002. Like We've Known Each Other for a Long Time

Aku benar-benar tidak bisa mengontrol diri sendiri, ketika tujuh orang ini--kecuali si Brengsek Edward--membawa kami ke area teramai di bibir pantai Santa Cruz. Mulutku menganga lebar dan kedua mata terbelalak saat menyadari bahwa tempat ini benar-benar padat, hingga tak jarang tubuh-tubuh tersebut saling bertabrakan dan tangan-tangan mesum pun juga tak jarang mencari kesempatan.

Menelan saliva yang sekeras batu, netra hijauku segera berselancar hanya demi menemukan tempat terbaik untuk bergabung. Namun, seberapa keras aku mencoba, hasilnya pun tetaplah nihil.

Area ini benar-benar tidak memiliki celah untuk bernapas, seakan sebagian besar warga Amerika berkumpul dengan alasan serupa. Yaitu bersenang-senang dengan berbagai hiburan yang ditawarkan sang penyelenggara.

Di atas panggung berukuran cukup lebar terdapat terdapat sekitar delapan penari telanjang wanita dan pria, empat orang yang bertugas mengendalikan selang air berukuran besar, serta tiga orang termasuk disk jockey berhasil memeriahkan suasana. Orang-orang di bawah panggung berteriak penuh suka cita, menari mengikuti hentakan musik dan tidak jarang diantara mereka telah melakukan hal tak senonoh secara tersirat.

Salah satunya seperti perlombaan menghabiskan es krim stik, di mana sekelompok pria berdiri berjejer dengan masing-masing memegang satu stik es krim kemudian menempelkannya tepat di depan penis yang tertutup celana. Para gadis pun berlutut di hadapan mereka, senantiasa membuka mulut dan memajumundurkan kepala mereka demi melahapnya hingga tandas. Walau hanya untuk bersenang-senang, siapa pun jelas mengetahui maksud tersirat tersebut.

Aku mengernyit sesaat kemudian bergidik karena tawa yang terdengar jelas dari bibir para lelaki tersebut. "Sekelompok idiot sedang bersenang-senang," gumamku pada diri sendiri. "Aku tidak akan melakukannya, meski dibayar ratusan--"

Ucapanku seketika terputus, ketika Hyunjin mencengkram lembut kedua bahuku lalu menggeser tubuhnya agar aku berdiri di tengah-tengah antara Sabrina dan dia. Hal yang membuatku menoleh, tetapi Hyunjin hanya menempelkan jari telunjuknya di bibir sambil tersenyum.

"Kita seharusnya bersenang-senang, bukan?"

Aku mengangguk, tetapi sedetik kemudian menggeleng. "Aku tidak yakin bisa bersenang-senang, selagi menyaksikan dirinya yang mengabaikanku dan ... terang-terangan memilih gadis lain."

"Apa dia pacar terbaikmu?" Sebelah alis Hyunjin terangkat dan bahasa tubuhnya, seakan sedang memberikan perhatian penuh.

Hyunjin menggeser posisi berdirinya, hingga kami saling berhadapan. Tubuhnya yang tinggi menjulang membuatku terlihat kerdil karena hanya setinggi dada.

"Entahlah, tapi dia yang paling bisa kupamerkan ke teman-temanku." Aku mengendikkan bahu sembari menggulirkan tatapan ke arah Edward. "He's hot, romantic, and famous. Edward adalah yang terbaik dalam hal fisik, tetapi ... aku tidak bisa mengatakannya kepadamu."

"Aku tahu," kata Hyunjin sembari mengangguk, seakan ia bisa membaca pikiranku. "Aneh bukan. Kita bertemu dan berkenalan di waktu yang kurang tepat, tetapi kau malah bercerita dengan sangat mudah seakan kita telah saling kenal dalam waktu yang lama."

Seakan sudah kenal lama katanya?

Hyunjin pun juga mengatakan hal yang sama dengan pikiranku. Mungkin itu memang benar. Mungkin di kehidupan sebelumnya, kami memang saling mengenal. Mungkin semesta mempertemukan kami kembali dan banyak sekali kemungkinan yang terlintas di benakku. Sehingga tanpa disadari, aku meraih tangan kanannya dan berjinjit, berusaha menggapai telinga Hyunjin.

"Mau pergi dari sini?" tanyaku, "karena kupikir, sebaiknya kita mengobrol saja sambil menyantap sesuatu. Aku lebih membutuhkan teman bicara, daripada teman untuk berdansa."

Hyunjin menoleh, kemudian membalas genggaman tanganku di tangannya. "Apa yang akan kudapatkan, jika aku bisa membuatmu merasa lebih baik?"

"Entahlah, tergantung bagaimana cara kerjanya."

Lalu Hyunjin tertawa kecil, hingga kedua matanya secara alamiah membentuk garis bulan sabit terbalik. "Baiklah mari pergi dari sini," katanya sambil menyisir rambut naughty blonde menggunakan kedua tangan, kemudian mengikatnya menjadi ekor kuda, dan menyisakan bagian depan serta beberapa anak rambut yang memiliki ukuran lebih pendek.

Terus terang saja, untuk beberapa saat aku terpesona hanya karena tindakan sederhana tersebut. Bahkan sampai lupa mengedipkan mata dan sepertinya, rahangku pun terjatuh hingga mampu menyentuh pasir putih nan lembut itu.

Sial, sial, sial. Jangan sekarang Crystal!

Aku menggeleng cepat ketika Hyunjin terlebih dahulu melangkah di hadapanku, hingga membuatku terlihat seperti sedang mengikutinya. Punggung lebar dan tegap itu pun kembali menarik perhatianku, seakan segala hal yang bersangkutan dengan Hyunjin memang diciptakan untuk menarik perhatian kaum hawa.

Bagaimana tidak, disetiap langkah netraku selalu menemukan tatapan para gadis yang mengarah pada Hyunjin dan ....

... yeah, secara terang-terangan meneteskan air liur mereka.

Aku mempercepat langkahku, sekedar ingin menyeimbangi langkah Hyunjin. Meninggalkan kumpulan manusia yang sedang berpesta, aku memutuskan untuk memimpin perjalanan dengan melangkah mundur di hadapan teman baruku.

"Apa kau berlibur sendirian?" tanyaku, sambil menggulung lengan kemeja milik Hyunjin yang terlalu panjang untuk ukuranku.

"Kau akan terjatuh, jika berjalan seperti itu."

Aku menggeleng kemudian mengerlingkan mata. "Kau bisa menjadi mataku dan tolong, ini adalah etika dasarnya saat aku bertanya, seharusnya kau menjawab."

"Baiklah." Hyunjin mengulurkan tangannya, membuatku menatapnya. "Hanya berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu, aku hanya tinggal menarikmu."

"Tidak perlu," kataku buru-buru kemudian bergegas berjalan normal , di sisi Hyunjin. "Akan sangat berbahaya kalau kau terus-menerus bersikap seperti ini, padahal perkenalan kita hanya bersifat sementara."

"Begitu, ya?" Hyunjin memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana setinggi lutut kemudian menengadahkan sedikit wajahnya, seakan sedang menantang matahari. "Ngomong-ngomong aku membawa satu teman. Dia masih tertidur pulas di hotel karena semalaman menonton serial Netflix. Akan kukenalkan kau padanya, sambil menyantap sesuatu seperti yang kau katakan tadi."

Tapi aku tidak punya uang! batinku menjerit setelah mendengar kalimat terakhir Hyunjin. Aku menggaruk telapak tangan kiriku, yang sebenarnya tidak gatal. "Terus terang, Hyunjin, aku berencana membawamu makan di hotelku karena voucher sarapanku masih berlaku. Ngomong-ngomong jam berapa sekarang?"

Hyunjin menaikkan sebelah alisnya, sebelum menjawab pertanyaanku. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang, tetapi aku yakin masih sempat untuk sarapan jika melihat tinggi matahari.

Aku harus menghemat, jika ingin berlibur dan pulang dengan selamat.

"Sayangnya, sekarang sudah pukul dua belas."

Oh, shit! Aku berharap ucapanku tidak memberikan kesan buruk, seperti gadis murahan yang menggunakan alibi makan bersama untuk menggoda seorang pria atau gadis pelit, karena mengajak seseorang dengan menggunakan fasilitas hotel.

Aku mengembuskan napas panjang kemudian memberikan senyum paling idiot, seakan semua yang kulakukan hanyalah kekonyolan belaka.

Namun, Hyunjin tampaknya tidak mengetahui arti dari bahasa tubuhku karena ketika aku baru saja ingin bicara, dia justru menurunkan kedua alisnya sambil berkata, "Sorry, Crystal." Hyunjin menurunkan tangannya, di mana sebuah rolex keluaran terbaru melingkar di sempurna di sana. "Aku senang kau ingin membawaku ke hotelmu, tapi jika aku mengajakmu Crow's Nest Restaurant  apa kau tidak keberatan?"

Crow's Nest Restaurant! Apa kau ingin merampokku, eh?! Aku menurunkan kedua alisku seperti yang dilakukan Hyunjin, walau berupa imajinasi.

Kenyataannya kedua sudut bibirku terangkat, kepala pun mengangguk kuat, dan bibir mengatakan bahwa restoran tersebut merupakan yang terbaik karena memiliki menu terlezat di Santa Cruz. Demi Tuhan, segala hal yang kulakukan barusan adalah langkah menuju kematian.

Kami berjalan bersisian meninggalkan pantai, sambil sesekali melakukan gerakan refleks demi menghindari bola pantai, semprotan air, atau bahkan sepasang daging berukuran rata-rata 36C di mana hanya bagian areolanya saja yang tertutup atau memang terbuka sama sekali hingga Hyunjin menyunggingkan senyum kecil.

Diam-diam aku merasa kesal melihat pemandangan tersebut. Padahal hal itu bukanlah urusanku karena Hyunjin, adalah orang asing yang kebetulan bertemu denganku.

Ya, semua ini hanya kebetulan dan akan berakhir, setelah aku kembali ke San Diego.

"Hyunjin," panggilku, sembari menarik ujung t-shirt putihnya. "I think I should go take a shower so ...."

"Oke, aku akan mengantarmu." Hyunjin mengangguk kemudian mempersilakan agar aku berjalan terlebih dahulu, sembari ia menelepon seseorang yang dipanggil Glenn.

Well, Glenn yang mungkin adalah temannya berlibur.

Glenn yang ia bicarakan barusan.

Atau siapa pun itu Glenn.

Namun, obrolan mereka tidak bisa disembunyikan sepenuhnya karena ketika kebisingan di jalan raya tak ada lagi, samar-samar aku bisa mendengarnya.

Yaitu sebuah kalimat, seakan aku adalah seseorang yang telah lama dicari Hyunjin.

Apa-apaan ini? Apakah dia pengagum rahasia? Penguntit? Ataukah orang jahat yang telah menargetkanku? Oh, God, ini bukan film, tapi ....

Yang benar saja, aku tidak bisa membawanya ke tempatku menginap.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top