8 tumbang
Yogie mengajak Satya untuk duduk sejenak di sebuah warung, ia memesan dua mie rebus juga teh manis hangat. Pria berkulit putih itu pun tak menduga kalau temannya akan mendatangi rumah Salwa. Entah apa yang ingin dilakukan Satya ke sana, ia hanya mencoba menerka-nerka.
"Lo ngapain ke rumah Salwa?" tanya Yogie penasaran.
Satya sibuk membersihkan lukanya dengan tisu yang berada di meja, hanya melirik sekilas ke arah Yogie. "Nggak apa-apa, gue cuma ngerasa kasihan aja sama ibunya Salwa, barangkali gue bisa bantu, kan?"
"Duh, lo nggak usah cari masalah deh sama keluarga mereka. Ribet urusannya. Tuh lo lihat si Kadrun, bapaknya. Dari tadi dia ngeliatin kita terus, gue curiga nih kalau nanti dia bakalan buntutin lo pulang." Yogie menunjuk ke bawah pohon mangga.
Di sana terlihat pria beruban itu berdiri, sambil berpura-pura menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian ia juga terlihat memandangi mangga yang bergelantungan di atas kepalanya, seperti hendak mencuri.
Satya menoleh dan tersenyum sinis, ada rasa dendam dan kesal setiap kali melihat pria itu. Entah mengapa, ia seperti tidak terima dengan perilaku bapaknya Salwa. Belum mendengar penjelasannya sudah main pukul, itu membuatnya semakin tak ingin mengembalikan Salwa pada keluarga itu. Meskipun ia merasa kasihan dengan ibunya Salwa, tapi demi menjaga keselamatan dirinya juga keluarganya, ia mungkin lebih memilih bungkam.
Pesanan Yogie pun kini telah terhidang, dua mangkuk mie rebus rasa kari ayam, dengan sawi hijau, ditambah irisan cabe rawit di atasnya begitu menggugah selera. Aroma harum dari serbuk kari menguar di udara, membuat keduanya nyaris menumpahkan air liur. Satya menelan saliva sambil mengaduk mie tersebut.
"Lo mau gue antar pulang, Sat? nggak apa-apa kalau lo nggak kuat bawa motor." Yogie mencoba menawarkan diri.
"Nggak perlu, Gie. Gue bisa pulang sendiri, kok. Kan udah makan, pasti kuat." Satya terkekeh sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Hahaha, lo bisa aja. Oh iya, gimana kabar orang tua lo? Sehat?"
"Alhamdulillah, sehat."
"Trus kegiatan lo sekarang apa, Sat? kuliah?"
"Iya, gue kuliah. Lo sendiri?"
"Nggak jelas gue, Sat. Mau kuliah males, mau kerja juga belum dapat."
"Loh kenapa? Bukannya dulu lo kuliah ngambil jurusan ekonomi?"
"Iya, gue kuliah ambil D3, sayang banget, padahal harusnya bisa ke S1. Bokap gue udah nggak sabaran aja nyuruh gue kerja, sekarang gue nganggur karena saingan gue sarjana semua."
"Lo kuliah lagi lah, bokap lo kan duitnya banyak."
"Belum kepikiran, Sat. Semua gara-gara Salwa nih, duit yang harusnya bisa gue pake buat modal usaha. Jadi hilang gitu aja, gue yakin si Kadrun nggak bakalan bisa bayar. Palingan nanti satu-satunya cara, ya gue sita itu rumahnya."
"Uhuk." Satya tersedak mendengar ucapan sohibnya itu. Kalau rumah orang tua Salwa sampai disita, lalu mereka akan tinggal di mana? Kemungkinan juga Salwa tidak akan bisa bertemu dengan orang tuanya lagi.
***
Dari kejauhan, Kadrun menatap kedua pria muda itu dengan tatapan geram. Perutnya yang perih menahan lapar, kakinya yang sakit karena tak pakai alas. Panasnya tanah yang ia pijak membuatnya harus mencari tempat lagi untuk memantau keduanya. Ia bersandar di bawah pohon mangga itu sambil duduk.
Tiba-tiba saja bagian jempol kaki kanannya serasa panas dan sakit, ia melihat jari yang paling besar di antara yang lainnya itu sedang ditunggangi oleh makhluk kecil berwarna merah yang biasa disebut dengan semut. Ia pun lantas mengambil binatang itu dan membuangnya karena kesal. Lalu ia mengusap dan menggaruk-garuk bagian yang gatal dan sudah terlihat membengkak.
"Sial!" umpatnya kesal.
Kadrun bangkit ketika melihat mangsanya sudah keluar dari warung. Mantan menantunya itu pergi menjauh, itu berarti Yogie tidak ikut dengan pria yang tadi ia pukul di rumahnya. Ia merasa aman, karena ia tahu kalau Yogie itu jago bela diri, bisa mati konyol kalau dirinya sampai melawan pria itu.
Dilihatnya Satya mulai menaiki motor dan memakai helm, lalu mulai melaju. Seketika Kadrun berlari ke ujung jalan tepat di mana tukang ojek pengkolan berada, ia langsung meminta salah satu tukang ojek untuk mengantarnya mengikuti pria yang ia tunjuk di depannya tadi.
Motor yang ditumpangi Kadrun mau tidak mau harus mengikuti kecepatan laju motor Satya. Tukang ojek itu diminta untuk ngebut, sampai mereka berhenti di lampu merah, sementara Satya sudah lewat lebih dulu. Kadrun mendengkus kesal, ia tidak bisa mengikuti Satya pulang. Ia pun lalu turun dari motor, tanpa membayar ongkos.
"Woy, Pak. Bayar dulu!" teriak si tukang ojek.
"Besok!" Kadrun memasang wajah kesal sambil mencoba menyebrang jalan.
Tiba-tiba saja dari arah berlawanan sebuah minibus melintas dengan kecepatan sedang, dan seketika menabrak tubuh pria tambun itu. Kadrun terkapar di jalanan.
***
Satya tiba di rumah, ia mencoba menutupi luka di wajahnya itu kemudian langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintu dari dalam. Ia berdiri di depan cermin, luka lebam terlihat mencolok di bagian bibir. Perih saat disentuh oleh jari, tapi ia harus bertahan. Itu sebagai bukti kalau seseorang baru saja membuatnya naik darah.
Suara ketukan pintu membuatnya menoleh, enggan Satya untuk melihat siapa yang berada di balik pintu kamarnya itu.
"Satya ... kamu sudah pulang?" Suara sang bunda membuatnya lemah, ia tak bisa bersembunyi kalau Aminah sudah memanggilnya.
Satya melangkah mendekati pintu dan membukanya perlahan. "Ya, Bun?" tanyanya dengan menundukkan kepala.
Perasaan seorang ibu memang tak bisa dibohongi. Satya tak pernah seperti ini setiap pulang dari bepergian, ia pasti langsung menghampirinya meskipun dirinya berada di dapur atau kamar mandi. Namun, kali ini putranya tiba-tiba pulang dan masuk kamar, pasti telah terjadi sesuatu.
Aminah menangkap wajah sang putra yang berbeda, ia menarik dagu Satya hingga mendongak. Sebuah luka memar terlihat di sana. "Astaghfirullah ... kamu habis berantem?" tanya Aminah cemas.
"Jatuh, Bun," jawabnya bohong.
Aminah menggeleng, "Kamu pasti bohong, badan kamu coba, Bunda lihat. Baju kamu bersih, celana juga. Masa jatuh mukanya doang?" Aminah mengecek seluruh tubuh putranya itu.
Satya hanya diam, ia tak mungkin bilang kalau dirinya baru saja dihajar oleh ayahnya Salwa. Bisa-bisa nanti rencananya gagal, dan Bunda malah ingin bertemu dengan keluarga Salwa juga, karena tidak terima anaknya diperlakukan demikian.
"Aku nggak apa-apa kok, Bun."
"Ya sudah, Bunda sama Ayah mau bicara, sama Salwa juga. Kita ke ruang tengah yuk!"
Aminah mengajak sang putra untuk mengikutinya. Mereka duduk di ruang keluarga, dirinya duduk bersebelahan dengan Salwa, sementara Satya bersebrangan dengan gadis berkerudung hitam.
Salwa tampak diam, tapi keningnya berkerut melihat pria di hadapannya pulang dengan wajah yang penuh luka. Ingin sekali ia bertanya, "Kakak kenapa?" sayang kalimat itu hanya bisa tersimpan di dalam hatinya. Hanya berharap, Satya baik-baik saja.
"Satya, Salwa. Ayah dan Bunda sebagai orang tua, ingin sekali melihat kalian selalu akur dan saling menyayangi satu sama lain." Aminah mencoba membuka percakapan.
Satya tak menyimak, ia sibuk dengan ponselnya yang sejak tadi berbunyi karena banyaknya pesan whatsapp yang masuk.
"Tadi Ayah ditegur oleh ketua RT kita, karena Salwa tinggal di sini. Sementara dia bukan siapa-siapa kita." Rahman menimpali sambil memandang sang putra yang kelihatan tak peduli.
"Satya ... kamu dengar kami ngomong nggak?" Suara Rahman meninggi.
Satya spontan menatap sang ayah dan mengangguk. "Iya, Yah."
"Okey, ini masalah serius. Kita nggak tahu sampai kapan Salwa akan tinggal bersama kita, kita juga nggak tahu apakah Salwa bisa kembali ke keluarganya atau tidak. Untuk menghindari fitnah dari para tetangga, Ayah berniat untuk menikahkan kamu dengan Salwa. Karena Salwa juga sedang hamil, dia butuh seorang laki-laki yang akan menjaga dan melindungi dia sampai bayinya lahir. Kamu mau, kan?" tanya Rahman pada sang putra.
Satya melotot tajam, lalu menatap gadis di hadapannya yang menunduk sejak tadi. Lalu ia memalingkan wajah ke arah lain. Menikah? Bahkan ia belum kepikiran tentang itu. Apalagi menikah dengan mantan istri sahabatnya sendiri. Dan sampai saat ini, bayi dalam kandungan Salwa pun belum diketahui siapa ayahnya. Surat dari pengadilan yang memutus perceraian Salwa dengan yogie pun belum ada.
Satya benar-benar dilema, dirinya harus bilang apa? Di satu sisi ia pun ingin sekali bisa dekat dengan Salwa. Memberikan seluruh perhatian dan kasih sayangnya pada gadis itu.
"Satya, Bunda yakin kamu pasti bisa jadi suami yang baik untuk Salwa." Aminah mengusap lembut gadis di sebelahnya.
Salwa berharap Satya mau menerimanya dengan tulus, berikut dengan bayi yang dikandungnya itu. Karena ia betul-betul butuh seseorang yang menyayangi sepenuh hati seperti Satya.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top