019. Don't Break The Rules

Pria itu—Tuan Minho—calon ayah mertua—jika memang harus kusebutkan seperti itu—tersenyum asimetris kemudian mengangkat tangannya hingga setinggi dada. Dari bawah telapak tangannya, aku bisa melihat angin tornado berukuran sangat kecil. Entah apa yang ingin dia lakukan, tetapi aku tidak bisa mengingkari bahwa hal tersebut bisa saja merupakan hal buruk. 

Terlebih Hyunjin yang tiba-tiba saja menggenggam tanganku, serta membawaku—sedikit—berdiri di belakangnya.

"Kau tidak bisa menyakitiku, Ayah," ujar Hyunjin, seiring genggamannya yang semakin erat di pergelangan tanganku. "Kau akan melanggar, jika masih ingin melakukannya."

Tuan Minho membalik tangannya kemudian menggenggam dan bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkah mendekati kami, tetapi itu bukan berarti suasananya pun membaik. 

Ketegangan antara ayah dan anak, nyatanya masih terasa kental. Sehingga aku berulang kali berbisik kepada Hyunjin, bahwa sebaiknya pergi saja dari sini.

Namun, berapa kali aku meminta, Hyunjin masih saja mengabaikanku dengan tetap menatap Tuan Minho, seakan mereka sedang melakukan pertandingan saling menatap.

"Apa kau ingin membalas dendam dengan memanfaatkan gadis itu?" Tuan Minho menatapku kemudian ke arah Hyunjin. Terus seperti demikian sebanyak beberapa kali. "Kau baik-baik saja, Crystal?" Ada sedikit jeda sebelum ia menyebutkan namaku dan pengetahuan sederhana tersebut, berhasil membuatku terkejut.

Maksudku dari mana dia tahu namaku? Kami belum berkenalan secara formal. Sialan, pria di hadapanmu ini adalah dewa, Tolol!

Dia tersenyum ramah lalu menggerakkan telunjuknya yang—ternyata-–berefek pada rambutku karena detik itu juga, terasa seperti bergerak akibat tertiup angin. Sialan lagi, calon ayah mertua, sungguh mengejutkanku.

"Sepertinya kristal itu belum berdampak apapun." Dia tersenyum hangat, berbanding terbalik dengan bagaimana sikapnya terhadap Hyunjin.

Akan tetapi itu bukanlah keberuntungan untukku, sebab senyum hangat tersebut justru terkesan menyeramkan karena dia adalah—

"Berhentilah membual, Ayah. Kau tidak pernah bisa meracuni pikirannya!" Nada suara Hyunjin jelas meninggi, hingga membuat kedua mataku melebar akibat terkejut—tidak menyangka—Hyunjin akan bersikap demikian.

"Benarkah?" Tuan Minho tertawa ringan, sebelum ia kembali melanjutkan ucapannya. "Kau selalu berprasangka buruk padaku, tapi …." Dia menjentikkan jarinya, hingga—sesuatu seperti yang sering kusaksikan sejak bertemu Hyunjin—sedetik kemudian waktu seakan berhenti.

Oh, Dewa, jangan lakukan itu lagi.

Air mancur di belakang kami seketika berhenti mengalir, para cupid yang sedang bermain tiba-tiba berhenti berterbangan di sekitar istana, serta—tentu saja—Hyunjin pun demikian. Hanya aku dan Tuan Minho yang tak terpengaruh, sehingga aku tidak terkejut lagi sebab hal tersebut sempat dilakukan oleh Jackson.

Tapi tetap saja, aku benci cara yang curang ini! Dewi batinku masih saja memperlihatkan ketidaksukaannya.

Tuan Minho melangkah, mendekatiku. Namun, setiap langkah yang ia ambil, merupakan tanda bahwa aku harus menjauh. Di mana tanpa sadar kedua kakiku pun bergerak mundur.

Aku ingin melarikan diri. Akan tetapi, tidak mungkin pergi tanpa Hyunjin. 

Aku membutuhkan Hyunjin untuk menemaniku, tetapi aku tidak tahu bagaimana membuat sihir ini tak berlaku untuknya.

"Tidak perlu takut," katanya, "aku hanya harus berbicara denganmu, demi kelangsungan hidup kita semua."

"Maaf, tapi kurasa kita bisa melakukannya dengan keadaan normal." Aku menggeleng, memperlihatkan ketidaksetujuanku. "Terutama tanpa harus menghentikan waktu."

Dia mengabaikanku dengan mengungkapkan pertanyaan, setelah meletakkan tangannya di bahu kiriku. "Berapa banyak kematian yang telah kau alami?"

Aku tidak langsung menjawabnya. Juga tidak tahu harus menjawab apa.

Namun, Tuan Minho memejamkan mata, mengabaikan tulang punggungku yang seketika menegak akibat terkejut. Ada sengatan listrik di kulitku. Listrik sungguhan, bukan karena jatuh cinta atau jantung berdebar.

"Sembilan puluh sembilan kali." Lalu dia membuka matanya, tersenyum ramah, hingga membuatku canggung karena tidak mengerti tentang apa yang dibicarakan.

Maksudku, aku tidak tahu bahwa reinkarnasi yang kualami akan sebanyak itu. Tandai dengan spidol merah, sembilan puluh sembilan bukanlah angka sedikit untuk kehidupan manusia biasa.

"Apa yang terjadi?" Suaraku jelas-jelas terdengar serak, akibat kegugupan yang seketika menjalar dari ujung kaki. "Aku tidak mengerti tentang ucapanmu barusan." 

Jeda sesaat, aku berdeham untuk menstabilkan suara sialan ini. "Kematian sembilan puluh sembilan kali, apakah itu merupakan hal—"

"Hal buruk." Calon ayah mertua mengangguk, sambil menyela ucapanku kemudian berbalik menuju air mancur. Ia melambai kecil, mengisyaratkan agar aku mengikutinya. "Aku tidak pernah sebaik ini. Keberadaanku adalah untuk mengacaukan hati siapa pun, tapi karena kau tidak memiliki banyak waktu … kurasa aku harus memberitahunya, agar kau bisa menemukan keputusan yang tepat."

Senyum asimetris tergambar di wajahnya lalu hanya dengan satu gerakan tangan di atas kolam air mancur, pemandangan yang familier pun menyambut.

Oh, God!

"Kurasa calon raja pun telah memperingatkanmu."

Sebenarnya, indera pendengaranku mampu mendengar apa yang dikatakan calon ayah mertua. Bahkan netraku pun masih dalam kondisi sangat baik untuk melihat kejadian di kolam tersebut. Namun, aku tidak yakin otakku mampu menalarnya, serta memerintahkan kepada jantung dan paru-paru agar tetap bekerja.

Bagaimana pun, apa yang terlihat di genangan air itu sangat menyeramkan. Rasanya seperti menerima bocoran tentang kematian yang selalu dirahasiakan oleh malaikat maut, dan sungguh—aku tidak bisa melihat ini.

"Maafkan aku," lirihku nyaris kehilangan suara dan bergegas menjauh dari kolam tersebut.

Akan tetapi, seperti tertarik oleh medan magnet, kedua kakiku tiba-tiba saja tidak mampu bergerak. Sehingga hanya diam di tempat dan aku memutuskan untuk menutup mata. 

Menelan rasa takut.

Sekuat tenaga, melupakan apa yang baru saja kulihat.

Kematianku yang ternyata sangat mengenaskan.

Seperti telah dihisap habis oleh sekelompok makhluk immortal.

atau apapun itu yang bisa membuatku, menjadi seperti mumi.

"Kau tidak bisa menghindarinya, Crystal." Suara milik Tuan Minho terdengar di sisi kananku. "Itu adalah apa yang harus kau terima jika tetap bersama Hyunjin."

"Apa karena kristal itu?" Aku memalingkan wajah ke arahnya, tidak ingin melihat ke arah kolam. Namun, ekor mataku menangkap tak ada lagi pemandangan mengerikan di sana. "Seseorang mengatakan bahwa benda itu akan terus menghisap energiku."

"Calon raja."

"Aku tidak peduli."

Tuan Minho mengangguk samar kemudian berkata, "Pertimbangkan nasib kehidupanmu, Crystal. Kau akan menyalahi takdir jika tetap bersamanya."

"Aku tidak pe—" Sial! Ucapanku terputus ketika Tuan Minho menjentikkan kembali jarinya dan sedetik kemudian sesuatu yang keras tiba-tiba saja mendorong, hingga tubuhku membuat pergerakan teramat cepat tanpa bisa kedua kaki berpijak.

Aku bergerak menjauh, tanpa mampu melakukan perlawanan dan akhirnya jatuh dari ketinggian tak terhitung. Begitu pula dengan kecepatannya, hingga perasaan takut benar-benar telah melewati batas maksimal.

Dan kupikir aku telah mati karena tekanan udara yang teramat kuat itu.

Namun, … sepertinya tidak.

Aku tersentak dan terduduk tepat di atas tempat tidur. Keringat terasa membanjiri tubuh, seiring debaran jantung yang teramat kuat. Seketika nyeri luar biasa melanda kepala, hingga tangan kananku secara naluriah memijatnya dan aku meringis kesakitan. 

Mimpi buruk sialan itu lagi. 

Suara ketukan pintu terdengar jelas dan Aiden memanggilku lalu ia menerobos masuk, sedetik sebelum ia berkata bahwa dia benci menunggu dan percuma saja jika aku mencoba bersembunyi darinya.

"Ya, Tuhan, kau masih tidur?!" Dia melilitkan kedua lengannya di bawah dada. "Kita semua sudah menunggumu sejak sejam lalu. Jika kau tidak ingin ikut, lebih baik katakan sekarang. Tapi jangan salahkan, kalau kau nanti kelaparan."

"Apa kau tahu ke mana kita akan pergi?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar di bibirku, tanpa memedulikan Aiden yang terbelalak.

"Seriously?"

Aku mengangguk dan Aiden segera mengatupkan bibirnya.

"Sialan kau, cepatlah bangun. Kita akan pergi ke rumah Mr. Smith untuk membantunya, sekaligus berpesta," ujar Aiden, "atau kau sebaiknya menyusul saja."

Lalu Aiden meninggalkanku menutup pintu dengan cukup kasar dan bisa kudengar bagaimana ia tertawa. Entah apa yang terkesan lucu, hingga dia harus bersikap demikian.

Beranjak dari tempat tidur, aku pun berdiri menghadap cermin sambil mengucir rambut menjadi ekor kuda. Mengamati wajah khas bangun tidur dan membersihkan kotoran mata lalu menguap lebar. Aku melakukan peregangan sederhana seperti apa yang biasanya kulakukan.

Namun, kali ini sesuatu telah menarik perhatianku. Sebuah tanda merah di bawah tulang selangka. Seperti aku tengah berkencan dan melakukan hal itu.

—tapi bagaimana bisa aku tidak mengingatnya? Bukankah aku dan Edward telah berakhir? 

Aku menggeleng cepat kemudian bergegas turun ke bawah, membersihkan diri, sambil terus berusaha mengingat.

Seperti sesuatu telah menekan tombol delete permanent di otakku, aku tidak bisa mengingat apapun tentang tanda ini. Akan tetapi, aku berani bersumpah bahwa firasatku mengatakan bahwa aku merasa telah melewatkan sesuatu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top