2 pekat
Kedua mata dengan bulu nan lentik itu terpejam, tubuhnya mulai ia bungkukkan. Suara berdebum menghajar aspal. Tubuh Salwa terjatuh kembali ke jalanan, ia lompat ketika melihat seorang pria baru saja menarik tubuhnya.
"Lepas!" teriak Salwa.
Pria dengan topi hitam dan berhidung mancung itu tak melepas tangannya, ia tetap memegang erat tangan gadis yang baru saja ia selamatkan nyawanya. "Gue nggak akan biarin lo lompat dari sini."
"Lepas! Lepas!" Tangan Salwa mencoba berontak, sesekali memukul dada pria di depannya itu. Ia terus menjerit histeris sambil berusaha meloloskan diri.
Pria muda itu pun tak kuasa, karena takut dikira akan menodai wanita. Ia memeluk erat gadis itu, lalu berbisik di telinganya. "Gue bukan orang jahat, lo bisa tenang atau enggak? Orang yang mati karena bunuh diri, rohnya nggak akan diterima bumi. Kalau lo sudah rindu dengan panasnya api neraka, gue bakal lepasin lo. Kalau enggak, tetap tenang dan jangan berteriak lagi."
Salwa berusaha menenangkan dirinya sendiri, baru kali ini ia merasakan ada seseorang yang peduli dengannya padahal orang itu belum mengenalnya. Salwa menggigil, rasa takut kembali hadir menyelimuti. Setiap orang yang menyentuh, rasanya sekujur tubuh basah oleh keringat dingin yang membanjiri. Seolah mengingatkan kembali pada sel tubuhnya bahwa ia akan disakiti dan dihancurkan lagi.
Rintik hujan membasahi bumi, di gelapnya malam itu Salwa seperti kehilangan jati diri. Suara samar dari pria yang masih mendekapnya itu tak bisa ia cerna dengan baik. Ia hanya merasakan kini tubuhnya sedikit hangat, saat pria itu melepas jaketnya dan menyampirkan ke tubuh mungilnya yang sudah basah.
"Gue Satya. Lo ikut gue, ya. Ayo naik!" Pria muda itu memperkenalkan diri seraya menuntun Salwa ke motornya. Ia yang hanya membawa satu helm, memberikannya pada gadis tersebut.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, menerobos hujan yang turun semakin deras. Baju kaos yang dikenankan Satya sudah basah kuyup, pria berhidung mancung itu melihat gadis yang duduk di belakangnya hanya diam, dengan kedua tangan bersedekap. Rasa dingin yang menusuk kulit membuat siapa pun menggigil.
Tepat pukul dua dini hari, Satya dan Salwa tiba di depan sebuah rumah mungil di pinggir kota. Setelah memarkir kendaraan, pria itu segera merangkul Salwa ke teras rumahnya agar tak lagi kehujanan. Satya lalu mengetuk pintu rumah seraya mengucap salam.
Salwa memandangi rumah yang ia datangi, dua buah kursi kayu dan sebuah meja berada di hadapannya. Rumah bercat hijau muda itu terlihat begitu sejuk dan nyaman, meski ia baru saja melihatnya dan mengunjunginya.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka. Seorang wanita berjilbab tampak mengernyit menatap keduanya. Ia melihat sang putra membawa seorang gadis dalam keadaan basah kuyup. Sebelum menyuruh keduanya masuk, ia memanggil sang suami agar melihat siapa yang dibawa putranya tersebut.
"Bun, boleh kita masuk?" tanya Satya dengan bibir bergetar menahan dingin.
"Sebentar."
Tak lama kemudian seorang pria berjenggot tipis datang dari arah belakang sang istri. Menatap putra kesayangannya itu dengan seorang gadis, ia pun melotot. "Satya, apa-apaan kamu, siapa gadis itu, kenapa kamu bawa ke sini?"
Mendengar suara keras, jantung Salwa kembali tersengat. Ia merasa ketakutan, tubuhnya yang basah dan dingin itu semakin menggigil. Ia merasakan sensasi luar biasa yang menusuk sekujur tubuhnya. Sakit yang tak tertahankan, di mana semua rasa itu mampu menggugurkan seluruh akal sehatnya. Ia bersembunyi di balik tubuh pria yang menolongnya, meminta perlindungan.
"Ayah, tolong jangan teriak-teriak. Takut didengar tetangga." Satya memohon.
Akhirnya Aminah, ibunda Satya pun menyuruh keduanya masuk dan berganti pakaian.
Piyama putih sudah dikenakan Salwa, awalnya ia menolak memakai baju itu. karena berlengan pendek, ia tak terbiasa. Beruntung Aminah memakai jilbab, jadi ia tak harus melepas jilbab di hadapan mereka. Wanita paruh baya itu meminjamkan pakaian dan jilbabnya pada Salwa.
Lampu ruang tamu yang tadi padam, kini menyala. Dua gelas teh manis hangat berada di atas meja. Salwa merapatkan duduknya, ia hanya menunduk. Rasa lapar seolah enggan mampir, padahal sejak tadi perutnya berbunyi meminta jatah. Ia memandangi ketiga orang yang hendak menginterogasinya.
"Dia siapa, Satya?" tanya Aminah memandang sang putra dengan tatapan curiga. Pulang dini hari, membawa seorang gadis padahal tadi izinnya hanya pergi main futsal.
Satya melirik sekilas, ia seperti tak asing melihat wajah di sebelahnya itu. Hanya saja yang membuatnya bertanya adalah, gadis itu dulu tubuhnya terlihat berisi. Namun, sekarang ia melihat berbeda, kurus dan tampak tak terawat.
"Aku nggak tahu, Bun. Aku lihat dia mau terjun ke sungai, di jembatan besi tadi. Aku tolong dia, dan bawa dia ke sini," jawab Satya dengan jujur, sambil mengingat siapa gadis tersebut.
"Nama kamu siapa, Dek?" tanya Rahman, ayahnya Satya. Ia bisa melihat dari gelagat gadis di hadapannya itu kalau sedang memiliki masalah yang sangat besar. Jemarinya yang sejak tadi hanya memilin ujung jilbab. Kepalanya yang selalu menunduk, tatapannya yang selalu beralih ketika balik ditatap, dan bibirnya yang rapat.
Salwa tak menjawab, ia takut kalau sampai memberitahukan siapa jati dirinya. Maka orang-orang itu akan mengembalikannya ke rumah, dan ia akan bertemu lagi sang predator yang siap menerkamnya kapan saja.
Salwa memejamkan mata, Aminah yang berada di sebelahnya merasa aneh dengan sikap tamunya itu. Ia menyentuh bahu Salwa, hanya saja tangannya langsung ditepis. Sekilas Aminah melihat luka lebam di lengan kanan gadis berlesung pipi tersebut. Ia memberikan kode pada sang suami, kalau sesuatu sedang terjadi pada gadis itu.
"Saya ambilkan minum, ya. Kamu mau makan?" tanya Aminah seraya mengambilkan teh manis di meja, dan mengulurkannya pada Salwa.
Salwa mengangkat kedua tangannya, menerima gelas tersebut dan meminumnya hingga habis tak tersisa. Rasa hangat seketika menjalar di tubuhnya, melihat senyum Aminah seperti melihat malaikat yang akan memberikan perlindungan, sama seperti senyum sang ibu tercinta. Ia pun lalu memberikan gelas kosong itu ke tangan Aminah.
"Biar Bunda antar dia ke kamar. Ayah sama Satya masuk saja." Aminah memerintah kedua pria yang masih duduk menanti jawaban, apa yang sebenarnya telah terjadi pada gadis itu.
Salwa masih diam saat wanita paruh baya itu mengantarnya ke sebuah kamar. Dulu kamar itu ditempati oleh putri keduanya, adiknya Satya. Namun, dua tahun lalu Fanya meninggal dunia karena kecelakaan. Sampai sekarang kamar itu dibiarkan kosong.
Aminah membuka pintu kamar, dan menghidupkan lampu. Tempat tidur ukuran nomor tiga terletak di sudut ruangan. Lemari kayu berwarna merah muda, meja belajar merah muda, serta lemari plastik bergambar hello kitty mengisi ruangan. Salwa menatap sekeliling, hawa dingin menyergap saat Aminah menghidupkan AC.
"Kamu istirahat saja dulu. Kalau butuh apa-apa, panggil saya ya. Saya Bundanya Satya, dan yang membawa kamu ke sini tadi anak Bunda, namanya Satya." Aminah menarik selimut untuk Salwa yang sudah berbaring di ranjang.
Salwa hanya mengangguk, bibirnya masih terasa kelu dan tak ingin berbicara. Namun, hatinya sudah sedikit merasa tenang dan nyaman. Karena untuk malam ini ia terlindungi dari perbuatan pria biadab itu. Ia menatap Aminah yang keluar dari kamar tanpa menutup kembali pintunya. Aminah sengaja tidak menutupnya, agar jika terjadi sesuatu pada gadis itu akan segera ketahuan.
Salwa berusaha memejamkan kedua matanya, berharap besok ia akan menemukan kembali hari-harinya yang menyenangkan. Berada di tengah keluarga yang peduli dengannya meski ia bukanlah siapa-siapa mereka.
Satya yang sejak tadi mengintip dari balik pintu merasa iba. Gelenyar aneh timbul saat ia mendekap gadis itu di jembatan. Seperti seorang pria yang melindungi kekasihnya, ia seolah ingin selalu ada, membantu dan memberikan perlindungan pada gadis itu. Karena setelah diingat-ingat, gadis itu ternyata adalah adik kelasnya saat di bangku SMA.
***
Mentari pagi baru saja bersinar ketika Aminah membuka jendela depan. Setelah menyiapkan sarapan, seperti biasa ia membuka seluruh pintu dan jendela di rumahnya. Agar sinar matahari masuk, dan udara yang di dalam bertukar dengan yang di luar. Langkahnya pun menuju kamar Salwa, ia terkejut karena tak mendapati gadis itu di kamarnya.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi membuat Aminah merasa sedikit lega, mungkin gadis itu sedang di dalam toilet. Paling tidak, malam tadi Salwa bisa beristirahat dengan tenang. Ia pun lalu kembali ke ruang makan menunggu sang suami juga putranya untuk sarapan bersama.
Empat gelas susu putih tersedia di meja, empat piring nasi goreng seafood juga sudah terhidang. Satya yang lebih dulu duduk menatap meja makan dengan liur yang hampir menetes. Tanpa aba-aba ia mengambil kerupuk dari setoples dan mengunyahnya hingga terdengar suara kriuk dari mulutnya.
Tak lama kemudian, Rahman sudah rapi dengan kemeja lengan panjang warna hitam. Rambut tersisir rapi dan klimis, dengan tas hitam di tangan yang ia letakkan di kursi. Lalu duduk dan menyesap susu perlahan.
"Mana gadis itu, Bun?" tanya Rahman menanyakan gadis yang semalam.
"Di kamar mandi," jawab Aminah.
Rahman menoleh, menatap sang istri dengan pandangan curiga. Lalu tiba-tiba bangkit dan berlari ke kamar melihat kondisi Salwa.
Satya dan sang bunda ikut berlari, melihat Rahman yang tampak cemas berdiri di depan kamar mandi sambil berusaha membuka knop pintu, dan menggedor dari luar. Suara gemericik air masih terdengar, tak ada sahutan dari dalam kamar mandi. Ketiga wajah di ruangan itu memucat, pasti telah terjadi sesuatu di dalam sana. Karena sejak tadi Salwa tak kunjung keluar dari kamar mandi.
Satya merasakan salah satu panca inderanya menghidu aroma anyir dari dalam kamar mandi.
"Kita dobrak pintunya." Satya memberi aba-aba karena cemas.
Kedua laki-laki itu pun mundur ke belakang melakukan aba-aba untuk mendobrak pintu kamar mandi. Suara keras terdengar saat pintu berhasil terbuka. Cairan berwarna merah segar sudah menggenang di lantai. Gadis berambut panjang yang masih berpakaian lengkap itu tergeletak di pojokan, dengan tangan kanan masih memegang sebuah silet kecil. Sementara tangan kirinya bersimbah darah. Salwa tak sadarkan diri.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top