Chapter 15: Inspection (2)

Tobias, Elaine, Komandan Arne serta tiga ksatria lain, berkuda meninggalkan perkemahan. Mereka menuju selatan, ke arah perkemahan bangsa Tiodore. Melewati lembah, bau darah tercium pekat. Bekas-bekas pertempuran berserak di tanah, tombak-tombak patah, pedang tak bertuan, potongan jari atau bola mata yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Sisa-sisa cipratan darah yang mongering, menyatu dengan potongan daging manusia yang mulai membusuk, masing-masing menguarkan aroma yang memuakkan.

Nuansa perjalanan mereka hening. Hanya suara langkah kaki kuda yang terdengar berkelotak meninggalkan bibir perkemahan. Tanpa ada pertempuran, lembah itu memang sunyi. Hanya desau angin yang sesekali berembus membawa aroma kematian yang membekas. Tobias menunggangi kuda yang entah dipinjam dari ksatria yang mana.

Sejujurnya berkuda bukanlah hobi Tobias. Rasanya tidak nyaman bagi punggungnya jika harus berlama-lama duduk di pelana kuda dengan guncangan intens. Meski begitu, dia tahu cara berkuda. Dan sekarang, pemuda itu pun bisa mengimbangi kecepatan kudanya dengan kuda-kuda milik ksatria berpengalaman seperti Elaine, Komandan Arne dan para penjaga yang mengawal mereka.

Tidak sampai dua puluh menit kemudian, akhinya kemah pasukan Tiodore mulai terlihat di kejauhan. Tenda-tenda hitam gelap berjajar memanjang di kaki pegungungan selatan. Berbeda dengan markas pasukan Roladia, kemah bangsa Tiodore itu benar-benar lengang. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan sedikit pun, selain hawa sihir yang lambat laun terasa semakin pekat memuakkan. Sihir undead memang selalu terasa menjijikkan bagi penyihir pada umumnya. Ada bau busuk kematian yang terkandung dalam sihir necromancy, dan hal itulah yang membuat Tobias mulai merasa mual.

"Tunggu! Berhenti di sini! Kita akan menabrak selubung!" seru Tobias sembari menarik tali kekang kudanya agar melambat.

Elaine dan Komandan Arne mendengar peringatan Tobias, lantas turut mengurangi kecepatan kuda-kuda mereka. Tiga pengawal lainnya pun berhenti tepat di belakang rombongan para petinggi.

"Kita masih terlalu jauh dari kemah mereka," protes Elaine mendatangi Tobias sambil masih menunggangi kudanya. Tubuhnya yang berbalut zirah tampak mengintimidasi, ditambah tatapan tajam yang terkesan seperti sedang menghakimi keputusan Tobias.

Pemuda itu berdeham kecil, lantas turun dari kudanya. Ia berjalan maju sambil menuntun kudanya secara perlahan. Di satu titik langkahnya terhenti. Tobias mengulurkan tangan ke depan dan terjamahlah dinding itu, selubung sihir yang berbentuk kubah transparan, menutupi seluruh area perkemahan dalam radius tertentu. Orang biasa tidak akan bisa melihatnya, bahkan mungkin penyihir tingkat rendah atau menengah juga akan sulit menemukannya dengan sekali lihat. Akan tetapi, Tobias bisa melihat kubah itu sejelas telapak tangannya sendiri. Tabir hitam semi transparan yang sesekali berpendar hilang timbul sudah bisa dia lihat sejak memasuki lembah. Sihir sekuat itu beresonansi dengan kekuatannya yang juga cukup besar.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Elaine tetap tidak mengerti.

"Ini selubung sihirnya. Saya bisa menyentuhnya karena memiliki energi sihir. Tapi kalau orang biasa yang melewatinya, mereka akan tersesat dalam dimensi kematian," kata Tobias kemudian.

"Aku tidak melihat ada apa-apa di sini, selain tanah kosong dan perkemahan musuh di depan sana. Ingat, Penyihir, hari ini kita harus menyusup ke markas musuh dan membongkar praktik sihir bedebah itu, sebelum para undeadnya dibangkitkan. Kau bilang dia butuh waktu beberapa hari untuk bisa membangkitkan undead sebanyak itu. Kita harus memanfaatkan kesempatan ini," desak Elaine tak sabar.

"Saya juga sudah mengatakannya berkali, kali, Yang Mulia. Kemah ini dilindungi tabir sihir yang sangat kuat. Kita tidak bisa masuk sembarangan, tetapi Anda terus bersikeras melihatnya secara langsung. Inilah dinding itu, tabir sihir yang bisa membunuh kita semua kalau nekat melewatinya," ujar Tobias tak kalah gemas. Kenapa ada seorang putri yang keras kepala seperti ini?

Elaine berdecak tak sabar, lantas turun dari kudanya. Ia pun berjalan ke depan, menyusul Tobias hingga nyaris menembus selubung. Buru-buru pemuda itu mengulurkan tangannya di depan Elaine, mencegah gadis itu agar tidak bertindak sembrono dan membahayakan nyawanya.

"Saya mohon percayalah," ujarnya sembari menatap langsung ke mata sang putri. Di jarak sedekat ini, Tobias bisa mendengar suara napas Elaine yang berat dan cepat karena terpacu oleh aktivitas berkuda sebelumnya. Tinggi tubuh mereka hampir sama, tetapi tanpa baju ziahnya, Elaine sebenarnya sejengkal lebih pendek dari Tobias.

"Penyihir itu benar, Putri. Sebaiknya Anda tidak gegabah. Biar para penjaga yang memeriksanya lebih dulu." Komandan Arne turun dari kuda dan ikut mencegah kenekatan Elaine. Pria paruh baya itu lantas mengedik pada salah satu ksatria agar memeriksa jalan di depan.

Ksatria yang diperintahkan pun mengangguk paham. Sebelum sempat dicegah oleh Tobias, ksatria itu sudah lebih dulu menghela kudanya yang langsung berderap maju melewati selubung. Hanya dalam waktu sepersekian detik begitu melewati dinding sihir tersebut, seluruh keberadaan sang ksatria lenyap begitu saja. Begitu juga dengan kuda tunggangannya. Mereka menghilang seperti ditelan bumi, tepat di depan mata Elaine, serta semua bawahannya.

Tobias menghela napas berat. "Sekarang Anda percaya?" tantangnya sambil berjalan mundur dari hadapan Elaine.

"Kemana perginya ksatriaku?" desis Elaine marah.

"Sudah saya bilang, selubung sihir ini akan menjebak orang-orang dan membawa mereka ke tempat kematian. Itu semacam dimensi yang bisa diciptakan oleh penyihir kelas tinggi. Dalam kasus necromancer ini, saya menduga dia membuat dimensi ini untuk memanen jiwa-jiwa undead baru," terang Tobias.

Elaine terbelalak. "Jadi maksudmu, ksatriaku akan diubah menjadi salah satu pasukan undeadnya?" sergah gadis itu semakin murka.

Tobias mengangkat bahu. "Saya sudah peringatkan sejak awal," tukasnya.

Sebelum sempat Elaine meledak marah, Komandan Arne akhirnya berinisiatif untuk menengahi. Ksatria paruh baya itu berjalan di antara mereka berdua sambil menatap Tobias dengan tegang.

"Kami membawamu ke sini bukan tanpa maksud. Kau juga penyihir. Tidak bisakah kau melakukan sesuatu?" ujarnya dengan nada mengancam.

Tobias menarik napas panjang sekali lagi, lelah dengan permitaan yang terus menyudutkannya seperti itu. "Sihir saya digunakan untuk mendukung pekerjaan sebagai sejarawan. Saya tidak bisa sembarangan membantu salah satu pihak– "

Belum selesai Tobias bicara, Elaine sudah menyeruak maju dan langsung mencengkeram kerah mantelnya kuat-kuat. Sambil melotot, gadis itu menatap Tobias dengan ekspresi mengeras.

"Kalau kau tidak menghentikan omong kosongmu tentang sejarawan itu, aku benar-benar akan memotong lehermu dalam sekali tebas, Penyihir. Sekarang berhentilah membuat alasan dan cari cara untuk melewati selubung ini," geram gadis itu penuh amarah.

Jantung Tobias rasanya mau berhenti. Bukan karena rasa takut melainkan karena terkejut menyadari sosok Elaine kini berada begitu dekat dengan wajahnya. Bahkan setelah berkeringat dan kelelahan mengitari lembah sambil berkuda, aroma tubuh Elaine tetap harum dan sedikit memabukkan.

Tobias merutuk dalam hati karena memikirkan hal semacam itu di tengah situasi seperti ini. Lagipula sang putri sedang marah, tetapi kenapa dia justru membayangkan hal yang tidak-tidak. Merasa malu, Tobias pun memalingkan pandangannya sambil berusaha melepaskan cengkeraman Elaine.

"Akan saya jelaskan. Tolong lepaskan saya, Putri," kata Tobias sedikit terbata-bata.

Elaine masih melotot marah, tetapi ia pun akhirnya melepaskan cengkeramannya dengan kasar.

Tobias pun berjalan menjauh sambil merapikan jubahnya. "Kalau saya dengan paksa merusak tabir ini, necromancer itu mungkin bisa kabur dan menganggu kerajaan Anda dengan cara yang lebih berbahaya. Atau kalau dia tidak kabur, dan memilih untuk menghadapi kita, mungkin kita yang justru tidak akan selamat. Kabar buruknya, kalau kita mati di sini, kemungkinan besar tubuh dan jiwa kita bisa dia bangkitkan menjadi undead. Tentu tidak ada yang berharap putri kerajaan Roladia diubah menjadi undead oleh pasukan musuh," bujuk pemuda itu dengan beragam alasan.

Itu tidak sepenuhnya bohong. Tobias memang cukup percaya diri dengan kemampuannya dalam pertarungan sihir. Akan tetapi necromancer ini juga sepertinya tidak bisa diremehkan. Membangun pasukan undead sebesar itu butuh kekuatan sihir yang besar. Dan meski kemampuannya terbatas jarak dan waktu, tetap saja itu bukan hal sederhana. Kalau dia mengurangi jumlah pasukan undeadnya menjadi separuh lebih sedikit, mungkin radius jarak serangannya bisa meluas. Itu bukan kabar baik bagi perkemahan Roladia.

Di sisi lain, setelah mendengar penjelasan Tobias, akhirnya ekspresi Elaine pun tidak lagi sekeras sebelumnya. Gadis itu tampak berpikir. Namun, yang kelihatan lebih cemas adalah Komandan Arne. Buru-buru pria itu menghampiri sang putri seolah baru tercerahkan oleh ilham dewa.

"Ucapan penyihir itu benar, Putri. Saya tidak akan membiarkan Anda menjadi pasukan undead. Setelah dipikir-pikir, strategi ini memang terlalu berbahaya. Sebaiknya kita mengirim orang lain untuk menyelundup ke kemah musuh," tukas Komandan Arne.

"Kau lihat sendiri bagaimana ksatriaku menghilang di balik selubung sialan ini! Apa kau berniat mengirim prajurit lain untuk mati dan menjadi kaki tangannya?" sergah Elaine kesal.

"Tidak. Bukan begitu maksud saya ...," desah Komandan Arne kehilangan kata-kata.

Melihat dilema itu, Tobias pun lama-lama tidak sampai hati. Ia tidak sedingin itu sampai tega melihat orang-orang mungkin akan ditumbalkan karena kecerobohan yang dangkal. Dan lagi, melihat ekspresi frustrasi Elaine entah kenapa membuatnya tidak nyaman.

"Saat perang berlangsung selubung ini terbuka. Saat itu si penyihir membuka tabirnya untuk mengirimkan pasukan undead keluar dari markasnya. Itu satu-satunya waktu yang tepat untuk bisa menyerangnya. Saat itu Anda bisa mengirim prajurit untuk menyelundup," kata Tobias kemudian.

***

Setelah percobaan penyusupan yang terhalang tabir sihir di hari sebelumnya gagal, Tobias akhirnya kembali ke kemah utama bersama Elaine dan tim kecil mereka. Berkat informasi dari Tobias, Elaine pun menyiapkan strategi baru untuk menyelundup ke kemah Tiodore saat pecah pertempuran nanti. Jumlah prajurit Roladia sudah tidak banyak, dan lebih dari itu, mereka biasanya selalu terdesak sampai ke perbatasan saat perang berlangsung. Karena itu, setiap malam mereka pun selalu mengadakan rapat tertutup, sementara di siang hari, seluruh prajurit dilatih dengan lebih giat.

Sampai beberapa hari kemudian, Tobias pun sama sekali tidak diizinkan untuk kembali ke kemahnya. Elaine tampaknya sangat khawatir jika penyihir itu melarikan diri. Padahal Tobias tidak punya niat itu sama sekali. Meski demikian pemuda itu benar-benar bosan karena ia bahkan tidak dibiarkan berlatih bersama prajurit lain di luar tenda utama. Terlepas dari kemampuannya sebagai penyihir, Tobias seharusnya ada di sana sebagai ksatria. Jadi dia juga setidaknya ingin berlatih pedang.

"Berlatih di sini saja. Aku bisa melatihmu sebaik Nicholas," ujar Elaine saat Tobias menanyakan hal tersebut.

Sekali dua kali dia pun menurut, sambil berniat melihat kemampuan sang putri. Namun, setelah dikalahkan secara telak dalam dua belas kali latih tanding, Tobias pun menyerah. Perbedaan kemampuan berpedang mereka terlalu besar. Tobias pun hanya menghabiskan waktunya di tenda utama untuk ikut menguping rapat strategi, atau sesekali mengobrol dengan Komandan Arne. Pria itu ternyata lebih ramah dari dugaan.

Dua hari berlalu dengan membosankan hingga tiba-tiba, suatu senja, keributan terjadi di depan tenda utama. Tobias yang sedang menggunakan kemampuan Archive Augmentation untuk menulis kejadian yang dia lihat, akhirnya ikut terpancing untuk memeriksa keluar. Pemuda itu berepapasan dengan Elaine yang tampaknya juga sedang berjalan tergesa ke depan tenda.

"Apa yang terjadi?" tanya Tobias penasaran.

Akan tetapi, belum sempat Elaine menjawab, seorang prajurit penjaga tergopoh-gopoh masuk sambil membawa laporan.

"Yang mulia, beberapa ksatria dari unit Komandan Arne mendatangi tenda utama. Mereka bilang mau menjemput teman mereka yang ditahan tanpa sebab," ujar prajurit itu.

Tobias mengerutkan kening. Unit Komandan Arne berarti teman-temannya seperti Liam, Ethan, Blaine dan yang lainnya. Angkatan yang baru datang bersamanya beberapa minggu yang lalu. Tapi siapa teman mereka yang ditahan tanpa sebab? Apa ada orang lain yang juga dibawa paksa seperti dirinya?

Baru setelah Elaine menghela napas sambil menoleh ke arah Toboias, pemuda itu pun akhirnya sadar. Rupanya teman-temannya itu sedang mencarinya.

"Kukira sejarawan tidak membentuk hubungan pertemanan semacam ini, rupanya kau cukup disayangi juga," sindir Elaine sambil mendengkus.

"Aku ...." Tobias kehilangan kata-kata. Entah karena terkejut oleh ulah teman-temannya, atau karena melihat senyum tipis yang tersungging di wajah Elaine.

"Biarkan mereka masuk dan memastikan sendiri kalau teman mereka baik-baik saja di sini," perintah sang putri kemudian. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top