027. I Miss Him

"Crystal."

Suara Aiden terdengar di ambang pintu kamar, setelah dia membukanya tanpa mengetuk sekali pun.

"Asal kau tahu, dunia tidak membutuhkan seorang pemalas."

Melalui pantulan cermin yang diletakkan di atas nakas, aku bisa melihat lelaki itu melipat tangan di atas dada sebelum bersandar pada kusen pintu.

"Dan Bibi Jasmine atau pun Paman Jack, tentu tidak akan membiarkan kita berada di sini, jika salah satu dari kita hanya bisa membebani mereka."

Aku masih bersembunyi di balik selimut. Benar-benar tidak ingin berbalik ke arahnya atau mengubah posisi menjadi duduk, sekadar untuk berbicara dengan normal. Entah bagaimana, sejak seminggu yang lalu ini adalah pose favoritku--karena kau belum sembuh dari patah hatimu.

"Bangun, Crystal!" Aiden meninggikan suara, terkesan cukup kesal karena aku mengabaikannya. "Atau aku akan menyeretmu dan memaksamu untuk bekerja. Kau ingat bagaimana orang Inggris melakukan kerja paksa kepada suku Indian? Aku akan melakukan hal serupa, demi mengembalikanmu seperti semula."

Aku masih bergeming. Mengabaikan ancaman Aiden dengan mengusap air mata yang masih membasahi pipi. Meski menangis tanpa suara, rasanya sungguh tak berubah sedikit pun.

Perih di hati masih sangat terasa, tanpa peduli delapan hari telah berlalu. Kesepian di saat kenangan datang menerjang, terasa begitu kejam karena melumpuhkan tangan dan kaki. Bagaimana bisa menjalani hidup seperti ini? Mengapa Hyunjin mampu melewatinya seorang diri?

Aku tidak habis pikir, ketika kini menyadari sebagian kecil kemalangan yang mungkin dirasakan Hyunjin selama hidup. Menjalaninya seorang diri, mungkin telah menciptakan putus asa sehingga dia memilih untuk melepaskan, tapi--kenapa mereka tidak membuatku melupakannya saja?

Ini benar-benar menyiksa karena hanya Hyunjin yang mampu memahamiku dengan baik. Kristal itu dan takdir yang mempertemukan kami berulang kali, telah membuat Hyunjin sungguh mengenalku sehingga membuatku berpikir bahwa dia adalah yang terbaik.

Tapi juga bertanya-tanya, apakah aku yang terdahulu juga merasakan sakit yang sama?

Aku menarik napas panjang demi menenangkan diri. Sesekali meneguk saliva demi melegakan dahaga, akibat terus menangis.

"Pergilah, Aiden." Aku melambaikan tangan, mengusirnya. "Aku masih ingin sendiri."

Namun, semua orang di sini memang telah mengendus perubahan sikapku, sehingga mereka tidak akan pergi begitu saja setiap kali aku menunjukkan penolakan.

Oleh sebab itu, Aiden menghampiriku. Menarik selimutku. Bahkan merebut paksa bantal yang menutupi separuh wajahku, kemudian melemparkan benda-benda tersebut ke lantai.

"Aku tidak tahu apa yang salah dengan hidupmu, tapi meratap seperti ini sungguh membuang waktu, Crystal!" hardik Aiden sembari bertolak pinggang, setelah memaksaku agar mengambil posisi duduk. "Jika sumber masalahnya adalah Edward, maka aku akan menemuinya sekarang!"

Aku menghela napas panjang. Menunduk sambil mengamati kedua pahaku yang tampak mengecil.

Oh, sepertinya aku telah kehilangan beberapa pound. Itu wajar.

"Masih ada beberapa jam sebelum mereka kembali ke San Diego," ujar Aiden lagi lalu menarik tanganku, memaksa agar aku bergegas bangkit, serta mengikuti ke mana ia pergi.

Namun, tentu saja, aku tidak ingin pergi ke mana pun. Terlebih dengan penampilan yang seperti ini, serta dengan perasaan yang jelas tidak sedang baik-baik saja.

Aku menghentikan langkah, selagi tanganku yang satu menggenggam kenop pintu. "Lepaskan, Aiden. Aku tidak bisa pergi ke mana pun, terutama sekarang."

Dia menatapku sengit, seakan tidak terima dengan penolakanku barusan. Selagi melepaskan genggamanya, lelaki itu berkata, "Mau sampai kapan aku harus membiarkanmu seperti ini? Aku tidak bisa selalu tahan jika kakakku terus-terusan murung yang bahkan kau tidak ingin membaginya denganku. Apa kau pikir aku masih bocah ingusan, eh? Kau tidak percaya padaku?"

Baiklah, aku bisa mengerti mengapa Aiden bersikap demikian. Dia mengkhawatirkanku. Sesederhana itu. Akan tetapi, apakah dia mampu menerimanya, jika aku menceritakan alasanku yang seperti ini? Terlebih sejak kepergian Hyunjin di air terjun, peristiwa tersebut seolah kembali.

Peristiwa di mana tidak ada seorang pun yang mengenal Hyunjin. Seolah namanya tak pernah ada di dunia ini. Bahkan ketika beberapa hari lalu aku mengunjungi rumah pria itu, bertanya pada si pemiliknya, dan ... benar saja, dia pun yakin bahwa belum ada yang menyewa rumah tersebut, meski dalam waktu dekat.

Saat bertanya kepada Vivian mengenai kekasihnya Jackson pun, gadis itu juga tidak ingat pernah berkencan dengan pria tersebut. Dia bahkan tak segan menganggapku bermimpi karena mengatakan hal yang tidak pernah terjadi.

... atau lebih kasarnya, dia menganggapku gila sebab bersikukuh mengatakan bahwa gadis itu sedang berkencan dengan pria bernama Jackson.

Aku menarik napas panjang. Terduduk karena stress kembali melanda, selagi menempelkan kening di atas kedua lutut. Kesakitan ini benar-benar menjebakku dalam kesendirian yang tak berujung.

"Maafkan aku, Aiden," kataku lirih ketika sepertinya, remaja itu turut duduk di hadapanku.

Dia mengusap kepalaku, sehingga membuat air mata tak sanggup lagi terbendung.

"Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menceritakannya, tapi kau harus tahu bahwa Edward bukanlah alasanku seperti ini." Aku menggigit bibir, berusaha agar tidak terisak ketika bahuku nyaris bergetar.

Aku ... benar-benar merindukannya.

"Aku telah berpisah dengannya secara baik-baik dan sungguh di luar dugaan, sesuatu yang lain pun turut terjadi."

Aiden mengulurkan kedua tangannya. Memelukku dengan penuh perhatian. Sungguh, ini adalah hal yang paling kubutuhkan, dari sekadar mendengarkan masalahku.

Keberadaan Aiden yang memelukku sekarang, membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian.

Dan untuk kesekian kalinya, aku menangis lagi. Seolah air mataku tak akan pernah mengering, hingga suara ketukan pada pintu kamar terdengar.

Aiden mengusap air mataku, beberapa detik sebelum Bibi Jasmine membuka pintu kamar. Rupanya bukan hanya aku yang sedang kalut, tapi juga mereka yang mengkhawatirkanku.

"Crystal ...," panggil Bibi Jasmine yang saat itu, membuatku refelks memeluknya.

"Maafkan aku," bisikku kepadanya karena memang hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.

Akan tetapi, Bibi Jasmine justru menarik diri dan memilih untuk menatapku. Ia menyelipkan jemarinya di rambutku, membuat gerakan seperti sedang menyisir kemudian mengusap kering jejak-jejak air mataku.

Bibi Jasmine mengecup keningku, sebelum ia berkata, "Ada yang ingin menemuimu."

"Siapa?" Kedua alisku menyatu. Jika bisa mengatakannya, aku masih tidak ingin menemui siapa pun karena berbicara dengan mereka merupakan satu langkah besar dari keterpurukanku.

Oleh karenanya aku menggeleng pelan, sebelum Bibi Jasmine menjawab pertanyaanku.

"Aku ... belum bisa menemui seseorang."

"Sayangnya, dia pun sama keras kepalanya denganmu, Crystal." Bibi Jasmine mengusap lengan atasku, mengangguk meyakinkan bahwa tak apa-apa untuk bertemu sebentar.

Aku menghela napas lagi. Selama seminggu terakhir, gestur ini telah menjadi kebiasaanku. Beban berat di pundak berhasil membuatku benar-benar lelah, sehingga membutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan pasokan udara.

Dengan langkah gontai, aku keluar kamar dan menuruni tangga tanpa menyimpan semangat sedikit pun. Jika bisa melihat diri sendiri, aku meyakini bahwa penampakanku sekarang tidak jauh berbeda dengan apa yang terlihat pada karakter zombi.

Aku menggulung rambut secara asal, hingga membentuk sanggul berupa gulungan besar dengan anak-anak rambut mencuat di sana-sini.

Mengabaikan pertanyaan adik kembarku di ruang tamu, aku membuka pintu dan--demi Tuhan, apakah ini nyata?!

Lantas kedua mataku terbelalak, saat mendapati siapa yang berdiri di depan pintu. Meski penampilannya terlihat sangat baru, tetapi aku tidak mungkin untuk tidak mengenalinya.

Bahkan ketika aku mengusap kedua mata berulang kali. Dirinya tetap berada di hadapanku, sehingga meyakinkan bahwa ini bukanlah ilusi belaka.

Kali ini rambutnya hitam pekat, sehingga semakin kontras dengan kulit putihnya yang pucat. Netra hijau yang membuatnya berbeda pun telah berubah menjadi amber. Aku tidak mengerti mengapa hal tersebut bisa terjadi, tetapi mata kucing itu akan tetap menjadi ciri khasnya.

Apapun yang terjadi, dia tidak berubah. Bahkan ketika ia membuat air mataku menetes semakin deras, pria itu masih tetap sama.

Kedua kakinya menopang kokoh tubuhnya yang tinggi menjulang di hadapanku. Sudut bibir melukiskan senyumanan hingga memancarkan kehangatan mendalam, mengalahkan embusan dingin angin musim gugur.

Ya, Tuhan, aku sangat merindukannya.

"Lama tidak melihatmu, Crystal."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top