Chapter 3: Wizard of Moroc

Ahli sihir terbaik berasal dari Moroc.

Itu adalah pepatah yang dipercayai oleh hampir semua orang di seluruh benua. Meski begitu, kota Moroc lebih seperti legenda daripada kenyataan. Tidak ada yang pernah benar-benar tahu dimana lokasi pastinya. Ada yang bilang, kota itu sudah dihancurkan oleh orang-orang yang membenci sihir. Ada pula dongeng yang menyatakan kalau kota Moroc hanya bisa ditemukan oleh orang terpilih.

Akan tetapi, semua kabar itu tidak semuanya benar dan tidak semuanya salah. Tobias paling tahu soal ini. Moroc adalah kota kuno para penyihir yang disegel. Tidak ada yang bisa keluar atau masuk ke kota itu dengan bebas. Kota itu seperti dikutuk karena semua penduduknya bak terpenjara di dalam kota tanpa bisa keluar lagi.

Tobias merupakan pengecualian. Orang tuanya merupakan pejuang Moroc yang berusaha mencari cara untuk membebaskan kota itu dari segel kutukan. Namun, alih-alih berhasil, mereka justru mati setelah hanya berhasil mengeluarkan putra mereka ke antah berantah di luar kota Moroc. Dan begitulah Tobias akhirnya ditemukan oleh sang guru yang adalah Sejarawan Sihir.

Sejak saat itu, Tobias tidak pernah bisa kembali ke kampung halaman, bahkan sekadar menermukan tempat itu sekalipun. Atas alasan itu juga, jumlah penyihir yang ada di dunia ini sangat terbatas karena sebagian besar terkurung di kota Moroc yang legendaris. Bahkan para Sejarawan Sihir yang bekerja saat ini, hanya menguasai kemampuan sihir turunan yang terbatas pada kemampuan mereka untuk mencatat sejarah. Tidak ada penyihir berdarah murni yang eksistensinya teridentifikasi di tanah itu. Karena itulah Tobias sangat terkejut ketika nama Moroc itu mencuat keluar dari mulut sang kusir.

"Apa kau yakin ada penyihir Moroc yang membantu musuh?" tanya Tobias sekali lagi.

"Itu kabar burung yang saya dengar, Tuan. Meski tentu saja saya tidak bisa memastikannya sendiri karena saya tinggal di kota pelabuhan kecil," jawab sang kusir kemudian.

"Hei, tunggu, Tobey, menurutku pengakuanmu itu lebih mengejutkan. Kau benar-benar berasal dari Moroc?" sergah Liam yang sudah memberi nama panggilan akrab pada kawan barunya.

"Yah, begitulah sepertinya. Aku tidak terlalu ingat karena saat itu aku masih kecil," jawab Tobias apa adanya.

"Kereeen!" celetuk Liam dengan mata membulat penuh ketertarikan. "Di mana tepatnya kota itu berada? Apakah itu benar-benar ada? Ah, jadi kau bisa sihir, dong?" cecarnya antusias.

"Sihirku terbatas oleh markah ini. Sekarang aku seorang sejarawan," ujar Tobias sambil mengangkat bahu.

"Ah, sayang sekali. Padahal sangat jarang ada penyihir murni di era sekarang," keliuh Liam berubah loyo.

"Praktik sihir juga sudah dilarang sejak amandemen lima benua. Tidak banyak orang yang bisa mempelajarinya dengan bebas sekarang," tukas Ethan menimpali dalam posisi terlentang.

"Itu karena tidak ada orang yang cukup hebat untuk mengajar sihir," sahut Liam serius. "Tapi ngomong-ngomong, bisa kau ceritakan tentang kota Moroc? Seperti apa di sana? Kenapa kota itu tidak bisa ditemukan?" pemuda ksatria itu kembali melontarkan pertanyaan pada Tobias.

"Jangan memaksanya, Liam. Dia seorang sejarawan. Memangnya kau benar-benar percaya pada bualannya," tangkis Ethan skeptis.

Tobias hanya tertawa kecil. Sejujurnya tadi dia kelepasan berkata seperti itu saking terkejutnya. Tapi syukurlah identitas sebagai sejarawan selalu bisa membuatnya berkelit dari situasi sulit.

"Aku benar-benar tidak bisa mengingat dengan jelas masa kecilku. Jadi kurasa aku tidak bisa menceritakan apa-apa. Hanya guruku yang sudah meninggal yang sepertinya pernah bilang kalau aku berasal dari Moroc. Entah itu benar atau tidak," kilahnya kemudian.

"Ah ... sangat mengecewakan," kata Liam kemudian.

Setelah percakapan itu, rombongan tersebut akhirnya tidak banyak membahas soal Moroc lagi. Sang kusir juga tidak lagi bisa ditanyai macam-macam karena informasi yang dia punya pun terbatas. Akhirnya, setelah pagi menjelang, perjalanan mereka pun dilanjutkan lagi. Rombongan itu sampai di gerbang masuk kota sebelum tengah hari.

Ibu kota kerajaan Roladia dikelilingi benteng raksasa. Tembok abu-abu setinggi lima belas meter membentang sejauh mata memandang. Di luar benteng, parit dalam berisi air yang setengah penuh melingkari sebagai bentuk pertahanan yang lain. Orang-orang yang hendak memasuki ibu kota harus melewati jembatan katrol yang bisa dinaik-turunkan.

Rombongan Tobias pun juga harus melewati jembatan tersebut. sepasang penjaga gerbang berdiri di ujung jembatan yang tengah dikatrol turun sepanjang siang. Jembatan itu akan dinaikkan setelah matahari terbenam.

"Tunjukkan identitas kalian," ujar sang penjaga gerbang menahan rombongan.

Liam dan Ethan mengeluarkan semacam token tanda bahwa mereka adalah ksatria bayaran yang akan mengikuti quest dari istana. Sementara Tobias seperti biasa memperlihatkan markah emas di punggung tangannya. Sang kusir, di samping itu, tidak menunjukkan token identitasnya karena hanya mengantar sampai gerbang kota dan langsung bertolak pulang kembali ke wilayah pelabuhan.

Setelah melihat identitas masing-masing orang, akhirnya penjaga itu pun membukakan gerbang besi raksasa yang tampak sangat berat. Meski begitu, dengan sistem katrol otomatis gerbang besar itu pun bisa terangkat perlahan, mengeluarkan bunyi derit yang seperti gesekan batu dengan logam.

Melewati gerbang, Tobias dan kawan-kawannya disambut oleh pemandangan hiruk pikuk kota yang riuh pagi itu. Rupanya persis di sebelah gerbang, terdapat pasar yang cukup ramai oleh penjual dan pembeli. Kondisi itu berbeda dengan kesuraman di kota pelabuhan. Sepersekian detik, Tobias merasa sedikit senang melihat keramaian kota yang penuh vitalitas. Namun, tak butuh waktu lama setelah akhirnya dia menyadari bahwa hiruk pikuk itu bukan seperti yang dia bayangkan.

Orang-orang mengutuk dan marah-marah memenuhi pasar tersebut. Sumpah serapah dan kata-kata kotor terdengar di setiap sudut. Tampaknya semua orang di sana sangat sensitif karena suatu hal. Ketegangan seperti mengambang di udara. Tobias mengamati sekitar. Para penjual tampak frustrasi dan marah sambil menunjuk-nunjuk pembelinya. Sementara itu beberapa pembeli yang emosi mengacak-acak dagangan yang terlihat layu bahkan busuk.

Bau tidak sedap menguar dari pasar tersebut, seolah-olah barang yang diperjualbelikan adalah produk basi yang sudah tidak layak konsumsi. Para penduduk pun berpenampilan layaknya gelandangan, dengan pakaian kotor dan rambut semrawut.

"Sebenarnya kita sedang ada dimana ini? Bukankah ini ibukota kerajaan Roladia yang tersohor itu? Tapi kenapa aku seperti baru masuk ke desa pengemis?" gumam Liam tidak bisa menyembunyikan keheranannya.

Tobias menghela napas panjang menyaksikan adegan di depannya. Sekali lagi, dia hanya bisa membatin, inilah akibat lain dari perang. Perlahan-lahan stok bahan pangan menipis, dan para penduduk yang kelaparan berubah marah. Kota ini mungkin tidak akan bertahan lama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top