007. Trying to Stay Away But Always Meet
Aku tidak serius mengatakannya. Luapan emosi yang tak lagi bisa dibendung, membuatku berkata tanpa berpikir panjang. Perkataan tentang keinginan untuk membalas mereka, hanyalah omong kosong belaka karena aku bukanlah wanita haus darah.
Bagaimana tidak, dalam hitungan detik aku mengetahui bahwa napasku terhenti saat tinjuan tak kasat mata, meninju keras di ulu hati. Otakku tidak bisa berpikir, ketika kedua kaki tiba-tiba berubah menjadi sepasang jeli. Sungguh, aku tidak bisa berdiri tegak akibat keterkejutan luar biasa ini sampai seseorang menegur di balik punggung aku ... terjatuh?
Benar. Dalam keadaan lemas, lututku menyentuh tanah.
"Kau tidak seharusnya berada di sini," katanya lembut, seperti sebelumnya. Namun, bagiku justru menyeramkan karena lagi-lagi tubuhnya diselimuti asap hitam. "Kembalilah dan hadiri upcara kematian orang tuaku."
"S-siapa kau sebenarnya?" Bibirku gemetar, seiring menggesekkan kedua kakiku agar bisa menjauh dari pria berambut dirty blonde itu. "A-apa k-kau ... iblis?" tanyaku gagap, saat menyadari jarak kami yang semakin dekat dan aku yang kesulitan menjauh darinya.
"Maaf ...," bisiknya, tetapi terdengar jelas di telingaku.
"K-kau ... Hyunjin, apa yang ingin kau lakukan?" Aku memalingkan wajah, ketika punggung menghimpit tumpukan batu besar dan tangan berlumur darah itu menempel salah satu rahangku. "Tolong, jangan ...."
"Percayalah padaku, Crystal, aku tidak akan menyakitimu," ucap Hyunjin, sembari menarik rahangku dengan lembut agar menatapnya.
Namun, sungguh, ketakutan telah mendominasi sehingga sekadar menatap selama beberapa detik aku tidak lagi memiliki keberanian. Netra hijau yang awalnya terkesan menyejukkan, seketika terasa menyeramkan seperti berada di hutan terkutuk. Tangan besarnya pun tidak lagi menghangatkan, karena aroma anyir membuatku senantiasa membayangkan kematian. Asap hitam di tubuh Hyunjin yang sebelumnya melindungiku dari kobaran api, kini terasa seperti mengikat paru-paruku.
Dalam diam aku berusaha memejamkan mata, mengabaikan aroma amis yang mendominasi indera penciuman, serta sebisa mungkin berpikir mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi, sentuhannya di pipiku terlalu mengintimidasi sehingga melemahkan seluruh anggota gerakku dan aku hanya bisa ....
... diam ....
Menunggu ....
... kematian.
Yang mana semua itu berjalan, dengan cara paling mengejutkan.
Kedua mataku refleks terbuka, saat merasakan sentuhan lembut menyentuh bibirku. Seketika memberikan keterkejutan karena Hyunjin memperlakukanku dengan cara berbeda dari yang kulihat atau yang kusangka sebelumnya. Dia tidak akan membunuhku, semua itu terbaca dari bagaimana tangannya menyentuh rahangku. Asap hitam yang menyelimuti tubuhnya kini turut menyelimutiku, tetapi sedikit pun tidak terasa menyesakkan sebab justru memberikan ketenangan.
Tapi ku tidak yakin Hyunjin mengetahui bahwa aku bisa melihat keanehan pada dirinya karena kejadian itu ... kembali terulang.
Seperti memutar atau mempercepat waktu, aku kembali terbangun di tempat serupa yaitu di kamar Mac dengan Daisy yang terus memanggilku, sambil melompat-lompat di atas kasur bersama Violet. Dan mimpi akan mencium Suppasit Jongcheveevat di puncak menara Eiffel pun turut terulang, hingga membuat kedua alisku mengerut.
Apakah Hyunjin adalah dalang di balik semua ini?
"Aku tahu aku akan dianggap gila jika membahasnya," gumamku kemudian menoleh ke arah adik kembarku yang sedang melakukan konser dan tanpa meminta mereka untuk berhenti, aku memutuskan untuk turun dari tempat tidur, meninggalkan kamar Mac serta mencari keberadaan Bibi Jasmine atau siapa pun yang bisa memberi tahu di waktu apa keberadaanku sekarang karena rasanya, upacara kematian orang tuaku telah dilakukan beberapa hari lalu.
... atau lebih.
Aku melangkah menuju dapur yang berada di sisi kanan ketika memasuki area ruang tamu. Bibi Jasmine biasanya berada di sana, melihat sekarang masih jam setengah tujuh pagi dan wanita itu masih sibuk menyiapkan sarapan, selagi para lelaki melepaskan hewan-hewan ternak di kandang. Namun, suara aktivitas nyatanya tidak terdengar di area dapur bahkan ketika aku membuka pintu belakang, netraku masih tidak menemukan siapa pun.
Hingga sebuah tepukan di pundak, membuatku benar-benar terkejut.
"Akhirnya bangun juga." Bibi Jasmine tersenyum kemudian, sambil mengembuskan napas panjang meletakkan sekeranjang berisi beberapa tomat, kentang, paprika, dan sayur-sayuran lainnya di atas meja makan. "Kondisimu akhir-akhir ini membuatku khawatir, Crystal. Apa tidak sebaiknya kau bertemu Mr. Smith untuk memeriksa kesehatanmu."
Memeriksa kesehatan? Kedua alisku mengerut karena sungguh tidak mengerti, tentang apa yang dibicarakan wanita itu. Jadi aku melangkah menghampiri Bibi Jasmine kemudian duduk di salah satu kursi makan dan secara tidak sengaja, menatap ke salah satu bingkai foto di dinding ruang tamu. Yaitu foto keluargaku ketika kami pergi berlibur ke Las Vegas, setelah dad mendapatkan hadiah taruhan pada pertandingan pacuan kuda.
... dan senyum penuh kebahagiaan di gambar memorial tersebut, membuatku tiba-tiba saja merindukan mereka.
"Di hari upacara pemakaman orang tuamu, tiba-tiba saja kau pingsan," kata Bibi Jasmine seakan bisa membaca pikiranku. Ia berdiri menghadap wastafel, mencuci sayur-sayuran yang ia petik di kebun kecilnya. "Awalnya aku mengira kau mengalami depresi akibat kematian mereka, tetapi sejak hari itu kau jadi sering tidak sadarkan diri."
"Sungguh?"
Wanita itu mengangguk membenarkan pernyataannya, meski hal tersebut berada jauh dari harapanku karena rasanya aku hanya melewati beberapa detik sebelum Hyunjin menciumku, kemudian dia melakukannya lagi.
"Meski aku sudah menanyakan kondisimu kepada Mr. Smith dan dia mengatakan, bahwa kau mungkin mengalami depresi atau kekurang darah, aku tetap saja mengkhawatirkanmu, Crystal. jadi ... pergilah dan temui Mr. Smith, aku akan menanggung biayanya."
"Kurasa, aku tidak harus melakukannya."
"Kau juga selalu mengatakannya, setiap kali sadarkan diri."
"Sudah berapa hari aku mengalami hal seperti itu?"
"Seminggu."
"Seminggu?!" Jesus! Aku tidak berharap pradugaku benar karena itu hanyalah bualan belaka. "Apa sesuatu telah terjadi? Maksudku apa saja selain tentang kesehatanku."
Bibi Jasmine meletakkan sepanci air berisi kentang kemudian menyalakan api kompor, sebelum akhirnya berkata, "Nyonya Mary tiba-tiba saja meminta maaf atas apa yang dia lakukan terhadapmu dan beberapa rentenir, juga tidak lagi memberikan bunga. Jadi ... maafkan aku, Crystal, aku--"
"Bibi Jasmine menjual beberapa barang di rumah kita yang selamat dari kebakaran untuk melunasi hutang-hutang dad. Begitu pula dengan beberapa barang milik Paman Jack dan Bibi Jasmine, mereka memberikannya secara sukarela," jelas Aiden secara tiba-tiba berada di belakangku bersama Mac.
Dua pemuda itu sepertinya baru saja pulang dari pasar untuk mengantar daging-daging segar ke para pedagang, sekaligus membeli beberapa jenis ikan. Paman Jack memang selalu seperti itu, meskipun mereka adalah keluarga peternak bukan berarti mereka akan menyantap daging setiap hari.
Mac terlebih dahulu duduk di hadapanku setelah meletakkan dua gelas di atas meja, sedangkan Aiden meraih sebotol susu dari dalam lemari pendingin. Sebenarnya, aku ingin mengajak Aiden berbicara empat mata di luar kediaman Bibi Jasmine. Akan tetapi, Paman Jack bersama dua adik kembarku turut menyusul menghampiri kami, serta duduk di masing-masing kursi. Aroma dari lelehan butter di atas pancake pun akhirnya memenuhi area dapur.
Aku menatap ke arah Aiden ketika yang lainnya sedang membicarakan beberapa topik diantaranya; Paman Jack dan Mac membicarakan tentang perlombaan pacuan kuda di salah satu saluran TV semalam, sedangkan Bibi Jasmine sambil memasak memutuskan untuk berdiskusi bersama Daisy, dan Violet mengenai menu snack apa yang akan mereka buat untuk pergi ke air terjun.
"Bisa bicara sebentar?" bisikku pada Aiden setelah menyikut lengannya. "Ada yang harus kita diskusikan."
"Tapi sebentar lagi sarapan."
"Aku tidak bisa menunggu karena kondisi kesehatanku sedang menurun."
"Artinya kau harus sarapan terlebih dahulu."
"Aiden," panggilku dengan nada memperingatkan, sembari mencengkram pergelangan tangan Aiden kemudian menebarkan pandangan sekadar mengamati situasi. "Paman, Bibi, kita ingin keluar sebentar," pamitku lagi sambil melemparkan senyum, serta bergegas menyeret pemuda itu agar meninggalkan meja makan, menuju halaman rumah.
Akan tetapi, ketika aku baru saja membuka pintu utama kehadiran seorang pria tiba-tiba saja menghentikanku. Di mana tangan kanannya terlihat seperti ingin menekan bel, sedangkan tangan lainnya membawa sebuah kantung plastik yang mengeluarkan aroma lezat.
Untuk beberapa saat aku menatap pria itu, tetapi di detik berikutnya bulu kudukku merinding. Sehingga segera kembali menarik Aiden, agar bergegas menjauh darinya karena aku yakin akan menjadi gila jika terus-menerus seperti ini.
Di mana orang-orang menganggapku sering kali mengalami pingsan, sedangkan aku sendiri merasa seperti sedang melompati waktu yang mana hal itu benar-benar membuatku gila.
Melangkah lebar di jalan beraspal, aku membawa Aiden menuju jembatan yang hanya berjarak tiga ratus meter kemudian masih tetap berjalan, hingga kami tiba di hadapan sebuah rumah yang tidak lagi layak disebut sebagai rumah. Dindingnya sudah benar-benar hancur, begitu pula dengan bagian atap, dan hanya menyisakan kerangka yang telah menghitam akibat kobaran api. Kami berdiri tepat di halaman berumput, abu sisa kebakaran tak lagi berterbangan karena seminggu telah berlalu. Namun, aku harus bersumpah bahwa kenangan di rumah ini tidak akan pernah sirna.
Rumah yang memiliki kenangan tentang masa kecilku.
Rumah yang menjadi bukti sepasang suami istri paling berbahagia karena akhirnya, mampu memiliki rumah sendiri.
Dan rumah yang menjadi saksi bagaimana kehidupan kami yang sebenarnya, akan benar-benar dimulai.
Aku menoleh ke arah Aiden kemudian meraih tangan kanannya dan menggenggamnya. "Aku ... baru kali ini melihat yang tersisa," kataku sembari mengubah posisi berdiri hingga benar-benar berhadapan dengan sang adik lelaki. "Aku sudah memutuskan akan bekerja keras untuk mengembalikannya dan bertanggung jawab atas kehidupan kalian. Aku akan mencari pekerjaan, selain mengurus peternakan."
Namun, Aiden justru menggeleng sehingga membuat menggerakkan bibir, bertanya tentang apa yang ia maksud. Kedua alisnya saling bertaut, tatapan yang biasanya terkesan tajam itu pun seketika berubah sendu.
"No, Crystal," lirih Aiden, sambil menunduk seakan tidak berani menatapku. "Peternakan kita telah diambil paksa oleh lintah darat. Bahkan rumah kita yang telah terbakar."
"A-apa?"
"Maafkan aku, Crystal, karena tidak bisa mempertahankan milik kita, tapi Mr. Smith telah menawariku sebuah pekerjaan sehingga aku yakin bisa mendapatkannya kembali."
"Tidak," selaku cepat sambil mencengkram pelan kedua bahu Aiden, hingga mampu menggeser posisi berdirinya menjadi berhadapan denganku. "Aku yang akan mengambil tawarannya."
"Tapi, bagaimana dengan kesehatanmu?"
"Aku akan menemui Mr. Smith hari ini," jawabku penuh keyakinan sambil memeluk Aiden, kemudian menepuk-nepuk punggung lebarnya sebagai bentuk menghibur.
Ya, memang hanya itu yang bisa kulakukan karena sejak awal, mereka menganggapku sebagai kakak paling buruk sebab tidak pandai menghibur serta meluapkan perasaan.
"Jangan khawatir, Aiden, aku akan berusaha keras seperti yang kau harapkan," kataku lagi kemudian mendorong pelan punggung Aiden, sebagai isyarat bahwa sebaiknya kami segera kembali sebelum Bibi Jasmine dan Paman Jack mencari keberadaan kami.
Di sepanjang perjalanan, Aiden pun banyak bercerita tentang apa yang terjadi padaku selama seminggu terakhir ini, kematian misterius yang menimpa beberapa rentenir desa, dan tentang pekerjaan apa yang akan diberikan Mr. Smith nantinya.
Yaitu hanya sekadar membersihkan kandang, memandikan kuda-kuda, memberi makan, dan segala hal mengenai peternakan kuda milik Mr. Smith yang mana ternyata, pekerjaan tersebut justru membuatku sering bertemu dengan Hyunjin. Dan aku baru mengetahuinya, ketika kedua kakiku berada di lahan seluas kurang lebih tiga hektar itu.
"Hai, sebaiknya bekerja sama agar pekerjaan kita bisa segera selesai," kata Hyunjin ketika kami saling berhadapan di pintu pagar peternakan Mr. Smith kemudian memberiku dua buah sekop, serta menunjuk ke arah kandang kuda tanpa kuda. "Selagi mereka bersantai, kita juga akan memulainya dengan mengumpulkan kotorannya. Kuharap kau tidak banyak mengeluh saat bekerja, Crystal."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top