020. Trying To Find An Answer
"Violet," panggilku dengan nada berbisik ketika dia berjalan di depanku, bersama Bibi Jasmine dan Paman Jack.
Saat dia menoleh, aku melambaikan tangan mengisyaratkan agar berjalan bersamaku. Sedangkan Daisy lebih memilih menggunakan sepeda bersama Aiden dan Mac, menuju kediaman Mr. Smith.
"Kemarilah, ada yang ingin kutanyakan," kataku masih dengan bisikan, agar Bibi Jasmine dan Paman Jack tidak mendengarnya.
Violet menurut, tanpa banyak bicara menghentikan langkahnya dan--beruntung--Bibi Jasmine pun tidak bertanya. Wanita itu melanjutkan perjalanan bersama suaminya, menuju rumah Mr. Smith yang sebenarnya hanya sejauh tiga ratus meter.
Merasa jarak kami dan Bibi Jasmine telah cukup, aku berlutut di hadapan Violet demi menyamaratakan tinggi badanku dengannya lalu memperlihatkan tangan kiri. "Apa kau melihat ini?"
Kutunjuk jari manisku dengan harapan, anak kecil yang memiliki hati bersih mungkin saja mampu melihat apa yang tidak selalu orang dewasa lihat.
"Apa kau terluka?" tanya Violet polos yang membuatku harus sedikit lebih bersabar. "Kau tampak berdarah."
Oh, baiklah. "Tapi ini bukan darah, Sayang." Aku menarik benang merah itu--yang sejak awal menyadarinya--aku benar-benar tidak bisa melepasnya. Bahkan menggunakan sebilah pisau sekali pun.
Benda ini seperti sesuatu yang ghaib, sehingga membuatku khawatir jika terdapat kemalangan di bagian akhirnya.
Tapi Violet menggeleng, sepertinya tidak melihat apa yang tengah kupegang. Dia menjauhkan tanganku yang memegang benang merah tersebut kemudian meraih tanganku, yang terlilit benang. "Lihat, Crystal," katanya sambil memegang telunjukku. "Kau harus lebih hati-hati, bagaimana bisa terluka?"
Oh, ternyata dia pun tidak melihatnya. Hanya aku yang bisa memecahkan misteri ini. Tentang apa yang kualami sebelumnya karena dalam diriku, meyakini bahwa terdapat sesuatu yang sepertinya telah merekayasa ingatanku.
Sesuatu yang belum kuketahui, tetapi ingin segera kuketahui.
Aku menatap ke arah benang merah itu kemudian melilitnya di tanganku yang lain, sambil menatap di mana akhir benang tersebut. Yaitu menuju ke kediaman Mr. Smith, tetapi tidak benar-benar berada di rumah itu karena sisanya, semua terasa kabur seperti tertutupi oleh asap tebal berwarna hitam.
Asap tebal berwarna hitam itulah yang membuatku cukup khawatir, jika akhirnya merupakan suatu kemalangan.
"Crystal, are you ok?" Violet menggoyangkan bahuku.
Membuatku keluar dari pikiran sendiri dan sadar, bahwa kami telah tertinggal jauh dari Bibi Jasmine serta Paman Jack.
Aku tersenyum tipis ke arah Violet lalu mengusap kepalanya dan bergegas bangkit. "Aku baik-baik saja. Ayo kita pergi," kataku sambil mengulurkan tangan kepada Violet.
Dia membalas uluran tanganku, sehingga kami berjalan sambil bergandengan. Violet melompat, selagi melangkah dan dia menyanyikan lagu Party In the USA sampai-sampai aku mengikutinya.
Seperti terdapat konser dadakan, kami melakukannya tanpa peduli orang-orang menoleh lebih dari sekali, demi memastikan bahwa kami tidak gila.
Sampai akhirnya tiba di tujuan, Mr. Smith menyambut kehadiran dengan begitu hangat. Rupanya akan ada pesta pertunangan malam ini dan peternakan, sekaligus kediaman Mr. Smith sengaja disewa untuk acara tersebut. Oleh karenanya, pria paruh baya itu pun meminta kami untuk membantunya mempersiapkan pesta.
"Hello, apa kau sudah menggunakan ponselku dengan baik dan benar, Baby girl?"
Aku menoleh ketika seseorang menepuk pundakku dan mempertanyakan hal yang sepertinya, tidak kuketahui apakah tertuju padaku atau bukan.
Namun, karena Justin berdiri di sisiku sambil menikmati segelas jus apel, aku yakin pertanyaan itu memang ditujukan kepadaku.
Dia bersandar pada dinding yang bersebelahan dengan meja berisi minuman segar, serta tumpukan-tumpukan gelas yang telah ditata sedemikian rupa.
"Aku menggunakannya dengan baik," jawabku sambil mengedikkan bahu, serta tetap menyusun beberapa piring kertas berisi potongan buah-buahan segar ke atas meja. "Aku menelepon Aiden dan bertukar nomor dengan ...." ucapanku menggantung, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, sesuatu seperti telah menghapus sebagian ingatanku.
Aku mengerjap ketika sadar Justin menunggu kelanjutan ucapanku. "Lupakan saja." Aku tertawa kecil, tetapi kecanggungan terdengar jelas. "Aku terlalu banyak begadang akhir-akhir ini, jadi sering melupakan hal-hal kecil."
"Kau serius?" Justin menatapku khawatir, tapi aku membalasnya dengan anggukan. "Terus terang, hari ini kau tampak aneh." Dia menempelkan telunjuk ke keningku sehingga aku ingin segera menjauh, sebelum Justin kembali berkata, "Terlalu sering mengerutkan alis, melamun, dan berbicara sendiri. Kau pikir aku bodoh? Tidak mengenalmu. Kalau kau sudah seperti ini, tandanya ada sesuatu yang mengusik pikiranmu. Jadi apa kau ingin berbagi?"
Justin meletakkan gelas kosong di atas meja dan masih menatapku, seakan tidak akan melepaskanku begitu saja. Namun, bagaimana? Dia pasti akan menganggapku sinting jika aku memberitahu tentang benang merah ini.
Jadi setelah beberapa detik, aku hanya melemparkan pertanyaan kepadanya. "Apa aku mengencani seseorang?"
Lantas kedua alis Justin terangkat. "Tidak." Dia menggeleng. "Kau baru saja putus dengan Edward, tapi kurasa hubungan kalian akan membaik lagi."
"Kau yakin? Dia mencampakkanku dengan cara yang sangat rendahan."
"Aku tahu, Sayang." Justin meletakkan kedua tangannya di bahuku. "Tapi si Brengsek itu adalah takdirmu. Menurutmu berapa kali kalian mengalami putus nyambung selama ini?"
Kedua alisku menyatu. Apa yang dikatakan Justin barusan, benar-benar bukan dirinya. Maksudku dia adalah pria yang selalu mencoba melawan takdir, jika hal itu tidak sejalan dengan pikirannya.
Akan tetapi, aku tetap menghitung--mengingat-ingat--berapa kali kami mengalami hubungan putus nyambung. Kurang lebih sekitar nyaris sepuluh kali. Apakah itu normal? Sepertinya beberapa pasangan pun demikian.
Jadi aku menggeleng, sambil memeluk nampan yang telah kosong. "Entahlah, Justin. Aku hanya merasa sedang mengencani seseorang, setelah putus dengan Edward."
"Really?" Kedua mata Justin melebar, seakan tidak memercayai ucapanku. "But you never told me." Nada suaranya terdengar menuntut, sehingga aku menghela napas panjang.
Bajingan ini juga tidak bisa membantuku.
"Yeah, because I don't know who is he." Aku tersenyum kecut kemudian menepuk-nepuk lengan atas Justin, sebelum pergi meninggalkannya karena Bibi Jasmine kembali memanggilku. "Bersenang-senanglah dengan pestanya. Aku sungguh tidak tahu bahwa ibunya Edward akan bertunangan dengan Mr. Will. Kukira ini hanyalah perayaan dua minggu terakhir di musim panas biasa."
"Sialan, akhir musim panas? I'm gonna miss you baby girl."
Aku tertawa kecil dan memeluk Justin. "Ketika kau sudah di San Diego, kau bisa meneleponku sesekali."
"Aku akan meneleponmu setiap hari."
"Jangan terlalu bersikap posesif. Sikapmu itu akan membuatku kesulitan mendapatkan kekasih."
"Ok, akan kupertimbangkan." Justin melepaskan pelukannya, melambaikan tangan seolah mengusirku dari hadapannya.
Aku pun pura-pura merajuk lalu pergi meninggalkan Justin, dan menghampiri Bibi Jasmine yang tengah berdiri di hadapan cake berukuran super besar.
"Bisa kau bantu aku mengangkatnya ke meja itu?" tanya Bibi Jasmine terdengar frustrasi, hanya karena cake super besar yang tentu saja membutuhkan lebih dari satu orang untuk memindahkannya. "Seperti cake di upacara pernikahan saja. Jika tunangan saja sudah sebesar ini, aku bisa meyakini di pesta pernikahan mereka cake-nya akan sebesar gedung pencakar langit."
Aku terkikik mendengar ocehan Bibi Jasmine yang hiperbolis. "Jika itu benar, mereka akan memecahkan rekor."
"Aku hanya bersikap sarkas, Sayang." Bibi Jasmine memutar mata. "Ready?"
Aku mengangguk setelah kedua tanganku sudah berada pada pinggiran piring, serta Bibi Jasmine menghitung hingga angka ketiga sebelum akhirnya kami sama-sama mengangkat cake tersebut.
Namun, entah bagaimana hal itu bisa terjadi Bibi Jasmine nyaris menjatuhkannya, jika Edward dan ....
... satu pria lainnya bergegas membantu kami, dengan memegang pinggiran piring lainnya.
"Puji Tuhan, kalau tidak ada kalian, aku yakin akan terjadi kekacuan di sini." Bibi Jasmine mengelap titik keringat--tanda ia gugup--dengan menggunakan punggung tangan. Tersenyum menatap mereka berdua, sambil mengembuskan napas panjang. "Thank you."
Kedua pria itu mengangguk, tetapi salah satunya tidak benar-benar fokus kepada Bibi Jasmine. Melainkan kepadaku karena netra hijau itu, seakan mengunci diriku. Membuat dunia seakan hanya tersisa kami berdua.
Kami tidak mengatakan apapun. Hanya saling menatap dan--mungkin--tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Entah mengapa pria asing itu terasa tidak asing. Namun, bagaimana bisa aku tidak tahu namanya, jika ini bukanlah pertemuan pertama kami?
Apakah dia adalah sesuatu yang telah dihapus?
Aku tidak yakin untuk berkata, ya.
"Senang bertemu dengan kalian. Aku adalah warga baru di sini," kata pria keturunan Asia itu, setelah beberapa saat menatapku. "Hyunjin."
Apa?! Seketika tubuhku membeku. Bernapas pun menjadi hal tersulit dalam hidupku. Dan secara terang-terangan otakku, mulai memaksakan diri untuk membuka laci-laci memori demi mencari sesuatu.
Ya, mencari sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat ditemukan.
Kepalaku seketika terasa seperti telah dihantam palu super besar. Membuat telinga berdengung hebat. Sampai-sampai kedua kaki seakan sedang berpijak pada tumpukan jelly.
Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa nama itu berpengaruh sangat hebat padaku? Aku sungguh tidak tahu, tapi--
"Tempat tinggalku hanya terpisah beberapa rumah dari kediaman Mr. Smith."
Oh, semakin parah saja!
Aku mengepalkan kedua tangan ketika kesadaran mulai terenggut, oleh sesuatu yang tidak kuketahui itu apa. Sekuat tenaga mempertahankan keseimbangan, hingga tangan kiriku tiba-tiba saja terasa seperti ditarik.
"Crystal, kau baik-baik saja?"
Pertanyaan Edward membuatku menoleh dan yang benar saja, benang merah itu terhubung dengannya. Turut melingkar di jari tengahnya dan semakin jelas, saat ia merangkulku.
Kini aku tidak benar-benar berdiri tegak. Tubuh tegap Edward telah menjadi sandaranku.
"Kau tampak pucat," kata Edward, "beristirahatlah, aku akan mengantarmu."
Aku mengangguk lemah, tetapi tatapanku masih tertuju pada benang merah yang melingkar di jari manis Edward.
Apa artinya ini? Mengapa tidak ada jawaban sama sekali? Sebenarnya aku berada di mana?
Bibi Jasmine turut membantuku meninggalkan ruang tengah Mr. Smith, sedangkan pria bernama Hyunjin--sungguh--tidak melakukan apapun selain berdiri tegak dan ....
... menggenggam erat benang merah itu, dengan air wajah yang suram.
Jesus! Apa maksudnya ini? Apa dia adalah jawaban yang aku cari?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top