11 Teriakan

11
TERIAKAN

.

Sebuah rumah dengan halaman terbuka terlihat asri. Pepohonan di depannya membuat udara pagi itu serasa menyejukkan. Semburat sinar matahari yang mengintip dari celah daun tampak malu-malu menunjukkan diri.

Keluarga Rahman telah tiba di depan halaman rumah tersebut. Satya dan Salwa turun dari mobil. Melangkah menuju depan pintu, sementara Aminah sudah jalan lebih dulu, dan mengetuk pintu rumah yang masih tertutup.

"Assalamu'alaikum."

Satya dan Salwa sekilas saling pandang, tersenyum, lalu menunduk. Masih teringat jelas di telinga Salwa dengan ucapan pria di sebelahnya itu. Saat menyatakan perasaan sayang padanya. Rona bahagia terpancar jelas di wajah keduanya.

"Kalian kenapa? Dari tadi diam saja. Di mobil juga, biasa kami cerewet, Sat," tegur Rahman pada putranya.

Satya hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal itu, dan meringis. "Enggak, nggak kenapa-napa," jawabnya sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Ia tak menyangka bisa melakukan itu pada Salwa. Bahkan sampai memeluknya dengan erat, dan terang-terangan menyatakan perasaannya. Padahal selama ini ia berusaha untuk menyembunyikan rasa sukanya pada gadis itu, takut kalau hanya akan memberi harapan tanpa kepastian.

"Waalaikumsalam, Masya Allah, Aminah, Mas Rahman, Satya. Ayo, masuk!" Seorang wanita berjilbab hitam yang lebarnya hampir menyerupai mukena baru saja membukakan pintu.

Mereka satu persatu melangkah masuk, lalu duduk di atas karpet yang digelar di ruang tamu. Rumah tersebut tak memiliki banyak perabotan. Di ruang tamunya hanya terdapat lemari besar berisi kitab-kitab berukuran besar dan tebal. Tanpa kursi, meja, dan alat elektronik seperti televisi.

"Oh, ini yang namanya Salwa?" Wanita itu menunjuk ke arah gadis di sebelah Aminah.

"Iya, Mbak. Ini Salwa." Aminah memperkenalkan Salwa pada sang kakak.

Kedua wanita beda usia itu pun saling berjabat tangan. "Saya Laili, tapi anak pondok biasa panggil Ummu Laili. Kamu bisa panggil saya Ummu Laili." Laili tersenyum pada Salwa.

Salwa hanya mengangguk dan tersenyum. Ia senang bisa bertemu dengan orang-orang baik di sekitarnya. Sejenak ia dapat melupakan masa lalu dan masalahnya.

"Eyang di mana, Ummu?" tanya Satya.

"Owh, Eyang di kamar. Sudah sebulan kakinya sakit, nggak bisa jalan. Biasa kalau dibilangin agak susah, gulanya kambuh." Ummu Laili mencoba menjelaskan kondisi sang ibu yang tengah terbaring lemah di kamar.

"Kita lihat Eyang dulu." Aminah bangkit dan mengajak keluarganya menengok sang ibu di kamar.

Dilihatnya wanita berjilbab hitam dengan wajah yang sayu, sedang berusaha tersenyum melihat anak dan cucunya yang baru saja datang itu memasuki kamarnya.

"Aminah, Satya ...," panggilnya lirih.

"Iya, Bu. Gimana kondisi Ibu?" tanya Aminah seraya duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut kaki sang ibu.

"Yah, begini ini. Mau makan enak saja nggak bisa sekarang. Malah sakit," keluhnya.

"Ya gimana, dijaga aja makannya biar sehat. Kan kalau sakit Ibu sendiri yang ngerasain."

"Iya, emang udah disuruh istirahat kayanya. Kalian tumben ke sini?"

"Iya, mau antar Salwa. Sini, Nak. Ini Eyang Sri, neneknya Satya, anggap saja seperti nenek sendiri." Aminah meraih tangan Salwa untuk mendekat ke sang ibu.

Salwa menjabat tangan Sri dan menciumnya. Lalu Sri mengusap lembut kepala gadis itu. "Cantik, istrinya Satya?"

Mendengar pertanyaan sang eyang, Satya memalingkan wajahnya karena malu. Meski hatinya ingin. Sementara Salwa hanya tersenyum kecil.

"Calon, Bu," sahut Rahman sambil tersenyum miring ke arah putranya.

"Tuh, Ayah bantuin ngomong. Biar Salwa nggak diambil Arman. Udah nggak usah sok sedih gitu," ucap Rahman pelan di telinga Satya.

Satya hanya memajukan bibir, merasa malu diledek terus oleh ayahnya itu.

"Oh, calon. Trus kapan peresmiannya?" tanya Sri lagi.

"Nanti, biar Satya selesai kuliah dan kerja dulu. Makanya Salwa kami titip di sini." Aminah mencoba menjelaskan.

"Loh, memang orang tuanya ke mana?" tanya Sri penasaran sambil memandang Salwa erat.

Dengar kata orang tua, hati Salwa seakan kembali tersengat. Mengingat sang ibu yang sampai saat ini ia tak tahu keadaannya. Apakah masih berada di kota yang sama, atau sudah kembali bekerja ke luar negeri. Ia merasa sang ibu sudah melupakannya, karena mungkin terhasut oleh bapak tirinya itu.

"Eum ...  Ibu sudah makan?" tanya Laili mengalihkan pembicaraan.

Sang ibu yang tidak mengetahui seluk beluk kondisi Salwa itu, masih ingin tahu siapa gadis yang dibawa putrinya tersebut. Mengapa harus tinggal di rumahnya, bukan di rumah kedua orang tuanya.

"Sudah."

Salwa melangkah mundur, ia merasa neneknya Satya terlalu banyak ingin tahu tentang siapa dirinya. Itu membuatnya takut, ia tak ingin bayangan kelam itu kembali hadir, ketika seseorang mencoba mencari tahu keluarganya. Ia hanya butuh ketenangan saat ini, rasa nyaman juga dukungan dari orang-orang yang menyayanginya.

Salwa keluar kamar, berjalan ke depan. Teras penuh dengan tanaman menjadi tujuannya. Sambil memejamkan kedua mata, ia hirup dalam-dalam udara segar di sekitar.

"Gimana? Kamu masih mau tinggal di sini? Eyang emang begitu, kamu nggak usah sakit hati dengan ucapannya. Tapi dia baik, kok." Suara Satya membuatnya menoleh.

Salwa menunduk, dan membuang napas pelan.

"Kamu nggak bicara lagi sama aku? Hadeuuh. Apa aku harus pancing pakai kata sayang dulu?" goda Satya yang melihat gadis di sebelahnya lagi-lagi tak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya.

Salwa tersenyum kecil, "Aku kangen Ibu, Kak," ucapnya lirih.

Satya menoleh, bagaimana ia harus bilang kalau beberapa waktu lalu dirinya baru saja bertemu dengan Saraswati, ibunya Salwa. Sayang, belum sempat ia bicara tentang keberadaan putrinya itu. Pria yang mengaku ayahnya Salwa tiba-tiba saja menyerangnya.

"Kakak mau bantu aku?" tanya Salwa menatap pria di sebelahnya erat dan penuh harap.

"Eum, bantu apa?"

"Carikan ibuku, beri tahu dia kalau aku baik-baik saja."

Satya merasa hatinya perih, seperti tertusuk jarum. Bagaimana bisa ia melihat gadis di sebelah menahan rindu yang teramat pada sang ibu. Sementara dirinya kemarin sudah bertemu dengan wanita itu, dan kondisi ibunya Salwa pun sungguh memprihatinkan.

"Insya Allah, suatu hari nanti aku pasti akan bawa ibu kamu bertemu sama kamu. Karena aku pun butuh restu dia." Satya mencoba menghibur.

"Restu untuk apa, Kak?"

"Eum, restu untuk ---- ya, restu aja gitu."

Salwa hanya tersenyum kecil, meski ia tak tahu apa maksud kata 'restu' yang diucapkan Satya. Di satu sisi Satya hanya tersenyum sesekali melirik mencuri pandang gadis di sampingnya itu.

"Assalamu'alaikum, wah ada tamu jauh nih." Seorang pria muda bertubuh tegap, dengan baju koko datang dan menghampiri keduanya.

"Waalaikum salam," jawab Satya.

"Satya, apa kabar?" Pria itu menjabat tangan sepupunya erat.

"Alhamdulillah, Baik. Tuh bewok makin lebat aja," goda Satya pada pria di depannya.

"Masya Allah. Sunnah, Sat."

"Masya Allah."

"Sama siapa? Bunda, Ayah?"

"Iya."

"Siapa?" Pria itu menunjuk ke arah Salwa yang sejak tadi menunduk, tak berani menatap pria di depannya.

"Oh, Salwa." Satya tersenyum.

Pria itu menangkupkan kedua tangan di depan dada, begitu juga dengan Salwa. Keduanya saling sapa dengan tangan tanpa bersentuhan.

"Saya Arman, sepupunya Satya."

Salwa mengangguk.

"Siapa?" tanya Arman berbisik pada Satya.

"Calon aku, Mas. Awas jangan macem-macem," ancam Satya pada sepupunya tersebut dengan berbisik.

.

Malamnya, keluarga Satya makan malam di rumah sang eyang. Setelah itu mereka akan kembali pulang dan menitipkan Salwa pada Ummu Laili.

Di ruang makan tampak harmonis, saling bertukar cerita satu sama lain. Tentang aktivitas Satya juga Arman.

Satya dan Arman saudara sepupu yang jarak umurnya tidak begitu jauh. Arman tiba tahun lebih tua dari pada Satya, kini sedang sibuk mengajar di pesantren. Ia adalah seorang sarjana pendidikan Bahasa Arab.

"Kapan nikah, Man?" tanya Rahman pada ponakannya itu.

"Belum kepikiran, Om."

"Loh, jangan lama-lama. Keburu stok cewek cantik dan sholehah habis loh," ledek Rahman lagi.

"Nanti saya berdoa sama Allah, biar disisain satu buat saya." Arman melirik ke arah Salwa yang duduk di sebelahnya.

Satya yang duduk di depan Arman menangkap gelagat mencurigakan dari sepupunya itu. Sepertinya Arman menaruh rasa pada Salwa, karena sejak tadi ia lihat pria berjenggot tebal itu selalu melirik dan memperhatikan gadis pujaannya tersebut.

Tiba-tiba saja perut Salwa merasa bergolak, selepas ia memakan hidangan sayur ikan pindang dengan kuah kuning. Tak tahan, ia berlari ke kamar mandi. Dengan serta merta memuntahkan kembali isi dalam perutnya.

Aminah dan Satya mengejar, melihat Salwa yang muntah, ia memijit bagian leher belakang. Hingga Salwa berhenti mengeluarkan isi perutnya.

Napas Salwa tersengal, keringat bercucuran di kening, kedua matanya pun berair. Aminah mengusap kepala Salwa lembut.

"Kamu masih mabok, ya, Sayang? Habis ini langsung istirahat ya."

Salwa hanya mengangguk, lalu Aminah membawa Salwa ke kamar. Satya yang melihat ikut cemas, bagaimana mungkin nanti ia bisa meninggalkan Salwa di sini. Kalau Ummu Laili bisa setanggap sang bunda, kalau tidak?

Aminah menyelimuti tubuh Salwa yang sudah berbaring di ranjang. Satya menatap dari tengah pintu. Kemudian dari arah belakang, Arman datang dan ingin berpamitan kembali ke pesantren. Ia sudah berganti pakaian, dengan sarung kotak-kotak warna coklat, juga baju koko warna senada berikut kopiahnya.

"Bibi, Satya. Saya ke pondok dulu, ya. Hay Salwa, salam kenal ya. Moga betah di sini." Arman melambaikan tangan pada Salwa.

Salwa menoleh, tiba-tiba kedua matanya melotot melihat Arman. Lalu teriakan histeris keluar dari bibir mungil Salwa. Bayangan hitam itu seketika menyergapnya lagi, diiringi aroma parfum yang menyengat, bau anyir, dan alkohol membuat perutnya kembali bergolak. Ia menutup wajahnya dengan selimut, tubuhnya bergetar hebat dan menggigil.

Aminah, Satya dan Arman hanya saling pandang. Menerka apa yang terjadi dengan Salwa. Apa yang membuat Salwa ketakutan?

.

Bersambung.

Yang punya Karyakarsa di sana updet lebih cepat udah di Bab 13 yes akunku @nonaaruna22

di KBM sudah tamat juga

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top