9 Kabar
Minggu pagi, Satya duduk di teras rumahnya sambil menyesap cairan hitam di cangkir. Pikirannya masih menerawang jauh tentang perjodohan yang semalam. Bukan ia tak mau menerima Salwa sebagai istrinya, hanya saja banyak yang harus diselesaikan terlebih dahulu mengenai kasus gadis itu.
Belum sebulan Salwa berpisah dengan suaminya. Dalam Islam pun disebutkan mengenai masa iddah bagi seorang wanita. Meskipun diketahui kalau Salwa sedang mengandung, tapi hukum itu tetap berlaku untuk menghormati gadis itu sebagai seorang wanita yang baru berpisah.
Tiba-tiba saja Salwa datang membawakan pisang goreng dengan piring plastik berwarna pink. Ia tersenyum dan meletakkan benda yang di pegangnya itu ke atas meja.
Masih tanpa suara, gadis itu duduk di seberang kanan Satya. Pria itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan. "Maaf, Salwa. Bukan gue nggak mau terima tawaran Bunda mengenai perjodohan kita semalam. Tapi ada yang lebih penting dari pada itu."
Salwa hanya menunduk, ia sadar, Satya pasti sudah memikirkannya matang-matang tentang semua itu. Ia tak ingin memaksa juga, karena ia sadar kalau dirinya bukanlah wanita suci, terlebih ia harus menanggung beban hidup dan bayi yang dikandungnya.
Salwa bangkit dari duduk dan hendak masuk kembali. Ia tak ingin menjadi beban lagi, tapi tangan Satya meraih tangannya hingga gadis itu menoleh.
Ada raut kecewa terpancar di wajah berlesung pipi itu, saat keduanya saling pandang. Satya tak tega, ia mengusap lembut telapak tangan Salwa, lalu berdiri di sebelahnya.
"Jangan sedih, gue akan selalu ada buat lo, Sal," ucap Satya lirih.
Salwa menarik tangannya, lalu berjalan cepat menuju ke kamarnya. Kemudian pintu tertutup dari dalam. Gadis itu bersandar di balik pintu, lelehan air mata yang sejak tadi ia tahan pun kini sudah membasahi wajahnya. Ia terisak sambil memukuli perutnya sendiri.
"Aku nggak mau kamu ada! Kamu pembawa sial!" jerit Salwa dalam kesendiriannya itu.
"Semua gara-gara kamu! Aku benci kamu!" Masih memukul perutnya, Salwa terduduk di lantai.
Ia mendekap erat kedua lutut yang ditekuk, terisak dan menenggelamkan wajah di sana. Rasa sesak seketika menjalar di seluruh tubuh. Entah apa yang harus diperbuat sekarang, kalau dirinya tetap di situ. Beban keluarga Satya akan bertambah, bisa dikucilkan oleh warga atau dirinya yang diusir.
.
Satya tak lagi melihat Salwa sejak tadi pagi. Ia merasa cemas. Waktu sudah hampir sore, gadis itu sama sekali belum keluar dari kamar. Sementara Aminah dan sang suami yang baru saja pulang kondangan, menangkap keanehan dari raut wajah putranya itu.
"Satya, Salwa mana?" tanya Aminah sambil meletakkan tas di meja.
"Eum, di kamar, Bun."
"Sudah makan siang?"
Satya menggeleng lemah. Ia tak berani mengetuk pintu kamar Salwa untuk menyuruhnya keluar makan siang. Karena ia tahu, mungkin perkataannya pagi tadi sudah membuat Salwa kecewa.
"Astagfirullah, Satya. Ini sudah hampir jam empat sore. Masa Salwa belum makan siang. Kamu tahu kan dia lagi hamil, jangan sampai telat makan, bahaya." Suara Aminah yang cerewet mengomel pada siang putra membuat Satya tambah merasa bersalah.
Aminah bergegas menuju kamar Salwa, pintu tidak terkunci saat ia mencoba membukanya. Dilihatnya gadis berambut panjang itu sedang memeluk guling dengan kedua mata terpejam. Ia pun mendekati dan mengusap lembut tangan Salwa.
Satya mengintip dari balik pintu yang terbuka, ingin sekali ia bisa selalu menemani dan memeluk gadis di dalam sana. Memberikan semangat, mencurahkan seluruh kasih sayangnya. Hanya dan entah mengapa dirinya belum siap untuk menjadi kepala rumah tangga.
"Sayang, sudah sore. Kamu belum makan siang, ya?" tanya Aminah.
Salwa mengerjap perlahan, ia duduk dan mengusap kedua matanya. "Bunda?"
Aminah hanya mengangguk, "Iya, Bunda baru pulang. Kata Satya, kamu belum makan siang. Makan dulu, yuk!"
"Buat apa? Aku nggak mau makan. Aku-----" Suara Salwa seketika serak.
Aminah mengernyit dan langsung memeluk gadis di depannya. Ia membelai kepala Salwa yang sudah terisak di dadanya. "Kamu kenapa, Sayang?"
"Aku mau pergi saja, Bunda. Aku nggak mau jadi beban di sini."
"Astaghfirullah, Salwa. Kamu nggak jadi beban siapa-siapa. Siapa yang bilang kalau kamu beban di keluarga kita? Satya, iya?"
"Aku yang salah, Bunda. Aku sudah membuat Bunda dan Kak Dewa harus bertanggung jawab dengan semua yang terjadi."
"Astagfirullah, Sayang. Kamu nggak boleh bicara seperti itu. Kami semua sayang sama kamu."
Aminah memeluk erat Salwa yang sedang kacau pikirannya. Entah apa yang diperbuat Satya hingga gadis dalam pelukannya itu menjadi histeris lagi. Ia hanya takut Salwa akan kembali berbuat nekat.
Satya yang melihat benar-benar merasa bersalah. Ia tidak ingin pernikahan itu terjadi karena keterpaksaan. Ia takut kalau Salwa belum bisa menerima dirinya sepenuh hati. Ia yang masih kuliah, belum punya pekerjaan, belum ada penghasilan. Lalu bagaimana nanti nasibnya dan anak itu?
.
Di tempat lain, Saraswati tampak menyendiri di dalam kamarnya. Menatap foto usang yang tersimpan rapi di sebuah kotak kayu. Foto di mana dirinya ketika almarhum suaminya masih hidup, dengan putri semata wayang mereka yang kini menghilang.
"Salwa, Ibu kangen sama kamu. Kamu di mana, Nak?" ucapnya lirih sambil mengecup foto Salwa ketika berumur lima tahun.
Gadis kecil dalam pangkuannya tersenyum riang di foto itu. Sama seperti terakhir kali ia melihat Salwa pulang dengna membawa kabar kelulusannya, dan diterima di sebuah sekolah menengah atas tanpa test.
Sekarang, Saraswati tak lagi bisa melihat senyuman itu, bahkan untuk yang terakhir kali saja.
Gurat di wajahnya sudah mulai terlihat jelas, sebagai kerutan tanda penuaan. Belum lagi rambutnya yang sudah mulai penuh dengan uban, tak bisa dipungkiri kalau usianya kini mulai lanjut.
Saraswati tak tahu sampai kapan ia akan menjalani rumah tangganya dengan sang suami yang baginya tak berguna itu. Namun, kalau ia kembali kerja, ia tak tahu siapa yang akan menjaga putrinya nanti.
Wanita berkerudung hitam itu berdiri, berjalan ke depan jendela kamar yang terbuka. Menghirup udara sore yang terasa dingin.
"Bu, Bu Saras!"
Suara seseorang memanggilnya dari arah pintu depan. Saraswati pun bergegas keluar kamar menemui tamunya. Dibuka pintu berwarna coklat itu, menatap pria paruh baya di depannya dengan mengernyit.
"Ya, Pak Hari. Ada apa?" tanya Saraswati pada pria tetangganya itu.
"Ini, Bu. Ada yang cari." Pria berbaju batik yang bernama Hari menunjuk seorang wanita muda di belakangnya.
Saraswati menoleh dan menatap bingung wanita berpakaian rapi. Dengan kemeja putih bergaris, rok mini juga tas merah dan sepatu hak tinggi, tersenyum ke arahnya.
"Maaf, Bu. Saya Felisa, eum bisa bicara di dalam?" Wanita itu meminta persetujuan.
"Eum, makasih, ya, Pak. Saya sudah diantar." Wanita itu lantas bersalam dengan pria yang mengantarnya bertemu dengan Saraswati.
"Iya, Mbak. Sama-sama. Saya permisi, Bu, Mbak." Pria itu pun lalu undur diri dari hadapan kedua wanita tersebut.
"Silakan masuk, Mbak." Saraswati mempersilakan tamunya untuk masuk.
Mereka berdua duduk di atas kursi kayu, Saraswati masih tidak tahu siapa wanita itu dan untuk apa datang mencarinya.
"Begini, Bu. Benar Ibu istrinya Bapak Kadrun?" Wanita itu tampak gugup sambil mengusap kedua telapak tangannya.
"Iya, Saya Saras, istri Pak Kadrun. Ada apa ya, Mbak?"
"Eum, kemarin siang saya melintas di dekat lampu merah dekat Pasar Pagi. Saya tidak sengaja sudah menabrak suami Ibu."
Bagai disambar petir siang bolong, jantung Saraswati mendadak berdenyut kencang. Wajah yang tadi masih terlihat biasa dan mencoba tersenyum, kini mulai cemas.
"Lalu, bagaimana dengan kondisi suami saya, Mbak?"
"Eum." Wanita di sebelah Saraswati menelan saling, enggak memberitahu kondisi sebenarnya. Takut kalau sampai istri Kadrun itu syok jika mendengar kabar yang sesungguhnya.
"Mbak, suami saya nggak apa-apa, kan?" tanya Saraswati lagi, mulai menegaskan dengan nada tinggi.
"Sebaiknya, kita ke rumah sakit sekarang, Bu. Nanti Ibu bisa lihat sendiri kondisinya." Felisa mencoba untuk mengajak wanita itu pergi ke rumah sakit.
Lemas lutut dan seluruh tubuh Saraswati. Belum selesai masalah kehilangan putrinya, kini masalah itu kembali timbul akibat ulah sang suami. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Namun, sedikit banyak ia berharap suaminya baik-baik saja, karena kalau tidak mungkin akan banyak biaya yang dikeluarkan nantinya untuk perawatan dan obat-obatan.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top