4 dusta
Kadrun sebagai kepala rumah tangga merasa gagal, sang putri kabur dari rumah sementara istrinya tak bisa berhenti menangis. Sudah hampir seminggu putri kesayangannya tak ada kabar, entah ke mana. Sedangkan uang mahar yang sempat diberikan dari mantan menantunya, harus ia kembalikan dalam waktu dua minggu. Ia harus mencari ke mana uang sebanyak itu?
"Bu, kamu bisa diam nggak sih? Aku pusing lihat kamu nangis terus." Pria bertubuh gempal itu pun duduk dan membuang napas kasar.
"Gimana Ibu nggak sedih, Pak. Salwa sudah hampir seminggu tidak pulang, kita nggak tahu gimana keadaaan dia, sudah makan atau belum, tidur di mana?"
"Ibu tenang saja, nanti kalau lapar juga pulang."
"Tenang? Gimana Ibu bisa tenang, Salwa hamil, Ibu nggak tahu siapa bajingan itu. Masa depan dia hancur! Dia sendiri di luar sana sekarang. Minggu depan Ibu harus kembali bekerja ke Hongkong. Kalau sampai Salwa nggak ketemu juga, mungkin Ibu nggak akan kerja lagi."
Kadrun menoleh, melotot tajam ke arah sang istri. "Nggak bisa begitu, kalau Ibu nggak kerja, lalu kita makan apa?" Pria itu tak terima, hanya karena Salwa ia harus kehilangan sumber penghasilannya.
"Ya sudah, makanya Ibu bilang sekarang Bapak lapor ke polisi. Dari kemarin Ibu udah suruh Bapak melapor, tapi Bapak selalu menolak dengan alasan Salwa bukan anak kecil lagi, dan pasti akan kembali pulang. Nyatanya sampai sekarang anak itu nggak pulang." Saraswati kembali terisak.
Kadrun mendengkus kesal, mana mungkin dirinya akan melaporkan Salwa ke polisi. Kehilangan anak, anak yang mungkin saja kalau ditemukan malah akan membuatnya masuk ke jeruji besi.
"Ya sudah, Bapak ke kantor polisi dulu. Ibu jangan ke mana-mana. Awas kalau sampai keluar." Kadrun mengancam sang itri.
Saraswati hanya menatap kepergian pria berkaus abu-abu itu keluar dari rumah. Ia begitu merindukan putrinya. Sudah hampir lima tahun dirinya berjuang di negeri orang, demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Bahkan ia sampai rela meninggalkan sang putri yang beranjak dewasa yang mungkin membutuhkannya sebagai tempat berkeluh kesah layaknya orang tua yang lain.
Ia pun tak rela, jika ada seseorang yang tega menyakiti harta paling berharga dalam hidupnya itu. Kini di tangannya sebuah buku kumpulan cerita pendek milik Salwa baru saja ia baca. Sebagai penawar rindu akan sang putri, Saraswati mengusap dan memeluk buku karangan putri tercintanya.
Saraswati tak tahu sampai kapan dirinya akan jauh dari sang putri, kebutuhan hidup yang kian melonjak naik pun tak bisa ditahan. Sementara sang suami yang hanya pengangguran itu tak bisa diandalkan sama sekali. Setiap kali diminta untuk mencari kerja, selalu berasalan kalau mencari pekerjaan itu sulit, apalagi umur dia sudah tidak muda lagi.
Dulu ketika ia menerima lamaran Kadrun, dipikir ia akan sedikit tenang karena ada yang akan menggantikannya untuk mencari nafkah. Ternyata tidak sama sekali, Saraswati tetap menjadi tulang punggung keluarganya. Belum lagi, kalau ketiga anak Kadrun yang masih kecil-kecil ikut meminta jatah uang padanya. Padahal mereka tinggal juga bersama kedua orang tuanya.
***
Kadrun berjalan gontai, sambil menendangi kerikil di jalanan. Ia tak tahu harus ke mana untuk mencari putrinya itu. Serba salah jadinya, karena sebenarnya ia tak peduli jika Salwa tidak kembali ke rumah. Itu berarti rahasianya akan aman, ditambah kalau anak itu sampai menghabiskan nyawanya sendiri. Otomatis semua jejak kebusukannya akan hilang.
Di satu sisi ia pun harus membawa pulang Salwa, karena sang istri yang menjadi taruhannya. Kalau sampai Saraswati tidak bekerja, lalu bagaimana nanti jika mantan istri dan anak-anaknya meminta uang?
Kadrun duduk di atas trotoar, memandangi kendaraan yang lewat di hadapannya. Sesekali ia meremas rambutnya yang mulai memutih itu. Ia teringat kembali akan senyum Salwa yang pernah menghiasi harinya dulu, belum lagi tubuh gadis itu yang begitu ranum, putih dan mulus. Seketika isi kepalanya mulai berontak, hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali melanjutkan langkahnya.
Hingga akhirnya Kadrun tiba di depan sebuah kantor polisi. Ia memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang menimpa putrinya itu. Berupa keterangan palsu yang mengatakan kalau sang putri sudah hampir seminggu tidak pulang, dan kemungkinan diculik oleh kekasihnya.
Polisi lantas membuat surat laporan tersebut, agar secepatnya kasus itu diproses dengan segera. Drama yang dilakukan Kadrun di hadapan polisi membuat pria berseragam itu pun percaya. Karena Kadrun melapor sambil menangis tersedu, dengan wajah sayu dan rambut yang berantakan. Ia pun mengatakan kalau sang istri sampai tak bisa apa-apa karena memikirkan anak kesayangannya yang hilang.
***
"Gimana, Sat. Teman kamu itu mau bicara?" tanya Aminah pada putranya.
"Belum, Bun. Dia kayanya trauma banget, deh. Udah seminggu dia sama sekali nggak buka suara, bahkan manggil kita aja enggak."
Aminah mengembuskan napas perlahan, lalu membuka sebuah buku yang pernah ia baca saat masih di bangku kuliah dulu. Buku tentang bagaimana menangani masalah kejiwaan pada anak usia dini. Karena ia pernah belajar tentang psikologi, sedikit banyak ia pun memiliki buku-buku tentang itu.
Menurut buku yang ia baca, Salwa mengalami self injury. Yaitu perilaku menyakiti dan melukai diri sendiri yang dilakukan secara sengaja. Hal itu biasanya dilakukan untuk melampiaskan atau mengatasi emosi berlebih yang tengah dihadapi.
Klek.
Suara pintu terbuka dari arah kamar Salwa, kedua ibu dan anak itu pun seketika menoleh. Melihat Salwa berdiri di tengah pintu, tapi tetap tak bersuara atau melangkah menghampriri mereka. Namun, tatapannya hanya mengarah pada Satya. "Coba kamu dekati, Satya. Sepertinya dia ingin bicara sama kamu. Bunda ke depan dulu."
Satya menuruti perintah sang bunda, ia melangkah ke arah Salwa berdiri. "Ada apa? Ada yang bisa gue bantu?"
Salwa hanya menggeleng, ia menunduk sambil menyerahkan secarik kertas ke hadapan Satya. Pria berkaus putih itu pun menerimanya, lalu bibirnya tertarik ke samping melihat tulisan yang dibuat oleh gadis di depannya tersebut.
Terima Kasih, Kak Dewa.
"Lo udah inget gue?"
Salwa mengangguk, ia masih belum berani berbicara pada siapa pun. Masih ada rasa takut untuk kembali diinterogasi. Seminggu berada di rumah Satya membuatnya sedikit nyaman, keluarga itu memperlakukannya dengan sangat baik, bahkan tak pernah memaksanya untuk berbicara.
"Okey, ada peningkatan lah. Minimal, lo bisa tulis apa yang lo mau di kertas itu." Satya melipat kertas tadi dan menyimpannya di dalam saku.
"Lo mau jalan-jalan? Udara sore di luar sejuk loh, dari siang mendung tapi nggak hujan. Pasti lo bosen, kan, di dalam kamar terus." Satya mencoba membujuk gadis berjilbab biru di depannya itu.
Salwa mengulas senyum dan mengangguk. Lalu menutup pintu kamarnya. Reflex tangan Satya terulur untuk mengajaknya jalan, tapi seketika raut wajah Salwa berubah melihat tangan kekar itu. Ia berusaha membuang jauh pikiran negatifnya pada semua orang yang mencoba mendekatinya. Namun, tetap tidak bisa, rasa trauma itu masih melekat di dadanya.
Mengetahui perubahan wajah Salwa, Satya meminta maaf. "Sorry, ya udah, ayo!"
Mereka berdua berjalan bersisian, melewati Aminah yang duduk di teras rumah sambil membaca buku. Menatap keduanya keluar, membuatnya bertanya-tanya.
"Kalian mau ke mana?" tanya Aminah yang langsung berdiri melihat sang putra dengan gadis di belakangnya.
"Aku mau ngajak Salwa jalan-jalan, Bun. Keliling komplek saja, paling ke taman. Nggak jauh, kok," jawab Satya.
"Ya udah, kalian hati-hati. Bawa payung, Sat. Takut hujan, udah gelap gitu." Bunda menunjuk awan yang bergelayut berwarna keabu-abuan.
"Enggak usah, Bun. Palingan awannya juga cuma lewat doang. Yuk!" Satya mengajak gadis yang berdiri di belakangnya untuk berjalan mengikuti langkahnya.
Aminah hanya tersenyum kecil melihat sang putra dengan gadis itu. Ia berharap keduanya bisa menjalin hubungan dengan baik, layaknya kakak dan adik. Atau mungkin lebih, karena dirinya tahu kalau Salwa adalah anak yang baik dan sholehah.
Satya melihat sekeliling, sambil menarik napas dan mengembuskan perlahan. Sesekali ia melirik ke arah gadis yang tengah berjalan bersisian dengannya itu. Ada rasa bahagia yang tiba-tiba menjalar di tubuhnya, pendekatan yang dijalani seminggu ternyata tak sia-sia. Meski Salwa belum bisa diajak berbicara. Namun, ada satu perubahan yang terjadi. Wajah yang dulu tampak muram durja, kini sudah terlihat lagi senyuman itu mengembang di sana.
"Lo mau bakso?" tanya Satya menunjuk tukang bakso yang sedang mangkal di ujung jalan.
Salwa menunduk malu, bakso adalah makanan kegemarannya. Ingin menolak, tapi perutnya ingin diisi. Ia pun mengangguk dengan wajah malu-malu.
Satya seperti tahu isi hati gadis di sebelahnya itu, keduanya lantas melangkah menuju tukang bakso dengan gerobak berwarna coklat.
Ada tiga kursi plastik di belakang si penjual bakso itu, Satya mengambil satu dan memberikannya pada Salwa. Keduanya lalu duduk dan memesan dua porsi.
Salwa menatap sekeliling, ia begitu tenang saat ini. Udara segar dapat ia hirup kembali, meski hatinya masih kosong, dan rasa rindu pada sang ibu tak bisa ia bendung lagi. Setiap kali mengingat wanita yang ia cintai, selalu saja air matanya luruh.
Satya melihat kedua mata Salwa berkaca-kaca, "Perasaan langitnya yang mendung, tapi kenapa mau hujan lokal ya?"
Salwa buru-buru mengusap kedua matanya dengan ujung jari, lalu menarik napas. Dadanya sedikit sesak tadi. Namun, cepat ia membuang muka agar tidak ketahuan oleh pria di sebelahnya.
Tak lama kemudian pesanan siap disantap, mangkuk bergambar ayam jago berisi satu buah bakso urat berukuran besar terlihat menggoda. Mie kuning, mie putih, juga bakso yang kecil-kecilnya empat buah. Taburan daun seledri dan bawang goreng membuat aromanya semakin nikmat. Keduanya tak sabar untuk mencicipi.
Perlahan, Salwa menyeruput kuah yang panas itu sambil ditiup. Rasa hangat seketika menjalar di tubuhnya. Begitu juga dengan Satya, yang sudah menyantap makanannya dengan lahap, karena memang sejak tadi ia begitu lapar.
"Bang, Bakso bungkus dua." Suara bariton terdengar dari arah depan gerobak.
Seketika jantung Salwa seakan berhenti berdetak, ia kenal betul dengan suara itu. Kedua tangannya yang tengah memegang mangkuk itu bergetar melihat pria tambun dengan rambut yang beruban berdiri di depan gerobak.
Mangkuk di tangan Salwa terlepas, gadis itu lalu berlari dengan cepat. Bahkan Satya pun kaget melihat tumpahan bakso di dekat kakinya. Sementara sang pemilik sudah kabur entah ke mana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top