3 kelam
Suasana di depan ruang ICU tampak suram, ketiga orang yang baru saja membawa Salwa ke rumah sakit berjalan mondar-mandir menunggu dokter keluar dari ruangan. Satya merasa ada yang tidak beres dengan kejiwaan gadis yang ia tolong kemarin malam. Seandainya saja semalam tak dibiarkan tidur sendiri, mungkin hari ini gadis itu masih baik-baik saja.
Akhirnya pintu terbuka, ketiganya mendekati dokter yang terlihat membetulkan letak kacamatanya.
"Bagaimana kondisinya. Dok?" tanya Rahman.
"Alhamdulillah, pasien masih bisa diselamatkan. Begitu juga janin yang berada dalam kandungannya. Sepertinya pasien mengalami depresi berat, saya menemukan beberapa bekas luka sayatan di bagian tangan yang lain. Apa pasien sedang ada masalah?" tanya sang dokter.
Ketiganya hanya saling pandang, mereka tak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu. Mendengar perkataan dokter kalau gadis itu sedang mengandung, membuat Satya berkesimpulan bahwa gadis itu mungkin stress karena sang pacar tidak mau bertanggung jawab.
"Baik, saya tidak akan membahas masalah pasien. Namun, saya ingatkan pada keluarganya untuk jangan membiarkan pasien sendiri di rumah. Karena kemungkinan dia akan berbuat lagi hal yang sama. Mencoba melukai dirinya sendiri, permisi."
"Terima kasih, Dok."
Saat dokter pergi menjauh. Rahman duduk di kursi tunggu, sang istri duduk di sebelahnya sementara Satya berdiri sambil mengusap dagunya.
"Dia hamil, siapa pelakunya ya? Kenapa dia seperti nggak terima dengan kehamilannya, dan mencoba mengakhiri hidupnya sendiri?" Rahman sebagai seorang laki-laki dewasa mencoba menerawang ke depan.
"Pacarnya pasti nggak mau tanggung jawab nih," sambung Satya.
"Gimana kita bisa tahu siapa dia dan keluarganya ya? Bunda kasihan, pasti orang tuanya saat ini sedang sedih mencari dia." Aminah membetulkan letak duduknya karena cemas.
Kejadian seperti itu mengingatkan Aminah dan Rahman akan beberapa tahun silam, saat putrid kesayangan mereka kritis di ruangan yang sama dengan gadis yang mereka tolong saat ini. Aminah pun tak ingin kejadian itu terulang kembali, terlambat ditangani hingga akhirnya sang putri meregang nyawa.
Sementara di dalam ruangan, Salwa yang tadi hanya terpejam, kini sudah sadarkan diri dan mulai membuka mata perlahan. Mengerjap, saat menatap sorot lampu di ruangan, sambil memerhatikan sekeliling. Perutnya terasa begitu nyeri, begitu juga dengan pergelangan tangannya yang terlihat dililit perban.
Kembali Salwa menangis, mungkin untuk yang kesekian kali ia kembali ke rumah sakit. Ia hanya ingin lepas dari semua rasa sakit dalam hidupnya, mengapa masih saja nyawanya tertolong.
"Kamu sudah sadar?" suara Satya menyentaknya.
Salwa menoleh, lalu memalingkan wajah, malu. Ia hanya membawa masalah dalam keluarga pria yang baru saja menolongnya itu. Ingin berucap meminta maaf, tapi canggung. Kalau dia berbicara, maka orang-orang itu akan menelanjangi dan menanyakan kembali masalahnya.
"Kita ke ruang rawat, ya." Aminah dan Rahman membantu perawat untuk menarik brankar yang ditempati Salwa menuju ruang rawat inap di lantai tiga.
Sebuah ruangan VIP untuk Salwa, Rahman yang meminta. Karena ia tahu Salwa butuh ketenangan. Dokter bilang, kalau dua hari nanti kondisinya stabil, maka sudah diperbolehkan pulang.
Saat mereka menaiki lift khusus pasien. Seorang wanita tiba-tiba melihat ke arah Salwa yang tengah berbaring. Wanita bertubuh gemuk dan berkacamata itu mengenali gadis yang tak berdaya di sebelahnya.
"Salwa? Kamu Salwa kan?" tanya wanita itu.
Satya dan kedua orang tuanya menoleh. Ia pun akhirnya semakin yakin, kalau gadis itu memang adik kelasnya dulu. Tapi, ia lupa siapa namanya. Wanita di dekatnya itu yang membuatnya mengenang kembali dengan gadis bernama Salwa tersebut.
"Ibu kenal dia?" tanya Aminah dengan mata berbinar.
Salwa menatap wanita paruh baya itu tanpa berbicara, tangan wanita itu meraih tangan Salwa seolah ingin memberikan perhatian.
Pintu lift terbuka, brankar Salwa pun kembali didorong keluar. Wanita tadi mengikuti ke mana Salwa dibawa. Tangannya tak lepas dari genggaman gadis itu.
Ruangan yang kurang lebih berukuran 4x5m2 sudah ditempati oleh Salwa. Wanita itu mengaku bernama Fatimah. "Saya mantan wali kelasnya Salwa, Pak, Bu," ucap Fatimah sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes. Membuat keluarga Satya bingung.
"Apa ibu tahu sesuatu tentang dia?" tanya Satya penasaran.
Salwa seketika memejamkan mata, lalu mengalirlah air matanya yang sejak tadi ia tahan. Fatimah mengusap lembut kepala Salwa, ia ingin sekali bercerita. Namun, Salwa pernah berpesan untuk tidak menceritakan itu semua pada siapa pun. Karena bisa jadi nyawanya akan terancam.
Fatimah menarik napas pelan, jemarinya sudah terasa dingin. "Salwa ini di sekolah adalah anak yang berprestasi. Selalu menjadi juara kelas dari SMP. Dia juga sering ikut lomba karya sastra tingkat nasional. Cerpennya sering ada di beberapa surat kabar dan media social. Dia juga gadis yang periang. Hanya saja sejak duduk di kelas sebelas, semenjak ditinggal ibunya kerja ke luar negeri. Ia menjadi pendiam, murung dan sering menyendiri. Nilai-nilainya juga turun drastis. Salwa tinggal bersama ayah tirinya, tetangga bilang mungkin Salwa rindu dengan ibunya, padahal yang kami tahu ayah tirinya itu baik dan menyayangi dia seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan pak Kadrun sempat meminta saya untuk menyelidiki sebab perubahan dalam diri Salwa." Fatimah mencoba menjelaskan.
Ketiganya hanya menyimak. Paling tidak sekarang mereka tahu siapa nama gadis itu, Salwa. Rahman merengggankan kancing kemejanya, lalu menarik napas pelan. "Menurut ibu bagaimana, apa kami pulangkan saja Salwa pada keluarganya?"
"Jangan, Pak!" tolak Fatimah.
"Loh kenapa, Bu?"
"Lebih baik, Salwa bersama kalian dulu untuk sementara waktu. Keluarganya sedang terjerat hutang dengan mantan suami Salwa. Saya takut kalau Salwa pulang, dia akan kembali berbuat nekat."
"Mantan suami?" Satya mendelik.
"Iya, jadi kemarin saya dengar desas desus kalau Salwa dipulangkan oleh suaminya karena hamil. Padahal mereka masih pengantin baru, saya kan juga datang ke pernikahannya."
"Astaghfirullah ...."
Akhirnya dari penuturan Fatimah, ketiganya dapat menyimpulkan bahwa Salwa benar-benar mengalami gangguan psikologis. Entah karena trauma, atau hal lain yang membuatnya merasa tidak nyaman dan ingin mengakhiri hidup.
***
Tiga hari, Salwa dirawat di rumah sakit. Kini, ia sudah kembali ke kediaman keluarga Rahman. Meski wajahnya tampak pucat dan tak bersemangat, paling tidak hatinya sedikit lebih tenang dan nyaman.
Salwa berbaring di ranjangnya yang empuk. Menatap kosong ke arah jendela kamar yang terbuka. Ia seperti raga tanpa jiwa. Saat ini yang ia rasakan adalah rasa sakit, saat rasa panas menyerang, bau alcohol, dan bau amis yang begitu menjijikan itu bangkit kembali dalam ingatannya.
"Salwa, Bunda punya mukena. Kalau kamu mau sholat, bisa dipakai. Kiblatnya menghadap ke cermin itu." Aminah yang baru saja datang membawakan mukena berwarna pink dengan motif bunga, dan meletakkannya di atas kursi.
Tanpa menjawab, Salwa hanya menatap kain itu. Ia merasa sudah begitu jauh dari Allah, ia pun merasa dirinya itu seperti kotoran yang tak pantas duduk di atas sajadah memakai kain suci tersebut.
Aminah langsung keluar kamar, ia ingin gadis itu beristirahat.
Tiba-tiba saja, Satya masuk ke kamar Salwa, dan membuat gadis itu menarik selimut menutupi sebagian tubuhnya dengan tatapan menyalak.
"Tenang, lo nggak inget gue, Sal? Kita dulu pernah satu team di olimpiade karya tulis. Lo menang, gue kalah." Satya berusaha mendekati dan mengajak ngobrol gadis itu.
Tubuh Salwa bergeser mundur, ketika Satya mencoba duduk di tepi ranjang. Gadis itu membuang muka, tak berani menatap lawan bicaranya.
Salwa mencoba mengingat pria di hadapannya itu. Meskipun ia mengingatnya, itu malah membuat dirinya semakin takut, kalau sampai Satya memulangkannya ke rumah.
"Gue bawa ini, pasti lo kangen banget, kan, nulis? Sekarang gue udah nggak nulis lagi, Sal. Semenjak lo ngalahin gue waktu itu. Gue down dan nggak ada semangat lagi, malu kalah sama cewek, adik kelas pula." Satya terkekeh, tapi gadis di dekatnya tetap diam tanpa ekspresi.
Satya meletakkan sebuah buku diary juga pulpen untuk Salwa dia samping kaki Salwa. Gadis itu hanya melirik, sedikit ujung bibirnya tertarik ke samping. Salwa yang melihatnya merasa senang, ia hanya berharap dengan adanya buku itu bisa diketahui kejadian sebenarnya yang menimpa gadis itu.
Ketika Satya keluar, Salwa beringsut dari ranjang. Dinginnya lantai kamar membuat tubuhnya sedikit bergetar, ia menuju kamar mandi untuk berwudhu dan menunaikan salat Zuhur.
Di atas sajadah ia bersimpuh, mencoba mengadu pada Tuhannya. Mengapa semua derita terjadi padanya? Ia menganggap Tuhan tidak adil, apa salahnya hingga takdir pahit harus ia jalani?
Tanpa terasa setetes demi setetes air matanya jatuh di atas sajadah. Salwa merasa hatinya yang tadi sesak, kini sedikit lebih tenang. Ia ingin lari dari ke pelukan sang ibu, sayangnya itu hanya bisa ia wujudkan dalam mimpi. Karena kemungkinan besar ibunya tak akan mempercayai semuanya jika ia bercerita.
Setelah selesai salat dan melipat mukenanya kembali. Salwa mendekati buku yang tadi diberikan oleh Satya. Ia usap lembut buku itu, dan membuka sampulnya. Halaman berwarna pink mendominasi buku diary tersebut, warna yang paling ia sukai.
Salwa membawa buku itu ke atas kasur, pulpen hitam ia buka tutupnya. Masih mampukah dirinya menulis seperti dulu lagi? Menulis cerita pendek tentang kehidupan para remaja seusianya, kehidupan orang-orang di sekitarnya. Perlahan, ia mulai menulis kata demi kata. Namun, bayangan hitam itu kembali muncul. Membuat pikirannya tak fokus.
Berkali Salwa mencoret tulisannya, menyobek kertas itu dan membuangnya ke lantai. Kesal, ia pun melempar buku dan pulpen tersebut hingga mengenai dinding. "Berengsek!" pekiknya, ia seolah tak lagi punya kepercayaan diri untuk menulis lagi. Ia kehilangan jiwa menulisnya, karena seseorang telah merebut impian dan masa depannya menjadi seorang penulis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top