Chapter 2: Roladia Kingdom
Salah satu keuntungan menjadi sejarawan sihir adalah status quo yang membuat orang-orang tidak merasa terancam oleh keberadaan mereka. Orang-orang dengan markah emas tersebut biasanya tidak terlibat pada pertikaian, dan hanya mengamati dengan ramah dalam jarak aman. Mereka juga tidak boleh dilukai, apalagi dibunuh dengan sengaja di tengah pertempuran. Atas alasan itu dua ksatria pengembara, Liam dan Ethan, membiarkan Tobias menjadi rekan perjalanan mereka.
Tidak banyak orang yang bisa menjadi sejarawan sihir. Pekerjaan Sejarawan sihir merupakan ilmu yang diturunkan oleh orang-orang tertentu kepada murid-murid pilihannya. Mereka yang memutuskan untuk menjadi sejarawan sihir, harus rela hidup kesepian, tanpa teman, pasangan apalagi ketenaran. Mereka menanggalkan nama dan identitas aslinya, meleburnya dalam satu citra: sejarawan sihir.
Ada banyak batasan bagi para sejarawan sihir, dibalik semua kelebihan yang dimiliki. Tobias tidak pernah mengeluh. Sejak awal, ini adalah jalan yang dia pilih sendiri, dan dia sangat menikmati hidupnya sampai sekarang.
"Sebenarnya berapa lama kita harus naik kendaraan busuk ini sampai di ibu kota," gerutu Ethan yang tampaknya tersiksa oleh rasa mual yang mengganggu. Ksatria paruh baya itu bahkan mabuk saat menaiki kereta kuda.
"Harusnya sore ini kita sudah memasuki gerbang ibu kota. Tapi jalanan rusak ini benar-benar menghambat perjalanan," kata Tobias yang duduk di samping kusir kereta.
Hanya satu ekor kuda kurus yang mearik kereta tersebut. Bagian tempat dduk penumpangnya tidak beratap, dan keseluruhan kerangkanya sudah usang termakan usia. Dibanding kereta kuda, mungkin kendaraan itu lebih tepat disebut dengan gerobak. Sayangnya, hanya itu satu-satunya moda transportasi yang bisa disewa dari kota pelabuhan menuju istana kerajaan. Jadi, mereka pun rela mengendarai kereta kuda di tengah jalan batu yang tidak rata, daripada harus berjalan kaki dan memakan waktu yang lebih lama.
"Kau pernah datang ke sini, Tobias?" tanya Liam yang duduk memunggunginya.
Tobias terdiam beberapa saat. Ia mengedarkan pandangannya sejenak, menatap hamparan ladang gandum yang gersang di sekitarnya. "Dulu sekali, saat negeri ini masih penuh vitalitas," ujarnya mengenang perjalanannya bertahun-tahun yang lalu bersama gurunya. Tobias belum memiliki markah saat itu. Dia masih muda dan baru belajar menjadi seorang sejarawan sihir.
"Pantas saja kau sepertinya tahu jalan. Ada gunanya bepergian bersama seorang sejarawan," kelakar Liam mencoba mencairkan suasana.
Hari sudah sore dan mereka baru setengah perjalanan. Setelah lama berlalu, rupanya daerah ini sudah begitu jauh berbeda. Sejujurnya Tobias sudah mengantisipasi hal ini, tetapi perkiraannya masih tetap meleset. Mungkin mereka harus bermalam di hutan sebelum melanjutkan perjalanan. Besok pagi baru mereka akan sampai di ibu kota.
"Perang benar-benar mengubah banyak hal," gumam Tobias sambil tersenyum tipis. Ini bukan pertama kalinya dia mengalami peperangan, tetapi perasaannya selalu sama saat bertandang ke negeri yang berperang. Nuansa yang suram, kerusakan dan kehancuran, bahkan udara seperti menguarkan bau bacin dari pertempuran yang jauh.
"Memang menyedihkan. Tapi bukankah manusia selalu hidup berdampingan dengan pertempuran?" Tiba-tiba Ethan menimpali di tengah perjuangannya melawan rasa mual.
Tobias tertawa kecil. "Memang benar. Bahkan untuk orang yang paling tenang sekalipun, pertempuran bisa terjadi di dalam dirinya," tanggap pemuda itu kemudian.
Sesuai dugaan Tobias, rombongan kecil tersebut akhirnya benar-benar harus bermalam di hutan perbatasan antar kota. Sang kusir dengan cekatan mempersiapkan tenda dan api unggun, lantas mulai memasak makan malam. Sepertinya itu adalah bagian dari layanan penumpang. Setidaknya dia tidak seketus pelayan bar sebelumnya.
"Bagaimana keadaan di ibu kota?" tanya Tobias sambil mencomot daging kelinci buruan sang kusir.
"Tidak semuram Gravewick Wharf, Tuan. Tapi bukan berarti lebih baik. Menurut saya pirbadi, di sana keadaannya lebih menggelisahkan," jawab sang kusir dengan wajah sedih.
"Menggelisahkan?" tanya Tobias mencoba menerka bagaimana keadaan menggelisahkan itu secara spesifik. Mungking warganya terlihat lebih gelisah karena berada di pusat kota yang diincar musuh?
"Lalu bagaimana perkembangan perangnya?" Liam ganti bertanya.
"Dari yang saya dengar, pasukan Roladia sudah terdesak sampai di Aveyard Venue. Jaraknya dua desa dari ibu kota. Sementara kota perbatasan Seamason sudah dikuasai pihak musuh," jawab sang kusir.
"Keadaannya cukup mengkhawatirkan ternyata," komentar Liam menanggapi.
Ethan berdecak keras di sebelahnya. Pria itu sudah merebahkan tubuhnya di samping api unggung. Baju zirahnya dia tanggalkan dan dia sedang berusaha mengatasi sisa-sisa mabuk perjalanan.
"Apa pihak kerajaan masih bisa membayar kita kalau keadaannya sudah separah itu?" tukas Ethan dengan suara paraunya yang khas.
"Entahlah. Tapi karena kita sudah sampai sini, kita coba saja," ujar Liam.
"Kota pelabuhan mereka saja sudah mati begitu. Kurasa sang raja sudah mulai menguras harta kerajaan untuk mencari bantuan," cela Ethan pesimis.
Tobias termenung menatap lidah api unggun yang tersisa. Pikirannya berkelana, membayangkan runtuhnya sebuah kerajaan di ujung selatan benua.
"Memangnya jumlah pasukan Roladia kalah telak dari kerajaan balik gunung?" tanya Tobias penasaran.
"Sebenarnya tidak. Roladia punya banyak prajurit. Sayangnya, musuh kami menggunakan kekuatan penyihir untuk berperang. Apa Anda pernah mendengar penyihir Moroc?" Sang kusir balas bertanya.
Seketika Tobias pun menegakkan tubuhnya dan menatap kusir tersebut dengan tatapan tak percaya. "Moroc. Itu kampung halamanku," ujarnya terkejut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top