Prelude
Tempat itu gelap.
Lembap.
Tidak ada jalan keluar.
Remaja lelaki itu hanya sendirian di tempat ini.
Kesepian adalah bagian dari dirinya. Hukuman dari hasil hubungan terlarang.
"Kau sudah makan, Hyunjin?" Suara dari arah pintu keluar terdengar, membuat remaja berusia kurang lebih sebelas tahun itu menoleh. "Maaf karena sudah jarang mengunjungimu. Wakil Dewa menugaskanku turun ke bumi untuk menemani dewa hujan."
Hyunjin mengangguk kemudian memeluk dewa tumbuhan yang ditugaskan ayahnya, untuk mengurus Hyunjin selama masa pengasingan.
Masa yang sebenarnya tidak memiliki akhir karena ayahnya, sudah tak terlihat lagi. Meninggalkan dendam tak terobati.
"Kemarilah dan duduk di sini," kata pria bertubuh gempal, sambil menepuk pelan sebuah batu besar di sisi kanan.
Pria itu adalah satu-satunya yang bisa ia percayai di sini, sehingga apapun perkataannya Hyunjin yakin bahwa dewa tumbuhan tidak akan melukai. Melangkah menghampiri dewa tumbuhan, Hyunjin pun duduk di sisi kanannya kemudian membuka mulut, membiarkan tangan besar tersebut menyuapinya makanan.
"Aku akan memberikanmu terang." Dewa tumbuhan mengangkat tangan kanannya lalu menggunakan jari telunjuk, ia menggambar beberapa lingkaran kecil di udara, dan titik-titik debu berwarna seperti matahari pun berterbangan di antara mereka. "Hidup yang kau jalani ini, bukanlah salahmu."
"Terima kasih." Kedua mata Hyunjin berbinar, saat melihat terang yang menerangi setiap sudut gua tempat tinggalnya. "Aku selalu merindukan cahaya seperti di tempat asalku," katanya lagi kemudian meraih segelas susu pemberian dewa tumbuhan. Menenggak cairan tersebut, hingga benar-benar tandas.
Setelahnya, dewa tumbuhan bangkit dari tempat duduknya, kemudian berdiri menatap pintu keluar yang di mata Hyunjin hanyalah dinding batu. Anak lelaki itu tidak bisa melihat pemandangan di luar sana, karena sang wakil tertinggi para telah menutup mata Hyunjin, akibat pembunuhan massal di hari kedatangannya.
Saat itu dewa tumbuhan sedang berada di bumi, memberkati setiap tumbuhan dan hasil panen dari para petani.
Akan tetapi, ditengah musim panen yang bisanya dipenuhi oleh perasaan suka cita, tiba-tiba saja berubah menjadi kemalangan. Sebagaian besar para petani justru mengalami gagal panen karena dalam sehari, suhu udara menurun drastis, akibat matahari tak lagi terlihat.
Langit hitam tampak bergulung-gulung di langit, angin pun berembus kencang dengan para burung gagak yang berterbangan di antaranya. Hewan-hewan ternak bahkan tiba-tiba saja mati, tanpa sebab hingga dalam hitungan hari manusia bumi mengalami bencana kelaparan.
Mengusap wajahnya, dewa tumbuhan menoleh ke arah Hyunjin yang masih duduk di tempat. Pikirnya anak itu tidak bersalah. Dia hanya membela diri karena ketakutan, sehingga tanpa sadar mengeluarkan kekuatannya yang ternyata mampu menciptkan kiamat.
"Seiring berjalannya waktu, dia harus belajar mengontrol kekuatannya," bisik dewa tumbuhan pada diri sendiri kemudian kembali menghampiri Hyunjin, serta berlutut di hadapan remaja lelaki itu.
Dewa tumbuhan meletakkan kedua tangannya di bahu Hyunjin, sembari sepasang ibu jarinya menyentuh rahang kurus remaja lelaki itu lalu berkata, "Aku harus segera pergi. Jaga dirimu baik-baik di sini dan teruslah berlatih, hingga kau berhasil mengendalikan kekuatanmu. Percayalah, Wakil Tertinggi Para Dewa akan mengeluarkanmu dari sini."
Mengecup kening Hyunjin, dewa tumbuhan pun pergi dari gua tersebut yang mana di mata remaja berambut pirang itu, seperti sedang menembus batu.
Tidak ada yang bisa dilakukan Hyunjin, selain menatap kepergian satu-satunya dewa yang memercayai dan mengasihaninya. Diam-diam hatinya pun kembali teriris, akibat kesepian yang tak kunjung berakhir.
"Aku merindukanmu, Bu," bisik Hyunjin, sambil melangkah tanpa arah tujuan karena hanya melihat dinding batu yang basah dan sesekali beraroma menusuk. "Seharusnya kau membawaku pergi, sebelum sosok yang tidak layak disebut ayah menyeretku ke dunianya dan memperlakukanku seperti monster.
"Ini ... sungguh tidak adil." Hyunjin meraih sebongkah batu yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Seumur hidup, aku tidak pernah memintanya."
Mengembuskan napas panjang, ia menggenggam batu tersebut kemudian setelah beberapa detik, Hyunjin kembali membukanya, dan senggenggam abu seketika terlihat di telapak tangannya.
"Aku hanya ingin menjadi manusia," ujar Hyunjin kemudian memejamkan matanya, sambil membalikkan telapak tangan, serta membiarkan abu tersebut berterbangan karena tertiup angin.
Yang mana angin tersebut, merupakan tanda kehadiran sang dewa langit. Terus terang, lelaki itu tidak akan pernah melupakannya.
Hyunjin berbalik, menatap ke arah pintu masuk dan menunggu. Namun, tidak ada siapa pun di sana sehingga Hyunjin melangkah mendekat, sekadar mencari tahu.
"Siapa?" Hyunjin bertanya was-was, terang di pintu keluar berhasil menerangi gelapnya gua.
Akan tetapi, belum sempat Hyunjin melangkah lebih jauh, tubuhnya tiba-tiba saja terlempar hingga membentur dinding gua yang terbuat dari bebatuan tajam.
Dan seakan tidak ada kesempatan lagi, serangan-serangan tak kasat mata itu terus-menerus menyerang Hyunjin.
Ia berteriak kesakitan, tetapi tidak menghentikan serangan yang tak terlihat dari arah mana.
Darah di sekujur tubuh Hyunjin bahkan mulai berceceran. Bahkan untuk berdiri, kini ia sudah tak sanggup lagi.
Tulang-tulangnya telah patah.
Jantungnya, bahkan sempat tidak berdetak.
Namun, kematian tidak akan menjemputnya.
"Tolong hentikan!" teriak Hyunjin, menatap ke arah seorang pria yang berdiri sejauh sepuluh meter darinya. "Tolong ...."
"Kau tidak layak untuk hidup," kata pria bertubuh tinggi besar yang menatapnya tanpa belas kasihan. "Kau adalah aib dan kehadiranmu, adalah kutukan untukku."
Hyunjin merayap di atas tanah yang dipenuhi batu berukuran kecil dan besar, menghampiri pria itu. Amarah menyelimutinya, hingga apapun yang ia lalui berubah menjadi abu.
Melihat kengerian tersebut, dewa langit tanpa sadar melangkah mundur kemudian menjentikkan jarinya.
... dan dalam hitungan detik Hyunjin kembali terlempar, bergerak ke sana-ke mari seperti sesuatu tak kasat mata menyerangnya. Meski luka dan lebam di tubuh Hyunjin cepat sekali pulih, yang terjadi ini sudah seperti penyiksaan baginya.
Rasa sakit selalu dia rasakan sebagai manusia, dan sembuh dengan cepat juga turut terasa karena memiliki darah dari seorang dewa langit.
"Kau tidak bisa membunuhku begitu saja, Ayah!" Hyunjin berteriak, saat kesabarannya nyaris habis, akibat setan di kepala terus membisikkan agar ia membunuh pria itu saja. "Kau akan mendapat hukuman yang setimpal karena membunuh manusia! Apa kau frustrasi karena gagal menjadi raja, eh?!"
"Ini semua adalah kesalahanmu dan ibumu yang masih mempertahankan kandungannya."
"Kau ...," lirih Hyunjin, sambil berusaha berdiri dan memegang dada. "Benar-benar bedebah!" Anak lelaki itu berlari, saat sekujur tubuhnya diselimuti asap berwarna hitam dengan mengabaikan serangan yang ia terima.
Dewa langit yang merupakan ayahnya, sungguh memancing amarahnya. Sehingga ketika tinggal beberapa langkah lagi, Hyunjin mengulurkan tangan kanannya seiring asap hitam yang menyebar nyaris mengelilingi dewa langit.
Hyunjin berteriak penuh amarah, urat-urat di lehernya bahkan menyembul, dan kedua mata amber itu memerah.
Kali ini, dia tidak akan segan-segan membunuh dewa langit.
Dewa yang merayu ibunya, tetapi tidak ingin bertanggung jawab dan malah membunuh.
Persetan jika Hyunjin dianggap aib bagi para dewa, serta diperlakukan layaknya seorang monster.
Perlakuannya ini adalah untuk membela sang ibu.
"Aku akan membunuhmu sekarang juga," bisik Hyunjin ketika asap hitam miliknya berhasil menyelimuti dewa langit.
Ia menggenggam tangan kanannya dan layaknya lilitan seekor ular raksasa, asap hitam itu mencekik seluruh tubuh dewa langit.
Sampai saat kematian nyaris di depan mata, penyiksaan itu seketika berhenti.
Tergantikan dengan keberadaan Hyunjin yang terkepung di dalam air.
Kesulitan bernapas.
Kemudian mati.
Hidup lagi.
Terus seperti itu.
Sampai dewa air mengibaskan tangan kanannya dan ....
... Hyunjin kembali terlempar di atas salju yang teramat dingin, hingga darah yang menetes dari bibirnya pun membeku.
"Di mana mereka membuangku sekarang?" bisik Hyunjin sembari mengedarkan pandangan, tetapi hanya bentangan salju yang terlihat di bawah langit kelam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top