6 rindu
Malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Satya dan keluarga tampak bahagia melihat Salwa mau duduk bersama mereka makan bersama di ruang makan. Biasanya ia hanya mau makan terakhir, tidak dengan keluarga Satya.
Wajah Salwa sedikit berseri, entah apa yang membuatnya terlihat bahagia. Meski ketakutan masih selalu menghantui hari-harinya. Dengan jilbab langsung warna pink, dan baju tidur warna senada bergambar hello kitty, membuat wajah itu makin bersinar. Sesekali ia mencuri pandang ke arah pria yang duduk tepat di depannya.
"Gimana kuliah kamu, Satya. Lancar?" tanya Rahman pada sang putra.
Satya yang asyik mengunyah makanannya itu menoleh, dan mengangguk. "Lancar, Yah."
"Jangan sampai sering bolos kamu, Ayah sedang cari tempat untuk kamu magang nanti kalau sudah lulus."
"Masih lama, Yah."
"Iya, tapi kalau nggak titip dari sekarang, nanti keburu ditempatin orang."
"Hem."
Satya hanya mengangguk saja, ia tak bisa mengelak. Sama seperti mengambil fakultas yang bukan ia inginkan. Ayahnya yang seorang pengacara itu pun menginginkan putranya memiliki basic yang sama di bidang hukum. Padahal Satya sama sekali tak pernah mengerti tentang masalah hukum, lebih tepatnya ia malas. Karena ia tahu kalau hukum yang berkembang di negeri ini lebih banyak memihak pada penguasa yang memiliki uang banyak, dari pada rakyat kecil yang butuh keadilan.
"Ayah, Satya. Bunda punya kabar baik." Aminah tiba-tiba memotong pembicaraan.
Kedua pria beda usia itu pun saling pandang, lalu menatap Aminah penuh dengan tanda tanya. Sementara Salwa hanya menoleh dan mencoba memerhatikan, menerka kabar baik apa yang hendak disampaikan oleh wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
"Apa, Bun?" tanya Satya penasaran.
"Tadi dong, Salwa manggil Bunda." Aminah tampak berseri seraya menatap gadis di sebelahnya itu.
Salwa menunduk malu, wajahnya memerah. Ia pun tak tahu seketika ia bisa memanggil wanita itu dengan sebutan 'Bunda'. Ia hanya merasa telah menemukan tempat yang nyaman, yaitu berada di sisi wanita yang kini tengah mengusap lembut bahunya.
"Gue nggak dipanggil, Sal?" tanya Satya dengan tatapan penuh harap.
"Satya ...." Aminah mengingatkan sang putra untuk tidak memaksa gadis di sebelahnya itu berbicara.
"Oh iya, Sal. Lo suka musik nggak? Abis makan malam, kita karaokean, yuk! Gue tahu lo pasti butuh hiburan." Satya tiba-tiba saja ingin mengajak gadis di hadapannya itu bernyanyi. Karena kata orang, kalau stress satu-satunya cara untuk melupakan masalah, dan membuat hati gembira itu dengan cara mendengarkan musik, juga bernyanyi.
Satya berharap Salwa mau menerima ajaknnya itu, dan sedikit bisa menghibur hati Salwa yang mungkin sampai saat ini masih terasa sepi dan kosong. Ia tak mau Salwa menyimpan semuanya sendiri. Dengan caranya, Satya akan membuat Salwa bisa berbicara mengutarakan isi hatinya melalui lagu.
Salwa mengangguk, pertanda ia menyetujui ajakan pria yang hampir tersedak karena tawarannya diterima.
"Serius? Asyik, jadi gue ada temen duet nih. Boleh, kan, Bun, yah?" tanya Satya meminta persetujuan.
Kedua orang tua Satya mengangguk, mereka tersenyum. Akhirnya Satya sedikit demi sedikit bisa mendekatkan diri pada Salwa.
***
Sebuah ruangan khusus berada di lantai dua rumah kediaman Rahman, tempat yang kedap suara. Sengaja dibuat untuk Satya yang gemar dengan musik. Ada beberapa alat musik di dalamnya, drum, gitar, bass, orgen, layaknya studio musik.
Salwa memasuki ruangan tersebut dengan langkah begitu lambat. Terlebih saat Satya mulai menutup pintunya, dan mereka hanya berdua saja di dalam sana.
Kedua mata Salwa mengawasi sekitar, berikut gelagat Satya. Ia takut dengan keadaan sepi, dan hanya ada dirinya dengan seorang laki-laki. Yang mungkin saja sewaktu-waktu bisa berbuat jahat padanya.
Suara berdebum dari drum yang dipukul Satya mengejutkannya, Satya meringis melihat perubahan wajah Salwa. "Jangan bengong aja, ayo, lo mau main alat musik apa? Atau mau nyanyi, gue yang main alat musiknya. Lo suka lagu apa?" tanya Satya, memancing Salwa agar mau berbicara padanya.
Salwa berjalan ke depan gitar berwarna kecoklatan, ia mengambil benda yang berdiri di dekat dinding itu lalu mengalungkan tali menyilang ke tubuhnya. Perlahan petikan gitar mulai terdengar. Satya hanya mengernyit, mencoba mencari tahu musik apa yang sedang dimainkan oleh gadis berjilbab itu.
Irama nadanya mengalun pelan, tapi Satya bisa menangkap lagu apa yang sedang dibawakan oleh Salwa. Ia pun menyanyikannya seiring dengan nada yang dimainkan oleh gadis itu. sebuah lagu dari salah satu band Indonesia, yang mungkin saja mengutarakan isi hati seorang gadis yang merindukan seseorang nan jauh di sana.
Kuberjalan terus tanpa henti.
Dan dia pun kini telah pergi.
Kuberdoa di tengah indah dunia.
Kuberdoa untuk dia yang kurindukan.
Memohon untuk tetap tinggal.
Dan jangan engkau pergi lagi.
Berselimut di tengah dingin dunia.
Berselimut dengan dia yang kurindukan.
Would it be nice to hold you...
Would it be nice to take you home...
Would it be nice to kiss you..
Memohon untuk tetap tinggal.
Dan jangan engkau pergi lagi.
Bernyanyilah na na na na na.
Bernyanyilah untuk dia yang kurindukan.
Would it be nice to hold you...
Would it be nice to take you home...
Would it be nice to kiss you..
Jangan pernah lupakan aku.
Jangan hilangkan diriku.
Jangan pernah lupakan aku.
Jangan hilangkan diriku.
Jangan pernah lupakan aku.
Jangan pergi dari aku.
Nidji : Jangan Lupakan
Satya mendekati Salwa yang memetik gitar dan sangat menikmati lagu tersebut. Tanpa sadar tangan hangatnya menyentuh bahu gadis itu, lembut. Kepala Salwa mengayun ke kanan dan kiri, seraya memejamkan matanya. Rindu akan pelukan sang ibu membuatnya tak sadar, kalau yang merangkul dan menghangatkannya kali ini adalah Satya. Aroma parfum dari tubuh Satya seolah menghipnotisnya, hingga mampu membuatnya hanyut dalam dekapan pria yang selama ini melindunginya.
"Gue nggak akan pergi ninggalin, lo, Sal. Gue yang akan jagain lo sekarang," ucap Satya lirih.
Ada debar aneh yang dirasakan Salwa, tangan pria di sebelahnya itu tak lagi terlihat menakutkan seperti sebelumnya. Kini yang dirasakan hanya rasa hangat dan nyaman berada di sebelah Satya.
***
Satya sudah bersiap untuk pergi ke suatu tempat, sebuah alamat sudah dipegangnya. Alamat rumah orang tua Salwa yang berhasil ia dapatkan dari guru di sekolahnya kemarin. Dengan memakai kaus hitam dan celana jeans, kali ini ia lebih menyiapkan mental. Konon katanya kedua orang tua Salwa sedang bersitegang atas kehilangan putri mereka.
Setelah sarapan, Satya langsung keluar rumah. Salwa yang tidak mengetahui hendak pergi ke mana pria di hadapannya tadi, ia pun mengikuti sampai teras.
Satya menoleh melihat Salwa berdiri di tengah pintu, "Kenapa?" tanyanya.
Salwa hanya menggeleng, bibirnya ingin berucap 'hati-hati,' sayang tak mampu ia keluarkan ucapan itu.
"Tenang, gue cuma pergi sebentar, kok. Nanti kita duet lagi, ya." Satya tersenyum seraya memakai helm berwarna merah marun.
Gadis dengan jilbab motif bunga itu hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Namun, tiba-tiba saja panggilan Rahman dari dalam rumah membuat Satya yang hendak menghidupkan mesin motor itu menghentikan aktivitasnya.
"Satya, kamu mau ke mana?" tanya Rahman.
Satya berusaha mencari alasan untuk pergi, ia tak mungkin bilang kalau hendak pergi menemui keluarga Salwa. Takut Salwa akan melarangnya, dan ia gagal mendapatkan informasi tentang masa lalu gadis itu.
"Eum, ngerjain tugas kampus, Yah."
"Jangan bohong, mendingan kamu temani Ayah ketemu klien, nanti kamu bisa belajar gimana cara menghadapi klien yang punya kasus."
"Nggak bisa, yah. Udah janji sama teman, kata Ayah kan aku disuruh belajar, kerjain tugas. Kalau makalah aku nggak selesai, gimana mau lulus."
"Ya sudah."
Rahman menyerah karena tak berhasil membujuk sang putra untuk ikut dengannya. Kemudian ia masuk kembali. Sementara Salwa masih terdiam di tempatnya, memandang Satya yang sibuk memakai hoodie hitam lalu mulai menghidupkan mesin motor, dan melambaikan tangan ke arahnya. Salwa pun membalas lambaian tangan pria yang sudah melaju keluar dari halaman rumah.
"Salwa, Bunda lihat kamu sedang bahagia. Apa yang sudah Satya perbuat sampai wajah kamu bisa berseri seperti ini?" tanya Aminah yang sudah berdiri di sebelahnya.
Sejak tadi wanita paruh baya itu memerhatikan sang putra dengan gadis berlesung pipi itu, keduanya tampak akur dan lebih dekat dari biasanya. Ia senang melihat perubahan yang terjadi pada Salwa, paling tidak untuk saat ini kondisi fisik Salwa harus tetap terjaga, demi janin yang ada di dalam kandungannya itu.
Salwa menyembunyikan semburat merah yang terpancar dari wajahnya. Ia hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Aminah barusan tanpa bisa menjawab. Tak mungkin ia bercerita kalau semalam mereka baru saja ... lebih tepatnya ia sudah mulai menerima sentuhan tangan orang lain yang membuatnya nyaman selain wanita bergamis hijau di sebelahnya.
***
Satya tiba di sebuah tempat di pinggiran kota. Setelah mencari alamat tersebut melalui GPS, ia teringat dengan seseorang yang pernah dekat dengannya dahulu. Kalau belum pindah, teman sekelasnya dulu pasti masih tinggal di daerah situ.
"Maaf, Pak. Saya mau tanya, rumahnya Ibu Saraswati di mana ya?" tanya Satya pada seorang pria paruh baya yang melintas di depannya.
"Oh, istrinya Pak Kadrun?"
"Saya kurang tahu nama suaminya sih, tapi anaknya namanya Salwa."
"Iya, itu tembok warna biru. Yang di depan rumahnya ada pohon belimbing." Pria tersebut menunjuk ke sebuah rumah tak jauh dari Satya berada.
"Oh, makasih, Pak."
"Iya, sama-sama, mari." Pria berbaju batik itu pun kembali melangkah.
Satya hendak melajukan kendarannya, tapi tiba-tiba ada yang menyentuh bahunya dari belakang.
"Satya!"
Satya spontan menoleh, ia mengernyit melihat pria yang dikenalnya berdiri di sebelah motor. Pria berkulit putih dengan rambut yang disisir ke atas itu tersenyum ke arahnya. Satya lalu mematikan mesin motor, dan turun menghampiri pria itu.
"Yogie? Apa kabar, lo?"
Keduanya berjabat tangan dan saling beradu bahu, tertawa lebar menyambut pertemuan mereka setelah sekian lama tak pernah saling sapa. Bahkan nomor ponsel pun tak ada yang tersimpan.
**
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top