10 keputusan

Felisa tiba di rumah sakit, ia begitu khawatir dengan keberadaan sang suami. Sambil berjalan melewati lobi menuju ruang rawat inap, sesekali Saraswati menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

Tiba di lanta dua, ruang Anggrek 330. Felisa berhenti di depan pintu, menatap wanita paruh baya di sebelahnya. Ia tahu kalau istri dari pria yang ditabraknya begitu cemas, tapi ia harap dirinya tidak akan dikenai tuntutan lebih. Ia pun berjanji dalam hatinya untuk membiayai seluruh pengobatan korban sampai sembuh.

Klek.

Pintu ruangan dibuka Felisa, ia mempersilakan Saraswati untuk masuk terlebih dahulu. Dengan langkah pelan, wanita berjilbab hitam itu menatap tubuh suaminya yang terbaring tak berdaya di atas brankar. Kaki Kadrun diperban dan digantung, kepala pun dililit oleh perban, begitu juga dengan kedua tangannya.

Saraswati melihat kedua mata suaminya berkaca-kaca, jujur ia tak tega. Mata sendu itu membuatnya kembali luluh, padahal sejak kemarin rasa kesal berkecamuk di dalam dadanya. Biar bagaimana pun, Kadrun masih suami sahnya. Di mana dulu ia begitu menyayangi pria itu, pria yang juga menyayanginya dan mau menerima putrinya seperti anak kandungnya sendiri.

"Pak ...." Suara Saraswati terdengar serak, ia menyentuh telapak tangan sang suami lembut.

Kadrun hanya mengerjap, air matanya seketika luruh. Begitu juga dengan sang istri. Ada rasa ingin mengucapkan maaf dari dalam diri Kadrun. Karena ia sudah membuat istrinya itu menangis, tapi di satu sisi ia masih dendam dengan pria yang kemarin dikejarnya hingga ia harus masuk rumah sakit dengan keadaan seperti itu.

"Apa yang terjadi dengan suami saya, Mbak?" tanya Saraswati pada wanita di hadapannya itu.

Felisa menunduk sebelum menjawab pertanyaan Saraswati yang menatapnya penuh dengan tanda tanya. Kedua tangan Felisa bertaut, "Eum, Pak Kadrun mengalami retak tulang belakang, kepala bagian belakang juga, dan tulang kaki kanannya patah. Sementara tangan dan yang lainnya hanya luka ringan saja," jelas Felisa sedikit takut.

"Tapi, saya janji akan bertanggung jawab untuk membiayai seluruh pengobatan Pak Kadrun sampai sembuh," sambungnya lagi.

Lemas sudah tubuh Saraswati mendengar kondisi suaminya yang begitu parah akibat kecelakaan yang terjadi. Beruntung orang yang menabrak masih mau bertanggung jawab, seandainya Kadrun menjadi korban tabrak lari, entah ia harus mencari uang di mana untuk biaya pengobatan.

***

Esoknya di kediaman Rahman, semalaman ia sudah memikirkan matang-matang bagaimana nasib Salwa. Mereka berdua memutuskan untuk membawa Salwa ke sebuah pesantren tempat di mana orang tua Aminah mengabdi. Pagi ini keluarga Rahman berkumpul di ruang tengah setelah sarapan bersama.

Salwa yang sudah diberitahu sejak malam itu, terlihat cantik dengan kerudung berwarna biru dan gamis warna senada. Ia hanya menunduk, di sampingnya sebuah tas besar berisi pakaian siap dibawa.

Satya menatap heran, ia tak tahu apa yang terjadi dan akan pergi ke mana gadis yang duduk di hadapannya itu. Pandangannya masih tertuju pada Salwa, ia meraih cangkir berisi teh manis hangat dan menyesapnya perlahan.

"Satya, Bunda sama Ayah mau bawa Salwa ke pesantren. Untuk sementara kita mau Salwa di sana dulu sampai melahirkan," ucap Aminah.

"Uhuk." Satya sontak tersedak.

"Di pesantren? Tempat Eyang? Bunda nggak salah? Salwa butuh kita, Bun. Kalau nanti di sana Salwa kenapa-napa gimana? Belum lagi omongan orang-orang di sana, aku takut psikis Salwa akan terganggu lagi. Aku nggak setuju," protes Satya.

Salwa menunduk, mendengar penolakan Satya barusan membuat wajahnya memerah. Ia merasa kalau pria di depannya itu baru saja memberikan perhatian, juga menahannya untuk tetap tinggal di sini.

"Nggak bisa, Sat. Justru kalau Salwa tetap di sini, maka omongan orang akan jelek pada keluarga kita." Aminah berusaha menjelaskan.

"Bun, kenapa sih kita harus mikirin omongan orang? Bahkan mereka aja tuh nggak pernah mikirin kita? Apa mereka tahu kondisi Salwa yang sesungguhnya? Apa mereka bisa kuat menjalani hidup seperti Salwa?" Satya menggeleng, lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang dan menarik napas dalam.

"Satya, kita ini hidup bertetangga. Bukannya kita harus dengar omongan orang, kadang kala omongan orang itu ada benarnya, dalam Islam pun kita diajarkan untuk tidak berkhalwat dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Kamu dan Salwa nggak ada hubungan darah, tidak menutup kemungkinan jika suatu saat kami pergi. Lalu ada syaiton yang membisikkan telinga kalian untuk melakukan hal yang dilarang oleh agama, kami bisa apa? Kalian mau tanggung dosanya? Bukan Bunda dan Ayah tidak percaya dengan anak sendiri, bahkan kalian berdua di studio musik kemarin saja Bunda sudah takut. Bunda lakukan ini karena Bunda dan Ayah sayang dengan kalian, ingin menjaga masa depan kalian." Aminah memberikan arahan dan berharap ucapannya dapat diterima oleh keduanya.

"Tapi kan di sana juga ada Bang Arman, Bun. Aku malah khawatir kalau Salwa di sana. Nggak ada Bunda, Ayah, aku." Satya masih terlihat tidak suka kalau dirinya harus jauh dari gadis di hadapannya itu.

Aminah tertawa kecil, "Satya ... Satya, Bang Arman kan nggak tinggal sama Eyang, dia tinggal di pondok. Ngajar di sana, masa kamu malah khawatirin ustaz yang lebih paham agama. Rumah Eyang ke pondok kan jaraknya emang dekat, tapi ada dinding besar yang membatasi. Jadi kamu nggak usah khawatir, nanti biar Ummu Laili yang gantiin Bunda buat jagain Salwa. Semalam Bunda sudah bicara kok sama Eyang dan Ummu Laili di telepon."

"Lagi juga ngapain kamu cemas, Sat. Kami minta kamu nikahin Salwa aja nggak mau. Malah Salwa dibikin nangis," celetuk Rahman sambil mematik rokoknya.

Satya melengos, "Bukan gitu, Yah. Kita belum tahu status Salwa, Ayah nggak ingat apa waktu itu Bu Fatimah, guru Satya bilang kalau Salwa sudah menikah. Masa aku nikahin istri orang? Selama surat perceraian dari pengadilan belum keluar, dan selama Salwa masih masa iddah, aku nggak mungkin nikahin dia."

"Berarti nanti kalau semua udah jelas, kamu mau nikah sama Salwa?" ledek Rahman lagi.

Sebagai Ayah, Rahman tahu betul gelagat putranya itu. Dari pandangan seorang laki-laki dewasa terhadap seorang wanita, putranya terlihat menaruh rasa pada Salwa. Dilihat dari sikap dan nada bicaranya yang sejak tadi seolah memberitahu kalau dirinya tak ingin jauh dari gadis itu.

Satya memalingkan wajah, semburat merah terpancar di wajahnya. Ia berusaha menyembunyikan semuanya, meski debar jantungnya memacu lebih cepat. Sambil sesekali melirik ke arah Salwa, melihat gadis itu tersipu membuatnya semakin yakin kalau suatu hari nanti ia bisa mendapatkan hati Salwa.

"Aku masih kuliah, Yah. Belum kerja, mau dikasih makan apa nanti anak orang?" sahut Satya mencoba memberi alasan.

"Halah, tadi bilang status Salwa, sekarang bilang belum kerja. Ya udah, kamu mau ikut ke pesantren nggak? Antar Salwa." Rahman bangkit dari duduknya, lalu mengambil kunci mobil di atas meja.

"Nggak lah," jawab Satya malas.

"Yakin? Nanti nyesel nggak lihat Salwa, nggak mau ngasih salam perpisahan gitu?" Kali ini sang bunda yang ikut menggoda putra semata wayangnya itu.

Satya bangkit dari duduknya, ia hendak melangkah ke kamar. Enggan jika harus melihat Salwa pergi, hatinya yang sudah terisi akan kembali kosong lagi. Ia berjalan menuju pintu kamar, tapi sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Kak Dewa," panggil Salwa.

Satya menoleh tak percaya, ia seperti mimpi. Gadis yang selama ini tinggal bersamanya dan tak mau berbicara, kini memanggil namanya. Keduanya saling pandang, Satya sudah tak melihat kedua orang tuanya di ruangan itu.

Rahman dan Aminah sudah lebih dulu masuk ke mobil. Sementara Salwa meminta izin untuk berpamitan pada pria yang selama ini telah menghiburnya itu.

Satya berjalan mendekati Salwa, hingga keduanya hanya berjarak dua jengkal saja. Ia menatap gadis di depannya yang tersenyum manis, membuat desir hangat mengalir di tubuhnya. Tangan kekar Satya mengusap wajah gadis di depannya itu dengan lembut, meraih wajahnya dan membawa dalam pelukan.

Salwa menerima pelukan hangat pria di depannya, bayangan akan masa lalu yang masih menari di benak, mulai ia tepis perlahan. Meyakinkan diri kalau kini ia harus bisa bangkit meninggalkan masa lalunya yang kelam, demi masa depannya.

Satya mengeratkan dekapan, begitu juga dengan Salwa. Mereka seperti tak ingin berpisah, saling mencurahkan isi hati dan perasaan dengan pelukan tanpa berkata.

"Aku sayang kamu, Salwa." Suara Satya lirih terdengar di telinga Salwa.

Gadis itu tersenyum kecil sambil mengurai pelukan, pipinya menghangat saat air matanya mulai jatuh. "Makasih, Kak."

Tangan Satya lembut mengusap pipi nan basah itu, "Tunggu aku, ya. Aku ikut." Ia pun lalu bergegas ke kamar mengambil dompet dan ponsel untuk ikut mengantarkan Salwa ke rumah sang eyang.

Dada Salwa seakan penuh sesak, limpahan sayang yang diberikan Satya nyaris membuatnya tak berdaya. Bahkan panggilan 'lo-gue' sudah tak lagi keluar dari bibir pria itu. Rasanya ia pun tak ingin pergi, seandainya saja ia bisa menolak, ia akan lebih bahagia jika selalu dekat dengan orang-orang yang menyayangi setulus hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top