1 KALUT

"Salwa, aku talak kamu," ucap Yogie Pradana pada sang istri yang baru tadi pagi ia nikahi, karena ternyata istrinya tersebut telah berbadan dua.

Gadis yang masih berusia sembilan belas tahun itu pun hanya tertunduk. Ia menahan gejolak di dalam perutnya. Rasa mual, gemetar, keringat dingin, serta lelehan air mata membuat dirinya kepayahan. Tak tahan, tanpa menghiraukan sang suami ia pun berlari ke toilet. Cairan bening keluar dari kerongkongan, rasa mual pun sedikit berkurang. Kedua mata Salwa memerah dan berair. Air dari keran menghapus semua jejak muntahannya barusan.

Keluar dari kamar mandi, ia kembali disambut oleh tatapan murka keluarga besar suaminya. Ada ibu mertua, ayah mertua, adik ipar, juga dokter pribadi keluarga Yogie.

Mereka yang awalnya cemas karena Salwa tiba-tiba tak sadarkan diri di atas pelaminan itu pun, memutuskan untuk memanggil dokter. Awalnya tak percaya saat dokter bilang kalau menantu mereka tengah hamil. Namun, setelah Salwa dipaksa melakukan test kehamilan, dan ternyata hasilnya positif, mereka tak terima itu.

Dokter Hadi, memegang bahu Salwa, ia tahu apa yang dirasakan gadis itu. Sakit pastinya, tapi ia hanya ditugaskan untuk memeriksa kondisinya. Setelah itu, ia pun pamit undur diri.

"Sabar, ya, Nak Salwa." Dokter Hadi mencoba menguatkan dan memberikan semangat.

Sentuhan tangan Dokter Hadi di bahunya, membuat Salwa tersentak. Ia seperti tersengat listrik bertegangan tinggi, hingga membuat tubuhnya bergetar. Terlebih tangan kekar itu begitu erat mencengkeram. Sekelebat bayangan masa lalu berputar di kepalanya, bagai tayangan film yang sedang diputar ulang.

Merasa dirinya telah membuat tak nyaman, Dokter Hadi akhirnya keluar ruangan diantar oleh Ratna, ibunda Yogie.

"Kamu kemasi barang-barang kamu sekarang, aku akan antar kamu pulang sekarang juga! Cepat!" bentak Yogie.

Tubuh Salwa bergetar, ia pun melangkah ke depan lemari, mengemasi barang-barang yang ia bawa dan dimasukkan ke koper besar berwarna merah marun. Bulir bening menganak sungai di wajahnya. Keluarga Yogie sudah enggan lagi berbicara pada menantunya tersebut. Mereka seperti ditipu habis-habisan. Menikahkan putra kesayangannya dengan wanita yang bahkan tak bisa menjaga mahkotanya.

Salwa tahu betul mengapa ia diperlakukan seperti tadi, saat tangan sang suami menariknya dengan kasar menuju mobil. Lalu mobil melaju cepat, bahkan suara Yogie yang tadi pagi begitu lembut menyapanya sudah tak terdengar lagi. Hanya decakan kesal dan tatapan ingin menerkam yang terlihat di wajah ovalnya.

"Aku nggak menyangka, gadis seperti kamu yang terlihat lugu. Nyatanya sama seperti gadis lain di luar sana. Murahan!" ujar Yogie menatap sinis.

Salwa yang duduk merapatkan kaki, dan meremas ujung jilbabnya itu pun hanya bisa menangis pilu. Ia tak bisa mengelak, karena dokter telah memeriksa kondisinya. Mulutnya terkunci rapat, tak mampu membantah. Hanya isakan yang terdengar dan itu membuat Yogie semakin muak.

"Siapa bajingan itu? kenapa dia nggak bertanggung jawab?" tanya Yogie.

Salwa memejamkan mata sesaat, teringat dengan pria berkulit hitam legam tengah merengkuh tubuhnya dengan kasar. Mengikat kedua kaki dan tangannya di ranjang, lalu melucuti pakaiannya dan melecehkannya.

"Pacar kamu?" tanya Yogie lagi.

Salwa tetap diam, tangan dan tubuhnya makin bergetar. Kini tangannya mengepal, amarahnya memuncak, ingin berteriak lantang, menceritakan apa yang pernah ia alami. Namun, lagi-lagi ancaman yang pernah disampaikan pria itu, membuatnya menahan diri untuk tak bercerita pada siapa pun.

Yogie tak bisa memaksa Salwa lagi. Mimpinya kini telah hilang, hari bahagia yang dinantikannya pun musnah. Setir mobil yang ia pegang rasanya panas. Hati siapa yang tak akan sakit, mendengar wanita yang baru ia nikahi ternyata sedang mengandung. Anak itu pun tidak tahu siapa ayahnya.

***

Suara deru mobil berwarna hitam memasuki pekarangan rumah orang tua Salwa. Yogie dan Salwa tiba tepat pukul sepuluh malam. Rumah mungil itu tampak sepi, lampu ruang tamu juga sudah tampak padam.

Langkah Yogie cepat menuju pintu, sementara sang istri mengekor sambil menarik kopernya. Salwa menghapus jejak air matanya dengan tangan, melihat suaminya begitu bernafsu mengetuk pintu rumah sambil mengucap salam.

Tak lama kemudian suara derap langkah kaki terdengar diiringi suara kunci yang diputar. Pintu terbuka lebar, wanita paruh baya yang hanya mengenakan daster selutut itu menatap tamunya dengan kening berkerut. "Kalian?" tanyanya.

Semenit kemudian seorang pria paruh baya berambut sedikit ikal, menghampiri hanya dengan kaus singlet putih dan tangannya melipat sarung di pinggang. Lalu berdiri di belakang sang istri.

"Masuk, masuk. Duh, maaf, tadi Ibu sama Bapak sudah di kamar. Jadi nggak terlalu dengar kalian datang." Saraswati, ibunda Salwa mempersilakan keduanya masuk.

"Nggak perlu, Bu. Terima kasih. Saya ke sini hanya untuk memulangkan anak kalian. Dan mulai detik ini juga, Salwa saya talak. Dia bukan istri saya lagi," ucap Yogie lantang.

Jantung Saraswati seperti baru saja terhunus pedang. Pandangannya kabur, menatap putri semata wayangnya dengan hati bertanya-tanya. Apakah gerangan yang membuat suami putrinya bersikap demikian? Apa yang sudah dilakukan Salwa.

"Tunggu, Nak Yogie. Ibu nggak ngerti maksud kamu apa? Apa salah Salwa sampai kamu bisa menceraikannya, padahal kalian baru saja menikah."

"Ibu bisa tanyakan langsung pada dia, apa sebab saya melakukan ini semua. Semoga saja anak ibu mau jujur. Saya permisi." Yogie melangkah menjauh.

Saat Yogie hendak masuk kembali ke dalam mobilnya. Kadrun, ayah Salwa langsung menarik bahunya, dan menghajar wajah pria tampan itu. Ia tak terima sang putri diperlakukan demikian, terlebih ia tak tahu apa penyebabnya.

Tubuh Yogie pun terhuyung, Kadrun mencengkeram erat kerah baju sang menantu. Menatapnya dengan tak suka, "Apa yang kamu perbuat dengan anak saya?" tanyanya jalang.

"Saya nggak ngelakuin apa-apa, tanyakan saja pada orangnya langsung."

"Jawab!" bentak Kadrun.

Yogie meringis menahan sakit, bibir kiri bawahnya terluka. Darah kental menempel di sana, ia mengusapnya dengan ujung jari. "Salwa hamil," jawab Yogie lirih.

Cengkeraman tangan kadrun mengendur, napasnya pun tersengal-sengal. Kedua matanya menyalak, dirinya sudah salah sangka. Kalau Salwa hamil, itu jelas tidak mungkin perbuatan Yogie. Pantas saja sang suami mengembalikan Salwa padanya, dan langsung menceraikannya begitu saja. Laki-laki mana yang mau menanggung benih yang bukan dari darah dagingnya sendiri.

Harapan Kadrun musnah seketika, padahal ia sudah membayangkan dirinya memiliki menantu yang kaya raya. Di mana ia dan istri tak akan lagi bersusah payah mencari nafkah. Hanya dengan menghubungi Salwa dan meminta uang pada menantunya, dirinya akan hidup berkecukupan.

Mobil mewah mentereng di hadapan Kadrun membuatnya kagum. Kapan ia bisa naik dan memiliki mobil seperti itu?

Perlahan Kadrun melangkah mundur, membiarkan Yogie kembali ke mobilnya dan melaju pulang. Kini ia melihat di depan pintu, Salwa menangis di pelukan istrinya. Dengan langkah gontai ia mendekat.

"Jujur sama Bapak, siapa yang sudah menghamili kamu?" tanya Kadrun.

Salwa hanya menunduk, tak berani menatap mata bapaknya. Tangannya meremas tangan sang ibu erat, seolah meminta perlindungan. Tubuhnya kembali bergetar hebat, ketika tangan Kadrun hendak menyentuh wajahnya. Ia menepis tangan itu agar menjauh, tak ingin air matanya diusap oleh pria di depannya.

"Jawab, Salwa! Bapak malu," tegasnya lagi.

Tangis Salwa makin keras, bukannya menjawab pertanyaan sang bapak, ia malah berlari ke dalam kamar menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ia membuang semua barang yang berada di atas meja, vas bunga, bingkai foto dan beberapa kosmetik miliknya berhamburan ke lantai. Lalu ia terduduk di bawah ranjang, menekuk lutut dan memeluknya. Menenggelamkan wajah di antara kedua lutut, berusaha menenangkan hati dan pikirannya yang kalut.

***

Tepat tengah malam, Salwa yang tertidur di lantai terbangun. Tubuhnya terasa ngilu, kerongkongan pun kering. Ia berusaha bangkit sambil memegang ujung tempat tidur. Lalu langkahnya perlahan menuju dapur, mengambil sebuah gelas dan menuangkan air dari dalam botol yang diambil di lemari es.

Aliran air yang mengalir dari mulut ke kerongkongannya, membuat ia merasa lebih tenang sekarang. Meski perasaan takut itu masih ada, setiap kali orang bertanya apa yang terjadi padanya, dan siapa yang sudah menghamilinya? Salwa kembali ke kamar setelah meletakkan gelas kosong di atas meja.

Namun, tiba-tiba pintu kamarnya tertahan, saat ia hendak menutupnya. Seorang pria tambun menyeruak masuk ke dalam kamarnya. Salwa mundur dan ketakutan, ia melempar apa pun yang bisa diraih ke arah pria itu. Sayangnya, pria itu terus mendekat, dan kini sudah berhasil mencengkeram tangannya.

"Jadi kamu hamil?" tanyanya

Salwa memberontak, mencoba melepaskan cengkeraman tangannya. "Lepaskan!"

"Berani kamu teriak, aku bunuh!" ancamnya.

"Mau Bapak apa?" Salwa tak bisa berbuat banyak, tubuhnya sudah terlalu lelah untuk melawan.

"Awas kalau kamu sampai cerita yang sebenarnya ke ibu kamu? Habis kamu!" Kadrun mendorong tubuh Salwa ke ranjang.

Salwa hanya bisa menangis menatap kepergian pria yang sudah menghancurkan masa depannya itu. Ia merasa hidupnya sudah tak berarti, hanya siksaan yang kelak ia dapatkan jika terus-terusan berada dalam rumah itu. Air mata rasanya sudah kering, menangisi hal yang harusnya bisa ia hindari.

Bibirnya kelu, hanya mampu melafalkan istighfar di dalam hatinya. Sambil mencoba kembali mengatur napas, dan mengembuskannya perlahan.

Salwa membuka jendela kamarnya, mencoba untuk melarikan diri dari rumah yang baginya adalah neraka. Setelah berhasil keluar rumah, ia pergi ke arah jembatan. Menikmati udara malam yang dinginnya menusuk kulit, menatap ke bawah aliran sungai yang begitu tenang. Tak peduli dengan pandangan beberapa orang dari atas kendaraan yang masih lewat. Ia ingin terjun bebas ke bawah sana, berharap di dasar sana ia bisa menemukan ketenangan juga.

Satu kaki Salwa naik ke pagar pembatas, lalu diikuti kaki satunya. Masih berpegangan pada tiang penyangga, wajah Salwa terangkat ke atas. Perlahan ia melepas pegangannya, sehingga tiupan angin pun akan mampu mendorong tubuhnya jatuh ke sungai.

Salwa sudah berdiri tegak di atas pembatas jembatan, dengan kedua tangan merentang ia menatap ke bawah dan tersenyum lebar. Hidupnya akan segera berakhir, begitu juga dengan semua masalah yang menimpanya. Batinnya hanya mampu berkata, "Maafkan Salwa, Bu."

Cerita ini sudah tamat di KBM app, boleh baca marathon di sana, tahan emosi tapi yaa.

Heheh

Judul sama 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top