Chapter 6: Sick

Meninggalkan ibu kota, rombongan prajurit itu mulai melewati desa-desa sekitar ke arah selatan. Kondisi desa-desa itu sama sepinya seperti wilayah pelabuhan yang ada di utara kerajaan. Bahkan mungkin jauh lebih memprihatinkan. Bangunan kosong terbengkalai penuh semak belukar sering ditemui, jalanan kosong hanya diisi daun-daun kering yang berserakan. Pintu dan jendela langsung ditutup ketika para ksatria melewati rumah-rumah yang masih berpenghuni. Tidak ada sorakan, atau sekadar sambutan ramah.

Beberapa orang tampak melihat barisan prajurit yang lewat itu dari kejauhan, bersembunyi di balik bangunan-bangunan kosong yang sudah setengah rubuh. Banyak di antaranya adalah anak-anak atau gelandangan berbaju compang-camping. Tatapan mereka sendu, seolah tidak ada lagi masa depan yang bisa dijalani lagi.

Tobias terkadang bertatap mata dengan orang-orang itu. Pandangan kosong mereka membuatnya tidak nyaman. Meski ekspresi itu sudah sering dia temui di tempat-tempat lain yang sedang dilanda perang, tetapi Tobias tetap tidak bisa merasa terbiasa. Menurutnya, tidak ada yang perang yang membawa kebahagiaan. Bahkan pihak yang menang pun pasti akan mengalami banyak kehilangan. Apa lagi orang-orang marginal seperti mereka. Keputusasaan adalah sahabat karib. Mereka dipaksa bersahabat dengan kematia.

Akan tetapi, Tobias tetap harus berada di sana. Menyaksikan setiap sedu sedan itu, dan merekam kisah nyawa-nyawa yang melayang. Kalau saja dia bukan seorang sejarawan, dia pernah berpikir demikian di masa-masa awalnya menjalankan peran tersebut.

"Kenapa kau memilih menjadi sejarawan sihir?" Sekonyong-konyong Liam bertanya seolah bisa membaca pikiran Tobias. Mereka sedang berjalan melewati segelintir gelandangan bertubuh kering kerontang yang tersaruk diam di pinggir jalan. Tatapan Liam dan Tobias tertuju pada para gelandangan itu, dan pemandangan tersebut sepertinya membangkitkan sisi kemanuiaan mereka.

"Entahlah. Awalnya itu terjadi begitu saja, karena aku kebetulan ditemukan oleh guruku yang juga seorang sejarawan. Mau tidak mau aku dididik untuk mewarisi kemampuannya," ujar Tobias sambil menatap nanar, sedang mengenang masa lalu.

Liam tampak mendengkus. "Bukankah melelahkan melihat perang demi perang terus menerus?" tanya pemuda itu gamang, seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.

Tobias melirik ksatria itu. Sebagai tentara bayaran, tentunya Liam juga mengalami hal yang hampir serupa dengan Tobias. Bahkan mungkin lebih ekstrim karena dia benar-benar harus ikut berperang dan mengorbankan nyawanya. Tidak ada markah sejarawan sihir yang akan menjamin hidupnya di tengah medan pertempuran. Mungkin karena itu, sang ksatria muda tersebut tampak semakin gugup ketika melihat kondisi desa-desa di selatan yang sudah hidup segan, mati pun tak hendak.

"Seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan tujuanku menjadi sejarawan sihir. Aku menuliskan sejarah sebagai pelajaran bagi generasi selanjutnya. Agar hal-hal buruk yang sudah dilakukan para pendahulu mereka tidak terulang lagi. Agar peperangan dan perpecahan bisa dihindari. Dan mungkin, tidak akan ada lagi rakyat yang menderita karena nafsu segelintir orang saja," kata Tobias kemudian.

"Memang menyesakkan berada di tengah pertempuran terus menerus. Rasanya hidup seperti selalu terancam, dan kematian mengintai seolah bisa menerkam kita kapan saja. Tapi setidaknya, kita bisa berharap peperangan bisa segera berakhir dan kedamaian mungkin akan datang di masa depan kalau kita bisa tetap hidup dan menjadi saksi dari kengerian tersebut," lanjut Tobias mencoba menghibur walau kata-katanya terdengar retoris.

Liam menarik napas panjang sambil tersenyum tipis. "Orang-orang suka sekali memberi makna pada apa pun yang mereka lakukan. Bahkan jika tindakan mereka sudah menghilangkan nyawa orang lain. Bukannya aku menyesal menjadi ksatria. Ini jalan hidup yang kupilih sendiri. Tapi, semakin banyak darah yang melumuri tanganku, beban nyawa orang-orang yang mati itu lama-lama menghantui," ujarnya nanar.

Tobias tidak bisa menyalahkan ucapan Liam. Ksatria itu masih muda dan tampaknya sedikit naïf. Meski begitu, ucapan Liam sedikit kontradiktif dengan keputusannya menjadi prajurit bayaran. Berbeda dengan prajurit kerajaan yang bertempur untuk memperjuangkan tanah airnya, prajurit bayaran biasanya berperang demi uang. Hal itu menggelitik Tobias untuk mencari tahu lebih banyak.

"Kenapa kau menjadi ksatria bayaran?" tanya pemuda itu akhirnya.

Liam mengerling Tobias sambil tersenyum sendu. "Dulunya aku kadet muda di negeri utara. Kerajaan kecil. Tapi sebelum aku benar-benar diangkat sebagai ksatria, kampung halamanku luluh lantak karena serangan kerajaan yang lebih besar. Orang tuaku mati. Teman-temanku juga. Beberapa di antara mereka ditawan dan diperbudak. Tidak ada yang tersisa dari kami selain kehancuran.

"Aku berhasil selamat karena kabur saat perang berakhir. Ethan menemukanku dan membawaku bersamanya. Itulah akhirnya kenapa aku menjadi prajurit bayaran," pungkas Liam panjang lebar.

Tobias ikut menghela napas. Sebuah kisah klasik dari benua yang penuh pertikaian. Nestapa sepertinya tidak membiarkan siapa pun untuk hidup dengan tenang. Tobias mafhum, alasan Liam menjadi dirinya yang sekarang tentu bukanlah dilandasi oleh sebab yang sederhana.

"Terkadang kita memang perlu bertempur untuk alasan-alasan tertentu. Melindungi nyawa kita sendiri salah satunya. Dan itu bukan hal yang semata-mata buruk. Di dunia yang hanya berisi kekerasan seperti sekarang, bisa bertahan hidup dengan waras saja sudah merupakan kemewahan. Jadi tetaplah tegar," hibur Tobias dengan kata-kata terbaik yang bisa dia pikirkan. Meski begitu, Tobias benar-benar tulus mengucapkannya.

Liam tersenyum lebih lebar. "Terima kasih. Ah, aku jadi melankolis gara-gara pemandangan desa ini. Aku jadi malu memperlihatkan sisi lemahku, padahal belum mulai berperang. Ethan pasti memarahiku kalau dengar ini," tukasnya berusaha menjadi ceria.

"Menjadi lemah di saat-saat tertentu bukan dosa. Sejujurnya aku juga merasakan hal yang sama, walau mungkin bebanku tidak sebesar dirimu."

"Bukankah menjadi sejarawan juga cukup berat? Kudengar para sejarawan sihir bahkan harus rela kehilangan identitas mereka dan mengembara tanpa punya kerabat dekat. Aku tidak bisa membayangkan hidup kesepian seperti itu. Setidaknya aku masih punya Ethan dan beberapa ksatria bayaran lainnya yang kukenal. Kami juga punya guild asosiasi yang bisa bertemu sekali waktu. Apa kau juga punya teman-teman seperti itu?"

"Wah, kata-katamu tajam. Kau berubah drastis kalau sudah tidak sedih," gurau Tobias menanggapi.

"Ah, maafkan aku. Aku bicara tanpa berpikir," tukas Liam menyesal.

Tobias tertawa kecil. "Tidak masalah. Yang kau katakan memang benar. Hidup sendirian tidak enak sama sekali. Rasanya seperti tidak punya tempat untuk pulang. Yah, tapi masing-masing dari kita kan memang menanggung bebannya sendiri. Jadi kita hadapi saja apa adanya," ujarnya sambil tertawa.

Sisa perjalanan melewati desa itu tidak berubah banyak. Akhirnya, saat malam mulai larut, mereka baru mencapai hutan perbatasan antar desa. Karena sambutan buruk dari penduduk, ditambah kondisi desa yang tidak memungkinkan untuk bermalam, rombongan ksatria itu pun memilih berkemah di hutan pada jeda-jeda perjalanan.

Kamp-kamp pekemah didasarkan pada kelompok berisi delapan sampai sepuluh orang. Para ksatria tersebut sedang menikmati makan malam dari hasil buruan ketika tiba-tiba terjadi keributan kecil di tenda perempuan.

Tobias jarang berinteraksi dengan prajurit wanita yang jumlahnya tidak sampai sepuluh orang itu. Mereka semua berasal dari kalangan rakyat yang suka rela mengikuti wajib militer untuk menggenapi jumlah pasukan. Mulanya, Tobias tidak terlalu memperhatikan. Namun, kericuhan lantas menyebar seperti api yang memantik kekesalan orang-orang lain.

"Itulah kenapa aku tidak suka pada ksatria dari rakyat jelata! Sudah begitu perempuan lagi!" rutuk seorang pria berwajah garang.

"Apa salahnya ksatria perempuan? Jenderal perang kita juga perempuan," sahut orang lain tak terima.

"Itulah kenapa perang ini jadi berlarut-larut. Dia tidak secakap itu. Rumornya hanya dilebih-lebihkan," balas pria garang itu keras kepala.

"Beran-beraninya orang asing sepertimu menghina Putri Elaine!" sergah prajurit lain dari kalangan rakyat Roladia.

"Kata-kataku tidak salah! Aku di sini untuk membantu memperpanjang usia kerajaanmu yang sudah hampir runtuh ini!"

"Brengsek! Kau hanya prajurit bayaran rendahan! Kau bahkan tidak layak disebut ksatria! Tidak punya harga diri!"

"Apa kau bilanh?!"

Lalu pertikaian menjadi semakin panas dan melibatkan serangan fisik. Kedua ksatria itu sudah saling melempar tinju ketika akhirnya dilerai oleh beberapa orang lainnya yang juga sepertinya nyaris tersulut.

Tobias memilih menyingkir. Dia tidak suka terlibat pertengkaran yang tidak perlu, apalagi menjadi penenggah. Hidupnya sudah terlatih untuk menjadi pengamat. Meski begitu, ia menjadi sedikit penasaran pada awal mula keributan di tenda wanita. Maka, pemuda itu pun berjalan ke ujung perkemahan, berniat untuk sekadar melihat dari jauh.

Dari balik bayangan pepohonan, dia bisa melihat seorang wanita yang tampaknya sedang dirawat di dalam tenda. Prempuan itu tampak sangat kesakitan, ia merintih dan bergelung sambil memegangi perutnya.

"Itu Anna. Janda Fritz yang suaminya meninggal bulan lalu dalam perang." Sebuah suara sekonyong-konyong muncul di samping Tobias.

Pemuda itu sedikit kaget melihat Blaine Smithe sudah duduk sendirian di bawah pohon dekat tempatnya berdiri. Bayang-bayang hutan menutupi keberadaannya, dank arena Tobias sedang fokus menghindari kericuhan di tengah tenda, pengamatannya lolos menyadari keberadaan Blaine.

"Dia kenapa?" tanya Tobias setelah hilang kekagetannya.

"Aku juga tidak tahu. Saat aku melihatnya dari jauh, Anna sudah jatuh lemas sambil kesakitan memegangi perutnya," jawab Blaine.

Tobias mengangkat alisnya, penasaran akan hal lain. "Lalu kenapa kau duduk di sini seperti assassin yang sedang mengintai?"

Sontak Blaine membelalak terkejut. Buru-buru pira itu bangkit berdiri, terlihat salah tingkah. "Bukan maksudku untuk mengintip. Tidak ada ksatria lain yang mau membantu mereka. para perempuan itu tampakny sangat panik. Mereka tidak pernah terjun ke medan pertempuran sebelumnya. Mungkin ... mungkin berkemah di hutan seperti ini membuat keadaan mereka menurun. Kita juga sudah berjalan lama sekali sejak dari ibu kota," ujarnya bertele-tele.

"Jadi kau mau membantunya tapi malu?" tebak Tobias tepat sasaran.

"Hanya saja ... aku tidak tahu harus melakukan apa," jawab Blaine lirih.

Tobias sebenarnya tidak punya niat untuk ikut campur. Namun, melihat keresahan Blaine, dan juga kepanikan di tenda perempuan, hatinya pun tergerak.

"Ayo kita tanya langsung saja," ajak pemuda sejarawan itu kemudian.

Ekspresi Blaine berubah cerah, seperti menemukan jalan keluar dari masalahnya. Ksatria berbadan besar itu pun mengikuti Tobias menyambangi tenda para perempuan.

"Apa yang terjadi?" tanya Tobias begitu berada cukup dekat. Ia bertanya sambil mengamati sekeliling. Di sekitar mereka tidak ada satu orang ksatria lain yang berniat membantu. Semua pria tampak menatap sinis ke tenda wanita, beberapa justru terlihat kesal dan terganggu.

"Ini ... Anna .... Kondisinya memburuk sejak sore tadi. Dia juga tidak bisa makan karena terus-terusan muntah dan kesakitan," terang salah seorang wanita dengan ekspresi cemas.

Tobias melongok ke dalam tenda. Perempuan berambut merah itu tampak menderita. Tubuhnya dipenuhi peluh, wajahnya pucat pasi dan suara rintihannya terdengar memprihatinkan. Pemuda itu pun berjongkok di depan tenda, berusaha menganalisa. Blaine mengikuti gerakannya dan ikut berlutut satu kaki di belakang Tobias.

"Bagaimana awalnya?" tanya Tobias kemudian.

"Sebenarnya ...," seorang gadis muda berambut pirang hendak menjelaskan tetapi tampak ragu-ragu. Ia melirik ke senior-seniornya yang lebih tua seolah meminta penjelasan. Wanita-wanita lainnya pun mengangguk meyakinkan.

Tobias sabar menunggu hingga akhirnya gadis itu pun melanjutkan ucapannya.

"Anna sedang datang bulan. Sebenarnya kondisinya sudah lemas sejak dua hari yang lalu. Tapi dia tetap memaksakan diri dan bersikeras ikut berperang. Kami sudah memperingatkannya, karena kami tahu kalau siklus datang bulannya selalu sangat parah. Tapi ...," ucapan gadis itu terputus, merasa tidak nyaman karena harus bicara buruk tentang rekannya.

"Ma ... maafkan aku. Seharusnya ... aku tidak aku tidak merepotkan orang-orang," rintih wanita yang sedang sakit itu.

"Ksatria lain yang tahu penyebabnya langsung menyingkir dan menolak membantu kami. Mereka justru memperlakukan kami seolah-olah adalah beban," keluh wanita lainnya.

Tobias menghela napas panjang. Ia tidak terlalu mendalami dunia pengobatan. Meski begitu dia punya sedikit pengetahuan tentang sihir medis. Mungkin itu bisa membantu.

"Bolehkah aku memeriksanya?" tanya Tobias menawarkan.

Perempuan-perempuan itu pun langsung mengangguk. Mereka lantas membuka jalan bagi Tobias agar bisa masuk tenda. Blaine, sementara itu, tetap bertahan di luar dan menjaga pandangan ksatria lain yang tampak meremehkan.

"Permisi sebentar, ya," ucap Tobias sembari meraih salah satu tangan sang pasien. Ia pun meraba denyut nadinya yang terasa tidak teratur. Lalu dengan kemampuan sihirnya, dia pun memindai tubuh perempuan tersebut untuk melihat kestabilan energinya.

Selepas beberapa menit, Tobias pun melepaskan tangannya dari pergelangan perempuan itu. Sambil menarik napas berat ia pun mulai bicara. "Saya tebak, Anda tidak memiliki anak," ucapnya kemudian.

"Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya wanita yang duduk menjaga di sisi lain. "Anna sudah menikah bertahun-tahun tapi belum dikaruniai anak hingga suaminya meninggal," lanjutnya menjelaskan.

"Ada penyakit yang cukup berat bercokol di perutnya. Penyakit itu menggerogoti dia dari dalam dan akan membuatnya kesakitan setiap kali siklus haid. Saya tidak punya kapasitas untuk menyembuhkan jenis penyakit seperti ini. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak mungkin bisa ikut berperang. Atau kondisi tubuhnya akan semakin memburuk. Dia harus segera diobati," ujar Tobias kemudian.

Wajah cemas wanita-wanita itu tampak semakin pucat. Mereka saling berpandangan satu sama lain, tidak tahu harus berkata apa.

"Aku ... tidak ingin menjadi beban lagi ...," rintih wanita yang sakit itu tiba-tiba. "Kalau keberadaanku di sini hanya menyusahkan. Kalian bisa meninggalkanku di sini," lanjutnya lirih.

"Apa yang kau katakan? Mana mungkin kami meninggalkanmu di sini?" tukas salah satu wanita.

"Jangan bicara sembarangan, Anna!" sembur yang lainnya.

"Tapi ...." Anna tampak semakin menderita.

"Sebaiknya kita antarkan dia ke desa terdekat. Setelah siklus datang bulannya selesai, dan dia sudah cukup kuat, dia bisa kembali ke ibu kota," usul Tobias kemudian.

"Tapi siapa yang akan mengantarnya ke desa?" tanya wanita yang duduk di depan Tobias.

Siapa pun yang mengantar Anna ke desa, artinya harus terpisah dari barisan. Dan mereka terpaksa mencari jalan sendiri untuk menyusul rombongan. Bagi para wania yang tidak punya pengalaman berperang, atau sekadar bepergian sejauh ini, itu jelas hal yang sulit.

"Aku dan Tobias akan mengantar Anna. Kami berdua akan memastikan Anna selamat dan bisa kembali ke ibu kota setelah sehat nanti." Tiba-tiba Blaine menukas dari luar tenda.

Tobias sontak menoleh ke arahnya sambil melotot tak percaya. Ini benar-benar di luar rencananya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top