022. The Answer
Kedua mataku terbuka dan aku tersentak, hingga berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan. Tidak ada siapa pun di sini. Hanya kegelapan di malam hari, serta suara aliran air dari sungai kecil yang dihiasi dengan jajaran bebatuan.
"Di mana aku?" Aku memberanikan diri untuk menelusuri jalan setapak di bawah pergola.
Tumbuhan rambat di bagian atasnya memberikan kesan misterius karena sangat minim cahaya. Hanya sinar bulan purnama--berukuran tidak wajar--yang memberikan penerangan, meski terkesan remang.
Suara burung hantu yang tidak kuketahui keberadaannya pun turut terdengar. Sempat mengejutkan karena kesunyian tempat ini, telah menciptakan pikiran negatif di benakku.
"Halo, apa ada orang di sini?" Itu adalah pertanyaan paling konyol, setelah aku bertanya di mana keberadaanku sekarang.
Biasanya aku akan selalu mengutuk pemain film bergenre horor dan sejenisnya, jika melakukan hal tersebut. Namun, kali ini aku seperti menjilat ludah sendiri karena seperti orang bodoh, bertanya pada diri sendiri yang juga tidak tahu harus menjawab apa.
"Halo!" ucapku lagi demi memecahkan kesunyian. Padahal tidak membantu sama sekali karena suaraku menggema di udara. "Aku tahu ini konyol, tapi bagaimana bisa aku berada di sini? Jika ini mimpi segeralah bangun, Crys--aw, shit!"
Buru-buru aku mengusap kuat lengan kananku ketika perasaan nyeri menjalar tanpa tahu diri, akibat cubitan yang terlalu kuat.
Tidak mungkin ini mimpi buruk!
Mimpi buruk hanya menciptakan rasa takut, tanpa menyakiti. Jika sudah lebih dari itu, maka--
"Sial! Apa-apaan ini?!" Tanpa sadar aku memekik. Seratus persen ketakutan telah menguasai, hingga kedua kaki pun kini melangkah lebar.
Tergesa-gesa.
Nyaris berlari.
Hingga suara tumpukan daun kering yang terinjak terdengar, bersamaan dengan debar jantungku.
Aku tidak tahu harus berlari ke mana, tapi satu hal yang harus kuingat adalah mencari jalan keluar. Apapun itu yang memancarkan cahaya.
... atau pintu yang terbuka lebar.
Dan netraku menemukannya ketika otak senantiasa mensugestikan, bahwa semua akan baik-baik saja.
Di depan sana--sekitar tiga ratus meter--aku melihat pintu gerbang yang terbuka lebar di antara kegelapan. Membuatku mempercepat laju langkah kaki, hingga menciptakan suara rumput kering yang terinjak.
Semakin lama, suaranya semakin nyaring dan ketika hanya tersisa beberapa langkah ....
... sesuatu tiba-tiba menyentak pergelangan tanganku, hingga membuatku berbalik arah dan menabrak sesuatu yang keras.
Tetapi tidak menyakitkan.
"Kau tidak bisa pergi tanpa ijin, Nona," katanya setelah mengendurkan pelukan dan memberiku kesempatan untuk mengintip. "Elly Jung, lama tidak bertemu."
Elly Jung? Siapa dia?
Pria itu memiliki tubuh athletis, kulit seputih susu, dan tampak berusia dua puluhan akhir. Rambut ikalnya pun tampak serasi dengan wajah yang terkesan seperti dewa-dewa Yunani.
Aku hanya berani mengintip melalui celah-celah bulu mata, serta memberikan praduga bahwa ia adalah ... apakah mungkin, satu-satunya orang di tempat aneh ini? Apa dia juga terjebak sepertiku? Sebenarnya tempat apa ini?
"Kau pasti telah lupa." Dia tersenyum lalu mengarahkan tangan kanannya di depan wajahku--seakan mengusap, tapi tidak menyentuh.
Lalu ... violla! Kupikir aku sudah benar-benar gila atau aku memiliki gangguan halusinasi, hingga bisa terjebak di tempat sialan ini.
Semua kegelapan yang menyelimuti, tiba-tiba saja berubah menjadi lebih berwarna. Seperti kualitasnya telah diperbarui, netraku tak lagi menemukan pemandangan hitam putih.
Beraneka jenis bunga membentang luas di sisi kanan dan kiri jalan. Pergola dengan tumbuhan rambat dan aliran sungai yang suaranya menarik perhatian pun tak lagi menyeramkan. Aku menoleh ke segala arah, ingin memastikan bahwa tempat ini adalah tempat yang sama.
Sekaligus, aku juga menemukan fakta bahwa gerbang bercahaya itu ... juga turut menghilang.
"Dia benar-benar mengkhawatirkanmu. Aku tidak menyangka kau akan dibawa ke tempat ini."
"Siapa kau?" Aku mundur beberapa langkah, sekadar menjaga jarak dengan pria asing itu. "Tempat apa ini?"
Namun, dia tidak langsung menjawab. Melainkan mengusap dagu seakan tengah berpikir.
"Berapa banyak kehidupan yang telah kau lalui?" Dia menatapku keheranan, tapi apa yang bisa kulakukan? Aku pun tidak tahu cara menjelaskannya. "Oh, kau bisa memanggilku Glenn."
"Glenn?" Kedua alisku lantas bertaut. Lagi-lagi perasaan tak asing menyerbu. "Apa maksud dari pertanyaanmu tadi?"
Dia menatapku dengan kedua alis dan maju beberapa langkah, hingga aku mengimbanginya dengan melangkah mundur.
"Apa kau benar-benar melupakanku, Elly Jung?"
Persetan, lagi-lagi nama wanita asing.
"I'm not Elly Jung." Aku mengepalkan kedua tangan. "Keluarkan saja aku dari sini," kataku frustrasi kepadanya. "Tolong, sebelum aku benar-benar gila!"
Tapi Glenn tidak segera menuruti permintaanku. Dia hanya menatap kemudian menghela napas panjang, seakan tengah menopang beban seribu ton yang seharusnya itu adalah aku.
"Benar juga," katanya, "Dewa Langit telah menghapus ingatanmu. Apapun risikonya, aku siap menerima konsekuensi. Anak itu berhak mendapatkan kebahagiaannya."
Lantas aku nyaris tersedak air liur sendiri, bahkan dengan susah payah lidahku turut berkata, "A-apa yang kau bicarakan, Glenn?"
Tapi pertanyaan itu tidak dijawab karena Glenn justru menjentikkan jemarinya dan--apakah itu teleportasi? Dunia benar-benar sudah gila.
Aku kembali duduk di salah satu pohon oak yang bersebelahan dengan kamar Edward. Sendirian sambil memeluk batang pohon tersebut, tanpa menemukan siapa pun di sini.
Matahari matahari berada di posisi serupa, tiga sepeda milik Aiden, Mac, serta Daisy tak bergeser sedikit pun di halaman rumah Mr. Smith. Mobil van yang dikendarai Edward bersama rombongannya bahkan tertutup daun-daun kering pohon pinus.
Akan tetapi, pemandangan tersebut tidak memperlihatkan situasi yang semestinya.
Kediaman Mr. Smith terasa begitu kosong. Tanpa kehadiran manusia lain dan seakan hanya aku yang berada di sini. Seperti berada di dunia lain, dengan seratus persen kemiripan di bumi.
Tapi hanya aku satu-satunya yang berada di sini.
Aku menunduk untuk memperkirakan bagaimana hasilnya jika aku melompat. Namun, kekesalan yang mulai mendidihkan otak membuatku akhirnya melakukan hal nekat.
"Persetan, kau tidak akan tahu jika tidak mencari jawabannya sendiri." Kedua mataku terpejam, seiring dengan keputusan untuk melompat dan ....
... lagi-lagi sesuatu menahanku.
"Sudah kukatakan kau tidak bisa pergi tanpa ijin, Elly Jung." Gleen mencengkram pergelangan tanganku kemudian dengan mudah menarik tubuhku, hingga kembali duduk di batang pohon tersebut. "Maaf, maksudku ... Crystal Stewart. Aku sedang menyelami dirimu dan telah mengetahui apa yang terjadi."
"Sorry, I don't understand what are you talking about."
Glenn menghela napas panjang, sambil menatapku dan dia menggeleng samar. "Sesuatu telah dihapus darimu. Apa kau ingat apa yang terjadi terakhir kali?"
"Apa kau tahu apa arti benang merah ini?" Tiba-tiba saja, pertanyaan tersebut meluncur sempurna dari bibirku. "Aku tidak yakin, tapi ... aku merasa sesuatu yang aneh telah terjadi."
"Kau yakin ingin tahu jawabannya?" Glenn terdengar meragukanku, tetapi aku menjawabnya dengan anggukan.
"Sepertinya benda sialan ini menyimpan banyak penjelasan."
Glenn tersenyum tipis lalu menjentikkan jarinya lagi, hingga adegan teleportasi itu kembali terjadi.
Di mana pemandangan di kediaman Mr. Smith seketika berubah, menjadi suasana pasar dengan segala aktivitasnya.
"Ini akan membuatmu merasa tidak nyaman, tapi hanya jalan terbaik untuk membuatmu mengerti."
"Persetan, Glenn, lakukan saja!" Aku mengatakan hal itu dengan tidak sabar, sampai beberapa detik kemudian keterkejutan tiba-tiba saja meninju hingga menyakiti ulu hati.
Sialan! Apakah ini yang disebut sebagai dunia paralel? Bagaimana bisa aku melihat diriku sendiri, sedangkan aku berada di sini?!
"Oh my God, hidupku bukanlah dunia fiksi," bisikku dengan jantung berdetak kuat, hingga menciptakan rasa sakit kepala yang luar biasa.
Holly shit!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top