1. Begging
Pilar kokoh porselen.
Marmer putih dengan tampilan elegan.
Ruang singgasana megah yang selalu menjadi tempat pertemuan Sang Raja dengan para Menteri.
Kemilau senja terbias dari kaca jendela besar.
Namun, kehangatan senja tidak bisa mencairkan ketegangan yang tengah terjadi saat ini.
Manik mata berkilat marah, Sang Raja masih duduk tenang di singgasananya. "Katakan sekali lagi."
"Yang Mulia, saya memohon untuk membebaskan Jendral Kuroo." Seorang perempuan dengan gaun sutra berlutut dihadapan Sang Raja. Mengabaikan tatapan masam para pelayan maupun prajurit istana.
Hening sejenak sebelum Sang Raja kembali bersuara. "Membela seorang kriminal adalah tindakan yang kriminal. Kau ingin mencoreng gelar putri raja?"
Gaun sutra dengan bordiran emas diremas kuat, "jika memang bisa. Saya akan mempertaruhkan gelar ini untuk menyelamatkan Jendral Kuroo."
"(Name)!" Nama Sang Putri diteriakkan dengan lantang. Semua yang ada diruangan tersebut menahan napas masing-masing. Hati kecil merasa ciut melihat kemarahan Raja.
Pedang salah seorang prajurit dicabut kasar, semua yang ada disana terkejut sekaligus takut.
Kala mata pedang yang berkilau memantulkan cahaya dari lampu kristal terhunus di leher Sang Putri.
Para pelayan memekik dalam diam.
Para prajurit hanya bisa pasrah tanpa berani menghentikan perbuatan Raja mereka.
(Name) terkejut, tangan yang bergetar dikepal kuat dari balik rok sutra. Berusaha bersikap tenang dengan menatap mata Sang Raja.
Keyakinan kuat terpancar dari manik (e/c). Seolah enggan untuk merasa gentar meski nyawa telah diujung tanduk. "Yang Mulia tidak akan membunuh orang yang telah berjuang demi negeri ini bukan?"
Tangan yang telah memegang pedang juga ikut bergetar.
"Pergi ke kamarmu sekarang," Sang Raja berseru dingin, pedang disingkirkan menjauh. Sungguh menit-menit yang begitu menegangkan bagi semua yang berada di ruangan tersebut.
Manik (e/c) menatap heran, ekspresi memelas terpantri begitu jelas di wajah cantik Sang Putri. "Ayahanda..."
Bentakkan penuh amarah dari Sang Raja menggelegar mengisi keheningan ruang singgasana, "bawa dia sekarang!"
Para pelayan dengan sigap memegang kedua lengan Sang Putri untuk memaksanya berdiri.
"Ayahanda..." (Name) masih berseru lirih memanggil seseorang yang ia sebut ayah.
Berkali-kali tanpa henti.
Bahkan saat dirinya diseret secara paksa untuk meninggalkan Sang Raja.
Namun Sang Raja tidak mengeluarkan sepatah katapun selain bentakkan penuh amarah.
Yang ada hanyalah tatapan dingin bercampur duka mendalam.
Ⓗⓘⓢⓣⓞⓡⓘⓐ
Gorden tipis bergerak pelan akibat hembusan angin.
Cangkir teh bunga krisan yang mulai mendingin kaku.
Jendela besar yang menghadap taman sengaja dibuka lebar.
Rambut hitam bergerak pelan menikmati setiap desiran angin.
(Name) menatap kosong pemandangan di depannya.
Entah sudah berapa jam ia berdiri disana bagaikan sebuah patung hidup.
Bahkan suara Shimizu –Kepala pelayan yang bertanggung jawab atas kebutuhan Sang Putri— yang tengah mengomeli dirinya tidak begitu digubris oleh (Name).
Pikiran terbang entah kemana, setangkai mawar yang telah mengering digenggam erat.
Gadis itu tidak tahu lagi tentang apa yang harus ia lakukan.
Apa yang harus ia pilih?
Apa yang harus ia lindungi?
Tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja.
Setangkai mawar. Ketulusan cinta yang mendalam. Pemberian terakhir sang Kstaria pemberani sebelum melangkah maju ke medan perang.
Tiga bulan berlalu, sang Ksatria kembali membawa kemenangan.
Namun kemenangan itu malah dibalas dengan tiang gantungan.
Bagian bawah bibir digigit, menahan rasa geram dan amarah yang memuncak.
"Ini bukan saatnya untuk bersedih dan putus asa."
Ⓗⓘⓢⓣⓞⓡⓘⓐ
Ia telah bertekad akan suatu hal
[tbc]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top