Chapter 10: Front Line
Setelah perjalanan panjang dua hari penuh, akhirnya kerapatan hutan mulai terurai. Pepohonan tidak lagi tumbuh terlalu lebat, dan melalui pandangan burung elangnya, Tobias bisa melihat perbatasan selatan Kerajaan Roladia yang berupa padang rumput penuh kemah-kemah prajurit. Jumlahnya lebih masif daripada kemah rombongan pasukan yang diikuti Tobias. Umbul-umbul berwarna hijau tua dengan lambang bunga berkelopak lima, berkibar di beberapa kemah utama, menunjukkan identitas mereka sebagai pasukan kerajaan Roladia.
Hari itu, sepertinya tidak ada pertempuran di lembah. Kedua belah pihak mungkin sedang menghimpun kekuatan kembali setelah perang sebelumnya bertarung mati-matian. Tobias melanjutkan pengamatan. Sedikit ke selatan, pemuda itu akhirnya bisa melihat kemah musuh di kaki pegunungan. Dari kejauhan, Tobias hanya bisa mengamati kemah-kemah gelap yang memanjang di seberang sana. Tidak ada umbul-umbul, hanya sepasukan kecil yang jumlahnya mungkin tidak sebanding dengan jumlah pasukan Roladia.
Tobias mengernyit bingung, masih dengan satu mata tertutup, terhubung langsung dengan spirit elangnya, sementara mata yang lain masih melihat setapak hutan bersama Blaine. Dari satu matanya yang tertutup itu, Tobias mencoba mengamati lebih dekat kemah bangsa Tiodore yang jumlahnya mungkin hanya setengah dari jumlah kemah bangsa Roladia. Sudah begitu, berbeda dengan markas prajurit Roladia, kemah hitam bangsa Tiorore itu tampak lebih lengang. Tidak banyak orang yang berlalu-lalang, atau berlatih, atau bahkan disembuhkan. Kemah itu justru tampak nyaris kosong. Seperti kemah yang sudah ditinggalkan.
Terbang lebih dekat. Tobias memerintah elangnya untuk bermanuver di jajaran kaki pegungungan. Sang elang emas di kejauhan pun terbang dengan patuh. Mengepakkan sayapnya, makhluk itu pun bergerak mendekat sesuai perintah. Namun, belum sampai pandangannya cukup dekat dengan kemah musuh, mendadak sebuah tolakan sihir menerpa tubuh sang spirit elang, menghempas makhluk itu menjauh seperti sambaran angin kencang. Sang elang berkoak satu kali, lantas buyar menjadi serpihan debu keemasan. Hilang.
Tobias, yang merupakan pengendali sihir spiit jarak jauh, turut merasakan sentakan energi sihir tersebut. Tepat ketika elangnya dihempas menjauh, tubuh pemuda itu pun ikut tersentak hingga ia terdorong satu langkah ke belakang dan terbatuk-batuk. Tobias membuka matanya yang terutup. Kedua alisnya bertaut, sementara tangan kanannya menyentuh dada yang masih berdenyut akibat serangan sihir tak terduga.
"Ada apa? Kau baik-baik saja?" Blaine yang ikut terkejut langsung menghentikan langkah dan menoleh ke arah Tobias. "Kalau lelah, kita bisa beristirahat dulu," lanjutnya mengesampingkan fakta bahwa hari masih pagi dan mereka baru satu jam berjalan.
Tobias menggeleng sambil mengangkat satu tangannya. "Tidak perlu," ujarnya masih mengatur napas.
"Serius? Kau tampak kesulitan," bujuk Blaine cemas.
Tobias menggeleng singkat, lalu lanjut berjalan. "Ada penyihir lain," gumamnya kemudian.
"Hah? Di mana?" tanya Blaine sambil menengok ke kanan dan kiri.
"Musuh kalian. Musuh kita. Bangsa Tiodore memang menggunakan sihir. Kita sudah hampir sampai di perbatasan. Lalu aku mencoba mengintip perkemahan musuh di kaki pegunungan, tapi elangku tidak bisa mendekat karena ada dinding penghalang sihir yang menyelimutinya," terang Tobias.
"Berarti kabar tentang penyihir itu memang benar. Bangsa Tiodore memang bertempur dengan kekuatan penyihir Moroc," kata Blane mencoba menyimpulkan.
"Belum pasti penyihir itu dari Moroc. Meski jumlah penyihir sangat sedikit, tetapi sebagian besarnya tidak berasal dari Moroc," kata Tobias. Malah kupikir hanya aku seorang penyihir dari Moroc yang berhasil bebas. Lanjut pemuda itu dalam pikiran.
Sihir memang sebuah cabang ilmu yang bisa dipelajari, tetapi tidak semua orang bisa menjadi penyihir. Proses kebangkitan kekuatan penyihir sangatlah sulit dan menyakitkan. Jarang sekali ada orang yang berhasil mengaktifkan energi mana-nya dengan mulus dan cepat. Butuh waktu yang cukup lama, bahkan harus bertaruh nyawa ketika akan membangkitkan kekuatan sihir dalam tubuh seseorang. Karena itu, jumlah penyihir pun menjadi terbatas, karena banyak yang tewas dalam prosesnya, dan lebih banyak lagi yang memilih menyerah. Sementara yang berhasil itu pun biasanya hanya bisa membangkitkan sihir pada tahap menengah, tidak sepadan dengan kemampuan keturunan murni dari Moroc.
Akan tetapi, sihir yang menghempaskan spirit Tobias tadi sangat kuat. Berkaitan dengan asal usulnya, Tobias adalah salah satu penyihir terkuat di generasinya sekarang. Karena itu, ia biasanya bisa menembus penghalang sihir biasa yang kadang-kadang terpasang di tempat kuno atau sihir pelindung dalam perang. Satu-satunya sihir yang sejauh ini tidak bisa dia tembus adalah milik gurunya. Namun, barusan kemampuannya dipentalkan dengan mudah, bahkan sampai membuat wujud sang elang dipaksa kembali ke dunia spirit.
"Tapi kurasa kemampuan penyihir itu memang cukup kuat," imbuh Tobias kemudian.
"Jadi kita akan bertempur dengan penyihir yang hebat? Bagaimana kalau dia mendatangkan bola-bola api? Atau hujan pedang es?" tanya Blaine cemas dengan imajinasinya sendiri.
"Aku belum tahu teknik bertarung penyihir itu. Tapi untuk mendatangkan bola api dengan ukuran besar, atau hujan pedang es berskala masif untuk peperangan, dibutuhkan kemampuan penyihir tingkat tinggi," kata Tobias.
"Dan kau bilang penyihir itu kuat," tandas Blaine menimpali.
Tobias menghela napas sejenak, berpikir. "Sebaiknya kita segera menyusul prajurit lainnya," pungkas pemuda itu sambil mempercepat langkahnya.
***
Matahari sudah condong ke barat saat Tobias dan Blaine akhirnya melihat barisan kemah dengan panji-panji hijau kerajaan Roladia. Keduanya pun bergegas menghampiri saat cakrawala masih memerah, sebelum hari berubah gelap.
Bagian belakang perkemahan tersebut rupanya merupakan area medis yang berisi tenda-tenda perawatan penuh prajurit terluka. Beberapa penyembuh berseragam krem lalu lalang di sekitar, membawa kain pembebat atau herba obat-obatan. Satu dua tandu diangkut dari garis depan, membawa sosok prajurit yang pingsan bersimbah darah. Suara rintihan dan erangan kesakitan mengudara bersama bau bacin darah yang bercampur dengan antiseptik.
Tobias dan Blaine berjalan melewati tenda-tenda paramedis. Orang-orang terlalu sibuk untuk memperhatikan kedatangan dua prajurit susulan yang salah satunya tidak mengenakan zirah, melainkan hanya mantel gelap sederhana seolah dia hanya sedang berpiknik alih-alih berperang.
"Ki ... kita harus melapor dulu," ucap Blaine tampak gentar melihat pemandangan prajurit-prajurit yang anggota tubuhnya terpotong di dalam kamp-kamp tenda.
"Kurasa kita harus ke pusat perkemahan di tengah," ajak Tobias yang sudah lebih terbiasa dengan keadaan semacam itu.
Sang sejarawan itu pun memandu rekannya melewati barisan kemah medis. Dibatasi dengan pagar kayu sederhana, kemah prajurit pun akhirnya terlihat di seberang. Suara rintihan dan baru herba obat mulai memudar, digantikan bau mesiu dan asap pembakaran. Rupanya para prajurit di kemah ini sedang mulai membuat api unggun.
Tobias menyapukan pandangannya di sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan komandan Kompinya, Kapten Arne, atau sekadar ajudannya, untuk melaporkan kedatangan mereka. Namun pemuda itu tidak melihat sosok yang dicari, dan justru mendapati Ethan sedang berkutat menyusun kayu bakar di depan salah satu tenda prajurit.
"Ethan," panggil Tobias sembari berjalan mendekat.
Ethan mendongak, tampak bosan melihat kemunculan rekannya yang sudah menghilang beberapa hari. "Kau sudah sampai," balasnya datar, lantas kembali sibuk menyusun kayu bakar.
"Kami mau melapor. Di mana kemah komandan Arne?" tanya Tobias tanpa basa-basi.
Ethan mengedik ke arah tenda di sebelah kiri. "Tenda besar di samping itu," ujarnya. "Tapi sekarag dia sedang ada di kemah utama untuk membahas strategi perang."
"Kemah utama?"
"Itu, yang paling besar dengan bendera Roladia yang dikibarkan paling tinggi," jawab Ethan sambil menunjuk ke kejauhan.
Tobias dan Blaine menoleh mengikuti arah yang ditunjuk Ethan. Setidaknya seratus meter dari tempatnya berdiri, menjulang dengan mencolok, sebuah tiang tinggi yang ujungnya dipasangi bendera hijau dengan bunga berkelopak lima, lambang Kerajaan Roladia.
"Liam juga sedang ada di sana. Berlatih di lapangan tarung depan kemah utama," kata Ethan menjelaskan.
"Baiklah. Kami akan ke sana. Terima kasih, Ethan," balas Tobias.
"Letakkan dulu barang-barang kalian di sini. Kami sudah menyiapkan tempat untuk kalian di tenda ini. Dan baju zirahmu juga sudah disimpan di dalam," kata Ethan sebelum rekan-rekannya beranjak pergi.
Tobias tersenyum dan berterima kasih sekali lagi. meski kerap menggerutu, tetapi Ethan sebenarnya adalah orang yang peduli pada rekannya. Terbukti dari kesetiakawanannya dengan Liam yang sudah berlangsung lama.
Maka, Tobias dan Blain pun segera meletakkan barang-barngnya dalam kemah segi empat yang sederhana tapi cukup besar untuk menampung sepuluh hingga dua belas orang. Tobias melihat zirahnya sudah tergeletak di atas tanah di sudut perkemahan, berikut segulung kain alas tidur dan selimut tipis. Ia dan Blaine pun meletakkan barang-barangnya di sudut tersebut lantas bersiap pergi. Tobias mengenakan lagi baju zirahnya sebelum menghadap atasan. Sebagai bagian dari pasukan, zirah itu sudah seperti seragam wajib yang harus dikenakan.
Kemah besar berada di tengah, memiliki fasilitas yang lebih lengkap dan dijaga oleh beberapa prajurit bertombak di pintu masuk dan sekitarnya. Jelas bahwa kemah itu sekaligus juga sebagai tempat tinggal sang jenderal utama, Elaine Calder.
Tobias dan Blaine tidak masuk ke dalam kemah tersebut, melainkan hanya melapor ke Sir Nicholas Trebs yang sedang melatih prajurit di lapangan tarung depan kemah besar. Di sisi lapangan, Tobias bisa melihat Liam mengedik padanya di tengah latih tanding ringan dengan prajurit lai.
"Jadi kalian anggota pasukan Komandan Arne?" tanya Sir Nicholas sambil membaca perkamen identitas prajurit milik Tobias dan Blaine.
"Benar, Sir. Kami memisahkan diri beberapa hari yang lalu karena ada rekan yang tidak bisa melanjutkan perjalanan," kata Blaine menjelaskan.
Sir Nicholas menatap dua orang itu dengan tatapan sangsi. "Penyusup juga bisa mengaku seperti itu," ujarnya curiga.
"Kalau kami menyusup, kami tidak akan repot-repot melapor," tukas Tobias.
"Bisa saja, kalau kalian berniat untuk mengetahui strategi perang kami."
"Silakan konfirmasikan pada Komandan Arne tentang identitas kami," potong Tobias tidak ingin memperpanjang masalah.
"Tunggu sebentar." Liam berlari mendekat dengan tergopoh-gopoh. "Saya bisa mengonfirmasi identitas mereka. Ini Tobias Wright dan Blaine Smithe yang sempat berlatih bersama di ibu kota dengan saya. Beberapa prajurit lain juga pasti bisa mengenali mereka," lanjut pemuda itu sambil menatap Tobias penuh percaya diri.
"Dan kau ...?" tanya Sir Nicholas dengan satu alis terangkat.
"Siap! Liam Durhat dari pasukan Komandan Arne!"
Sir Nicholas akhirnya menghela napas lalu menyerahkan kembali dokumen pengantar milik Tobias dan Blaine. "Kalian bisa ikut berlatih sampai jam makan malam. Prajurit yang baru tiba dilatih di sisi timur," ujarnya sambil melambai malas.
"Siap!" seru Blaine diikuti anggukan singkat Tobias.
Kedua orang itu sudah hendak masuk ke lapangan tarung ketika mendadak, Sir Nicholas berubah tegap dan dengan tegas berbalik menghadap ke tenda utama di belakang Tobias. Para prajurit yang ada di sana pun turut menghentikan latihan mereka dan berbalik menghadap ke arah yang sama sambil memasang tubuh tegap dan gestur hormat dengan mengepalkan tangan di dada. Bahkan Liam pun melakukan hal sama, ditambah tatapan penuh kekaguman yang terpancar dari binar-binar matanya.
Tobias pun ikut berbalilk, penasaran sekaligus terpengaruh oleh kekompakan para ksatria. Rupanya, tirai tenda utama sudah tersibak. Komandan Arne muncul dari sana, diikuti oleh beberapa pengawal. Namun, yang membuat semua orang mematung dengan sikap kepatuhan mutlak itu bukanlah sang komanan, melainkan seorang perempuan berambut emas yang mengenakan baju zirah penuh carut marut bekas pertempuran. Rambut panjang perempuan itu diikat ke belakang, berkibar lembut terkena angin senja yang hangat. Dengan langkah tegap dan anggun, perempuan itu memancarkan aura yang kuat, yang membuat mata Tobias tidak bisa lepas darinya.
"Orang itu ...," gumam Tobias tanpa sadar terpukau oleh kehadiran perempuan tersebut.
"Putri Elaine Calder. Dialah jenderal perang kita," bisik Blaine dengan nada kekaguman yang sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top