Chapter 16: The Battle
"Wah, sepertinya sia-sia kami mengkhawatirkanmu. Kau terlihat lebih sehat sejak terakhir kali aku melihatmu," kata Liam sambil menatap Tobias dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tobias meringis. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," ujarnya tulus.
"Tapi kenapa kau jadi tinggal di sini?" tanya Ethan yang biasanya cuek, ikut penasaran. Namun, sebelum Tobias sempat menjawab, Ethan sudah membungkukkan badannya, mendekat ke arah telinga pemuda itu. "Putri itu ... menjadikanmu gundik?" tanyanya berbisik sambil melirik ke arah Elaine yang sibuk bicara dengan Komandan Arne di depan meja strategi.
"Jangan bicara sembarangan!" sembur Blaine marah. Pemuda yang separuh tubuhnya masih dibebat itu, turut datang ke tenda utama sambil terpincang-pincang. Mereka bertiga mencari Tobias yang diduga sedang disekap di tenda utama. Setidaknya begitulah gosip yang beredar.
Setelah berhari-hari tidak ada kabar, ketiga orang itu pun nekat mendatangi langsung tempat tinggal sang jenderal perang sekaligus putri Roladia tersebut. Tobias memang sempat memikirkan kekhawatiran teman-temannya, tetapi dia tidak menyangka mereka akan datang langsung seperti ini. Pemuda itu sedikit tersentuh. Belum lagi saat di pertempuran tempo hari, Liam dan Ethan juga sudah banyak melindunginya dengan kerjasama mereka yang apik.
"Tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku diperlakukan dengan baik di sini. Dan dia ... eh, Putri Elaine maksudku, membutuhkan sedikit bantuanku," jawab Tobias enggan menjelaskan secara terbuka.
Bukan ranahnya untuk membicarakan tentang prajurit undead atau pun penyihir necromancer yang mereka hadapi. Entah itu sang putri atau Komandan Arne, mereka yang berwenang untuk memberitahu para prajurit. Informasi ini terlalu berbahaya untuk disebarkan secara sembrono. Bisa-bisa menimbulkan kepanikan di antara para prajurit.
"Bantuan semacam apa yang membuatmu sampai tidak bisa menemui kami barang sebentar untuk memberi kabar," tukas Liam dengan sorot mata cemas sekaligus curiga.
"Bantuan yang intim ...," desah Ethan dengan ekspresi jahil yang sangat jarang dia tampilkan. Tobias baru tahu kalau pria itu rupanya menyukai topik semacam ini. Terlalu lama menjadi prajurit bayaran mungkin membuatnya merindukan kehangatan perempuan.
"Jaga mulutmu, Ethan!" sergah Blaine kembali marah, berusaha menendang tulang kering Ethan dengan kakinya yang terpincang-pincang. Ethan berhasil berkelit dengan mudah sambil terkekeh.
"Memangnya apa yang salah dengan hal itu? Lihat Tobias punya wajah rupawan, masih muda dan tubuhnya juga terbentuk dengan baik meski dia bukan ksatria. Plus, dia penyihir. Kalau aku perempuan aku juga akan memilihnya di antara ksatria-ksatria bau keringat yang ada di sini," ujar Ethan sambil mengangkat bahu.
"Putri Elaine bukan orang seperti itu. Jangan menjatuhkan martabat beliau," kecam Blaine dengan loyalitas setinggi langit.
Percakapan itu membuat Tobias merasa seperti barang dagangan yang sedang ditakar kualitasnya. Belum lagi Blaine yang alih-alih membelanya, justru melindungi harga diri sang putri. Entah dia harus senang karena teman-temannya datang ke sana mengkhawatirkannya, atau dia yang harus cemas kalau-kalau gosip berkembang tanpa bisa dikendalilkan gara-gara Ethan.
"Benar-benar tidak seperti itu. Ini terkait strategi perang. Bukan hal-hal personal seperti yang kalian pikirkan," potong Tobias sambil memijit keningnya dan menahan tawa. Ini situasi yang menyenagkan. Ia belum pernah mengalami hal seperti ini. Dikhawatirkan sekaligus terlibat gosip murahan. Cukup menggelikan sampai-sampai dia tidak bisa menahan senyumannya.
"Sepertinya kau bersenang-senang, Kawan. Sungguh sia-sia kami cemas," kata Liam sambil menepuk punggung Tobias dan ikut tertawa. Dia tampak lega, seperti juga Blaine dan Ethan yang sebelumnya bertengkar ringan.
"Aku baik-baik saja," kata Tobias apa adanya.
"Kau punya rekan yang setia." Suara Elaine menimpali dari samping. Rupanya gadis itu sudah berjalan mendekat diikuti Komandan Arne yang melotot tajam ke arah prajurit unitnya yang sudah membuat keributan.
Liam, Ethan dan Blaine otomatis membungkuk sopan untuk menyapa sang putri.
"Tidak perlu terlalu formal. Teman kalian banyak membantuku. Jadi aku pasti memperlakukannya dengan baik. Maaf karena sudah membuat kalian cemas," kata Elaine.
"Dia memang tampak puas," celetuk Ethan dengan senyum tertahan. Blaine buru-buru menyikutnya sambil melirik tajam.
"Saya akan menghukum mereka dengan benar, Putri," tukas Komandan Arne tegas, lantas melempar tatapan galak pada tiga ksatria pembuat onar.
Elaine mengangka satu tangannya. "Tidak perlu. Aku memang membawa penyihir ini secara sepihak, tanpa memikirkan kekhawatiran teman-temannya. Jadi biarkan saja masalah ini berlalu, Komandan," ujarnya tenang. Blaine menghela napas lega, sementara Ethan masih menahan senyuman mencurigakan.
Sementara itu, Liam masih tampak sedikit cemas. "Apa itu artinya Tobias bisa kembali ke tenda kami?" tanyanya sungguh-sungguh.
Tobias terharu melihat pemuda itu mencemaskannya dengan tulus. Sebutan teman itu memang cukup menyentuh hatinya. Apa selama ini dia punya teman? Hidupnya lebih banyak diselimuti kesepian. Tobias tidak mengeluh, tentu saja, semata-mata karena dia sudah terbiasa. Orang lain hanyalah sosok yang melintas lewat begitu saja dalam hidupnya. Tidak perlu terikat, tidak perlu menjalin hubungan yang dalam. Orang-orang lain pun selama ini juga memperlakukannya seperti ada dan tiada. Namun, kini tiga orang ini bahkan menjemputnya sampai ke tenda utama, padahal dirinya baik-baik saja. Perhatian kecil semacam ini membuat Tobias merasa dibutuhkan. Perasaan yang sudah lama sekali tidak dia rasakan. Hanya gurunya yang pernah begitu mencemaskan dirinya saat kecil dulu.
"Sayangnya, Tobias masih harus berada di sini. Aku membutuhkannya untuk bertempur di sisiku," jawab Elaine nyaris tanpa beban.
Bukan hanya Liam, bahkan Tobias pun ikut menoleh ke arah sang putri dengan terkejut. Ini berita baru. Sejak kapan dia setuju untuk bertempur di sisi jenderal perang? Dan lagi, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Elaine menyebut namanya.
Rupanya dia tahu namaku. Pikir Tobias secara otomatis. Tunggu. Bukan itu yang penting sekarang.
"Kau? Bertempur di sisi Putri? Sebagai apa? Ksatria?" celetuk Ethan tak kalah terkejutnya. Tobias tidak menyalahkan ekspresi Ethan yang nyaris seperti sedang meremehkan itu. Kemampuan berpedang Tobias di bawah rata-rata. Dia sekadar bisa menangkis dan bertahan, tanpa bisa melakukan manuver serangan balik sama sekali.
"Lebih tepatnya, aku membutuhkan kemampuan sihirnya," ujar Elaine mementahkan praduga-praduga liar para ksatria tersebut. Akan tetapi, jawaban itu ternyata memicu keterkejutan yang lebih banyak lagi.
"Tapi bukannya Tobias seorang sejarawan? Memangnya boleh ikut bertempur di garis depan dengan kemampuan sihirnya?" tanya Liam yang sudah cukup mendalami pekerjaan Tobias dari seringnya percakapan mereka sebelumnya.
"Kalau memang benar begitu, berate gaji yang diberikan Roladia padanya harus dilipatgandakan berkali-kali lipat. Menyewa penyihir sebagai prajurit perang sangat mahal daripada sekadar tentara bayaran," sahut Ethan tetap memperhitungkan kesejahteraan rekannya. Tentu saja hal ini membuat Tobias semakin terharu, tetapi bukan itu masalahnya sekarang.
"Tunggu. Kalau kita membutuhkan penyihir seperti Tobias, apa artinya musuh kita juga menggunakan sihir?" tanya Blaine yang dengan cerdas bisa menyimpulkan situasi.
Ekspresi Elaine berubah murung, tetapi dengan cepat langsung menjadi tegas dan tajam lagi. "Simpan informasi ini untuk kalian saja. Siapa pun yang menyebarkannya akan mendapat hukuman yang sepadan," ujarnya dengan nada mengancam.
"Anda juga tahu kalau kecurigaan itu sudah menyebar di antara prajurit. Dengan atau tanpa kami sebarkan, mereka sudah tahu dengan sendirinya. Makhluk yang kita lawan itu jelas bukan manusia," tukas Ethan.
Elaine menarik napas panjang. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita punya rencana," ujar gadis itu sembari mengerling ke arah Tobias.
Pemuda itu benar-benar ingin memprotes, tetapi ia menahan diri. Sepertinya tidak tepat berdebat di depan para prajurit yang tidak paham duduk perkaranya. Jadi, ia pun hanya melempar pandangan menuduh ke arah Elaine, berharap gadis itu merasa bersalah karena memutuskan seenaknya tanpa persetujuan Tobias.
Elaine membuang muka, tampak menghindari tatapan Tobias dengan sengaja. "Sampai pertempuran berikutnya dimulai, Tobias akan tetap berada di sini. Kalian bisa mengunjunginya sekali waktu. Tetapi jangan sampai mengganggu jadwal latihan," pungkas Elaine berniat mengakhiri pembicaraan. Ia hendak berbalik untuk meninggalkan mereka dan kembali ke kesibukannya sendiri.
Akan tetapi, alih-alih membungkuk hormat untuk melepas kepergian sang putri, Liam mendadak berlutut dengan satu kaki dan dengan dramatis membuat permintaan.
"Kalau Tobias harus bertempur di sisi Anda, izinkan kami untuk juga melindungi Yang Mulia di garis depan. Kami akan mendampingi Anda bersama Tobias," kata Liam begitu penuh keteguhan.
Sontak, Tobias, Liam, Blaine, bahkan Elaine dan Komandan Arne terbelalak kaget.
"Hei, apa yang kau lakukan?" bisik Ethan mempertanyakan keputusan yang di luar renacana itu.
Di sisi lain, Blaine, seolah menanggapi panggilan sakral, akhirnya ikut berlutut dengan satu kaki. Tubuh besarnya bahkan sampai menyenggol Ethan yang berdiri di sebelahnya.
"Mohon izin untuk mendapat kehormatan bertempur di sisi Anda," ujar Blaine layaknya aktor yang memerankan skenario dramatis.
"Wah ... ini perkembangan yang tidak terduga," tukas Ethan kehilangan kata-kata.
"Lancang sekali!" sembur Komandan Arne sudah bersiap murka. Namun, Elaine menghentikannya dengan melambaikan satu tangan.
"Baiklah. Kalian bisa berlatih di ruang latihan khusus bersama pasukan penjagaku. Mulai sekarang pindahkan tiga orang ini ke unit pasukan khusus," perintah Elaine mengalihtugaskan tiga prajurit Komandan Arne ke unit lain.
"Tapi, Yang Mulia, Anda tidak bisa tiba-tiba mempromosikan ksatria sembarangan. Apa lagi dua dari mereka adalah prajurit bayaran," protes Komandan Arne.
"Ini peperangan, Komandan. Apakah hal-hal semacam itu penting sekarang? Kita kehabisan pasukan, juga waktu. Lagipula akan bagus kalau Tobias bertempur bersama orang-orang yang familiar baginya," kata Elaine sambil melirik Tobias.
Tobias mendengkus kecil. Dari tatapan gadis itu, Tobias bisa membaca kalau sepertinya ini juga salah satu taktik Elaine untuk membujuknya. Dengan mengizinkan teman-temannya bertempur di sisinya, Tobias pun mau tidak mau juga harus setuju untuk berada di tempat yang sama. Mana mungkin pemuda itu meninggalkan rekan-rekannya, padahal mereka terseret ke sini karena mengkhawatirkan dirinya.
***
Selepas pertemuan dengan teman-temannya tadi, Tobias berpisah dengan mereka untuk penempatan ulang di unit khusus. Seperti biasa, Tobias akhirnya hanya bisa menunggu sambil menghabiskan waktunya di bilik tenda utama, dan menulis. Sejujurnya, dia ingin langsung menemui Elaine dan membicarakan tentang rencana dadakan yang melibatkannya tanpa izin tadi. Namun, sang putri tidak terlihat di mana-mana sepanjang hari dan baru saat malam tiba, pemuda itu mendengar ayunan pedang di lapangan tarung dalam tenda utama.
Tobias buru-buru menyimpan catatan sihirnya ke dalam portal dimensi, lantas beranjak dari bilik kamarnya. Berjalan menuju lapangan tarung, ia akhirnya menemukan Elaine tengah berlatih sendirian ditemani cahaya obor dari empat penjuru. Tanpa zirah besinya, ia tampak seperti gadis biasa yang tengah menari dengan pedang perak yang berkilau oleh cahaya api. Rambut emasnya bergerak menggelombang, senada dengan liukan tubuhnya memainkan pedang.
Suara desing memenuhi tempat itu, ditambah embusan angin yang membawa aroma tubuh Elaine yang manis. Bahkan saat dia bersimbah peluh setelah berlatih keras. Tobias bertanya-tanya apa memang gadis-gadis keluarga kerajaan dilahirkan dengan tubuh yang harum dan visual yang sempurna seperti ini. Namun, dari pengalamannya, tidak semua putri raja punya pesona sekuat Elaine. Gadis ini terasa berbeda. Memikat sekaligus mematikan.
Elaine tampaknya menyadari kehadiran Tobias. Gadis itu pun menghentikan gerakannya, lantas berdiri membalas tatapan Tobias sambil menyeka peluh di keningnya. Tobias terhenyak. Sepertinya dia terlalu lama memandangi sang putri, sampai-sampai kehilangan kesempatan untuk menyapa.
"Kemarilah," kata Elaine mengabaikan absennya curtsy yang lazim dia terima dari orang-orang yang pangkatnya lebih rendah.
Tobias menurut, memerhatikan Elaine yang berjalan ke rak pedang lantas mengembalikan pedang latihannya ke sana. Setelahnya ia pun mengambil pedang lain yang tersarung dengan mewah dan di rak yang lain.
Begitu Tobias memasuki lapangan tarung, Elaine menghunuskan pedang besar tersebut dan mengarahkannya kepada Tobias. "Ayo kita bertaruh. Kalau kau bisa mengalahkanku, aku akan melepaskanmu. Tapi kalau aku yang menang, kau harus membantu kami," tantang Elaine tiba-tiba.
Tobias mengangkat dua tangannya. "Tapi saya tidak pernah bisa mengalahkan Anda, Putri. Lagipula saya tidak punya pedang," sahut pemuda.
"Kau bukan pengguna pedang, Penyihir. Lawan aku dengan kekuatanmu yang sebenarnya," balas Elaine serius.
Tobias terdiam sejenak. Sejak ia melihat Elaine mengambil pedang terbaiknya, dia sudah menduga kalau gadis itu menantangnya untuk pertempuran yang sesungguhnya. Elaine jelas tidak berniat untuk mengalah. Sementara Tobias bisa saja menumbangkan gadis itu hanya dengan satu mantra. Namun, dia tidak berniat untuk menyerang seseorang dengan sihirnya. Sudah lama sejak dia menggunakan mantra serangan pada orang lain.
"Kuanggap kau setuju," ujar Elaine menimpali keheningan Tobias. Tanpa aba-aba, gadis itu langsung meluncur ke arah Tobias dengan pedang terhunus. Sabetan secepat kilat dari bawah tubuhnya memaksa Tobias menghindar ke belakang secara reflek. Namun Elaine tidak berhenti sampai di sana, dengan gerakan yang sama cepatnya, dia mengangkat pedang bersar tersebut, lantas menghujamkan ke arah Tobias.
Pemuda itu melompat tepat pada waktunya. Ujung pedang Elaine menggetarkan tanah tempat mereka berpijak, hingga membuat ceruk kecil yang tampak seperti retakan. Serangan itu jelas bukan main kuatnya. Elaine tampaknya bersungguh-sungguh ingin melukai Tobias. Ini berbeda dengan latih tanding mereka sebelumnya. Elaine sudah langsung mengerahkan kekuatannya seratus persen saat ini.
"Kenapa kau sangat keras kepala?" tanya Tobias mulai kesal. Gadis ini terus-terusan memaksanya secara sepihak, membuatnya melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan sebagai sejarawan. Elaine seolah terus berusaha mendobrak pertahanan Tobias, membuat seluruh pertahanan pemuda itu goyah.
"Sekarang kau tidak berniat mempertahankan kesopanan rupanya," cela Elaine sembari menyeringai. Tebasan pedangnya kini terayun di sisi kiri tubuh Tobias. Pemuda itu berhasil menghindari kemungkinan lengannya bunting oleh terkaman Elaine.
"Sikapmu tidak mencerminkan kedudukan sebagai seorang putri," jawab Tobias sambil mempertimbangkan untuk mencabut pena sihirnya. Sejauh ini dia bisa bertahan dengan baik, tetapi lambat laun staminanya akan menurun dan kelengahan sekecil apa pun bisa dimanfaatkan oleh Elaine untuk mengalahkannya. Gadis itu memang sangat kuat dan cerdik dalam pertempuran.
Di sisi lain, Elaine berdecih sambil melakukan manuver berputar dan mengincar pinggang Tobias untuk dia potong menjadi dua. Sang penyihir melompat ringan, lantas mendarat di ujung pedang gadis itu, seolah tubuhnya adalah bulu yang tertiup angin.
"Memangnya putri-putri lain yang kau kenal seperti apa? Ah, tentunya mereka lembut dan bermartabat," kata Elaine sebelum menarik kembali pedangnya dan memaksa Tobias kembali melompat mundur dan mendarat dengan mulus di atas tanah.
"Mereka biasanya memberikan banyak kata tersirat untuk mengutarakan keinginan. Tapi kau ... sangat pemaksa," ujar Tobias dengan senyuman tipis. Dia menikmati pembicaraan santai dengan sang putri seolah mereka adalah teman karib biasa yang sedang berdebat ringan.
"Jadi apa kau terganggu dengan sikapku? Atau menurutmu aku menarik?" balas Elaine dengan seringai menggoda.
Tobias mendengkus, memutuskan untuk mencabut pena sihirnya dan membuat perisai semi-transparan untuk menangkis serangan pedang Elaine yang super cepat.
"Apa sang putri merasa dirinya menarik?" balas pemuda itu, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang mulai berpacu cepat.
Senyuman Elaine semakin lebar. Dia tampak geli sekaligus menggoda. "Aku memergokimu menatapku dengan penuh hasrat, Penyihir. Jangan kau kira aku tidak tahu. Aku cukup peka dengan hal-hal semacam itu," ujarnya sembari membacok dengan santai.
Tobias terbatuk kaget. Di celah waktu lengah tersebut, Elaine memutar mata pedangnya menghadap ke belakang, lantas meninju Tobias dengan gagang pedang yang terkepal di tangannya, tepat di wajah pemuda itu. Tobias yang terkejut tidak sempat membuat perisai sihir. Bogem mentah dari besi menghajar hidungnya, lantas membuatnya terdorong ke belakang hingga jatuh terjerembab. Tobias reflek memegang hidungnya yang sudah berdarah. Elaine berdiri di hadapannya, tampak pongah dengan senyuman puas tersungging di wajahnya.
"Sudah kubilang gunakan kekuatanmu dengan benar, Penyihir. Sekarang aku memegang kartumu. Jadi akan kumanfaatkan sebaik mungkin," ucap gadis itu penuh percaya diri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top