7 fakta
Satya tak menyangka akan bertemu dengan teman sekelasnya saat di sekolah dahulu. Ia pikir Yogie sudah pindah rumah, ternyata belum. Ia masih ingat jalanan ini dulu sering mereka lewati, tapi tidak diduga saja kalau ternyata Salwa juga tinggal di dekat rumah Yogie.
"Mau ke mana, lo? Kayanya buru-buru." Yogie memerhatikan penampilan Satya dari atas sampai bawah.
"Eum, nggak ke mana-mana sih. Kebetulan aja lewat," jawab Satya bohong.
Satya tak mungkin bilang pada Yogie kalau dirinya akan pergi ke rumah Salwa, yang ia tahu kalau pria berbaju merah di sampingnya itu pernah bilang kalau dirinya menyukai gadis bernama Salwa, yang tak lain adalah adik kelas mereka.
Tiba-tiba suara ribut terdengar, Satya dan Yogie saling pandang. Dilihatnya dari arah kurang lebih lima puluh di depan mereka, seorang pria tambun berkulit hitam dengan rambut beruban keluar dari rumah dengan sempoyongan. Sementara sang istri berteriak-teriak histeris mengusir pria tersebut.
Satya mengernyit menatap adegan di depannya. Dalam hati ia bertanya, apa yang sedang terjadi dengan kedua orang tua Salwa?
"Kenapa, ya, Gie?" tanya Satya penasaran.
Yogie mengembuskan napas kasar, lalu ia duduk di atas trotoar. Satya ikut duduk di sebelahnya. Menatap temannya penuh dengan tanda tanya.
"Itu orang tuanya Salwa, lo masih inget, kan? Cewek adik kelas kita dulu?" Yogie menatap Satya sebelum melanjutkan ceritanya.
Satya hanya mengangguk, ia berharap Yogie dapat memberikan informasi yang ia butuhkan tanpa harus menemui orang tua Salwa yang terlihat sedang tidak bisa diganggu apalagi dimintai keterangan.
"Mereka mantan mertua gue," ujar Yogie sambil menerawang ke atas.
Bagai disambar petir siang bolong, dada Satya rasanya sakit sekali mendengar ucapan temannya barusan. 'Mantan Mertua' itu berarti Yogie pernah menikah dengan Salwa. Satya mencoba menahan gejolak di dalam dadanya, ia menarik napas dan mengembuskannya dengan sangat perlahan.
"Trus?" tanya Satya makin penasaran.
"Gue minta cerai."
"Kenapa? Tapi lo nikah sama Salwa?"
"Iya, pagi gue nikahin dia. Malamnya langsung gue pulangin dia ke rumah orang tuanya, dan langsung gue talak."
Geram, Satya mendengar penuturan pria di sebelahnya itu. Seakan tanpa dosa menceraikan wanita yang baru saja dinikahinya. Dan kini wanita itu depresi berat di rumahnya, bahkan tak mau bicara sama sekali. Seandainya saja ia tak memandang itu adalah temannya, mungkin satu pukulan sudah mengenai wajah Yogie.
"Lo bayangin, Sat. Bisa-bisanya dia nerima lamaran gue dalam keadaan bunting. Dia pikir gue tempat sampah gitu, yang harus menanggung dosa dia sama anak yang dikandungnya itu, gue sendiri juga nggak tahu siapa itu bapaknya." Suara Yogie mulai meninggi.
Nyess. Kali ini jantung Satya serasa membeku, ia tak lagi bisa marah pada Yogie. Yogie tak bersalah, ia berhak marah dan memutuskan semuanya. Karena mungkin rasa kecewa ia dapat dari wanita yang harusnya bisa menjadi pendamping hidupnya.
"Trus, sekarang gimana keadaan mantan istri lo itu, eum ... maksud gue si Salwa?" tanya Satya pura-pura tidak tahu.
"Gue nggak tahu, dia hilang gitu saja. Makanya itu orang tuanya ikutan stress."
"Bapaknya sama ibunya nggak nyariin?"
"Bukan nggak nyariin, Sat. Bapaknya itu yang gila, istrinya kerja ke luar negeri. Anaknya sendiri dijual ke keluarga gue."
"Maksud lo?"
"Dia minta mahar seratus juta, nggak tahunya anaknya udah bunting. Untung langsung ketahuan. Ya udah, gue minta balikin tuh uang mahar, stress stress deh dia. Apalagi sekarang lihat tuh, diusir sama bininya."
Satya menatap nanar wanita berkerudung coklat yang duduk di teras rumahnya. Sementara pria paruh baya tadi sudah tak terlihat. Ingin sekali ia menghampiri ibunya Salwa, untuk memberitahukan keberadaan putrinya tersebut. Karena ia tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang yang sangat dicintai.
"Jujur ya, Sat. Gue sebenarnya masih sayang banget sama Salwa, cinta gue kayanya udah mentok sama dia. Tapi, lo tahu sendiri keluarga gue gimana. Salwa udah ngecewain gue sama ortu gue, gue nggak terima aja. Gue nggak rela kalau dia hidup bahagia, sementara hidup gue sekarang kaya gini. Orang-orang anggap gue jelek, padahal jelas-jelas si Salwa yang salah, bukan gue."
Satya hanya terdiam, sambil menatap jalanan. Ia tak tahu harus berbuat apa saat ini, perasaannya campur aduk. Salwa sudah bahagia tinggal bersama keluarganya, kalau sampai orang tuanya tahu dan membawanya pulang, maka akan bertemu lagi dengan keluarga Yogie. Belum lagi Yogie bilang nggak rela Salwa hidup bahagia, bisa saja nanti gadis itu akan kembali untuk mencoba bunuh diri kalau kembali ke sini.
***
Wanita paruh baya bergamis kecoklatan itu tengah duduk di teras rumahnya, wajah pucat nan sayu terpancar jelas. Sorot matanya kosong menatap jalanan, meski ramai orang yang melintas ia sama sekali tak peduli. Hatinya benar-benar kecewa, sakit dan rasa rindu yang menggebu seakan tak terbendung lagi.
Seminggu sudah sang putri hilang tanpa kabar, tanpa jejak. Putri satu-satunya yang ia besarkan seorang diri, harus pergi meninggalkannya di saat seharusnya gadis itu bahagia menjalani rumah tangganya.
Bagi Saraswati, Salwa adalah gadis yang penurut, pintar dan tak pernah membuatnya kecewa dengan perilakunya semasa sekolah dulu. Ia pun tak tahu mengapa suaminya sampai tega menjual sang putri pada keluarga Yogie hanya demi uang. Apa selama ini uang yang ia berikan dari hasil bekerja masih kurang?
"Permisi, Assalamualaikum," sapa seseorang.
Saraswati menoleh dan mengernyit, menatap pria muda di depannya dari ujung rambut sampai kaki. Lalu mengalihkan pandangannya. "Siapa kamu?" tanyanya.
"Boleh saya duduk di sebelah Ibu?"
Saraswati menggeser tubuhnya, memberikan tempat pada pria dengan topi hitam yang kini duduk di sebelahnya.
"Perkenalkan, saya Satya, Bu. Temannya Salwa." Satya mengulurkan tangan kanannya di depan wanita yang masih enggan menatapnya itu.
Mendengar nama sang putri di sebut, sontak kedua mata Sarawati menyalak. "Teman? Jangan-jangan kamu yang sudah menghancurkan masa depan anak saya, iya, di mana Salwa?"
"Eum, Ibu tenang dulu, ya. Saya ke sini hanya ingin ...."
Belum sempat Satya menjelaskan, wanita di sebelahnya sudah bangkit dan berdiri menatapnya dengan tatapan seperti hendak menerkam mangsanya. "Kamu sembunyikan anak saya di mana? Tega kamu sudah membuat anak saya hancur, di mana Salwa?" Suara Saraswati yang berteriak itu membuat Satya ketakutan.
Beberapa pasang mata yang melintas menatap keduanya penuh tanda tanya, Satya mulai panik karena dituduh menyakiti Salwa.
"Bu-bukan, Bu. Saya hanya ingin bilang kalau ...."
Bugh!
Tiba-tiba saja sebuah pukulan mendarat di perut Satya, kini pria muda itu pun menahan nyeri sambil memegangi bagian perutnya. Tak lama kemudian wajahnya kembali kena pukul. Satya mencoba bangkit saat tubuhnya terhuyung.
Pria paruh baya yang tadi ia lihat pergi meninggalkan rumah itu, kembali dengan tatapan menyeringai. "Jadi, lo yang udah bawa kabur anak gue?" tanyanya sambil meraih kerah baju Satya.
Satya menggeleng, ia tak menyangka kalau kedatangannya diketahui oleh ayahnya Salwa. Ia pikir pria tambun itu sudah tidak kembali lagi ke rumah itu, ternyata tidak. Ia benar-benar salah dugaan.
"Masuk, Bu! Biar anak ini Bapak yang habisi." Kadrun memerintah sang istri untuk masuk ke rumah.
Pria paruh baya dengan baju merah itu sudah kembali siap untuk menghajar wajah Satya. Namun, saat tangannya hendak meninju, sebuah tangan lain mencegahnya.
"Heh, Kadrun! Berani lo sentuh teman gue, gue penjarain lo." Yogie sudah berdiri di sebelah pria beruban itu.
Seketika tangan Kadrun menjauh, melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Satya, lalu dengan langkah cepat ia masuk ke rumahnya dan menutup pintu dari dalam. Yogie lantas membawa Satya menjauh dari rumah itu.
"Lo nggak apa-apa, Sat?" tanya Yogie cemas melihat cairan berwarna merah keluar dari bibir Satya.
Satya hanya menggeleng menahan rasa perih yang menjalar di wajahnya. Tangan kirinya mengusap darah yang berada di sudut bibirnya itu.
"Gue antar lo pulang, ya." Yogie membantu Satya berjalan kembali ke motornya yang masih terparkir di tempat mereka bertemu tadi.
***
"Dia siapa, Bu?"
"Mana Ibu tahu, ngakunya temannya Salwa."
"Mau ngapain dia ke sini? Cari Salwa?"
"Ibu belum tanya, Bapak sudah pukul dia. Bapak ngapain balik lagi ke rumah? Ibu kan sudah bilang, jangan pulang sebelum bawa Salwa pulang."
"Tapi, Bu. Bapak harus cari ke mana?" Kadrun memohon pada sang istri, ia bingun harus mencari putrinya ke mana. Terlebih ia tak memegang uang sama sekali. Sementara perutnya perih minta diisi.
"Ibu nggak peduli, sekarang Bapak pergi! Cari Salwa sampai dapat." Saraswati mengusir suaminya sendiri, ia membuka pintu dan menyeret tanga pria berkulit hitam itu agar keluar.
Kadrun dengan terpaksa keluar dari rumah, seketika pintu ditutup dari dalam oleh sang istri. Ia lupa kalau alas kakinya tertinggal di dalam. Dengan gontai Kadrun menginjakkan kaki di atas tanah dan aspal jalanan dengan kaki telanjang. Ia tak tahu harus mencari Salwa ke mana, satu pikirannya hanya mengikuti dua pria muda yang berada di warung tak jauh dari rumahnya itu.
***
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top