VIII

"Jadi... Apa yang selanjutnya terjadi kepada anak laki-laki itu?" tanya Nine penasaran.

"Hn! Aku juga penasaran, apa dia terjebak di dunia manusia untuk selamanya?" tanya Marry menimpali.

Frigus yang mendengar pertanyaan keduanya pun hanya bisa tertawa sepuasnya.

"Hahaha, kenapa kalian tidak tanyakan saja hal itu pada Ten? Dia jauh lebih tau kisah ini dibandingkan diriku, loh~"

Ten langsung menatap Frigus tajam karena sudah berbicara seperti itu. Sedangkan yang ditatap hanya bisa tertawa canggung sebagai balasannya.

Paham akan maksud dari perkataan Frigus tadi, Marry pun membalikkan badannya dan menatap Ten yang masih duduk bersandar di bawah pohon dengan tatapan yang seolah meminta penjelasan.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Ten yang mulai sedikit merasa risih karena ditatap Marry.

"Apa anak itu berhasil kembali ke Magie?"

"Hah? Mana aku tau! Yang menceritakannya kepada kalian 'kan Frigus, kenapa malah bertanya padaku?"

"Karena kau sendiri yang mengalaminya, Ten!"

Ups!

Buru-buru Frigus menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya.

Sial! Sial! Sial! Terkutuklah mulutku ini! Kenapa aku sering kelepasan bicara tanpa berpikir terlebih dahulu, sih?!

Ketakutannya semakin menjadi-jadi kala menyadari bahwa Ten kini tengah menatapnya dengan tatapan membunuh. Dan entah hanya halusinasinya saja atau bukan, tapi Frigus merasa seperti melihat partnernya itu sedang tersenyum menyeringai dengan aura-aura iblis yang mengitarinya.

"Frigus, apa kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan?" Ten bertanya seraya berjalan mendekati Frigus.

Rasanya Frigus ingin sekali berenang menjauh atau mungkin menyelam ke dalam kolam, tapi sialnya, kolam air yang ia gunakan sebagai media perantaranya ini terbentuk dari sihir air milik Ten. Jika ia kabur, Ten bisa dengan mudahnya mengendalikan air kolam untuk menangkapnya.

Tanpa dia sadari, Ten kini sudah berada di hadapannya, tepatnya di pinggir kolam. Pemuda itu lantas mengulurkan tangan kanannya ke arah samping dan muncullah sebuah pedang tachi berwarna biru muda. Dengan raut wajah yang datar, Ten mengarahkan pedang tersebut ke leher Frigus.

"Akan kubuat ekormu itu menjadi daging asap untuk makan malamku selama seminggu ini."

"Su-sudahlah kalian berdua... tidak sepatutnya seorang penyihir dan partner sihirnya saling bertengkar, bukan?" Marry berdiri di antara mereka berdua sebagai seorang penengah.

"Be-benar kata Marry, Ten. Kita seharusnya tidak saling bertengkar karena itu akan merusak kekompakan kita... hahaha..." ujar Frigus menyetujui sambil tertawa canggung.

"Hee?? Apa kau tidak pernah membaca buku tentang manusia, Frigus? Di sana tertulis, hubungan apapun akan semakin erat apabila terjadi pertengkaran. Karena dengan adanya pertengkaranlah, kedua belah pihak bisa saling menyadari kesalahan mereka dan mengintropeksi diri masing-masing."

Skakmat!

Baik Frigus maupun Marry sama sekali tak bisa berkutik membalas perkataan Ten. Marry yang seorang manusia paham betul arti dari perkataan Ten. Sedangkan Frigus yang sangat mengagumi manusia tentunya juga paham betul maksud dari sang partner.

"Kenapa kau bisa tahu akan hal itu, Ten? Bukannya kau sendiri yang bilang, kalau kau membenci manusia?" Tanya Marry berusaha mengganti topik.

Sudah kuduga, dia pasti akan menyinggung pertanyaan ini suatu saat.

Ten menghembuskan napas panjang, menghilangkan kembali pedang tachi nya, lalu mengalihkan wajahnya ke arah lain, "Memang betul aku benci kalian manusia..."

Jleb!

Rasanya satu panah imajiner berhasil menusuk hati Marry.

"... kalian itu adalah makhluk yang sombong, tamak, suka iri hati, mudah dipengaruhi oleh amarah, nafsu yang tinggi, hasrat yang kuat, serta malas..."

Jleb!

Lagi, anak panah imajiner berhasil menusuk hati Marry.

"... tapi di saat bersamaan pula, kalian manusia adalah makhluk yang murni, sederhana, penuh kasih, rajin, sabar, baik hati, serta rendah hati. Hal tersebut membuat kalian manusia menjadi pihak netral di dunia ini. Kalian memiliki kemungkinan untuk masuk Neraka ataupun Surga jika meninggal nanti, tergantung dengan perbuatan kalian selama masih hidup di dunia. Sangat bertolak belakang dengan kami para penyihir yang jika meninggal nanti akan menghilang jiwanya."

"Eh? Apa maksudmu?"

"Kau tidak tau? Jika nyawa seorang penyihir -dan juga para makhluk legenda- menghilang beserta raganya, maka jiwanya tidak akan pergi ke Neraka, Surga, ataupun menetap di dunia. Jiwa mereka akan menghilang, seolah-olah tak pernah muncul di dunia."

Ten kembali mengalihkan pandangannya menatap Marry sambil tersenyum hangat.

"Karena itulah, aku ingin kalian para manusia tidak memiliki akhir hidup yang kejam seperti kami para penyihir. Terlebih khusus untuk anak perempuan yang waktu itu telah membebaskanku dari belenggu balas dendam.

Jujur saja, aku tak ingin kau pergi dari Magie. Tapi aku tak boleh egois. Aku juga harus memikirkan perasaanmu. Jalan hidupmu masih panjang, Marry. Dan tempatmu untuk melakukan itu semua bukan di sini, melainkan di bumi."

Muka Marry kini sudah memerah hingga telinga. Bukan hanya karena ucapan Ten, tapi senyumnya juga membuat Marry merasa bahwa pemuda yang ada di hadapannya kini jadi lebih tampan.

"Ekhm! Maaf mengganggu momen TenMar ini, tapi bisakah kita kembali membahas cara agar Marry bisa kembali ke dunia manusia?" Nine kembali angkat bicara, dan langsung diangguki oleh Frigus, Lux, dan Ignis.

Perkataan Nine barusan berhasil menyadarkan Marry dan membuatnya langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara Ten yang merasa bahwa momennya diganggu pun kembali memasang wajah datarnya.

"Jadi, apa boleh kami minta kunci peraknya?" pinta Ten sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Nine.

"Um... soal itu... um, bagaimana cara bilangnya ya?" Nine menggaruk pipinya yang tak gatal sama sekali.

"Sebenarnya... kunci perak itu... telah hilang..."

"Hah?!" Ten menatap Nine tajam, "Apa katamu?!"

"Huwaa! Maaf, maaf! Sungguh, itu tidak sengaja! Kunci itu hilang beberapa hari lalu ketika aku sedang bermeditasi!"

Ten mengusap wajahnya gusar mendengar penjelasan Nine, "Sekarang, bagaimana caranya kita akan mengembalikan Marry ke dunianya?"

"Entahlah..." sahut Nine yang justru terdengar seperti sebuah pertanyaan.

"Yang benar saja, Nine! Kau adalah penjaga sihir Primus, tak bisakah kau memikirkan cara lain agar aku bisa memulangkan Marry?!"

Sementara Ten menasehati Nine, Marry beserta yang lainnya hanya memperhatikan mereka dalam diam dari tepi kolam. Takutnya, jika mereka ikut campur nanti malah semakin besar permasalahannya.

"K-kau sendiri bagaimana, Ten? Bagaimana caramu bisa kembali ke Magie sini waktu masih kecil?"

Pertanyaan Nine tersebut kembali berhasil menyita perhatian mereka semua.

"Mana aku tahu..." jawab Ten pelan hampir seperti berbisik dengan muka yang sedikit merona.

Frigus yang mengerti keadaan tersebut pun tersenyum penuh kemenangan, "Kelanjutan kisahnya masih ada loh~

Tak butuh waktu lama, anak laki-laki itu pun cepat merasa nyaman bersama anak perempuan tersebut. Mereka terus bermain di taman bunga itu hingga akhirnya senja tiba. Saat sang anak perempuan hendak kembali pulang ke rumahnya, ia terlebih dahulu mengecup singkat kening si anak laki-laki, lalu berlari pergi sambil melambaikan tangannya dan tersenyum lebar.

Setelah anak perempuan itu sudah sangat jauh, tiba-tiba saja tubuh anak laki-laki tersebut dikelilingi cahaya berwarna putih. Dan yang terjadi selanjutnya, adalah anak laki-laki itu sudah kembali berada di rumahnya yang di Magie.

Kali ini betulan tamat, deh~"

Nine tersenyum puas mendengar kisah tersebut. Berbanding terbalik dengan Marry yang mukanya kini kembali memerah hingga telinga.

"Ja-jadi... aku harus mencium kening Ten agar bisa kembali...?"

"Hm... kurasa, kali ini Ten lah yang harus mencium keningmu, Marry,"

"Huh? Kenapa bisa begi-"

Perkataan Marry barusan terpaksa terpotong kala dirinya ditarik oleh Ten secara mendadak. Hal berikutnya yang ia sadari, adalah bibir Ten telah mencium keningnya dengan lembut.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Ten akhirnya melepaskan ciumannya.

Marry mundur selangkah dan menatap Ten dengan tidak percaya. Pemuda itu kini tengah menangis, tapi dia tetap memasang senyumnya.

Perlahan, cahaya putih mulai mengelilingi tubuh Marry.

"Maafkan aku, tapi... kembalilah ke bumi sana dan lanjutkan jalan hidupmu... juga, jangan lupakan kami, oke?"

Lama-kelamaan, cahaya itu kian bertambah banyak hingga akhirnya tubuh Marry perlahan memudar, hendak menghilang.

"Ten!"

"Aku berjanji... suatu sana nanti, kita pasti akan bertemu kembali."

Dan dalam sekejap mata, tubuh Marry langsung menghilang tanpa menyisakan jejak sama sekali.

*****

"Ukh... ini dimana...?" Marry bergumam pelan seraya berusaha bangun dari kasurnya.

Matanya melirik sekilas ke arah jam yang terletak di atas nakas samping tempat tidur.

Pukul 08.43.

"Apa yang tadi itu mimpi...?"

Ia meraba keningnya yang tadi dicium oleh Ten. Hangat. Marry masih bisa merasakan kehangatan serta kelembutan Ten sewaktu menciumnya.

Perlahan, air mata turun membasahi kedua pipinya yang putih itu. Ia memeluk kedua kakinya dan membenamkan wajahnya.

"Hiks... apa kita bisa bertemu lagi... Ten?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top