016. The Kiss That Ruined The Dinner
"Apa kau lapar?" tanya Hyunjin, setelah mendaratkan satu ciuman lembut di keningku yang sebenarnya aku berharap lebih dari itu. "Aku bisa memasak makan malam untukmu." Ia mengenggam kedua tanganku kemudian tersenyum, seakan hal tersebut merupakan salah satu hobinya sekarang.
"Well ... kau tentu tidak ingin keracunan karena menghirup atau memakan sesuatu yang tak layak santap, bukan?" Kedua alisku terangkat lalu mengedikkan bahu, setelah mengatakan kalimat sarkas barusan.
"Aku yakin kau tidak akan mencelakaiku," katanya sembari mengusap kepalaku kemudian melangkah menuju dapur.
Yang mana tempat itu, ternyata masih menyisakan kekacauan tadi pagi. Ugh!
Aku meraih beberapa lembar tissue yang diletakkan Bibi Jasmine di atas meja makan, mengelap sisa-sisa sarapanku kemudian membawa mangkuk bekas sereal, sebuah gelas kosong bekas susu, dan piring sisa biskuit semalam ke mesin pencuci piring. Terus terang, rasanya memalukan karena tidak sempat membersihkan rumah. Namun, Hyunjin sepertinya tidak peduli sebab sejauh aku memandang, ia justru turut membersihkan meja kompor lalu mengeluarkan barang-barang belanjaan kami tadi siang.
Ya, kuharap dia memang benar-benar tidak peduli karena berkomentar tanpa melakukan apapun, menurutku hanya membuang waktu.
"Apa kau bisa mencuci sayur?" Menggunakan dagu, Hyunjin menunjuk ke arah keranjang berisi beberapa jenis sayuran. "Aku akan memotong sosis-sosis ini dan mencincang daging."
"Yeah, tentu saja, tapi kau tidak bermaksud untuk meremehkanku, 'kan?" tanyaku sembari meraih keranjang berbahan rotan sintetis yang ditunjuk Hyunjin. "Kau harus tahu jika hanya mencuci dan memotong, aku bisa melakukannya dengan mata tertutup."
Mengenakan apron berwarna monokrom, Hyunjin menatapku kemudian tersenyum kecil. "Oh, really? Lalu aku akan merasa beruntung karena memiliki kekasih yang keren."
"Hell, yeah." Aku memutar mata, menanggapi tanggapan Hyunjin yang terkesan berlebihan. "Kau akan merugi jika menolak cintaku."
"Crystal ...," panggilnya lirih, diantara suara pisau yang beradu dengan daging dan talenan. "Kau harus tahu, bahwa aku tidak pernah bermaksud menolak perasaanmu."
"Lantas?" tanyaku sembari berdiri membelakanginya, menyiapkan wadah lain untuk melarutkan garam, dan meletakkan benda tersebut di bawah air keran. "Apa kau ingin mengatakan sesuatu padaku?"
Seperti yang diajarkan mom, aku pun mulai mencuci sayur-sayuran berupa; daun bawang, tauge, wortel, jamur, timun Jepang, dan beberapa jenis bawang menggunakan air larutan garam. Oh, terus terang, tiba-tiba aku merindukan mom. Sehingga otak pintarku memutuskan, agar besok menyempatkan diri untuk mampir ke rumah yang garis polisinya masih belum dilepas. Padahal kami telah mencabut laporan.
"Aku ingin kau benar-benar mencintaiku terlebih dahulu. Bukan mencintaiku karena terbawa suasana."
Kedua alisku mengerut kemudian menoleh ke arah Hyunjin yang tengah mencincang daging. Jari-jarinya yang ramping dan panjang itu, ternyata tampak sangat indah setiap kali menggerakan pisau serta menggeser daging. Sehingga untuk beberapa detik--sungguh--perhatianku tidak berpindah sedikit pun. Terlebih ketika pikiran kotor menelusup di benak dan aku, tanpa sadar meneguk saliva. Damn! How can i think about it now?
"Crystal, apa kau masih di sana?"
"Sorry?" Aku mengerjapkan kedua mata kemudian kesadaranku akhirnya kembali. "Oh, ya, tentu saja. Apa kau tidak melihat keberadaanku sekarang?" tanyaku, sambil tertawa seakan itu adalah pertanyaan paling konyol sedunia.
Well ... sebenarnya aku salah tingkah.
Hyunjin mengangguk kemudian bangkit dari tempat duduknya, serta melangkah menghampiriku. Mencuci tangan di wastafel dan ia melirik, ke arah sayuran yang terendam air garam. "Ngomong-ngomong kau masih belum berubah."
"Ha?" Kedua alisku saling bertaut dan otakku mencoba mencerna ucapannya barusan.
Akan tetapi, Hyunjin justru tertawa.
Dia mungkin menganggapku sedang melawak.
Kedua sudut bibirnya yang merah alami melengkung. Bibir yang indah. Menempel di wajah yang sangat tampan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya karena setiap manusia tentu menyukai keindahan.
Dan Hyunjin memiliki semua itu. Dia mempunyai daya tarik visual yang mencapai garis maksimal, sehingga wajar jika ia memiliki separuh darah seorang dewa.
Ah, sial!
"Kau tidak menyadarinya." Hyunjin mengusap pucuk kepalaku lalu meraih salah satu rak pantry, membuka lacinya dan mencari teflon berukuran sedang. "Berkat kristal itu, kau jadi mengalami reinkarnasi. Namun, karena kau manusia, maka kau tidak akan mengingat kehidupanmu yang sebelumnya."
Oh. "Bagaimana denganmu?" tanyaku sembari meraih tirisan dan mulai meniriskan sayur-sayuran yang telah direndam air garam. "Sepertinya kau mengingat semuanya."
"Begitulah. Aku mengatakan hidup dan mati hanyalah formalitas karena pada akhirnya, secara perlahan aku bisa mengingat apa yang terjadi di kehidupan sebelumnya."
Suara kompor yang dinyalakan terdengar, sehingga membuatku bergegas meletakkan sayur-sayuran di atas meja makan, dan bergegas memotong-motongnya menjadi bentuk memanjang.
"Kau tahu, seperti mengalami amnesia," ujar Hyunjin melanjutkan penjelasannya, sembari meletakkan teflon di atas kompor dan mulai menumis bumbu. "Ketika ingatan tiba-tiba hadir, rasanya sungguh menyakitkan seperti kepalaku akan pecah di detik berikutnya."
"Itu ... terdengar mengerikan, Hyunjin," kataku bersamaan dengan suara pisau yang bertemu talenan, ketika memotong wortel.
Hyunjin hanya mengangguk kemudian meraih sayur-sayuran yang telah kupotong memanjang, dan memasaknya bersama cicangan daging serta sosis. Aroma yang menggugah selera pun, seketika memenuhi area dapur sehingga perutku tidak bisa lagi untuk tidak berbunyi.
Aku bangkit dari tempat dudukku. Setelah meraih dua kaleng bir di dalam lemari pendingin kemudian meletakkannya di atas meja, aku memutuskan untuk berdiri di sisi Hyunjin sekadar mengamati bagaimana pria itu memasak.
Terus terang, aku harus mengakuinya bahwa dia benar-benar keren saat memasak. Seperti para koki seksi di media sosial, aku yakin Hyunjin akan menjadi salah satunya.
"Ngomong-ngomong, apa aku boleh merekammu?" tanyaku sambil memperlihatkan ponsel baru pemberian Justin. "Aku ingin kau menjadi yang pertama di galeri ponselku dan kurasa aku akan merugi, jika tidak memamerkan pacar kerenku di media sosial."
Hyunjin mengecilkan api kompor lalu menuang sedikit air di masakannya hingga menciptakan suara yang khas. Ia menoleh ke arahku, menatapku, dan aku membalas tatapannya. "Kau akan mudah cemburu, jika melakukannya," ujar Hyunjin.
"But ... I can't believe I'll be jealous because ... you know that I trust you." Aku menyunggingkan kedua sudut bibirku ke atas kemudian mengulurkan tangan ke rambut Hyunjin. "Ada kulit bawang yang tersangkut di rambutmu," kataku refleks lalu meniup benda tersebut, hingga terjatuh di wastafel.
Dan ... terus terang, aku tidak tahu bahwa tindakan spontanitas itu ternyata membuat Hyunjin membeku.
Hingga aku akhirnya sadar bahwa sepasang netra hijau itu, ternyata menatapku dengan tatapan tajam yang menggoda. Ia mematikan kompor, melangkah mendekat, dan salah satu tangannya terulur menyentuh rahangku.
"Kau benar-benar tidak berubah, meski telah menjalani kehidupan berulang kali. Bagaimana mungkin aku bisa untuk tidak mencintaimu, Crystal?" Nada suaranya terdengar berat dan serak, sehingga tanpa bertanya pun aku tahu apa yang terjadi pada pria di hadapanku ini. "Damn, Crystal, aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini."
Lalu Hyunjin menarik lembut rahangku, membuatku menengadah menatap wajahnya, dan aku ... tanpa diperintah pun memutuskan untuk menutup mata.
Memberikan seluruh kepercayaanku kepada Hyunjin. Membiarkan pria itu menyentuhku, setelah kami meresmikan hubungan kami.
Ini bukanlah ciuman untuk melompati waktu, seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Ciuman ini terasa penuh cinta karena Hyunjin menggenggam tanganku, serta tangan lainnya merengkuh tubuhku.
Bahkan ia memperlakukanku dengan sangat lembut, rapi, dan sungguh menyenangkan.
Sial! Aku tidak yakin bisa melepaskan ciuman ini begitu saja. Kedua tanganku terangkat, memeluk tengkuk pria itu dan ....
... Hyunjin melepaskan ciumannya ....
... dalam keadaan terengah.
"Are you sure you want to do it?"
"Yes, di lantai dua, pintu pertama."
Hyunjin tersenyum lebar kemudian mengecup pipiku dan berbisik, "Makan malam kita akan mendingin, Baby."
"Well ...." Aku mengerling lalu mencium pipi Hyunjin dan turut berbisik, "Kita bisa memanaskannya nanti."
Hyunjin tersenyum dan tiba-tiba melingkarkan lengannya di balik punggung serta lututku. Lalu sambil mendaratkan ciuman ia mengangkat tubuhku, menaiki tangga dengan hati-hati, sampai akhirnya kami tiba di ruangan yang Mac pinjamkan untukku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top