Chapter 13: Getting Caught
"Katakan semua yang kau tahu," todong Eleine menanggapi ucapan Tobias.
Penyihir itu menarik napas panjang, mencoba mencari pembenaran atas tindakannya membantu pasukan Roladia. Musuh mereka jelas bukan manusia, melainkan penyihir kawakan, jadi mungkin tidak masalah bagi Tobias untuk membantu mereka sebatas memberi informasi.
"Necromancy," jawab Tobias singkat.
Eleine mengerutkan kening tanpa mengubah postur berdirinya yang tegap, menatap lurus ke arah Tobias. Sementara itu Kapten Arne dan Sir Nicholas saling berpandangan, tampak sangsi.
"Maksudmu pasukan yang kita hadapi itu adalah undead?" Elaine lantas bertanya dengan tajam. Matanya berkilat-kilat seperti pemburu yang tengah mengunci mangsanya. Tanpa sadar, Tobias memalingkan pandangannya, menghindari tatapan menusuk yang seolah menuntut lebih banyak penjelasan.
Sang sejarawan itu pun mengangguk. Ia kembali menatap Elaine, semata-mata untuk menutupi rasa gentarnya yang sekelibat muncul tadi. Obor berkeretak dari empat penjuru kemah, membuat siluet wajah sang putri tampak bergerak-gerak dengan garis yang anggun tapi tegas. Meski tidak sering, tetapi Tobias sudah pernah beberapa kali berurusan dengan anggota keluarga kerajaan. Namun, baru kali ini dia bertemu perempuan keturunan raja dengan hawa kehadiran seintens itu.
"Kalian harusnya sudah sadar sejak peperangan dimulai setahun yang lalu," tukas Tobias justru balik menuding Elaine. Ia tidak biasanya melakukan tuduhan sembrono seperti itu. Secara umum, Tobias sebenarnya cukup bijaksana untuk bisa memahami situasi, seaneh apa pun itu. Namun, entah kenapa rasanya gadis itu membuatnya bersikap tidak seperti biasa. Jantungnya terus berdegup kencang sejak memasuki kemah, tanpa alasan yang jelas.
Elaine akhirnya mengendurkan ketegangannya. Gadis itu lantas menarik napas panjang. Seolah melepaskan topeng ketegasannya, Elaine kini memasang ekspresi lelah yang muram. Tobias terdiam, melihat sosok kharismatik di depannya kini berubah layaknya gadis rapuh yang tampak letih luar biasa.
"Awalnya pasukan yang kami lawan adalah manusia biasa. Mereka mati bersimbah darah saat ditusuk pedang atau tombak, berteriak kesakitan saat tangan atau kakinya ditebas. Tapi entah sejak kapan, orang-orang Tiodore itu mulai berubah. Mereka bertarung tanpa bicara apa-apa. Dan saat mati pun, hanya zirah kosong yang tergeletak di depan prajurit kami," terang Elaine sambil menutup wajahnya dengan satu tangan.
"Mulanya hanya beberapa orang yang seperti itu. Tapi lama-lama seluruh pasukan Tiodore hanya berupa zirah kosong. saat kami menyadari hal itu, semua sudah terlambat. Kami mencoba meminta bantuan dari ibu kota, tetapi jumlah pasukan Roladia terus berkurang, sementara pasukan Tiodore tidak berubah sama sekali." Komandan Arne turut menimpali.
Ini jelas strategi infiltrasi. Pikir Tobias langsung membaca situasi dengan cepat. Pasukan Tiodore menyelundupkan prajurit undead di antara orang hidup lainnya sedikit demi sedikit dengan tujuan untuk mengurangi jumlah pasukan lawan. Sementara mereka sendiri bisa mempertahankan kuantitas pasukan mereka dengan mengguakan mayat prajurit yang sudah mati.
"Maaf kalau saya lancang, Putri. Tapi kenapa Anda tidak memberitahu Yang Mulia Raja tentang masalah ini? Saya yakin–"
"Tidak ada gunanya," potong Elaine sebelum Tobias sempat menyelesaikan kalimatnya. "Keadaan ayahku sedang tidak baik," lanjut gadis itu muram.
"Putri, tidak bijaksana kalau kita mengungkapkan keadaan ibu kota. Rumor buruk bisa menyebar dan Roladia akan menjadi sasaran empuk kerajaan lain," tukas Komandan Arne tampak cemas.
Elaine mendengkus pelan. "Toh dia adalah sejarawan. Cepat atau lambat juga dia akan tahu. Dan kurasa kita bisa mempercayai sejarawan untuk tidak menyebarkan rumor tak berguna sebelum sejarah selesai ditulis, kan?" tandas Elaine kembali memasang tatapan tajam ke arah Tobias.
Jantung Tobias mencelos lagi, nyaris tanpa sebab. Ia tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi aneh setiap kali ditatap oleh gadis itu. Buru-buru ia menguasai diri lantas mengangguk singkat sebagai jawaban.
Elaine tersenyum tipis. Sangat tipis, hingga nyaris tak terlihat. Kalau saja Tobias tidak menyadari ujung bibir gadis itu yang terangkat sedikit, ia mungkin tidak akan tahu kalau Elaine sedang tersenyum.
"Kondisi ayahku memburuk sejak perang di perbatasan ini dimulai. Beliau yang sebelumnya tidak pernah memiliki riwayat penyakit mematikan, mendadak terbaring di tempat tidur sepanjang waktu. Aku juga baru mengetahui kabar itu setelah menghabiskan waktu hampir lima bulan di sini. Saat kami menyadari kalau ada yang aneh dengan pasukan Tiodore.
"Prajurit yang seharusnya mengantar kabar tentang keadaan perbatasan, kembali dengan tangan kosong. Aku juga tidak bisa begitu saja kembali ke ibu kota dan meninggalkan perbatasan tanpa meraih kemenangan. Jadi kami pun akhirnya terjebak di sini, membusuk dan mungkin akan mati secara perlahan," terang Elaine panjang lebar.
Tobias mengendus bau-bau konspirasi, tetapi dia tidak berani menyimpulkan sendiri. Sejenak pemuda itu teringat pada gosip yang beredar di kalangan para prajurit Roladia.
"Putri Elaine hampir dimahkotai menggantikan kakaknya, Pangeran Emaus Calder. Tapi tiba-tiba bangsa Tiodore yang selama ini berdiam diri di balik pegunungan selatan menyerang perbatasan kerajaan." Kata-kata Sinder, ksatria kerajaan Roladia yang sempat bercerita dalam perjalanan menuju perbatasan selatan tempo hari, kembali terngiang di benak Tobias.
Pemuda itu juga ingat pada ucapan Godwin saat mereka berkumpul di tenda dengan api unggun dan daging panggang di malam sebelum dia turun di medan perang "Ada gosip yang beredar di antara para prajurit. Katanya pertempuran ini sengaja direkayasa oleh Putra Mahkota untuk menyingkirkan adiknya. Prestasi Putri Elaine lima tahun belakangan memang sangat cemerlang dank arena itu posisi Putra Mahkota jadi terancam."
Tobias gatal bukan main ingin menanyakan perihal tersebut, terutama karena intrik semacam itu adalah fakta sejarah yang tidak bisa dia lewatkan begitu saja. Namun, menuduh keluarga kerajaan dengan sembarangan bisa membahayakan posisinya. Tobias mungkin bisa diusir dari sana dan kehilangan kesempatan menggali sejarah lebih dalam. Meski begitu, ia benar-benar tidak bisa melewatkan hal tersebut begitu saja. Toh dia juga sudah memberi informasi tentang musuh Roladia, jadi sedikit kenekatan mungkin tidak akan terlalu mengganggu sang putri.
"Apa ini ada hubungannya dengan Putra Mahkota Emaus Calder?" tanya Tobias hati-hati. Ia memberanikan diri untuk bertanya dengan suara sedatar mungkin, agar tidak terlihat terlalu penasaran.
Sesuai dugaan, tiga orang yang ada di sana pun langsung menatapnya dengan tajam. Namun, Elaine, yang kini sudah melipat tangannya di depan dada, melembutkan pandangannya menjadi sedikit sayu.
"Gosip sudah beredar rupanya. Yah, meski aku belum punya cukup bukti, tetapi permainan licik semacam ini memang khas Emaus. Kakakku tersayang itu bahkan sudah diam-diam merangkul semua bangsawan di ibu kota untuk memihaknya. Sementara bangsawan lain yang ada di perbatasan terlalu lemah untuk bisa menjadi kekuatanku," kata sang putri, yang untuk pertama kalinya, terdengar seperti sedang mengeluh panjang.
"Putri. Tidak perlu menceritakan lebih banyak pada orang asing ini. Sebaiknya kita fokus untuk mencari jalan keluar menghadapi pasukan Tiodore," ujar Komandan Arne memperingatkan.
Elaine mendengkus sekali lagi. "Ah, benar. Kali ini kau benar, Arne. Entah kenapa aku jadi banyak bicara. Pemuda itu membuatku ingin membicarakan hal-hal menyebalkan. Apa sejarawan memang punya aura yang mempersuasi seperti ini?" tanya gadis itu sambil tertawa kecil ke arah Tobias.
Tobias tidak bisa menahan senyumanya melihat tingkah Elaine. Sang putri, jenderal perang yang di segani di medan perang, kini tampak seperti gadis normal yang tengah mengeluh karena hidupnya menyebalkan. Meski hal yang membuatnya kesal bukan perkara gaun atau perhiasan, melainkan intrik politik dan perang.
"Maafkan kelancangan saya, Putri. Tapi informasi memang cenderung mendatangi kami dengan lebih mudah," jawab Tobias sambil membungkuk kecil. Jantungnya masih berdentum-dentum, tetapi kini dia sudah lebih santai.
Elaine memasang seringai tipis menanggapi jawaban Tobias. "Sekarang kita kembali ke permasalahan utamanya," ujar gadis itu kembali serius. Gestur tubuhnya pun kembali tegas dan berkharisma. Ia lantas mengedik pada Sir Nicholas untuk lanjut menjelaskan situasinya.
Sang pelatih pasukan itu pun mengangguk sigap. "Sebenarnya sudah sejak lama kami menyadari kalau pasukan Tiodore telah menggunakan bantuan sihir. Mulanya kami prajurit-prajurit itu adalah semacam golem yang diciptakan oleh penyihir berbakat. Tetapi, anehnya golem-golem itu tidak pernah menyerang lebih dari area lembah, seolah mereka memang tidak bisa melewati tempat itu dan mencapai perkemahan Roladia.
"Kami mencoba meminta bantuan ibu kota untuk mencarikan penyihir lain demi mengatasi masalah ini. Tetapi seperti yang sudah kau tahu, Putra Mahkota sengaja menutup mata dan membiarkan kami membusuk di sini. Sementara itu, utusan yang dikirim terpisah untuk pegi keluar kerajaan dan mencari bantuan dari tempat lain juga tidak pernah kembali," terang pria itu nyaris tanpa ekspresi.
"Tentu saja suruhan kakakku membunuh mereka semua," timpal Elaine dengan mata berkedut marah. Mendadak gadis itu kembali melayangkan pandangannya ke arah Tobias. Dengan ekspresi mengeras, ia pun bicara pada pemuda itu sambil menahan amarah. "Sekarang kau sudah tahu keadaannya, Sejarawan. Entah ini keberuntungan atau bukan, tetapi kau adalah satu-satunya penyihir yang berhasil kami dapatkan dengan susah payah. Aku tidak akan pernah melepaskanmu meski kau adalah seorang sejarawan. Kau harus membantu kami," ucap Elaine setajam mata pedang.
Tobias tercekat, mendapati dirinya sudah terkunci dalam tatapan menusuk sang putri. Instingnya berkata kalau dia mungkin benar-benar tidak akan bisa mengelak lagi dari permintaan tersebut. Apa lagi berpikir untuk kabur. Layaknya kelinci yang tanpa sengaja tertangkap mata elang, dirinya kini sudah menjadi target buruan putri Roladia. Tidak. Sepertinya Tobias memang sudah tertangkap dalam cengkeraman tajam gadis itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top