003. What An Unexpected Mess

Waktu kecil, mom selalu berpesan jangan mudah percaya kepada orang asing, serta terlalu banyak bicara kepada mereka karena kita tidak tahu apakah itu orang baik atau tidak. Kejahatan bisa terjadi pada siapa saja, bahkan kepada orang miskin sekali pun.

Namun, melalui pesan yang diselimuti oleh sikap perhatian ternyata justru membuatku penasaran. Sehingga bukannya mendengarkan atau menuruti, aku malah memutuskan untuk melakukan pembuktian. Diam-diam--sepulang sekolah--aku mengunjungi perkumpulan-perkumpulan di gereja, pusat rehabilitasi, dan panti jompo hanya untuk menjadi pendengar, mengamati atau sesekali bercerita seperti yang mereka lakukan.

Setiap manusia memiliki sifat jahatnya, semua yang terjadi tergantung dari bagaimana seseorang itu mengendalikan diri. Begitulah yang kusimpulkan dari cerita-cerita para anggota, sehingga di usia tujuh belas tahun aku menceritakan pengalamanku bersama mereka lalu ....

... mom marah besar, karena merasa dikhianati dan aku memutuskan untuk pergi dari rumah.

Akan tetapi itu tidak bertahan lama. Kasih sayang orang tua tak akan pernah habis. Seminggu kemudian orang tuaku datang ke rumah Justin, membujuk agar aku bersedia pulang. Mom berjanji akan memercayaiku sepenuhnya, selalu menghargai keputusanku, dan mencoba menahan diri tentang tindakan impulsifnya.

Semua baik-baik saja pada awalnya, sampai aku menginjak semester kedua mom tiba-tiba saja mengirimku dari asrama kampus, menjadi tinggal bersama Justin di apartemennya. Dan disilah, aku mengetahui, bahwa Justin adalah seorang gay yang memiliki pacar lelaki paling brengsek sedunia.

"Siapa dia?" Justin berdiri sambil bertolak pinggang dan bertanya dengan menyelidik, tidak terima.

"Apa kau selingkuh dari Ed? Aku tidak yakin kalian hanya nongkrong, apalagi di tempat seperti ini," ucap Steven setelah menempel kartu barcode untuk membuka pintu unitku. Ia menatapku dari kepala hingga ujung kaki kemudian mengernyit, sembari mengibaskan tangannya di depan wajah. "Fuck! Baumu benar-benar seperti tong sampah. Apa dia menyusahkanmu, Honey?"

"Sama sekali tidak." Hyunjin menggeleng, sambil tersenyum ramah ke arah sepasang kekasih. "Cryssi, sebaiknya aku menunggumu di lobi." Ia meraih tanganku kemudian mendaratkan bibirnya di sana, sebelum kembali menatap yang membuat hatiku mencair. "Take your time."

Hyunjin menundukkan sedikit punggungnya, sebagaimana salam orang-orang Asia Timur. Aku turut melakukan hal serupa kemudian melambaikan tangan dan dengan sangat norak, aku menempelkan kedua tanganku ke bibir, membentuknya seperti corong lalu berkata cukup keras, "Tunggu aku, aku akan tiba dalam tiga puluh menit!"

Melihat apa yang kulakukan barusan, tentu saja Justin terbelalak, begitu pula dengan Steven sehingga mereka bergegas menyeretku ke dalam unit. Terus terang, tindakan mereka berlebihan jika mengkhawatirkan orang di unit kanan dan kiri melakukan protes.

Mereka mendudukkanku di salah satu kursi yang menghadap ke jendela besar, kemudian Steven duduk di hadapanku di mana Justin berdiri di belakangnya.

Aku memutar mata, melihat sikap mereka yang sungguh berlebihan. Damned!

"Apa kau bermain api di belakang Eddy?" Steven bertanya, tetapi nadanya terkesan menuduh. Belum lagi bahasa tubuhnya yang terkesan angkuh, di mana ia melilitkan kedua lengannya di atas dada, serta mengangkat sedikit dagunya.

Mengembuskan napas, aku memilih untuk menatap ke arah luar yang memperlihatkan bentangan laut.

"Bisa kau katakan sesuatu pada kami, Crystal?" tanya Justin, tetapi kuabaikan dengan menghitung para manusia yang berjemur di pantai.

Terus terang saja, aku tidak perlu selalu melapor pada mereka tentang apa yang terjadi padaku. Terlebih pada Steven. Dia hanya akan bergosip bersama teman-temannya.

"Crystal, aku mencoba untuk menjagamu. Kita tahu bahwa Eddy adalah lelaki brengsek, tapi kau jangan sampai seperti dia." Steven menyentuh salah satu tanganku yang berada di pangkuan. Bersikap seakan-akan ia peduli, membuat mual saat itu juga. "Apa kau tau dia juga ada di sini?"

Sebelah alisku terangkat. "Dia bilang padaku pergi ke Italia untuk menemui keluarganya."

"Ya, Tuhan!" Steven membelalakkan kedua mata, serta tangan kanannya menyentuh dada seakan sedang terkejut. "Aku baru saja melihatnya di bibir pantai, Sayang."

"Ewh, bisa kau hentikan sandiwara ini." Memutar mata, aku segera bangkit dari tempat duduknya kemudian menunjuk lelaki feminin itu menggunakan telunjuk, sambil mengangkat dagu. "Aku benar-benar akan muntah, jika terus menyaksikannya."

"Oh, baiklah." Steven turut berdiri berhadapan denganku. "Kemasi saja barang-barangmu dan pergi dari sini. Asal kau tahu saja, benar-benar keputusan bodoh karena membiarkanmu bersenang-senang sedangkan kami membusuk di San Diego."

Kedua tangan mengepal kuat dan napas pun berembus keras. Rasanya benar-benar ingin mematahkan hidung Steven, kemudian meninju dada implan sialan itu hingga ia menangis kesakitan. Aku sungguh benci Justin tidak bisa berbuat apa-apa, setiap kali Steven menjajahku. Ia hanya menatapku dengan tatapan merasa bersalah, sambil berbisik meminta maaf, tetapi aku selalu berpura-pura tidak mengerti.

Oleh sebab itu, dalam hitungan detik, aku melangkah mendekati Seteven kemudian melayangkan telapak tangan di wajahnya, hingga lelaki feminin tersebut berteriak sambil memegangi pipi kirinya. Ia tertunduk seperti kesakitan dan aku, menatapnya sambil menaikkan sebelah alis. Kebingungan.

Tamparan yang kuberikan tidak benar-benar. Dia hanya mendramatisir agar Justin membelanya. Jadi sebelum hal menyebalkan itu terjadi, aku memutuskan pergi ke shower room sekadar untuk merendam, serta melarutkan amarah melalui air hangat yang menyelimutiku.

***

"Crystal, apa kau masih marah padaku?" Sang budak cinta tanpa tahu malu menghampiriku kemudian duduk di tepi bathtub. "Aku tahu apa yang dilakukan Steven benar-benar mengesalkan, tapi aku tidak ingin bertengkar dengannya jadi ... kuharap lima ratus Dollar cukup untuk menggantikannya." Justin menggulung lengan kemeja abu-abu, warna yang selaras dengan bola matanya hingga jika tidak mengenal lelaki tersebut, maka kesan misterius pun akan terpancar.

Dengan penuh perhatian, Justin mengusap kepalaku kemudian memijat kedua bahuku. Aku memejamkan mata, sedikit pun tidak berniat mengatakan sesuatu karena ingin meredakan amarah, akibat perbuatan semena-mena Steven.

Berendam air hangat, sambil menerima pijatan pun terasa menyenangkan. Seluruh otot dan saraf yang menegang kini mulai mengendur, dari atas kepala hingga ujung kaki. Aku menarik napas panjang, mengembuskannya, lalu menoleh ke arah Justin.

"Berikan aku tiket pulang. Berada di sini tanpa bisa melakukan apapun, hanya membuatku seperti orang bodoh," kataku sambil menjauhkan kedua tangan Justin di pundakku.

Bangkit dan melangkah meninggalkan bathtub, aku memutar kran air kemudian menyetel suhu airnya, serta bergegas membersihkan diri di bawah kucuran air. Justin menatap tubuh telanjangku, tetapi aku tidak peduli karena dia tak akan pernah tertarik pada perempuan. Hanya saja Steven yang akan mempermasalahkannya, akibat kecemburuan tanpa sadar.

"Kulihat Edward tidur dengan wanita lain dan secara terang-terangan mencumbu, bahkan meremas mereka." Aku menunjuk ke arah handuk putih di meja wastafel. Mengisyaratkan agar Justin mengambilkannya untukku. "Aku tidak patah hati. Sungguh. Jika kau menganggapku demikian, maka kau salah. Tapi aku tidak ingin Edward memamerkannya, hingga membuat terlihat sangat menyedihkan."

"Well, aku sudah memberitahumu berulang kali, tapi kau tidak pernah percaya padaku." Justin bangkit dari tempat duduknya kemudian melangkah mengekoriku menuju koper yang masih dipenuhi pakaian. "Tapi ngomong-ngomong, siapa pria yang bersamamu tadi? Kau tidak menjawabnya sama sekali. Apakah dia subjek untuk membantumu balas dendam? Steven terus-menerus membisikkan bahwa dia tampan."

"Dia hanya teman yang kebetulan bertemu," ujarku apa adanya, sembari mengenakan pakaian berupa dress motif bunga kamboja, oleh-oleh dari Bali ketika Justin pergi berlibur bersama keluarga kecilnya.

Harus kuakui bahwa mereka memang keluarga kaya, sehingga setiap tahun selalu memiliki agenda liburan. Kupikir Justin sudah mengeliling dunia, tetapi dia selalu menutupi dengan alasan aku terlalu berlebihan.

Tidak ingin membuang waktu dan membuat Hyunjin menunggu lebih lama, aku bergegas merias diriku dengan make up yang tidak terlalu tebal. Di luar sana sangat panas, akan sangat memalukan jika terlihat belang akibat keringat. Di lain sisi, Justin pun tidak banyak berkomentar karena sedang bermain gim ponsel hingga sesuatu yang kurang menyadarkanku.

Steven tidak terlihat di mana pun dan Justin tampak jauh lebih santai.

Aku meraih floppy hats warna cokelat--yang lagi-lagi cendra mata dari Justin--kemudian menatap ke arah lelaki berambut gelap, melalui pantulan cermin. "Ngomong-ngomong di mana Steven?" Oh, betapa perhatiannya aku mengkhawatirkan pria yang telah mengusirku. "Aku hanya bertanya, tidak ada maksud lain."

"Apa kau mematikan ponselmu?" Justin menengadah, lebih memilih melemparkan pertanyaan daripada menjawab. "Aiden menanyakan keberadaanmu karena kau tidak bisa dihubungi." Ia memperlihatkan layar ponselnya ke arahku, sehingga dengan refleks aku meraihnya kemudian menghubungi nomor Aiden.

"Ponsel dan dompetku raib, saat teler di Sean's Pub. Aku tidak tahu bagaimana bisa terjadi, tapi--"

"Crystal, apa itu kau?" Suara Aiden di seberang sana tiba-tiba saja memutus ucapanku. "Apa kau baik-baik saja? Di mana kau sekarang? Kau sulit sekali dihubungi."

"Aku akan berbohong jika menjawabnya dengan baik-baik saja." Tanganku mengusap kening, terlihat frustrasi karena napas pun berembus kasar. "Aku jatuh miskin di tempat yang sangat jauh dari San Dieogo."

"Maaf." Jeda sesaat, Aiden tidak melanjutkan ucapannya.

Akan tetapi, melalui telepon, samar-samar aku mampu mendengar tangisan Daisy dan Violet. Mereka beberapa kali memanggil orang tuaku, serta suara Aiden yang terus menenangkan mereka.

Sayangnya, usaha Aiden sepertinya tidak membuahkan hasil. Si kembar tetap menangis, sambil memanggil orang tua kami dan hal itu membuatku benar-benar khawatir.

"Aiden! Apa kau masih di sana?!" Aku sengaja meninggikan suara dengan harapan Aiden, mampu mendengarku. Namun, tanda-tanda pergerakan sungguh tak terdengar di sana. Sehingga aku memanggilnya lagi, sampai suara Aiden terdengar.

"Pulanglah, Crystal. Di sini benar-benar kacau. Mom dan dad bertengkar kemudian mereka meninggalkan kami, tanpa mengatakan akan kembali."

"Apa yang terjadi? Aku akan segera ke sana."

"Entahlah, tapi para rentenir bergantian mengunjungi rumah."

"Baik. Kau harus tenang, Aiden. Hanya kau yang bisa si kembar harapkan sekarang," ujarku sambil berusaha agar tetap tenang, di tengah kekacauan ini. "Pergilah ke rumah Bibi Jasmine dan tunggu di sana, hingga aku tiba. Mengerti?"

"Baiklah," jawab Aiden yang terdengar putus asa, sebelum mengakhiri panggilan dan aku yang segera menoleh ke arah Justin.

Mengharapkan bantuannya.

Hanya dia yang bisa membantuku sekarang.

"Tolong, pinjami aku uang," pintaku, sembari menggenggam kedua tangannya. "Aku tidak benar-benar tahu apa yang terjadi, tapi aku harus pulang sekarang, Justin. Keadaannya terdengar sungguh kacau."

"Akan kuberikan saja. Kau tidak perlu meminjam." Justin merogoh saku celananya dan mengambil dompet berbahan kulit sintesis, serta mengeluarkan uang sejumlah lima ratus Dollar, serta memberikannya kepadaku.

Namun, belum sempat aku menerimanya, ponsel Justin kembali berdering. Nama Aiden tertera di layar ponsel, sehingga aku segera menerima panggilan tersebut dan ....

... duniaku terasa hancur dalam hitungan detik.

Benar-benar hancur, hingga tangan dan kaki terasa tak lagi berpijak.

Aku terjatuh, saat tubuh begitu lemas.

Tidak percaya dengan apa yang kulihat di depan mata.

"Brengsek."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top