Chapter 5: March To The Battlefield

"Kau benar-benar akan memakai pedang butut itu?" Ethan bertanya pada Tobias di hari pertama latihan.

"Pada dasarnya, aku bukan ksatria seperti kalian. Jadi menggunakan pedang yang disediakan oleh barak ini saja sudah cukup," jawab pemuda sejarawan itu sambil menghunuskan bilah besi tua yang sudah kehilangan kilaunya.

Meski terlihat usang, tetapi mata pedangnya mungkin masih tajam. Tobias jarang bisa menakar kekuatan pedang meski beberapa kali pernah berperan menjadi prajurit. Dalam keadaan terdesak di tengah pertempuran, biasanya dia bisa menggunakan sihir untuk melindungi dirinya, alih-alih pedang. Tobias bisa menyelinap, atau sekadar menggunakan trik perisai sihir sederhana. Toh dia tidak punya intensi untuk membunuh siapa pun.

"Sudahlah, ayo berlatih saja," ujar Ethan sambil mendesah panjang. Pria itu seperti ingin memprotes sikap Tobias yang tidak serius berperang. Namun, dia tahu itu tidak ada gunanya.

Latihan hari pertama mengharuskan para rekrutmen baru menunjukkan tingkat kemampuan mereka. Tobias sebatas bisa melakukan teknik dasar berpedang. Karenanya, dia disatukan dengan prajurit dari kalangan rakyat jelata yang berlatih untuk terbiasa melakukan teknik dasar berpedang. Ditambah latihan stamina yang dilakukan dari pagi hingga larut malam. Meski bukan dari kalangan ksatrira, tetapi para prajurit dari rakyat biasa itu tampaknya sudah lebih lama berlatih sebelum ini. Hanya saja kebetulan Tobias baru bergabung sekarang di tengah-tengah pelatihan mereka.

Liam dan Ethan yang sudah lebih berpengalaman, berlatih dengan pertarungan langsung dengan para prajurit senior. Pada hari kedua, mereka mulai berlatih formasi-formasi perang dan strategi yang mungkin akan digunakan. Latihan tersebut terus berjalan hingga hari terakhir.

Tiga hari setelah berada di ibu kota, pasukan yang diikuti Tobias pun segera diberangkatkan ke garis depan. Komandan Arne yang mempimpin rombongan tersebut dengan iring-iringan kalvaleri berkuda dan barisan infanteri berjumlah tak kurang dari dua ratus orang. Bukan jumlah yang banyak. Sepertinya sisa-sisa prajurit Roladia sudah habis dikirim ke medan pertempuran. Bahkan prajurit yang menjaga kota saja sudah tidak banyak. Karena itu kekacauan terjadi di mana-mana, salah satunya di pasar tempat Tobias datang pertama kali kemarin.

Mungkin sebentar lagi rakyat mereka juga akan segera diseret untuk wajib militer. Pikir Tobias. Meski sebenarnya cukup aneh baginya kalau sampai sekarang, rekrutmen prajurit dari rakyat biasa di kerajaan tersebut adalah berdasarkan keinginan sukarela, dan tidak dibuat aturan sebagai hal yang wajib dilakukan.

"Sepertinya Jenderal perang kerajaan ini punya hati yang lembut," gumam Tobias setengah melamun.

"Kau tahu soal Panglima perang Roladia?" sahut Liam yang berjalan di sebelah Tobias. Dia tidak sengaja mendengar gumaman rekannya tersebut saat tengah berkonvoi membelah hutan setelah meninggalkan jalanan ibu kota.

"Tidak. Aku bahkan tidak melihat wajah raja meski diberangkatkan sebagai prajurit," jawab Tobias seadanya. Dia memang penasaran, tetapi pemuda itu tetap bersabar sampai waktunya tiba untuk bertemu dengan orang-orang yang berpengaruh. Sejarah tidak bisa diburu-buru.

"Putri Elaine Calder, putri kedua keluarga kerajaan Roladia," tukas Liam tampak bersemangat.

"Putri?" tanya Tobias sambil menoleh ke arah sang tentara bayaran dengan penasaran. Zirah besinya yang berat –Tobias benci mengenakannya– berkelontang saat kepalanya bergerak.

Liam mengangguk dengan antusias. Entah apa yang membuatnya gembira dengan kabar bahwa pemimpin perang mematikan tersebut adalah seorang putri. Bukannya Tobias meremehkan, hanya saja sangat langka melihat keberadaan perempuan di medan perang selain sebagai pelayan ahli medis. Namun sekarang, seorang perwira tingginya adalah putri kerajaan.

"Aku mendengar Kapten Arne berbicara dengan ksatria lain. Dia bilang Putri Elaine yang memimpin peperangan sudah terdesak sampai ke Gretta," terang Liam kemudian.

Ekspresi Liam benar-benar tidak cocok dengan kabar yang dia sampaikan. Sepertinya pasukan Roladia yang terdesak, dengan sang putri sebagai panglima pasukan, bukanlah kabar yang bagus. Akan tetapi, mata pemuda itu justru berbinar-binar seolah sedang membicarakan orang suci yang mungkin akan menjadi martir.

"Jadi di mana kabar bagusnya?" tanya Tobias akhirnya.

"Entahlah. Mungkin aku hanya bersemangat karena akhirnya bisa melihat Putri Elaine yang tersohor itu. Kabarnya dia yang menyatukan wilayah selatan dalam panji-panji kerajaan Roladia. Tetapi bangsa Tiodore di balik pegunungan gagal dia taklukkan dan kini pecah perang berkepanjangan."

Sejujurnya Tobias belum pernah mendengar tentang sepak terjang sang putri. Dia hanya tahu kalau Roladia berkembang pesat lima tahun terakhir karena menyapu bersih suku barbar di sekitar dan menjadikan wilayah mereka bagian dari kerajaan tersebut.

"Bukankah itu artinya sang putri sangat serakah karena ingin menjajah bangsa lain?" komentar Tobias kemudian.

"Kata-katamu tidak sopan, Prajurit Bayaran." Seorang pria berzirah yang berjalan di depan mereka mendadak ikut menimpali. Tobias mengenal pria itu sebagai Blaine Smithe, seorang ksatria dari kalangan rakyat jelata yang mendaftar untuk menjadi prajurit.

Setelah melirik sinis ke arah Tobias dan Liam, Blaine pun melanjutkan ucapannya. "Putri Elaine sama sekali tidak serakah atau haus darah seperti rumornya. Justru sebaliknya. Suku-suku barbar itu sebelumya hidup dengan miskin dan sering berperang satu sama lain. Banyak penyakit menular, bahkan kanibalisme dan praktik ritual sesat. Seluruh perbatasan Roladia sebelumnya sangat rentan karena suku-suku barbar itu kerap menculik penduduk sekitar.

"Yang Mulia Raja sudah bersikeras menumpas mereka, tetapi keberadaan suku-suku sesat itu tidak mudah diberatas. Mereka seperti jamur yang akan tumbuh lagi setiap musim hujan. Akhirnya, setelah debut sosialnya, sang putri memimpin pasukan pertamanya untuk menaklukan suku Iowe di timur laut. Setelah itu kemenangan demi kemenangan pun berhasil dia dapatkan. Putri Elaine menjadi Panglima perang yang paling dihormati di Roladia." Blaine menjelaskan dengan nada penuh kekaguman.

"Sepertinya sang putri sangat dihormati," ujar Tobias kemudian.

"Tentu saja. Alih-alih mengenakan gaun dan mengadakan pesta teh yang nyaman, beliau memilih angkat senjata dan melindungi perbatasan Roladia. Semua penduduk menghormatinya. Putri Elaine bahkan menjamin kehidupan yang layak bagi orang-orang dari suku yang ditaklukkan. Beberapa dari mereka juga menjadi sukarelawan untuk ikut berperang." Kini Blaine mulai berapi-api memuji kebijaksanaan putri Roladia tersebut.

"Kalau dia memang sehebat itu, harusnya menjadi pewaris tahta, kan?" tanya Tobias kritis.

"Nah itu," tukas pria lain yang berjalan di sebelah Blaine. Namanya Sinder, dia juga tentara sukarela dari kalangan rakyat. "Putri Elaine hampir dimahkotai menggantikan kakaknya, Pangeran Emaus Calder. Tapi tiba-tiba bangsa Tiodore yang selama ini berdiam diri di balik pegunungan selatan menyerang perbatasan kerajaan," sambung pemuda itu layaknya biang gosip yang sedang membeberkan skandal.

"Perang di selatan sudah berlangsung lebih dari satu tahun, dan untuk pertama kalinya, kita terdesak," imbuh Blaine berubah suram.

Tobias tidak banyak tahu tentang penduduk di selatan. Akan tetapi, bangsa Tiodore adalah salah satu kaum tertua dengan sejarah yang panjang. Wilayah mereka cukup luas, memanjang di pesisir selatan, di balik pegunungan panjang yang memisahkan daratan mereka dengan bangsa-bangsa yang lain. Tiodore seperti sebuah suku yang terisolasi, misterius dan jarang muncul. Namun, biasanya mereka hanya hidup diam di balik gunung jika tidak diintervensi oleh pihak luar.

"Jadi bukan Roladia yang menyerang Tiodore pertama kali?" ujar Tobias memastikan.

"Sama sekali tidak. Justru mereka yang tiba-tiba turun gunung dan menggempur kami," ujar Blaine.

"Ada yang bilang ini skema yang dilakukan oleh Putra Mahkota. Dia mungkin sengaja menciptakan peperangan agar tahtanya tidak direbut adiknya." Sinder bicara dengan suara pelan, sambil berbalik menoleh ke arah Tobias dan Liam.

Sontak Blaine langsung menggetok helm besinya dengan pelan. "Jangan bicara sembarangan. Kepalamu bisa melayang kalau menyebar gosip murahan," katanya memperingatkan.

Sinder meringis, sambil mengusap lehernya yang tertutup zirah besi mengkilau. "Hanya praduga. Tapi banyak yang percaya," tukasnya keras kepala.

"Kenapa ribut sekali di sini?" suara menggelegar diikuti kelotak kaki kuda muncul dari barisan belakang. Rupanya salah satu wakil komandan dari divisi kalvaleri muncul dari samping barisan dan menatap Tobias dan rekan-rekannya dengan galak.

"Jangan banyak bicara dan simpan tenaga kalian untuk berperang daripada bergosip!" sambar pria berkida itu dengan tegas. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top