| 2 | Kegelisahan Tak Berparas


PO Taklik akan dibuka dari tanggal 29 Juli s/d 7 Agustus 2021 di Shopee dan google form. Range harga buku antara 75-85 ribu. Nanti akan diinfokan lagi detailnya. 

-;-;-;-;-;-;-


-||-

| 2 |

Kegelisahan

Tak

Berparas

-||-




Not all woman are one hundred percent princesses, sometimes they are warriors, sometimes some of them stand in between. Just like flowers, sometimes they are pretty on their own, sometimes they steal attention, sometimes some are left behind on the street or they stand with their own fierce form and identity, Raflessia arnoldii, for example?

It is okay to be yourself, it is okay to be a flower that not everyone expects you to be.

- Annisa Yumna Ulfah

crystallizedcherry



H-34




"Udah sampai belum?"

Raung kendaraan macet menghiasi jalanan di depan Varsha dan Regen. Cuaca sore ini cerah. Tanaman-tanaman penghias depan kantor yang mulai panjang tengah dipangkas oleh tukang kebun kantor. Sepasang calon suami-istri itu sedang menunggu taksi datang di depan lobi, bukan untuk menjemput mereka, tapi untuk mengantar seorang wanita bernama Paula Krüger.

"Katanya bentar lagi. Paling kejebak macet," Regen menjawab pertanyaan sambil memandangi jam tangannya. Sejenak, matanya memindai wajah Varsha yang terlihat tegang, menyipit heran. "Sha, kamu gugup?"

"Aku nggak gugup."

Regen menatapnya, datar. "Kamu nggak pandai bohong. Ada apa, Sha?"

Tatapan Varsha pada Regen kini terlihat gusar. "Aku bakal ketemu kakakmu, Re."

Kedua alis sang pria terangkat. "Trus?"

"Trus?" Varsha membeo. "Ini kakakmu loh. Kalau nanti aku ternyata nggak sesuai dengan calon istri untuk adiknya yang dia harapkan, gimana? Pernikahan kita bakal... susah."

"Paula nggak akan mempersulit pernikahan kita."

"Tapi, kalau dia nggak suka sama aku, gimana? Kalau ternyata aku, uh, jauh dari ekspektasinya? Dia bisa benci sama aku."

"Dia nggak akan benci sama kamu."

"Tapi kan bisa aja, Re. Mungkin... dia akan menganggap aku nggak layak bersanding sama kamu...."

"Sha."

"Atau dia nganggap aku kurang cantik."

"Varsha."

"Aku harus gimana, Re?"

"Varsha, astaga!" Regen mengusap-usap wajahnya. Menghela napas lelah. "Kamu nggak perlu minder, bisa?"

Alis Varsha bertaut. "Susah, Re."

"Ya udah, tenang aja. Paula nggak akan gigit. Kalau nanti ada masalah sama Paula atau yang lain, kita omongin berdua, ya?" Regen menatapnya penuh ekspektasi dan harapan.

Dengan ucapan Regen tadi, Varsha sudah mampu merasakan ketenangan kembali. Ia merasa setengah bebannya terangkat, kemudian, ia tersenyum hangat. "Iya, Re," ucapnya yakin. "Bareng-bareng."

Regen lalu melempar pandangan ke depan lagi, mendapati taksi lewat di depan lobi, menjemput salah seorang karyawannya. "Sha, kamu ingat malam kita di kantor, nggak? Yang beberapa hari sebelum aku pergi."

Varsha mengernyit tipis. "Ingat. Kenapa?"

"Ingat apa yang aku sampaikan ke kamu sebelum aku pulang?"

Kilasan memori terpantik dari kotak ingatan Varsha.

Kenangan yang dimaksud Regen itu tersimpan rapi dalam otak. Rasa dan asa yang pernah didera dulu pun muncul. Hanya perlu pencingan kecil. Semudah membuat riak di permukaan air. Varsha tersenyum tipis. "Ingat."

"Habis aku pergi itu, apa yang kamu pikirkan?"

Bunyi klakson yang tak sabaran dari jalan raya, disusul klakson-klakson lain. Kemudian, Varsha mendadak seperti dilempar lagi ke malam itu. Mereka yang berjalan bersisian. Ada hujan merajai langit. Pertanyaan krusial dengan nada asing sekaligus familier. Pertanyaan retoris setelah pernyataan yang membuat kejut di otak. Semua seperti kilasan film.

Setelah tarikan napas, Varsha kembali ke kenyataan. "Lebih dari bagimana caranya kamu bisa tahu arti namaku, atau pernyataan-pertanyaanmu yang meski normal tapi ganjil karena kamu memberinya ke orang asing kayak aku, aku merasakan hal yang lebih besar, lebih dari rasa penasaran atas bagaimana kamu bisa tahu namaku."

Regen bergumam. Sedikit menyipit. "Apa itu?"

Bibir Varsha membuka. Wajahnya mendadak terlihat beku dan matanya meredup. "Aku mendadak kangen ibuku."

Udara yang masuk ke paru-paru Regen tertahan.

Keping reminisensi menyergap. Tatapan mata hangat dan tangan yang suka mengelus rambutnya pun teringat. Regen menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba kering.

"Aku teringat dia karena salah satu hal yang dia ajarkan." Varsha mendengak ke sampingnya, menatap bola mata Regen. Angin berembus, menimbulkan gemerisik rerumputan. "Bahwa hakikat tertinggi dari mencintai adalah untuk melepaskan."

Tak ada balasan dari Regen. Hanya muncul senyuman dan tatapan tak terbaca.

Selang beberapa menit, sebuah taksi berhenti di depan mereka. Pintu terbuka dengan tergesa, dan keluarlah sesosok wanita berambut madu dengan sunglasses dan mantel merah yang disampirkan di tangan. Wanita itu segera menghambur ke pelukan Regen. Dan, di situlah Varsha tahu. Ini Paula.

"My God, the traffic! Tak heran Jakarta ini dijuluki kota termacet sedunia!" Paula memulai dengan misuh-misuh. Setelah barang-barangnya—yang hanya memuat satu tas dan beberapa goodie bag—diturunkan, wanita itu segera menambatkan tatapannya pada Varsha. "Mein Gott," ucapnya sambil melerai pelukannya pada sang adik. "Ini... Varsha?"

Sang pemilik nama mengangguk. Paula segera melepas kacamata hitamnya untuk mendapatkan gambaran profil Varsha lebih baik. Ia lalu menarik lengan jas yang Regen kenakan, menatap pria itu dengan mata menyipit. "Sial, Regen. Aku tidak menyangka kau seberuntung ini. Bagaimana kau bisa mendapatkan mahkluk manis ini menjadi istrimu?"

"Uh." Regen menarik lengannya yang habis ditarik Paula. "Dengan doa dan usaha, I guess?"

"Ah, Varsha sweetheart." Sang kakak mendekat ke arah Varsha, merentangkan kedua tangannya untuk memeluk. "Kau tidak tahu seberapa besarnya keinginanku untuk bertemu denganmu."

"Really?" Varsha membalas pelukan Paula, agak kikuk. "Kenapa kau ingin bertemu denganku?"

Paula melepas pelukan mereka dan memegang kedua pundak Varsha untuk dapat melihat wajah Varsha lebih jelas. "Kenapa? Karena aku penasaran siapa orang yang sudah membuat adikku mati kutu sampai berlaku norak seperti ini! Don't you see how dork and awkwardly stupid he is?"

Tawa Varsha pecah, terdengar menyenangkan di telinga Paula. "I see how dork and awkwardly stupid he is." Ia terkekeh geli, lalu menatap Regen, hangat. "But, I love that dork."

Mulut Paula ternganga. Ia melotot menatap Varsha dan Regen bergantian. "God, kalian berdua ini sebenarnya apa? Both of you are dorks!"

Regen tertawa terbahak-bahak bersama Varsha yang sudah tertawa lepas. Paula hanya mendesah seraya memutar bola mata dramatis.

"Mau berangkat sekarang?" tanya Regen usai tawanya terhenti. Ia bergantian menatap dua wanita di dekatnya.

"Sekarang aja. Biar lebih cepat sampai ke rumah Om Hardana." Varsha mengangguk. "Paula, you're okay with that?"

"Euh, I'm fine, I think. "Paula menggaruk lehernya. "But, you know. Aku takut sekali jika mereka tak bisa menerimaku." Paula menatap Varsha. Merasa tak yakin.

"Trust me, I know that kind of feeling." Varsha menggenggam tangan Paula, erat. "Tapi satu hal yang kuyakin, perasaan seperti itu harus dihadapi, Paula. Bukan hanya didiamkan."

Perlahan, pecahlah senyum dari Paula. "Then take me whereever you want, sweetheart." Paula menenteng tasnya di pundak dan semua goodie bag-nya dibawa oleh Regen. Sang pria hanya tersenyum masam karena dijadikan babu mendadak oleh kakaknya sendiri. "Oh, ya, bagaimana persiapan pernikahan kalian?" tanyanya sambil berjalan bersama Varsha dan Regen menuju basement, tempat mobil Regen diparkir.

"Sudah sewa Wedding Organizer, pilih menu katering, dan sudah memilih konsep pernikahan. Jadi, untuk desain undangan, interior gedung untuk resepsi serta akad nikah tinggal mereka buat. Nanti kami yang pilih-pilih lagi," terang Varsha, meraih satu goodie bag di tangan Regen untuk dia bantu bawa namun dicegah oleh Paula.

"Biarkan dia bawa sendiri. Itulah guna dia di sepanjang perjalanan kita, Varsha. Kita ngobrol-ngobrol saja." Paula tersenyum manis, diiring lirikan meledek kepada sang adik. Mereka pun melanjutkan perjalanan. "Well, your wedding process escalated quickly. Tapi, apa kalian tidak apa-apa melakukan persiapan pernikahan hanya sebulan? Tidak lelah? Karena normalnya, persiapan pernikahan perlu waktu minimal tiga bulan, kan, dear?"

"Aku mencari tanggal pernikahan pada liburan Desember ini, Paula. Jadi, anak-anak juga bisa ikut acara sampai malam," Regen menjawab. "Lagi pula, semakin cepat prosesnya semakin baik."

"Right," Varsha mengangguk. "Dan, deadline sudah ditentukan, persiapan sudah setengahnya siap, jadi kami tidak perlu ambil pusing memikirkan masukan orang-orang yang terlalu banyak karena keputusan harus diambil dengan cepat."

"Terlebih, Varsha bisa mengikuti tempo kerjaku. Jadi, kami pasti baik-baik saja."

"Whoa, good teamwork!" Paula tepuk tangan sendiri. "Oh, sebentar. Apa aku harus pakai kebaya?"

Varsha menoleh kepada Paula sambil tersenyum lebar. "Of course. Nanti di akad nikah ya, Paula. You will look beautiful."

"I hope so. Kebaya terlihat untuk wanita-wanita anggun—sesuatu yang bukan aku."

Senyum Varsha berubah jadi kekehan. "Well, let's just see it later, shall we?"


***


Kediaman Hardana Hadiwijaya malam ini terlihat berbeda, Regen baru menyadari itu. Memang tidak ada mobil asing yang terparkir, tapi ada sepatu kets berbasuh lumpur sana-sini yang bertengger di depan pintu. Ketika mengucap salam dan menunggu bersama Paula dan Varsha, Regen baru ingat siapa pemilik sepatu itu.

Sosok yang membukakan pintulah yang mewujudkan nama dalam otaknya.

"Lho, Mas Regen?"

"Bara?" Regen tersenyum lebar. Memeluk pemuda di depannya sambil menepuk-nepuk punggungnya, kemudian dilepas. "Apa kabar kamu? Tumben pulang."

"Katanya, Mas Regen mau nikah. Makanya ini aku pulang."

"Oh, ya, ya." Regen melepas pantofelnya, melirik sekilas ke arah Paula dan Varsha. "Lagi pada ngapain di dalam?"

"Ngobrol. Abis makan malam. Mas Regen bawa siapa itu di luar?"

"Nanti aja, sekalian saya kenalkan juga ke yang lain." Regen tersenyum sekilas.

Mereka pun masuk ke rumah Hardana yang bertingkat dua. Ditata seperti rumah asri di pedesaan dan banyak menggunakan furnitur rotan di fasadnya. Bangunan rumah ini sudah tua. Regen masih ingat kali pertama ia datang ke Indonesia dan tinggal di sini.

Suara obrolan banyak orang terdengar ketika memasuki rumah. Regen mampu menangkap suara Valerio dan Oberon yang adu mulut dengan Aksel serta Hardana yang tertawa. Kala memasuki ruang keluarga, pandangannya dengan Hardana bertubrukan. Pria yang lebih tua menghentikan tawanya dan membelalak. "Eh, ini calon mantennya sudah datang!"

Semua orang yang berada di ruang keluarga itu menghentikan kegiatan mereka, memandangi Regen dengan tatapan antusias. Sementara yang dipandangi hanya tersenyum dikulum. Sesekali melirik ke samping, ke tempat di mana Paula dan Varsha berdiri yang tak terlihat karena tertutup tembok. Regen tahu bahwa sekarang Paula tengah merasa gelisah karena takut dirinya tak diterima oleh keluarga ini. Kabar buruknya, Regen juga merasa sama gelisahnya. Varsha tak juga melepas genggamannya pada tangan Paula untuk memberi dukungan dan untuk menghangatkan tangan wanita itu yang terasa dingin. Melihat itu, Regen menahan diri agar tak mendengus.

Duh, rasanya ia ingin tukar tempat dengan Paula saja jika melihat genggaman tangan Varsha seerat itu. Tapi, masalahnya mereka belum halal. Kenapa sebulan aja rasanya lama banget? batin Regen.

"Ehh, Nak Regen. Ayo, sini duduk. Kamu udah makan belum?" tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di samping Hardana.

"Uhm, belum, Tante Rima." Regen melirik ke arah Paula, mengedikkan kepala agar sang kakak keluar dari balik tembok.

Ia lalu menelan ludah. Bola matanya bergerak-gerak gelisah, tak tentu ingin menatap apa. Semua pasang mata di ruang keluarga itu tertuju ke Regen. Juliet dan Oberon disuruh untuk bermain di lantai atas. Aksel dan Bara juga ikut menanggapi dengan serius. Suasana hening. Regen makin mudah mendengar suara jantungnya sendiri.

"S-saya... sebelumnya minta maaf karena sudah menyembunyikan ini dari kalian." Suara Regen agak bergetar. Ia menggigit lidahnya sesaat. "Ehm... saya... ini mungkin akan membuat kalian terkejut. Saya harap apa pun yang saya katakan nanti, hubungan kita semua sebagai keluarga akan tetap baik-baik aja." Ia menelan salivanya. Mata melirik ke arah Varsha dan Paula. Tangannya terulur, meminta sang kakak meraih tangannya. Paula menatap Varsha sekali, diberi tatapan yakin oleh wanita itu, baru berani melepaskan tangannya dari Varsha dan muncul dari balik tembok, melihat keluarga Regen di Indonesia.

"Semuanya, perkenalkan." Regen mengenggam tangan sang kakak. Benar dingin, namun tangan miliknya pun tak kalah dingin tangan Paula. "Nama perempuan ini Paula Krüger. Dan, dia... adalah kakak kandung saya."

Terdengar tarikan napas tak percaya, disusul keheningan di ruang keluarga tersebut.

Regen menggigit bagian dalam bibirnya gelisah. Tatapannya beralih pada Varsha, meminta bantuan. Namun, Varsha hanya tersenyum tenang, memancarkan keyakinan. Sama sekali tidak panik. Dan dengan segera, Regen merasa lebih rileks. Degup jantungnya tak seliar tadi.

Kemudian ada suara bangku bergeser. Klavier yang pertama berdiri dan menghampiri Paula, tersenyum lantas mengulurkan tangannya. "Hallo Paula. Ich bin Klavier."

Paula menatap Regen sekilas, terlihat sekali gugup, namun tak segelisah tadi. "H-hai, Klavier." Ia menjabat tangan Klavier. "Kau cantik sekali."

Spontan, Klavier tertawa sambil geleng-geleng. "Kau pun juga begitu, Paula." Ia tersenyum manis. "Mari, kuperkenalkan dengan yang lain."

Paula kemudian berkeliling sofa untuk berkenalan dengan anggota keluarga yang lain. Regen menghela napas, kemudian, merasakan kehadiran di sampingnya. Varsha sedang menatap ke depan sambil tersenyum. Auranya terasa menentramkan. "Lihat, semua akan baik-baik aja, kan, Re?" Wanita itu kini menatapnya. "Kamu tenang aja. Aku pasti dukung kamu selama niat kamu baik."

Regen menatap keluarganya yang mau menerima Paula. Tak ada yang terlihat menolak. Semua menyambut dengan hangat.

Semua baik-baik saja, seperti kata Varsha.

Mendadak, Regen dibanjiri perasaan lega. Dadanya terasa penuh. Haru. Ingin sekali rasanya ia memeluk Varsha untuk berbagi rasa bahagianya. Tapi keinginan itu harus ditahan. "Sha." Suaranya sedikit bergetar. "Terima kasih."

Varsha menatapnya dengan alis terangkat. Kemudian tersenyum lembut. Mengangguk. "Terima kasih kembali, Regen."

Perkenalan Paula itu berlanjut pada obrolan bersama yang lain setelah Regen, Varsha, dan Paula makan. Regen memperkenalkan Paula dan keluarganya dengan cerita yang sama seperti yang ia kisahkan kepada Varsha: Paula adalah saudara satu ayah beda ibu yang diadopsi oleh Dr. Krüger, Regen sedari kecil tinggal di rumah nenek karena kedua orang tuanya meninggalkannya, ayahnya meninggal, kemudian ia diangkat anak oleh Awan. Namun, pertanyaan yang tak terhindarkan pun muncul.

"Jadi, ibumu itu sekarang di mana, Nak Regen?"

Baik Varsha, Regen dan Paula menahan napasnya.

Varsha menatap Regen, mencari tanda-tanda apakah pria itu enggan menjawab. Namun, tidak. Regen menatap wajah semua anggota keluarganya di ruangan itu dengan yakin.

Dan, yang diucapkan selanjutnya membuat semua anggota keluarganya menatap mafhum.

"She's gone. I don't know where she is right now."

What a liar.

Regen seakan dibisiki iblis.

Betapa pembohongnya dirimu, Regen.

'just what kind of monster are you?'

"Semenjak ibu saya pergi meninggalkan saya pas kecil, saya nggak tahu lagi dia di mana."

Pembohong. Bilang kepada keluargamu bahwa kamulah yang membiarkan ibumu berkeliaran dan membunuh Awan.

Kuping Regen mendadak terasa pengang.

Tak ia pedulikan pelototan Paula yang kaget, baru menyadari bahwa ia belum memberi tahu Varsha yang sebenarnya.

Pembicaraan mengenai kisah hidup Regen selesai sudah. Regen yakin, bahwa semenjak hari itu, topik ini tak akan pernah dibuka lagi.

Acara kumpul-kumpul keluarga itu selesai pada jam 20.15. Usai Regen mengantarkan Varsha pulang ke rumahnya, Paula yang duduk di samping jok pengemudi langsung menembak, "Kenapa tidak memberi tahu Varsha kebenarannya?"

Regen menarik napas, tahu Paula akan bertanya perihal itu. Tinggal tunggu waktunya saja. "Percuma, Paula." Ia memutar balik kemudi, lalu keluar dari komplek Setneg tempat rumah Varsha. "Kau pikir Varsha akan menerimaku jika ia tahu kebenarannya? Jangan mimpi. Prinsip Varsha sudah jelas. Apa yang jadi prioritasnya telah aku ketahui. Tak ada yang bisa mengubah prinsip Varsha."

"Prinsip?" Paula menyipitkan mata. "Kau berbohong kepadanya karena takut tak bisa mengubah prinsip Varsha?"

"Aku tidak berbohong."

"Kau tidak berbohong, tapi kau menyembunyikan sesuatu yang memicumu untuk melakukan kebohongan di kemudian hari!" seru Paula seakan mengeluarkan racun. "Sial. Kenapa harus disembunyikan, Re? You will hurt her!"

"Karena percuma saja jika aku memberitahu kebenarannya, Paula!" Regen berseru, mulai timbul kefrustrasian dalam dirinya. "Varsha itu sudah pasti akan menolakku jika tahu kebenarannya! Kita sudah pernah membahas ini. Prioritas Varsha itu bukan suami, tapi anak. Ia lebih baik tidak bersama lelaki yang dicintainya seumur hidup dibanding harus melihat anaknya tersakiti!"

Bunyi air mata langit yang mengetuki jendela mobil bermunculan, kemudian berisik.

Tak ada yang bersuara selama semenit penuh. Hanya ada jantung yang bertalu-talu, rongga dada yang menyempit dan keputusan yang tak Regen sesali.

Paula akhirnya membuka mulut tak percaya. "Oh, God." Ia memijat-mijat pelipisnya. Bernapas. "Oh my dear God." Ia menutup matanya. "Now I can see it." Ia menatap Regen dengan keras. "Jadi kau berbohong agar bisa menikahi Varsha?"

Tak ada balasan dari Regen. Pria itu hanya menjalankan mobilnya, lalu berhenti ketika lampu merah.

Paula menggigit bibir. "Sial," umpatnya sambil memejamkan mata. "Sialan, Regen."

Jika ada tanggapan, maka itu hanyalah berisiknya suara hujan deras dan klakson dari luar yang terdengar keras. Regen hanya bergeming dan menyalakan wiper sebelum tancap gas ketika lampu traffic berubah hijau.

"Lalu, kau akan berkata apa pada Varsha nanti? Jangan harap aku akan percaya jika kau berkata tidak akan menyentuh Varsha. She'll be your wife. Tugasmu juga memberinya nafkah batin. Kau akan bilang apa padanya?" Paula bertanya setengah sinis.

Regen tak menatap Paula. Hanya fokus pada jalanan. "Aku akan KB tanpa sepengetahuannya."

Bibir Paula membuka lagi. Matanya melotot tajam. "Fuck you, Regen."

"Whatever, Paula."

"Sialan! Teganya kau! Kau pikir kau ini siapa sampai bisa melakukan hal ini pada wanita yang jelas-jelas menginginkan anak? She's fertile. Dan kau adalah satu-satunya harapan Varsha untuk punya anak. Tapi, apa yang hendak kau lakukan? Menghancurkan harapan Varsha?"

"See my point?" Regen bertanya sambil menyipitkan mata. "Aku akan menghancurkan harapannya jika aku mengatakan yang sebenarnya di hari itu, Paula."

Hujan kian deras. Tidak adanya suara perantara selain hujan di luar menimbulkan keheningan menyesakkan di antara sepasang kakak-beradik itu.

"Kau akan menghancurkan hatinya, Re," ucap Paula, pasrah. "Kau tidak tahu betapa besarnya keinginan perempuan jika ia benar-benar menginginkan anak. Dan, terlebih, Varsha bisa memiliki anak, Re. She's fertile. Dia tidak... sepertiku.... Apa memang harus seperti ini?"

Suara gemuruh petir mencakar langit. Masih deras air mata langit menjatuhi bumi.

"Varsha menahan bebannya sendiri terlalu lama," ucap Regen. "Lebih baik aku sedikit berbohong agar bisa bersamanya, untuk menemaninya dan agar ia bisa berbagi bebannya denganku, dibanding aku tidak bersama Varsha dan melihat wanita itu 'sakit' menahan bebannya sendiri selamanya."

Regen mengantar kembali Paula ke hotelnya tanpa ucapan perpisahan. Ia lalu berkendara menembus jalan raya menuju apartemennya. Tak memedulikan perasaannya yang kian kacau.

34 hari menuju hari pernikahan, dan ia sama sekali belum siap mengatakan kebenarannya kepada Varsha.

[ ].




-;-;-;-;-

Fasad: muka depan bangunan.

Mafhum: (KBBI)/maf·hum/ v sudah paham (mengerti, tahu): suratmu telah kubaca dan aku telah -- akan isinya;



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top