Prolog untuk Nyonya Teh & Tuan Kopi

Buat yang nanya kenapa di-publish ulang, baca prakatanya ya.

Beta'd by Kak nauraini

-;-;-;-;-;-

Troi, aku harap dengan semakin banyaknya yg suka baca karya kamu, bisa jadi inspirasi buat penulis lain. Supaya di karya mereka lebih variatif, masuk akal alias realistis, ada dasarnya, ga cuma jual mimpi, plus mendidik / ada pesan moralnya. Keep up the good work! looking forward your writing more n more. Cheers

HelenNatalia

-;-;-;-;-;-


-||-

P r o l o g
u n t u k
N y o n y a
T e h
&
T u a n
K o p i

-||-





Dalam diam, kedua orang itu menyaksikan acaranya dengan cermat.

Mereka tidak berada di tempat dan kondisi yang sama; satu duduk mengamati bersama para tamu yang lain, satunya lagi berdiri menonton dari belakang; satu sudah datang sebelum acara dimulai, sementara satunya datang telat dari jam dimulainya acara.

Aksel Hadiraja ikut menyorakkan kata 'sah' yang berkoor dari ujung ke ujung ruangan. Dengusan terselip di bibir ketika Regen menoleh dan menemukannya berdiri paling belakang, sedikit terhalau para tamu. Kemudian, sekelebat, meski cepat sekali dan hampir-hampir tak terlihat, Aksel melihat seseorang pergi dari tempat itu.

Matanya membelalak.

Yakin sekali, Aksel yakin matanya tak mungkin mengelabui. Usai ijab kabul tadi diucap, ia jelas melihat sosok yang ia kenal keluar dari tempat itu menuju tempat yang tak ia ketahui. Bergegas, ia ikuti sosok itu. Melihatnya naik tangga menuju loteng rumah ini.

Baru setengah jalan Aksel menapaki anak tangga, ia segera menghentikan langkah tatkala mendengar isakan yang membuat dadanya tercubit.

Kaki-kaki yang ia gunakan untuk menopang tubuh kini diselonjorkan mengikuti laras satu undakan. Ia bersender pada dinding, melihat ujung-ujung kakinya keluar dari celah antar birai tangga. Mendengar tangis yang ia tahu, pasti campuran rasa haru, bahagia, dan sedih di saat bersamaan.

Matanya memanas mendengar sebuah doa yang tertutur halus dari mulut Virga. Memang terdengar seperti berbisik, bergetar karena sambil menahan tangis. Tapi Aksel tahu sekali bahwa doa itu amat tulus.

"Tolong, Tuhan, bahagiakan Tante Varsha. Permudahkanlah jalan agar Tante Varsha dan Om Regen bahagia."

Aksel memejamkan mata. Terasa ada remasan di dadanya. Kendati demikian, ia mengamini doa itu dalam hati.

Entah sudah berapa menit ia duduk di tangga, mendengar isakan yang perlahan reda. Kemudian yang ia tahu, suara langkah kaki yang terburu terdengar dari dalam loteng, disusul tarikan napas terkesiap mencuri perhatiannya.

Selanjutnya, pandangan mereka bertemu.

Lima detik penuh tak ada yang bersuara. Yang satu tengah berusaha mencerna situasi dan satunya lagi mengontrol diri. Aksel beranjak, memberi jalan untuk Virga menuruni tangga. Tak lupa memberi senyum. Agak canggung. "Uh," ia merapikan bajunya yang terlipat. "Mmm... long time no see?"

Virga mengangkat alis, kemudian terkekeh kecil. "Halo, Kak Aksel."

Aksel menggaruk tengkuknya, menuruni tangga bersama Virga. "Uhm, elo... gimana kabarnya?"

Mengangkat setengah alis, Virga menatap Aksel sambil menyipit. "Baik." Tatapannya kini berubah ganjil. "Kak Aksel sendiri? Habis dari mana? Bajunya kayak bukan baju buat kondangan."

Bola mata Aksel menatap Virga lewat sudut mata. "Lah, situ pikir baju situ kayak baju kondangan?"

Sejenak, Virga terdiam, lalu mendengus. "Masih ya, Kak?"

"Masih apaan?"

"Mulut Kakak masih lémés."

Pelototan tajam segera keluar atas ekspresi wajah Aksel. "Uwanjeng, mulut lu tuh dijaga!"

"Kuahnya muncrat, Kak." Virga kemudian tertawa geli melihat Aksel yang spontan mundur selangkah. "Emang Kakak abis dari mana?"

Aksel berdehem. "Bandara."

"Oh? Padahal aku habis ini mau ke sana."

Kontan, Aksel menghentikan langkah sesaat. Memasang wajah bingung, lalu melangkah lagi. "Ngapain? Jemput orang atau lo yang mau pergi?"

"Aku yang mau pergi."

Aksel tak membalas.

"Kak Aksel habis dari mana?" tanya Virga karena selama berjalan menuju tempat akad nikah, Aksel sama sekali tak bersuara. Ganjil sekali.

"Dari Mataram."

Ada jeda. "Pasti Kakak lagi ada masalah berat."

Hanya ada suara tapak kaki selama beberapa detik. Aksel lalu berhenti melangkah lagi, membuat sang lawan bicara mengimitasi gerakannya. "Lo mau pergi ke mana lagi?"

Sang gadis tak langsung menjawab. "Lombok."

Tiga detik, tak ada balasan. "Oh." Aksel mengatupkan rahang. Ruang tamu tempat akad nikah dihelat sudah mereka masuki. "Kebetulan, ya."

"Iya."

Jeda panjang.

"Uh, mau acara tukar cincin tuh," tunjuk sang pemuda pada acara di depannya, berusaha mengalihkan perhatian. Kelanjutan acara ini membuatnya bertanya-tanya sudah berapa lama ia meninggalkan ruang tamu. Diangkatnya tangan setinggi perut, mengecek jam. Hampir dua puluh menit ia menghabiskan waktu bersama Virga. Cepat sekali. "Tante Varsha belum ke sini."

"Pasti bentar lagi." Perhatian Virga teralih. Matanya sudah jelalatan mencari sosok mempelai wanita. "Menurut Kak Aksel, Tante Varsha bakal menghentikan pernikahan ini secara mendadak, nggak?"

"Itu pertanyaan bodoh, Virga."

Sontak, Virga pun berhenti mencari-cari sosok tantenya. Ia menarik napas panjang. "Aku cuma takut."

"Jelas-jelas tadi lo lihat sendiri Om Regen udah ngucap ijab kabul, udah denger koor 'sah' juga tanpa ada intervensi. Nggak mungkin pernikahan mereka dibatalkan karena mereka udah sah suami-istri. Ketakutan lo nggak logis."

"Bukannya semua manusia selalu punya ketakutan yang nggak logis?" pertanyaan yang lolos dari mulut Virga terdengar seperti gumaman di telinga Aksel. Pemuda itu menoleh menatap sang gadis yang memaku pandangan lurus ke acara. "Orang lain nggak akan mengerti dengan ketakutan tak logis kita karena mereka nggak pernah merasakan persis seperti yang kita alami. Cuma kita sendiri yang ngerti, dan cuma kita sendirilah yang bisa mengatasi ketakutan itu."

Ucapan gadis itu spontan mengundang pertanyaan datang dari Aksel, "Bagaimana kalau manusia ini nggak bisa mengatasi ketakutannya?"

Tangan Virga bersedekap. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan sambil ia berpikir. Suara napasnya teratur, namun pandangannya yang menatap lurus ke depan tak terbaca. "Semua akan kembali kepada orangnya masing-masing. Bisa jadi, justru orang itu tidak mau dihilangkan ketakutannya. Mungkin, mungkin dia ingin melindungi sesuatu dengan ketakutannya. Tapi, entahlah, Kak. Manusia itu adalah mahkluk berkepribadian rumit yang tak bisa dinilai cukup dengan justifikasi hitam-putih."

Tak ada balasan.

Khalayak acara seketika mulai berdiri dan berbisik-bisik. Semua mata terpusat pada lorong kecil yang merupakan jalan menuju kamar sang mempelai wanita. Beberapa detik kemudian, ruang keluarga yang disulap untuk acara itu hening. Hanya tersisa suara jepretan kamera untuk dokumentasi sana-sini.

Selanjutnya, muncul suara langkah kaki. Konstan. Anggun. Aksel dan Virga sama-sama melongok untuk melihat lebih jelas. Mata sang pemuda melebar melihat sosok yang melenggang masuk ke ruangan ini. Langkah sang mempelai wanita tenang, tak tergesa. Ekor gaun sewarna tembaga terseret di lantai sepanjang ia berjalan. Henna berwarna merah telah dilukiskan di punggung tangannya, merambat bagai sulur-sulur tanaman dan berakhir di ujung jemarinya yang kini saling bertautan, dan ya Tuhan....

Aksel akui, Tante Varsha cantik sekali dalam balutan baju pengantin ini.

Tapi, entah apa yang dipikirkan sepupunya, sang mempelai pria yang duduk di singgasana akad nikah kini. Karena dari semua manusia dalam ruangan, sepertinya hanya manusia satu itu yang bahkan tak mau menoleh melihat Tante Varsha datang. Astaga, sebegitu gugupnya 'kah dia?

Aksel tak mampu menahan helaan napas frustrasi. Dalam benaknya ia membatin, Plis, Om, jangan permalukan diri lo di hari pernikahan lo sendiri.

Sang mempelai wanita lalu duduk bersisian dengan suaminya. Semua hadirin pun kembali dipersilakan duduk.

"Virga," Aksel melirik gadis itu, lalu kembali menatap dua manusia yang menjadi sorotan hari ini, yang seusai diberi wejangan, berdiri untuk bertukar cincin. "Menurut lo, apa semua jodoh bakal terjadi semenakjubkan ini?"

Sang pembawa cincin kawin datang mendekati sepasang pengantin itu. Mempelai pria lebih dahulu mengulurkan tangan, dengan posisi telapak tangan ke atas, lalu disambut oleh tangan kiri sang mempelai wanita. Kemudian, ibu jari mempelai pria memberi gerakan memutar pelan pada buku-buku jari istrinya. Virga tersenyum. Itu sentuhan fisik pertama mereka. "Entah." Ia mengangkat bahu. "Aku pikir, baik Tante Varsha dan Om Regen sama-sama tipe fighter. Mereka bukan orang yang menggantungkan diri pada keberuntungan. Mereka berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena mereka paham Tuhan tak pernah menutup mata-Nya atas seluruh usaha baik manusia melewati cobaan dan ujian.

"Oleh karena itulah mereka tidak terlalu berharap lebih akan pasangan hidup yang baik, karena mereka bersiap untuk hal paling buruk. Bukan karena mereka tak percaya kuasa Tuhan, tapi karena mereka mau berusaha melewati cobaan jika mereka diberi cobaan seperti pasangan hidup yang tak sesuai harapan. Mereka realistis, masih berharap tapi tidak berlebihan. Tipe manusia yang selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk, tapi juga tak pernah ragu akan kuasa Tuhan. Dan, menurutku, justru manusia-manusia yang selalu mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk bermental tangguh, tidak mau terbuai dengan janji manis dunia dan tak mau juga terlalu berharap sampai mengawang-awang." Ia menatap Aksel. "Jadi menurutku, karena itulah mereka berjodoh dengan semenakjubkan ini."

Aksel terkekeh. "Dan semesta pun mendukung."

Anggukan. "Karena Tuhan juga sudah mendukung."

Tepuk tangan terdengar meriah ketika cincin kawin sudah terselip di jari manis sepasang mempelai. Virga tersenyum, mengucap syukur berulang-ulang, lalu mengerjap-ngerjap agar tidak menangis. Aksel yang melihatnya hanya mendengus.

"Baik-baik lo di sana."

Kepala sang gadis menoleh padanya. Tatapan bingung. "Eh?"

"Nanti, kalo lo balik kuliah ke Amerika sono. Jaga diri, jangan bandel. Lo perempuan. Kalau sampai kenapa-kenapa, bakal lebih repot ngurusnya daripada laki-laki."

Senyum kecil terulas di bibir. "Iya, Kak."

"Lagi, lo ngapain sih mendadak ke Lombok segala? Kenapa nggak besok aja?"

"Aku kangen Oma, Kak."

"Cuma kangen doang mah nggak perlu sampai buru-buru ke sana, kan?"

Acara tukar cincin itu dilanjut dengan sepasang mempelai yang difoto-foto oleh bagian dokumentasi. "Aku mau membereskan sesuatu di sana."

"Sesuatu apaan dah?"

"Tumben kepo." Virga hanya tersenyum kecil melihat Aksel yang menyipit jengkel kepadanya. "Kak," panggil Virga dengan nada lebih halus. Tarikan napas panjang ia hela. "Boleh aku minta tolong?"

Aksel menatapnya. Mengangguk.

"Selama aku nggak ada, tolong awasin Tante Varsha. Maksudku, aku tahu udah ada Om Regen yang jagain Tanteku itu, tapi, kalau suatu saat Om Regen lagi nggak bisa...."

"Gue ngerti." Sang pemuda terdiam sebentar, lalu mengangguk lagi, lebih yakin. "Bakal gue awasin."

Acara pernikahan terus berlanjut, namun Virga harus segera pergi. Taksi yang dipesan untuk membawanya ke bandara sudah siap. Koper-kopernya telah dikeluarkan dari dalam kamar. Aksel bersender di tembok sambil mengamati perpisahan Virga dengan keluarganya, sembari bertanya dalam hati, kenapa sering seperti ini?

Kenapa di saat ia datang, Virga pergi? Dan di kala ia pergi, Virga datang. Kapan mereka akan benar-benar menetap tanpa perlu ada yang datang dan pergi?

Helaan napas keluar. Dipandanginya sosok gadis yang kini hendak memasuki taksi. Melambaikan tangan sambil tertawa ketika mengobrol dengan tantenya.

Ketika Virga sudah memasuki taksi, Aksel mendekat dan menunduk, melongokkan kepala masuk ke dalam jendela penumpang yang terbuka. Kalimat pembukanya cuma, "Cepet lulus, Vir."

Virga menatapnya aneh. "Uhm, iya, Kak."

"Jangan bikin gue nunggu kelamaan. Gue udah 26 tahun. Ya iya kali gue harus nunggu sampe tiga puluh tahun."

Tatapannya berubah bingung. "Maksudnya?"

"Cepet lulus aja dulu. Ntar baru gue jelasin maksudnya."

Alis Virga terangkat satu. "Uhm... oke." Ia pun menyunggingkan senyum. "Kalau gitu, aku pamit ya, Kak."

Sebuah anggukan. Aksel kembali berdiri, lalu membuang napas ketika taksi itu melaju.

Seluruh keluarga yang melepas kepergian Virga kembali masuk ke dalam rumah. Sepasang pengantin baru yang sudah berpamitan dengan Virga lalu berjalan ke dalam bersisian. Punggung kedua orang itu Aksel pandangi dari belakang.

Untuk pertama kalinya, Aksel merasa bahwa punggung sang mempelai pria tak lagi rapuh, tak lagi 'kosong'. Tanpa sadar, ia pun tersenyum. Masuk ke dalam rumah sebelum pintu gerbang ditutup.

Hari itu, cuacanya sejuk, langit pagi cerah kendati sedang musim hujan.

Dan hari itu, Aksel tidak tahu bahwa pesan Virga padanya merupakan bentuk firasat atas suatu masalah.

[ ].

posted on 10/06/2021
written on 2015
1,7k words



A/N

Sebelum nanya, plis plis plis baca bab "Prakata" dulu, siapa tau dah dijawab di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top