025. This Will Be Our Last Meeting

"Kau yakin tidak ingin kutemani?" Edward bertanya keesokan harinya, ketika ia berkunjung ke rumah Bibi Jasmine selepas kami menyantap sarapan.

Dia duduk di sofa ruang keluarga. Mengenakan setelan santai seperti biasa, tetapi tetap keren karena memiliki selera fashion yang bagus di tubuh dan wajah sempurna. Jika keadaannya tidak seperti sekarang, tentu aku akan masih sangat menyukainya.

Aku duduk bersila di sofa panjang, bersebelahan dengan sofa tunggal yang diduduki Edward. Di lain sisi, Aiden dan Mac membawa si kembar ke halaman belakang agar tidak mengganggu kami dengan sejuta pertanyaan untuk menuntaskan rasa penasaran mereka.

Setelah mengganti saluran TV menjadi acara musik, aku berdeham sambil mengecilkan sedikit volumenya. "Sebenarnya, kau tidak perlu mengunjungiku," kataku lalu menoleh ke arah Edward. "Bukan bermaksud mengusir, tapi bukankah keberadaanmu di sini adalah untuk merayakan pertunangan ibumu?"

"Apa kau melupakan janji kemarin?" Kedua alisnya terangkat hingga menciptakan kerutan-kerutan halus di kening.

Aku menggeleng. Tentu saja aku mengingatnya, tapi aku sedang tidak ingin bicara sekarang. Menghabiskan waktu semalaman untuk memikirkan Hyunjin, membuatku cukup lelah. Terlebih tidak ada sedikit pun petunjuk di mana keberadaannya sekarang.

Bisa dikatakan, aku memang mengingat semuanya, tetapi juga dalam keadaan tersesat.

"Kau ingin aku berkata jujur?" tanyaku sungguh-sungguh, sambil menatap ke arah benang merah yang masih terjalin di antara kami berdua.

"Tentu saja." Edward mengedikkan bahu kemudian meletakkan kedua sikunya di atas lutut.

Benar, mungkin aku harus bersikap tegas untuk memutuskan benang sialan ini.

Meneguk saliva kuat-kuat, aku mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya kembali berkata, "Tidak ada kesempatan lagi."

Netra kami bertemu dan untuk terakhir kali, kucoba menyelami apa yang di pikiran Edward.

"Aku telah mengencani orang lain. Merindukan lelaki itu. Dan hanya memikirkannya."

Aku menghela napas sebelum kembali melanjutkan ucapan.

"Jika kau berpikir bahwa ini semua terjadi karena aku ingin mencari pelarian, tentu kau salah besar, Eddy. Aku tidak pernah seperti itu dan pasti kau mengetahuinya. Dia hadir di masa tersulitku, menghibur, bahkan membuatku melupakan kesedihan yang seharusnya sekarang masih bisa kurasakan.

"Tapi ... kau justru hadir dan mengacaukan segalanya."

Kedua alis Edward saling bertaut. Bahasa tubuhnya seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi tidak akan kubiarkan hal itu terjadi karena sebelum dia berkata, aku terlebih dahulu menyela.

"Maafkan aku, Eddy, tapi bisakah kita berhenti sampai di sini saja?" tanyaku--yang sebenarnya cukup berat dikatakan--sembari menatap lurus ke dalam matanya.

"Kita sudah melalui hal ini berulang kali dan kesalahan yang dialami selalu sama. Hubungan kita benar-benar tidak berkembangan. Hanya jalan ditempat untuk menyakiti hingga aku merasa seperti orang tolol."

Edward meraih tanganku, tanpa sempat aku menepisnya hingga terkungkung di dalam genggamannya.

"Kau benar-benar merasa seperti itu?"

Aku menyipit, seiring rasa panas yang mulai menghasilkan cairan emosi di kedua mata. "Kau adalah lelaki paling brengsek yang pernah kukenal."

Dia mengangguk samar, sebelum menunduk beberapa detik sambil mengusapkan ibu jarinya di punggung tangan kiriku.

"Maafkan aku," lirih Edward yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, hingga hatiku seketika terenyuh. "Aku menyesalinya, Crystal. Seharusnya aku tidak terus-menerus meremehkanmu. Beranggapan bahwa kau akan selalu kembali ke pelukanku, meski telah disakiti berulang kali.

Edward menengadah, membuat tatapan kami kembali bertemu dan ia tersenyum miris.

Demi Tuhan, aku lebih bersyukur dia menjadi lelaki brengsek, daripada menjadi lelaki putus seperti sekarang.

"Aku sudah sangat terlambat untuk menyadarinya, 'kan?"

Menggantikan apa yang Edward lakukan sebelumnya, kali ini aku menunduk sambil menarik kedua tanganku dari genggamannya.

Kebimbangan sebenarnya mulai merasuki pikiranku. Namun, segera aku menepisnya dengan membulatkan tekad untuk mengusir Edward dari hidupku.

Bagaimana pun, mungkin ini adalah satu-satunya jalan agar benang merah itu terputus, serta kehilangan fungsi guna memengaruhi kami.

"Jangan hadir lagi di hadapanku, Edward," ujarku akhirnya, setelah memberanikan diri menatap langsung ke arah lelaki tampan itu. "Berbahagialah, tanpa aku."

Bangkit dari sofa, aku melangkah mendekati Edward sekadar memberikan pelukan perpisahan, demi mengakhiri segalanya dengan baik. Tanpa menyimpan dendam sedikit pun, serta agar kami bisa saling mempelajari pengalaman.

Aku tidak peduli tentang apa yang dipikirkan Edward. Tidak peduli bagaimana pandangannya terhadapku sekarang. Dan hanya memfokuskan diri pada benang merah di jari manis kami.

Sungguh tidak terduga, benda itu secara perlahan mulai mengendur. Seakan melepaskan diri dari jari manis kami, hingga semakin lama semakin menyusut seiring kepergian Edward dari pandangan mataku.

Edward meminta maaf berulang kali, sebelum dia memasuki mobil dan benar-benar menghilang diujung jalan, bersamaan dengan benang merah yang akhirnya terputus. Kepergiannya pun membuatku merasa jauh lebih lega karena tidak lagi terbebani oleh benda sialan itu.

Aku menoleh ke belakang, meraih gagang pintu. Menguncinya sebelum meninggalkan rumah dan meletakkan kuncinya di sela pot tanaman hias milik Bibi Jasmine.

Tiba-tiba saja instingku mengatakan bahwa sebaiknya, aku mendatangi kediaman Hyunjin saja. Mencoba mencari tahu keberadaannya dari para tetangga atau jika tidak berhasil, aku akan menunggunya.

Menggunakan sepeda milik Aiden, aku pergi menuju kediaman Hyunjin. Mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang, hingga ponselku tiba-tiba bergetar di tengah jalan dan membuatku terpaksa menepi.

Aku merogoh saku celana untuk mendapatkan benda pipih tersebut lalu menggeser icon berwarna hijau, saat kulihat nama Hyunjin tertera di layar.

"Halo, Apa aku sedang bermimpi?" sapaku sambil berusaha menahan diri, agar tidak terdengar sangat menantikan dirinya.

"Kau tidak merindukanku, Crystal?" Suaranya mengartikan bahwa dia tengah tersenyum, menikmati pertanyaan sarkas yang baru saja kulontarkan.

Masih mencoba untuk menahan diri, aku mengulum senyum karena tidak ingin tertawa kegirangan. "Aku justru bertanya-tanya kenapa harus merindukanku? Bukankah kita hanyalah orang asing yang kebetulan bertemu di Santa Cruz?"

Dia tertawa di seberang sana yang aku tidak tahu keberadaannya di mana, tetapi hanya dengan menelepon seperti ini kerinduanku seketika sedikit terobati. Oleh karenanya, aku tidak mengatakan apapun. Hanya menikmati tawanya, hingga lelaki itu harus berdeham beberapa kali.

"Halo, kau masih di sana, Crystal?" tanyanya yang mungkin sadar atas diamku, selagi ia tertawa.

"Aku merindukanmu, Hyunjin," ujarku akhirnya yang kemudian disusul dengan tetasan air mata karena setidaknya, satu permasalahan telah terselesaikan dengan baik.

Hanya tersisa bagaimana nasib hubungan kami. Kuharap Hyunjin pun mengetahuinya. Namun, bagaimana memulai percakapan ini?

Aku tidak ingin menjadi perusak momen, tetapi juga kebingungan dengan apa yang telah diperlihatkan Jackson. Apakah akan semalang itu? Apakah akan menjadi sebuah kutukan turun-menurun? Bagaimana jika aku bersikap egois? Aku ingin merasakan kehadiran Hyunjin sebentar saja.

"Crystal." Suara Hyunjin di telepon membuat pikiranku seketika menghilang. Fokusku pun kembali padanya dan ketika ingin menyahut, dia terlebih dahulu berkata, "Berbaliklah."

"A-apa?" Aku kebingungan, tidak langsung menuruti permintaannya.

"Berbaliklah, Sayang," pinta Hyunjin terdengar lembut di telinga, hingga berhasil mengendalikan tubuhku.

Aku menoleh ke belakang dan ... aku melihatnya. Berdiri sejauh kurang lebih lima belas meter, sambil menempelkan ponsel di telinga, serta kulihat ia tersenyum.

"Apa kau masih merindukanku?" tanyanya lagi.

Namun, aku tidak sanggup lagi menjawab pertanyaan konyol itu karena secara alamiah, aku segera turun dari sepeda. Berlari ke arah Hyunjin seperti yang terlihat pada film-film romansa, kemudian memeluknya erat ketika tubuhku terjatuh menghantam tubuhnya.

Kehangatan segera menjalar di seluruh tubuh. Daun-daun kering berterbangan akibat terinjak kedua kakiku. Aroma sekitar yang mulai berubah seiring awal perubahan musim, seakan menenangkan paru-paru. Aku memejamkan mata, merasakan tubuh Hyunjin di pelukan, hingga tanpa sadar air mata pun menetes sebagai bentuk luapan emosi.

Aku merindukannya. Benar-benar merindukan, hingga membuatku nyaris gila.

"Ke mana saja kau? Kenapa tidak berusaha mengingatkanku dan malah bersikap seakan tidak mengenalku? Apa sesuatu yang buruk terjadi padamu?" Dan sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada Hyunjin.

Namun, lelaki itu tidak membiarkanku bertanya lebih banyak lagi karena saat itu pula, dia menempelkan bibirnya di bibirku. Menciumku teramat dalam, sampai kulihat air matanya pun turut membasahi pipi.

"Maafkan aku," ujar Hyunjin. "Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mereka ... kupikir dengan mengikuti segala perintahnya, maka kau akan baik-baik saja tapi ...."

Dia menggantungkan kalimatnya, terkesan tidak yakin untuk melanjutkan. Namun, tak ada jalan lain.

"Kehancuran itu adalah diriku." 

Seiring dengan nada suaranya yang terdengar penuh penyesalan, Hyunjin menempelkan tangan kanannya di bawah tulang selangka kiriku.

"Seharusnya, aku tidak menanamkan kristalku padamu."

Lalu kulitku seakan ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Seiring dengan cahaya yang sangat menyilaukan terlihat di sela-sela jari Hyunjin yang masih menempel di bawah tulang selangka.

Aku meringis sambil memejamkan mata. Rasanya benar-benar tidak nyaman, ketika Hyunjin mengeluarkan kristal miliknya. Hingga aku nyaris tidak tahan lagi, tubuhku pun ambruk di dalam pelukannya dan cahaya itu menghilang.

"Kenapa kau melakukannya?" lirihku dengan sisa-sisa kekuatan karena dia tidak memberiku kesempatan untuk mempertimbangkannya. "Ini bukan hanya keputusanmu sendiri, Hyunjin."

Hyunjin mengusap kepalaku. Tersenyum suram dan ia menggeleng. "Masih ada satu hari untuk menghabiskan waktu bersama, sebelum pertemuan terakhir kita. Aku ingin kita memanfaatkannya dengan baik."

"Apa maksudmu?" Aku mendorong dada Hyunjin. Benar-benar tidak percaya atas apa yang dia katakan.

Bagaimana bisa dia berbicara semudah itu di awal pertemuan kita?

"Sialan!" Aku mendorongnya lagi. "Padahal aku sangat merindukanmu dan bertekad untuk melawan hukum, tapi kau malah ...."

Lidahku seketika menjadi kelu. Tidak ada satu pun kalimat yang keluar di bibir, hanya isak tangis yang terdengar.

Hatiku benar-benar hancur, akibat keputusan sepihak yang dilakukan Hyunjin. Angin dingin awal musim semi seakan merajam seluruh kulitku, melumpuhkan segala hal yang kumiliki.

"Kau ... benar-benar mengecewakanku, Brengsek!" Lalu aku meninggalkannya, berlari menuju sepeda yang kutinggalkan di tepi jalan, dan mengayuhnya dengan kecepatan maksimal demi menjauh darinya.

Ke mana saja, selama tidak ada dirinya. Air mataku mengalir deras, mengering saat udara kering awal musim gugur menyapu pipi. Terluka ketika daun-daun menyayat kulitnya.

Bajingan, apakah aku harus menangisinya?!

Dia benar-benar lelaki yang bersikap seenaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top