5 Pencarian


.

"Salwa kenapa, Sat?" tanya Aminah yang berdiri di depan pintu kamar Salwa.

Satya yang baru saja tiba, mengatur napasnya perlahan sebelum menjelaskan kejadian yang baru saja dialami gadis yang kini mengurung diri di kamarnya itu. "Aku nggak tahu, Bun. Tadi kita lagi makan bakso di ujung jalan. Tiba-tiba mangkuk Salwa jatuh, terus dia lari gitu aja. Aku yang kena ganti deh tuh mangkuk yang pecahnya."

Aminah mengusap bahu sang putra, ia berpikiran bahwa ada sesuatu yang membuat Salwa kembali ketakutan seperti itu. Diketuknya pintu perlahan, tak ada sahutan. Ia pun mengembuskan napas pelan sambil menggeleng menatap Satya.

Satya yang tak sabar, takut terjadi sesuatu lagi pada gadis itu pun mencoba memutar knop pintu. ternyata tak dikunci dari dalam. Dibukanya perlahan pintu bercat putih itu sedikit demi sedikit, hingga terlihat gadis berkerudung tersebut duduk di tengah ranjang dengan kaki yang ditekuk dan dipeluknya erat.

"Sal, lo baik-baik aja, kan?" tanya Satya mencoba mendekat.

Aminah yang berjalan di belakangnya menangkap sesuatu dari wajah Salwa. Wajah itu begitu cemas, dengan tatapan kosong dan tangan yang gemetar. Ia melangkah mendekati gadis itu, duduk di hadapan dan meraih tangan Salwa yang sudah berkeringat dingin.

"Cerita sama Bunda, Salwa lihat apa? Atau ada yang Salwa rasa?" tanya Aminah hati-hati.

Salwa tetap tak mau membuka mulutnya, justru air matanya meleleh begitu saja dengan bahu yang mulai terguncang.

Sebagai orang tua, dan seorang ibu. Aminah meraih bahu Salwa, membawanya dalam pelukan. Hingga gadis itu merasakan kehangatan dan kasih sayang yang tulus, membuat dadanya yang tadi sesak sedikit longgar. Aminah ingin melindungi Salwa, menjaga dan membuatnya nyaman.

"Ya sudah, Salwa istirahat, ya. Sebentar lagi azan Magrib. Kita sholat berjamaah di depan ya, nanti Satya yang jadi imam, karena Ayah belum pulang kerja."

Salwa melepas pelukan, lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan. Berusaha tersenyum menatap Aminah. Ia merasa bersalah, karena kehadirannya membuat keluarga itu menjadi terbebani. Ia ingin pergi, rasanya tak sanggup melalui kenyataan itu sendirian.

***

"Kamu mau ke mana, Sat?" tanya Aminah yang melihat putra kesayangannya itu sudah berdandan rapi.

Kaus hitam, dengan celana jeans dan tas ransel dikenakan Satya. Ia lantas duduk di ruang makan bersama keluarganya. Kedua netranya mencari sosok gadis yang selalu ingin ia lihat senyumannya.

"Aku mau ke Sekolahan, Bun," jawab Satya.

"Mau ngapain?" tanya Rahman sambil menyesap kopi susunya pagi itu.

"Aku mau ketemu sama Bu Fatimah, kayanya dia tahu sesuatu tentang Salwa." Satya mengangkat alisnya.

"Tapi kamu juga harus hati-hati, jangan sampai orang pada tahu kalau Salwa sedang hamil. Kasihan." Aminah berusaha mengingatkan sang putra dengan kondisi Salwa.

"Iya, Bun. Tenang saja."

"Kamu ke sana sama siapa?"

"Sendiri aja, katanya nggak boleh orang tahu. Kalau aku ngajak orang, nanti malah pada kepo. Ya udah, Bun, Yah. Aku berangkat dulu." Satya mencium punggung tangan kedua orang tuanya secara bergantian.

"Hati-hati."

"Ok!"

Satya keluar rumah dengan berbekal sepotong roti berisi selai coklat di tangan. Sebelum naik ke atas motornya, ia mengirimkan pesan terlebih dahulu pada teman sekelasnya untuk meminta izin tidak masuk di jam kuliah pertama karena ada urusan keluarga.

Sambil menggigit roti, ia memakai helm. Kemudian menghidupkan mesin motornya. Suara deru motor Satya terdengar hingga ke dalam kamar Salwa. Gadis itu mengintip dari balik jendela kamar.

Motor berwarna merah itu pun belum dijalankan oleh pemiliknya. Karena pria dengan jaket putih tersebut masih sibuk mengunyah makanannya sambil memanasi kendaraannya. Sekilas, Salwa tersenyum menatap pria yang menolongnya itu. Entah mengapa dirinya seolah tak ingin pergi dari rumah yang sudah membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Meski ia tak pernah tahu sampai kapan.

Satya yang merasa keberadaannya ada yang memerhatikan, ia melirik sekilas ke jendela kamar Salwa. Seketika Salwa langsung menutup hordengnya dan merasakan debar jantungnya berdenyut dengan cepat. Tak lama suara motor Satya sudah tak terdengar lagi, ia mengintip dan pria itu sudah hilang dari pandangan mata.

***

"Salwa sedang apa di situ?" Seketika sebuah suara mengejutkan Salwa yang masih berdiri di dekat jendela.

Dengan wajah memerah karena malu, ia menunduk dan menggeleng. Lalu melangkah ke arah tempat tidurnya.

"Sarapan dulu, yuk!" ajak Aminah lembut.

Salwa menurut, ia mengikuti langkah wanita berjilbab coklat dengan gamis warna senada yang berjalan di depannya itu. Di ruang makan sudah tak ada siapa-siapa, Rahman pergi kerja, sementara Satya pun pergi ke sekolahan.

Salwa duduk dan meminum susu putih, lalu mulai mengoleskan selai coklat ke atas roti tawar. Aminah yang melihat tersenyum kecil, "Kamu harus makan yang banyak, Sayang. Jangan sampai tidak makan."

Salwa hanya menunduk dan tersenyum kecil. Ia merasakan perutnya selalu berontak ketika diisi oleh makanan. Tubuhnya pun serasa lelah dan kepala pening. Sambil menghabiskan sarapannya, sesekali ia memegang perut agar isi didalamnya tak lagi keluar.

"Masa hamil muda memang seperti itu, namanya morning sick. Kamu akan merasakan hal itu selama trimester awal, sampai usia kandungan kamu tiga bulan. Sabar, ya, Sayang." Aminah yang duduk di sebelah membelai kepala Salwa dengan lembut.

Raut wajah Salwa seketika berubah, mengingat janin yang ada dalam kandungannya itu adalah anak dari seorang bajingan. Rasanya ia menjadi enggan untuk melahirkan bayi itu ke dunia.

"Bayi ini nggak berdosa, kamu jangan pernah berpikir untuk menghilangkannya, ya." Ucapan Aminah seolah tahu isi hati gadis di sebelahnya itu.

"Bunda ...." Salwa tiba-tiba memanggil Aminah.

Aminah tampak terkejut dan terlihat berbinar, menatap Salwa yang sedang memandanginya itu. "Kamu panggil Bunda?" Dengan suka cita ia pun merangkul Salwa dan tanpa sadar menitikkan air mata.

"Kamu sudah mau bicara sama Bunda?" tanya Aminah lagi.

Salwa menarik ujung bibirnya ke samping. Ia menelan saliva, ia ingin berbagi masalahnya untuk mendapatkan solusi. Hanya saja, ketakutan itu selalu muncul setiap kali dirinya ingin berbicara.

"Aku ... nggak mau anak ini lahir," ucap Salwa tiba-tiba.

Aminah memeluk gadis berjilbab putih di sebelah, mencoba untuk menguatkan hatinya. Salwa menangis, ia benar-benar terguncang. Tubuhnya menjadi berkeringat dan basah, Aminah merasakan kesedihan yang dialami oleh gadis di pelukannya itu.

***

Di tempat lain, Satya sudah tiba di sekolahannya dahulu, SMA Putra Bangsa. Setelah memarkir kendaraannnya, ia melangkah menuju ruang guru. Di sana ia tak melihat wanita yang dicarinya. Padahal menurut penjaga sekolah, Bu Fatimah sudah datang.

"Satya?" Sebuah suara dari arah belakang mengejutkan Satya yang berdiri di dekat pintu.

Satya menoleh, seorang pria paruh baya dengan seragam berwarna krem berdiri memandangnya. Ia pun lantas menyalami mantan gurunya tersebut. "Pak Hendrik."

"Ngapain kamu ke sekolah? Mau minta legalisir?" tanya pria berkumis tipis di depannya itu.

"Eum, saya ... mau ketemu Bu Fatimah, Pak. Ngajar apa nggak ya?"

"Oh, Bu Fatimah, lagi ada di kantin. Dia ngajar jam ketiga nanti. Tumben, ada masalah apa?"

"Oh, enggak, enggak ada masalah apa-apa kok, Pak. Ada perlu aja, kalau gitu saya permisi ke kantin dulu, Pak."

"Iya-iya."

Satya lalu undur diri dan berjalan cepat menuju kantin sekolah yang berada di bagian samping gedung. Ia mencari ke setiap sudut, ternyata Bu Fatimah sedang duduk sambil menyantap makanan. Satya mendekatinya, "Assalamualaikum, Bu."

Fatimah menoleh dengan mengernyit, "Kamu? Yang kemarin sama Salwa kan?"

"Iya, boleh saya duduk, Bu?"

"Boleh-boleh, kamu udah sarapan?"

"Udah kok, Bu. Eum ... saya Satya, saya alumni sini juga. Kebetulan kakak kelasnya Salwa."

"Oh ya? Kok saya nggak kenal ya? Kamu lulusan tahun berapa?"

"Lulusan tahun 2016, Bu."

"Oh, pantas. Saya masuk sini 2016 akhir. Mungkin kamu sudah lulus, jadi nggak sempat diajar sama saya."

"Iya, Bu."

"Kamu ada perlu apa?"

"Salwa masih tinggal di rumah saya, saya bingung karena sampai saat ini dia belum mau bicara sama sekali dengan keluarga saya. Apa Ibu tahu sesuatu tentang masa lalu Salwa?"

Fatimah meletakkan sendok di atas mangkuk, mie rebus yang baru disantapnya sudah habis. Ia membuka tutup botol air mineral, dan menenggak isinya perlahan. Kemudian mengembuskan napas pelan.

"Saya nggak tahu pasti dengan apa yang terjadi pada Salwa, tapi dulu saya pernah mendapati Salwa masuk kelas dengan wajah yang sangat pucat. Dia nangis di toilet, teman-temannya juga merasakan keanehan itu. Saya sempat bawa dia ke ruang UKS, tubuhnya banyak luka lebam. Setiap kali saya tanya, dia hanya menggeleng. Saya juga takut kalau sampai dia kenapa-napa."

"Orang tuanya bagaimana, Bu?" tanya Satya penasaran.

"Saya antar Salwa pulang, ayahnya baik, sangat baik. Dia begitu perhatian dan sayang sekali dengan Salwa. Dia ambilkan makan, dia suapin, dia juga marah waktu saya cerita kondisi Salwa di sekolah."

"Lalu apa tindakan ayahnya waktu itu?"

"Kami pihak sekolah diminta memanggil orang-orang terdekat Salwa, untuk diinterogasi, dan ternyata dia ..."

"Kenapa, Bu?"

Fatimah mengembuskan napas perlahan, tapi suara bel pergantian jam berbunyi. Membuat keduanya terkejut.

"Salwa dilecehkan oleh teman-teman prianya, dan kami sudah mengeluarkan pelaku dari sekolah ini."

Jantung Satya seperti tersengat mendengar penuturan gurunya itu. Jadi, Salwa korban pelecehan? Lalu siapa ayah dari anak yang dikandungnya? Apa laki-laki itu pelakunya?

"Kejadian itu saat Salwa kelas berapa, Bu?"

"Waktu Salwa kelas sebelas awal, ya saya ingat betul. Waktu itu saya belum lama masuk di sekolah ini. Satu-satunya murid yang menjadi perhatian saya hanya Salwa."

Satya berpikir lagi, kalau kejadian itu dilakukan saat Salwa masih bersekolah, anak yang di dalam kandungan pasti sudah lahir. Sementara usia kandungan Salwa masih satu bulan, dan tidak mungkin kalau pelakunya adalah orang yang sama saat sekolah dulu.

"Ibu punya alamat rumah Salwa?"

"Buat apa?"

"Saya ingin bertemu orang tua Salwa."

Fatimah pun tak tega dengan kegigihan Satya untuk mendapatkan informasi mengenai keluarga Salwa dan apa yang menimpa gadis itu. Ia akhirnya memberikan sebuah alamat rumah kediaman orang tua Salwa yang ia tulis di atas secarik kertas. Lalu memberikannya pada pria muda di hadapannya tersebut.

***

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top