik di sini.
Setelah semua yang dialami Suga selama ini, Jungkook tersadar jika Suga berencana mengorbankan diri. Setelah sampai pada gagasan tersebut, perasaan Jungkook menjadi tidak menentu. Situasinya tidak mungkin semudah itu, renung Jungkook. Bisa saja Suga dibunuh atau mengalami penyiksaan yang berat saat kembali pada mereka. Menggeleng-gelengkan kepala dengan gusar, Jungkook berdiri lantas menggedor pintu kamar Suga.
"Kau tidak bisa melakukan itu! Mereka akan membunuhmu jika kau kembali!" Teriak Jungkook. "Ya! Buka pintunya!"
Menggigit bibirnya, memikirkan bagaimana nasib Suga membuat perasaan Jungkook hancur. Seseorang akan mati sia-sia agar dia mendapat kehidupan yang tentram, dan dia tidak rela jika itu benar-benar terjadi. Sambil menggedor pintu, sesekali Jungkook menyeka matanya yang basah. Rasanya dia tidak akan sanggup menerima keputusan Suga tersebut. Dia tidak akan sanggup harus melihat orang lain mati sia-sia seperti Taehyung. Sambil menangis, Jungkook melangkah lesu menuju sofa, berbaring dengan posisi meringkuk.
Lelah karena menangis sepanjang malam, menjelang pagi Jungkook baru tertidur dengan mimpi buruk mengisi tidurnya. Apa yang menimpa Taehyung harus kembali disaksikannya dalam mimpi, ditambah dengan adegan pembunuhan Suga yang terjadi tepat di depan mata kepalanya sendiri. Jungkook terbangun setelah Suga membangunkannya.
Dia mendapati kedua matanya basah, tampaknya dia tidur sambil menangis karena mimpi buruk tadi. Ketika Suga menanyakan keadaannya saat itu, Jungkook segera memalingkan wajah, tidak ingin wajahnya yang kacau dilihat oleh Suga.
"Cepat mandi. Kita harus segera meninggalkan Busan."
Menoleh ke arah bekas jendela untuk melihat langit, matahari belum terbit saat ini. Tanpa berkata apa-apa, Jungkook melakukan apa yang dikatakan Suga.
Mereka melangkah terburu-buru meninggalkan tempat tinggal Suga menuju stasiun kereta. Tak ada percakapan apa pun ketika kereta meninggalkan stasiun. Selama di perjalanan, Jungkook yang mengenakan topi hanya menunduk. Saat ini pikirannya sedang kacau, terkadang bertanya-tanya kenapa semua ini bisa terjadi, namun terkadang dia ingin marah.
Sempat beranggapan jika dunia ini kejam dan begitu tidak adil padanya. Jungkook sangat menyayangkan apa yang telah terjadi pada Taehyung, dan itu membuat rasa bencinya pada Suga semakin bertambah. Jika Taehyung tak berbaik hati menolong Suga, sudah dapat dipastikan jika Taehyung masih hidup saat ini.
Menoleh ke samping ketika Suga menyentuh lengannya, Jungkook menatap tajam pada Suga yang menyodorkan roti lapis untuknya, kemudian melengos.
"Setidaknya makan sedikit," bujuk Suga.
Jungkook bergeming.
"Dengar, Jungkook, apa pun yang kau rasakan sekarang, aku pun merasakannya. Taehyung bukan hanya seorang teman, tapi keluargaku. Jika kau terus bersikap seperti ini, aku akan semakin bersalah pada Taehyung."
Menatap mata Suga, raut Jungkook tampak dingin. "Jika kau merasa bersalah padanya, tetaplah hidup agar aku bisa terus membencimu. Jangan berpikir untuk mengorbankan diri demi kehidupanku." Merubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan Suga, kemudian dia menambahkan, "Mereka akan membunuhmu juga jika kau kembali ke sana. Aku tidak akan senang jika kau terbunuh juga."
Tiba-tiba Suga tertawa. "Kau berpikir sampai sejauh itu? Ternyata kau cukup pintar."
"Berhenti tertawa! Aku serius, Hyung."
Tawa Suga terhenti, rautnya seketika berubah. "Tadi kau memanggilku Hyung?"
"Kenapa? Tidak boleh? Usiamu jauh lebih tua dariku."
"Tentu saja boleh. Aku hanya...." Suga tak bisa menyelesaikan ucapannya. Sebagai gantinya, dia hanya tersenyum. "Makan ini jika nanti kau lapar," kata Suga sambil menjejalkan roti lapis tadi ke tangan Jungkook.
***
Raut Jungkook masih cemberut ketika kereta tiba di Seoul. Roti lapis pemberian Suga ditinggalkannya di bangku penumpang saat keluar dari kereta. Dia mengikuti Suga hingga keluar dari stasiun, menunggu taksi sekitar lima belas menit, kemudian mereka meninggalkan stasiun.
Ini kali pertama bagi Jungkook menginjakkan kaki di Seoul, dia merasa asing di kota ini, pesimis sendiri apakah dia bisa tinggal di kota ini untuk waktu yang lama. Padahal kemarin dia mengutarakan niatnya pada Taehyung untuk pergi ke Seoul demi mengikuti audisi di salah satu agensi, namun setelah sampai di Seoul, Jungkook merasa aneh. Sepanjang jalan Jungkook hanya menatap deretan gedung dan toko, sama sekali tidak berminat untuk memulai percakapan dengan Suga yang duduk di sampingnya.
Dua orang asing berada di kota yang asing pula, Jungkook tidak menyukai pikirannya tersebut. Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba taksi yang mereka tumpangi berhenti. Sempat mengamati sejenak keadaan di luar sebelum turun dari taksi, mau tidak mau Jungkook harus ikut dengan Suga.
Tempat tinggal barunya merupakan apartemen kumuh, setidaknya Jungkook beranggapan demikian setelah melihat tampilan luar gedung. Tidak ada lift, jadi mereka menapaki anak tangga hingga ke lantai tiga. Tiba di lantai tiga, Jungkook memperhatikan Suga tengah berbicara melalui ponselnya, tak lama berselang, muncul seseorang yang menghampiri mereka一atau lebih tepatnya menghampiri Suga.
"Suga! Lama tak bertemu," kata pria tersebut sambil menepuk pelan bahu Suga. "Jadi, kau akan menetap di Seoul lagi?"
Suga tersenyum tipis. "Entahlah. Aku punya sedikit masalah di Busan, jadi untuk sementara aku akan tinggal di Seoul."
Mendengar Suga mengatakan sedikit masalah pada temannya, membuat Jungkook berang. Seakan-akan peristiwa yang menimpanya dan kematian Taehyung tidak ada artinya bagi Suga. Hal itu semakin menambah rasa benci Jungkook pada Suga.
"Ini kunci apartemen, kunci mobil beserta surat-suratnya. Sebelum meninggalkan Seoul, Dong Woo berpesan agar aku memberikan itu jika bertemu denganmu."
"Terima kasih," ujar Suga.
"Mobilnya terparkir di belakang gedung. Apa perlu kuantar ke apartemenmu?"
"Tidak perlu, terima kasih. Kalau begitu kami permisi." Suga memberi isyarat agar Jungkook mengikutinya.
Mereka menaiki anak tangga menuju lantai lima. Di depan pintu bernomor 505, Suga membuka pintu, kemudian mereka masuk. Sementara Suga melihat-lihat apartemen, Jungkook berdiri mematung di dekat pintu.
"Sepertinya ada beberapa barang yang harus kubeli. Aku akan segera kembali," ujar Suga sambil lalu.
Jungkook masih berdiri sambil menenteng tasnya, enggan meletakkan tas tersebut di atas lantai berdebu. Dia terbatuk beberapa kali, kemudian melangkah ke dapur dan membuka pintu geser menuju balkon agar udara masuk ke dalam. Atas inisiatif sendiri, Jungkook membersihkan tempat itu. Pertama-tama ditampungnya air dalam ember kecil, kemudian membersihkan perabotan yang berdebu, menyapu, dan mengepel lantai.
Setelah melihat hasil pekerjaannya, Jungkook merasa heran dengan dirinya sendiri. Pasalnya dia bukanlah pria yang gila akan kebersihan, kamarnya sendiri bisa dibilang paling kotor dibandingkan dengan kamar Taehyung. Namun apa yang dilakukannya di tempat ini, dia baru saja membersihkannya. Bukan untuk menyenangkan Suga, renung Jungkook. Dia melakukannya karena memang mau.
Hanya ada satu kamar di apartemen kecil ini, jadi Jungkook akan membiarkan kamar tersebut untuk ditempati Suga. Dia meletakkan tas di kamar, tidak berpikiran untuk menyusun pakaiannya di dalam lemari. Toh dia hanya tinggal sebentar di sini, mungkin paling lama seminggu.
"Jungkook! Jungkook!" Teriak Suga.
Bergegas meninggalkan kamar, raut Jungkook tampak panik ketika menghampiri Suga. "Ada apa? Mereka menemukanmu?"
"Ya ampun, kupikir kau kabur."
Seketika raut Jungkook tampak cemberut. "Aku hanya meletakkan tas di kamar dan melamun sebentar. Harusnya kau tidak perlu bereaksi berlebihan seperti itu."
"Maaf," kata Suga sambil mengusap belakang lehernya. "Tadi aku membeli Jajangmnyeon. Ayo kita makan."
"Aku tidak lapar," ucap Jungkook cepat.
"Sejak pagi kau belum makan apa pun, kalau begini terus kau bisa sakit."
"Jangan cemaskan hal itu."
"Tolong jangan mulai lagi, Jungkook! Sekarang kau tinggal bersamaku. Ingat, kan, kalau Taehyung memintaku untuk menjagamu?"
"Jangan sebut namanya!" Seru Jungkook, nadanya mengancam. "Kau tidak pantas menyebut-nyebut namanya."
"Baiklah, aku tidak akan menyebut nama Tae一" Suga merasa amarahnya akan meledak saat itu juga. Diletakannya bungkus Jajangmyeon di atas meja, sorotnya tajam ketika menatap Jungkook. "Agar kau bisa terus membeciku, setidaknya kau harus selalu sehat. Jangan biarkan tubuhmu jadi lemah. Ingatlah bahwa kau harus terus membenciku." Setelah itu Suga masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top