TM»16

Kenapa rasanya badai belum juga berlalu? Prilly tak mengerti. Kenapa semua beban harus ditumpukan padanya? Kenapa harus dia yang menanggungnya? Masih saja Nikko punya muka untuk tetap meraih raganya.

Inilah rencana Papa Nikko. Mengajak Papi Prilly join bisnis dan membuat aset papi Prilly terkuras karna tertipu dan papa Nikko seolah ikut tertipu padahal dia yang punya rencana untuk membantu Nikko meraih Prilly. Karna dengan begitu Papanya akan meminta bantuan untuk mengamankan asetnya.

"Alasan seperti itu terlalu dibuat-buat, Pap, aku dengar sendiri dia ngomong sama Mbak Yul, Papanya punya rencana!"

Prilly sudah mencoba memberikan pengertian pada Papinya agar tak mudah percaya pada orangtua Nikko. Tetapi Papinya merasa tak mungkin Om Wiyaniko atau Papanya Nikko itu jahat seperti yang Prilly katakan karna selama ini mereka berteman baik dan Papi Prilly mengenalnya sangat dekat.

"Mammmm, mami harus bantu Ily, Ily nggak mau sama Nikko, Ily akan menderita, sumpah Ily pasti menderita!"

Prilly terisak dipelukan maminya yang juga terlihat sedih. Bingung sekarang harus memihak pada siapa. Disatu sisi, suaminya ingin menyelamatkan hidup keluarga, di sisi lain haruskah mempertaruhkan kebahagiaan anaknya?

"Maafkan mami, Ly!"

Prilly melepaskan pelukan maminya dan menatap ibu yang melahirkannya itu dengan tatapan kecewa dan airmata yang meleleh tak percaya. Prilly berlalu dari hadapan maminya, menaiki tangga menuju kamar dan menghempaskan diri ke tempat tidur dengan airmata yang tak bisa berhenti mengalir.

"Baiklah, kalian yang membuat aku nekat, maafkan kalau anakmu ini terkesan durhaka ..."

+++++

Diam sejenak membiarkannya menangis membuat kesunyian diantara mereka tak terelakkan. Suara isakan tangis yang cukup ditahan membuat mereka sama sedih.
Memeluk dan mengusap punggung Prilly agar tenang, hanya itu yang bisa dilakukan Ali saat ini.

"Kenapa sih Li, susah sekali buat kita untuk nyatu?" sela Prilly diantara tangisnya yang terdengar pilu membuat nyeri dada Ali yang mendengarnya. Hanya usapan dipunggung Prilly dan mengeratkan pelukan yang bisa dilakukannya.

"Mungkin kalau aku mati itu lebih baik, kenapa aku hanya amnesia aja waktu itu enggak mati sekalian..." ucap Prilly tak terkontrol membuat Ali angkat bicara.

"Sttt..sstttt...nggak boleh bilang begitu sayang, Tuhan sudah memberi kesempatan untuk kita, kita harus tahan uji bukannya putus asa!"

"Aku udah capek ngadepin ini semua, akuuu..."

"Stttttt..." lagi-lagi Ali memotong ucapan Prilly. Ali memahami Prilly sedang lelah dengan semua ini. Lelah dengan setiap persoalan yang harus ada ketika mereka sudah berada selangkah lagi untuk kebahagiaan.

"Aku harap kamu bisa bertahan ya, aku harap kamu bisa bersabar..."

"Tapi mereka nggak memikirkan perasaanku!"

"Mereka hanya ingin kamu bahagia!"

"Tapi aku bahagianya sama kamu, aku ikut kamu aja, aku nggak mau pulang, bawa aku kemanapun kamu pergi..." Prilly menatap Ali dengan pandangan meminta. Berharap agar Ali mau membawanya pergi.

"Kamu maukan? Iyakan? Kamu mau bawa aku pergi?" ulang Prilly sambil mengguncang lengan Ali dan Ali memandang wajahnya tak berkedip karna berpikir.

"Iya, aku akan bawa kamu, tapi aku akan membawamu kerumahmu sendiri, menemui orang tuamu dan mengatakan kalau aku akan meminangmu!" ucap Ali yakin.

"Kamu yakin mau menemui orangtuaku? Kamu yakin akan berhasil?" tanya Prilly tak percaya Ali akan melakukannya.

"Setidaknya aku berusaha memperjuangkan kamu!" sahut Ali sambil meraih wajah Ali dan menempelkan dahinya pada dahi Prilly.

Prilly menatap mata Ali yang tertutup. Sepertinya Ali gundah tetapi memutuskan untuk segera menemui orangtuanya.

"Aku nggak mau kehilangan kamu lagi!" gumam Ali yang terasa menyejukkan ditelinga Prilly.

+++++

Turun dari mobil, Prilly berjalan disisi Ali dengan kaki yang gemetar. Dia tak tahu, jantung Alipun rasanya sudah tak karuan lagi detak denyutnya. Ali hanya mencoba tenang meski dalam keadaan yang diluar dari kata tenang.

Prilly melihat mobil lain parkir dihalaman rumahnya. Ia pastikan itu adalah keluarga Nikko karna Papinya sempat bilang mereka akan datang melamarnya. Itulah sebabnya Prilly tadinya memilih pergi dan bertemu dengan Ali.

Saat ini Prilly benar-benar sangat ketakutan. Entahlah. Rasanya dia tak bisa membayangkan bagaimana Ali akan dicerca habis-habisan. Mereka jauh berbeda. Status sosial dan statusnya Ali masih dalam proses perceraian.

Berdiri didepan pintu yang terbuka Prilly menarik Ali masuk kedalam rumah menuju ruang tamunya.

"Mami, Papi...."

Semua mata yang ada diruang tamu itu menatap kearah mereka. Prilly hanya menatap orangtuanya tanpa peduli pada keluarga Nikko yang ada disana menatapnya dan Ali.

"Siapa dia? Kenapa dia kamu bawa kesini?" Papi bertanya dengan suara berat.

"Saya Ali, Om!"

"Mau ngapain kamu kesini? Masih nggak punya malu punya istri mau merayu anak gadis orang?"

Nikko berdiri dan wajahnya terlihat keras seakan tak terima ada orang yang berniat merebut miliknya.

'Apa kamu juga punya malu? Sudah berusaha membuat dia melupakan segalanya dengan obat-obatan itu kamu masih juga lanjutkan rencanamu ini?' Ingin sekali Ali menyahut tetapi hanya matanya yang menatap tajam kearah Nikko dengan batin yang berujar.

"Jadi kamu orangnya?" Papi Prilly yang masih duduk di sofa menatap Ali.

"Saya yang dengan berani mencintai anak, Om!"

"Bukan berani tapi lancang." sahut Nikko.

"Maafkan saya Om, status saya didalam hukum pemerintahan memang suami orang, tetapi saya mencintai Prilly setelah hubungan saya dan istri sudah tidak harmonis lagi, sekarang kami dalam proses perceraian!"

"Masih juga membela diri ni orang!!"
Sepertinya Nikko ini benar-benar dibawah pengaruh obsesinya sendiri. Tiba-tiba dengan emosi yang memuncak menarik kerah baju Ali dan disaat yang sama Prilly mendorong tubuh Nikko. Nikko maju lagi dengan tangan yang terangkat ingin memukul Ali tapi tak menyadari Prilly menghalangi dan terkena pukulannya hingga Prilly jatuh dengan hidung yang mengeluarkan darah.

"Prillyyyyy!!"

Papi dan Mami Prilly berlarian mendekati tubuh Prilly yang ada dipangkuan Ali.

"Prill..."

"Sini, aku yang periksa!" Nikko ingin mendekati Prilly.

"Prill, bangun sayang, maaf harusnya jangan lindungin aku, aku bisa melawan dia!" ucap Ali menepuk pipi Prilly.

"Minggir, sini, dia calon isteri saya!"

"Sudahlah Nikko, Papa sudah bilang, cinta nggak bisa dipaksakan, percuma saja, dia mencintai orang lain dan kamu takkan bahagia jika bersama orang yang tidak mencintaimu!"

"Tapi Pa, ini semua salah Papa, menyuruh aku mendekatinya, sekarang begitu aku jatuh cinta padanya papa mau biarkan dia diambil orang lain?"

"Nikko, lebih baik dicintai daripada mencintai Nak, tidak ada gunanya memaksakan diri!" Mama Nikko angkat bicara.

"Meraih ambisi memiliki cinta seseorang tak sama dengan ketika meraih ambisimu menjadi seorang dokter, itu berbeda." Lanjut mamanya lagi. "Asal ada uang, punya ambisi untuk meraihnya kamu bisa jadi dokter, tapi untuk cinta, uang bukanlah segalanya..."

Prilly terlihat bergerak dan membuka matanya.

"Aliiii..."

"Iya, Prill...?"

"Kepalaku sakit."

"Kamu istirahat aja ya."

Ali membantu Prilly duduk dan berdiri lalu mengusap kepalanya yang sakit ketika Prilly memegang kepalanya sendiri.

"Nik, sungguh aku benar-benar minta maaf sama kamu, sebenarnya aku tak ingin siapapun tersakiti, aku tahu kamu berharap aku bisa menerimamu tapi aku tak bisa, maafin aku!" ucap Prilly pada akhirnya pada Nikko. Prilly hampir tidak bisa mengerti kenapa Nikko harus memaksakan diri, bukankah pria seganteng dan setajir dia bisa mendapatkan siapapun? Rupanya ambisinya yang tengah bermain. Dia hanya tak ingin dianggap kalah dari orang yang harusnya tidak lebih segalanya dari dia.

"Om yang jamin, Nikko takkan mengganggu kamu lagi, Pril!" Sahut Om Wiyaniko tegas.

"Lalu bisnis kita?" papi Prilly menyahut.

"Saya minta maaf Nugroho, saya yang merencanakan semuanya agar kalian berharap bantuan dari kami dan kami bisa bebas menentukan syarat, saya yang akan tanggung kerugian dan menyelesaikan semuanya!"

Sepeninggal keluarga Nikko ada rasa lega dihati Prilly. Semoga ini akhir dari segala-galanya dan tak kan ada lagi yang bisa memisahkan perasaannya pada Ali.

"Om..."
Ali mulai bersuara dan selalu saja Prilly jadi gugup. Entah kenapa hatinya tak enak melihat tatapan papi dan mami pada Ali.
Prilly meraih tangan Ali dan menggenggamnya. Ia tahu biar bagaimanapun Ali pasti merasa gugup sama seperti dirinya.

"Lepaskan tangan anak saya!" kalimat Papi mengandung kalimat perintah yang sepertinya harus dituruti tapi Prilly justru mempererat selipan jari mereka.

"Papii..." Prilly hampir angkat bicara tapi tangan papinya langsung terangkat seakan langsung menolak ucapannya.

"Lepaskan tangan anak saya, jangan pegang tangannya sebelum kamu serahkan surat cerai dari pengadilan dihadapan saya, ini perintah, tidak bisa dibantah, kalau tidak..."

"Iya, Om!"

"Iya, Pap!"

Ali dan Prilly dengan cepat menyahut memotong ucapan Papi Prilly sambil saling melepaskan tangan mereka yang sebenarnya enggan dipisahkan meskipun hanya sementara.

"Ingat, tidak boleh bertemu sebelum ketuk palu, kamu harus konsen menyelesaikannya, jangan sampai anak saya dinilai sebagai pengganggu rumah tangga orang!" Papi Prilly beranjak berlalu meninggalkan mereka.

"Terima Kasih, Om!"
Ali berucap sambil menoleh pada Prilly. Rasanya tiba-tiba canggung. Nggak boleh pegangan, nggak boleh bertemu setelah ini. Tapi berpandangan bolehkan?

"Berpandangan juga dilarang, nanti khilaf Ily, dia masih suami orang!" ucap Mami mengingatkan membuat mereka meringis. Mami akhirnya mengikuti suaminya meninggalkan ruang tamu.

"Sana pulang!"

"Bener nih aku pulang?"

"Iyakan tadi papi nyuruh pulang!"

"Iya deh aku pulang."

"Buruan balik kesini bawakan surat cinta!"

Ali tertawa. Mencubit pipi Prilly.
Rasanya lucu, surat cerai Ali dan Tata bagaikan surat cinta buat Prilly.
Didepan pintu cukup lama berpandangan. Mereka berharap tak lebih dari sebulan mereka tak bertemu. Ali mengecup kening Prilly lama-lama untuk menabung rindunya. Merekam wangi tubuh dan peluk hangatnya.

"Semoga saja setelah ini tak ada halangan lagi bagiku menuju duda ya..."

++++++++++++++++++++++++++++++

Banjarmasin, 19/05/2016

#menujududa
#maafdoubleupdate
#terimakasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: