5. Ex Fiance
Taken by you
###
Part 5
Ex Fiance
###
Bau tajam antiseptik yang menyerang indera penciuman Rea membuatnya terbangun, nuansa kamar yang menyilaukan memberikan rasa pusing dan sedikit mual. Mata Rea mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandangan yang sempat memburam hingga membuat matanya basah terasa perih. Merasa bingung dan kehilangan orientasinya sejenak. Lalu, ketika mata Rea terbuka dengan sempurna, dia menyadari tengah berada di atas ranjang rumah sakit.
Dengan gerakan ringkih, Rea mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang hampir bisa dikatakan kamar suite sebuah hotel berbintang. Hanya bau tajam antiseptik dan kesterilan ruangan inilah yang membuktikan bahwa ini adalah salah satu kamar rumah sakit. VVIP tentunya. Makan tahulah dia di mana sekarang berada. CASAVEGA MEDICAL CENTER.
Ingatan Rea berusaha menelaah, dan kemudian dia teringat ketika Darius memberitahu kabar duka itu, membawanya ke rumah sakit dan mendapati ibunya yang sudah tidak bernyawa. Dengan hati yang berdarah-darah tanpa penyebab yang tidak ia ketahui, Rea berusaha menelan pil pahit itu. Rea juga ingat ketika jantungnya terasa ditarik paksa dari dada ketika menyaksikan jasad ibunya dikuburkan, dan sepertinya saat itulah ia benar-benar tidak bisa menahan dan jatuh pingsan di tengah prosesi pemakaman. Karena setelah itu, Rea tidak ingat apa-apa lagi kecuali Darius yang menangkap tubuhnya yang limbung ke arah pria itu.
Air mata kembali merembes di sudut mata, harapannya kini benar-benar sudah menghilang. Tidak ada lagi kesempatan untuk menemui ibu yang bagaimanapun kesalnya Rea karena telah dicampakkan, tetapi ternyata juga sangat ia rindukan.
"Kau sudah sadar?" Darius beranjak dari sofa ketika melihat gerakan kecil dari atas ranjang yang membuatnya mengalihkan perhatian dari macbook dan melangkah mendekati Rea yang sama sekali tidak mengacuhkan dirinya.
Rea menghapus air mata dengan punggung tangannya ketika mendengar suara yang sudah sangat familiar bagi indera pendengarannya. "Bisakah kau meninggalkanku sendirian?" Rea membalikkan badannya memunggungi Darius. Mengabaikan perasaan jengkel karena sudah tahu jawaban pertanyaannya bahkan sebelum dia menyelesaikan pertanyaan itu.
"Bagaimana keadaanmu?" Darius mengabaikan penolakan Rea.
Rea hanya bergeming.
"Dokter bilang keadaanmu dan bayi kita baik-baik saja. Jika tidak ada keluhan apa pun, kurasa keadaanmu cukup sehat untuk pulang. Aku akan mengurus kepulanganmu besok pagi."
Rea masih bergeming dengan pemberitahuan yang ia dengar. Ingin segera kembali pulang ke apartemen saat ini juga, tapi ia tak punya tenaga untuk berdiri dan melangkahkan kaki. Apalagi jika harus berdebat dengan Darius.
Darius berbaring dan mengambil tempat kosong yang ada di samping Rea. Melingkarkan lengan di pinggang Rea, dan memejamkan mata sebelum mengusap lembut perut Rea. Di mana tempat darah dagingnya bertumbuh. Di mana tempat bagian dari diri Rea yang akan menjadi bagian dari dirinya juga. Satu-satunya bagian dari diri Rea yang bisa ia miliki untuk sementara ini.
***
Baru saja Rea akan memejamkan mata ketika mendengar getaran di atas nakas. Ponsel yang baru ia aktifkan bergetar dan berkelap-kelip menandakan ada panggilan masuk. Rea pun meraih ponsel dan melihat id pemanggil yang tertera.
Pak Raka calling ....
Raka? Segera Rea bangkit dari tidur dan menjawab panggilan tersebut tanpa ragu-ragu.
"Hall ..."
"Akhirnya ...." Terdengar desahan lega di seberang sana bahkan sebelum Rea menyelesaikan sapaannya. "apa ada sesuatu yang terjadi denganmu? Kenapa nomormu tidak aktif tiga hari ini?"
Rea tersenyum mendengar pertanyaan penuh nada kekhawatiran yang diucapkan Raka, lalu ia bergumam lembut, "Maaf."
"Aku tidak butuh maafmu. Aku butuh kau baik-baik saja. Apa kau baik-baik saja sekarang?" Suara Raka terdengar jelas penuh kekhawatiran.
"Iya. Aku baik-baik saja."
"Kemana saja kau? Kenapa nomormu tidak aktif?"
"Aku ... harus mengurus ... sesuatu." Itu bukanlah sebuah kebohongan, yakin Rea mengabaikan perasaan bersalah yang merayapi hatinya. Selama tiga hari ini Rea memang mengurusi pemakaman ibunya, menginap di rumah sakit dan membutuhkan waktu sendiri di apartemen. Walaupun arti sendiri di sini Darius yang mengambil kuasa atas dirinya.
"Aku benar-benar gila kau tiba-tiba menghilang dan tidak bisa dihubungi," gerutu Raka.
"Maaf sudah membuatmu khawatir," sesal Rea.
"Sudahlah. Kau tidak perlu meminta maaf. Yang terpenting kau baik-baik saja sekarang."
Bibir Rea melengkung membentuk senyuman yang sudah empat hari ini tidak terlihat di wajahnya.
"Apa kau bisa turun ke bawah? Aku ada di depan gedung apartemenmu."
"Apa?!" Rea terkejut dengan informasi yang dikatakan Raka. Sedikit, tapi Rea lebih menyukai tentang keberadaan pria itu yang tidak jauh dari tempatnya berada.
"Aku benar-benar sangat merindukanmu dan ingin memelukmu sekarang juga, dan juga ...." Raka menghentikan kalimatnya.
Rea terdiam, menunggu kalimat selanjutnya.
"... ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu. Bisakah kau turun dan menemuiku?"
"Tentu saja," jawab Rea yakin. "Aku akan ganti baju dan segera turun ke bawah."
"Oke. Aku tunggu."
Rea menyibakkan selimutnya begitu panggilan itu terputus. Melangkahkan menuju lemari pakaian dan segera menggantikan piyama tidur dengan dress yang bisa digapai tangannya begitu saja.
Setelah menyisir rambut sebentar, Rea berjalan melewati ruang tamu dengan langkah besar-besar. Senyum cerah yang merekah di bibir, menemani sepanjang langkahnya. Ia senang akan bertemu dengan pria yang sangat dirindukannya.
Rea membuka pintu dan berniat melangkah keluar dari apartemen ketika tubuhnya terhuyung kebelakang karena menabrak sesuatu. Senyum cerah seketika lenyap saat Rea mendongak dan menangkap sosok yang ditabraknya.
Darius menyeringai, membatalkan niatnya yang akan menekan password karena pintu sudah terbuka dari dalam. Darius mengamati Rea dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan satu kerutan di dahi.
"Mau apa kau di sini malam-malam, Darius?" tanya Rea dingin, tidak nyaman dengan pengamatan Darius.
Darius menghentikan pengamatanya, tersenyum, tapi pandangannya tampak dingin dan datar. "Tentu saja untuk mengunjungi kekasihku. Calon istriku," jawab Darius ringan dengan senyum dingin penuh kepuasan saat membenarkan kata calon istriku, "dan mau kemana wanita hamil malam-malam begini keluar?"
"Bukan urusanmu!" sengit Rea. Mata Rea menajam ketika Darius sengaja menyebutkan wanita hamil dan membuatnya marah. Rea benci kenyataan tentang keadaan itu.
Darius mendengkus. "Apa kau mau menemui Raka?"
Rea terkesiap, kemudian matanya menyipitkan penuh curiga, apa Darius melihat Raka di bawah? Apa Darius menemui dan mengatakan sesuatu pada Raka?
"Ya, aku melihatnya dan aku sedikit tergoda untuk mengganggunya. Tapi aku tidak mau membuang-buang waktu untuk hal kekanakan semacam itu." Darius melangkahkan masuk, penuh intimidasi yang mau tak mau membuat Rea berjalan mundur kembali ke dalam apartemennya. "Dan sebaiknya kau juga berhenti bersikap kekanak-kanakan dan lupakan mimpi konyolmu. Apa kau pikir Raka masih akan menerimamu setelah tahu ada anakku di perutmu?"
Rea mengernyit, tidak bisa membantah untuk tidak memikirkan kata-kata Darius. Merasa ragu apa Raka masih akan menerima setelah mengetahui tentang kehamilan ini. Anak Darius.
"Walaupun kecil kemungkinan ... anggaplah mungkin dia mau menerimamu. Lalu ... yang jadi pertanyaan adalah, apakah keluarganya yang masih memegang erat adat istiadat dan sopan santun yang sangat tinggi itu akan mau menoleransi kau sebagai menantu mereka?"
Ya, memangnya apa yang bisa Rea harapkan dari dirinya sebagai seorang wanita yang baik-baik? Bahkan seorang Rea yang dulu sebagai wanita baik-baik saja tidak bisa diterima oleh keluarga Raka karena latar belakangnya. Apalagi Rea yang sekarang, pasti bisa dibilang wanita jalang sejak Darius menidurinya dan dirinya, dengan bodohnya sama sekali tidak menolak. Walaupun ia sudah berkali-kali meyakinkan diri, bahwa ia bukanlah pelacur dengan menolak semua fasilitas mewah yang diberikan Darius. Tetap saja, sebagai wanita baik-baik, harusnya Rea tidak membiarkan pria mana pun menyentuh tubuhnya, kecuali pria yang sudah menjadi suaminya nanti.
Sebagai wanita, Rea sudah tidak suci lagi. Ditambah, dengan bodohnya Rea mengajukan persyaratan pad Darius untuk menyembunyikan hubungan mereka dari siapa pun. Bahkan sekarang dirinya bisa dibilang sebagai wanita simpanan.
"Bahkan selama bertahun-tahun kalian berpacaran, akulah pria pertama yang tidur denganmu," Darius tersenyum penuh kepuasan memuakkan, "aku sedikit penasaran, kira-kira ...." kalimat Darius sengaja digantung, "bagaimana perasaan Raka setelah tahu akulah pria yang sudah menodaimu, kekasih yang selama ini di jaganya."
"Hentikan, Darius!" Rea menggeram, tak tahan dengan kata-kata Darius yang sengaja diucapkan pria itu untuk mengusik emosinya. Darius tahu, bahwa kenyataan itu mau tak mau membuat Rea merasa bahwa ia telah mengkhianati Raka. Walaupun, hubungannya dan Darius terjalin setelah hubungannya dan Raka sudah berakhir.
Senyum di bibir Darius semakin melebar. "Akulah pria pertama yang menikmati tubuhmu ...."
"HENTIKAN!!!" hardik Rea dengan wajah yang memerah karena marah.
"Ide bagus." Darius memilih menghentikan topik pembicaraan yang sangat sensitif bagi Rea itu. Sepertinya ia sudah berhasil memengaruhi suasana hati Rea. Senyum di wajah Darius lenyap, digantikan tatapan tajam dan dingin penuh ancaman setelahnya. "Sekarang, kembalilah ke kamar dan ganti bajumu. Atau kau mau aku turun ke bawah dan membuktikan rasa penasaranku tentang bagaimana perasaan Raka tentang anakku?"
Rea terdiam, menatap lurus ke arah Darius dan semakin menajam penuh kemuakkan.
Darius menyeringai, mencela tatapan Rea untuknya.
"Aku benar-benar sangat membencimu, Darius," desis Rea dengan tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya. Kemarahan Rea benar-benar sudah mencapai ubun-ubun.
"Setidaknya aku selalu ada di pikiranmu dengan kebencianmu itu, sayang," jawab Darius ringan. Kilatan dingin di mata Darius bercampur tatapan geli dan mencela.
Pria ini benar-benar gila, batin Rea. Tidak habis pikir selama ini telah menghabiskan waktu untuk menjalin hubungan dengan pria gila dan kejam macam Darius.
Sekali lagi Darius menyeringai melihat Rea yang tampaknya sudah menyerah dengan perdebatan mereka. Penuh kepuasan sadis, Darius berbalik dan mengunci pintu apartemen. Kemudian melangkah mendekati Rea, memberikan kecupan ringan di bibir Rea dan berjalan ke kamar. Tak mengacuhkan kemarahan yang memenuhi wajah calon istrinya.
'Kau akan melihat apa yang mampu kulakukan, Darius. Tunggu saja sampai aku melenyapkan anak ini dari kehidupanmu,' sumpah Rea dalam hati sambil melemparkan tatapan membunuh ke punggung Darius yang menghilang di balik pintu kamar dan bersikap seolah di rumah pria itu sendiri.
***
"Berapa yang kau inginkan?"
Rea membeku mendengar pertanyaan Nadia Farick yang dilontarkan dengan nada penuh kearogansian. Ada sebilah pisau yang menggores hatinya ketika pertanyaan itu tertangkap oleh indera pendengarannya, sekali lagi. Hanya cukup mengabaiakannya saja dan mengangkat salah satu sudut bibir membentuk seringai.
"Apa ini terlihat lucu olehmu?"
"Sama sekali tidak," jawab Rea dingin. Ini kedua kalinya ia mendapatkan pertanyaan yang sama dari seorang ibu kekasihnya. Bedanya, dulu ia akan menangis, merasa harga dirinya diinjak-injak karena begitu mencintai Raka. Sekarang, ia berusaha menjaga diri dan hati supaya tidak terpuruk kembali dalam kesedihan. "Apa yang harus ditertawakan dari seorang ibu yang melindungi anaknya dari wanita rendahan seperti saya?"
"Baguslah kalau kau mengerti. Kurasa aku tidak perlu membuang waktuku lebih banyak lagi untuk membereskan parasit sepertimu." Nadia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop coklat dan melemparkan tepat ke meja Rea dengan kasar. "Kalau kurang kau bisa menghubungiku."
Rea hampir saja meneteskan air mata dan ia benar-benar akan membiarkan dirinya menangis jika bukan karena getaran ringan dari dalam laci memgalihkan perhatiannya.
"Hallo."
"Hai, Rea." Suara Raka terdengar riang dari seberang.
"Oh ... Hai, Raka." Rea mengerjap menahan air mata yang mulai membasahi bola matanya, dan suara Raka cukup membantu. Sekalipun bayangan masa lalu mereka memaksa Rea menarik mundur.
"Bisakah kita makan siang bersama? Ada yang harus aku bicarakan." Rea terdiam. 'Dan sebaiknya kau juga berhenti bersikap kekanak-kanakan dan lupakan mimpi konyolmu. Apa kau pikir Raka masih akan menerimamu setelah tahu ada anakku di perutmu?'
Sialan .... kalimat yang diucapkan Darius semalam benar-benar memengaruhi pikiran Rea.
"Semalam kau tiba-tiba membatalkan pertemuan kita dengan sebuah pesan singkat, dan setelah itu ponselmu tidak aktif. Lagi. Aku tahu ada sesuatu yang terjadi."
Pesan singkat?
Rea mengerutkan kening, kembali mengingat kejadian tadi malam.Ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Darius yang mengotak-atik ponselnya di depan dinding kaca yang gordennya sepertinya baru saja dibuka oleh Darius. Tentu saja pria itu mengamati Raka di bawah sana.
"Apa yang kau lakukan dengan ponselku, Darius?!" hardik Rea marah sambil menghampiri Darius yang tersenyum kecil padanya. Menyambar ponselnya dengan kasar dari tangan Darius sebelum kemudian menunduk dan melihat ponselnya yang sudah tidak aktif.
"Aku tidak suka dia berdiri di sana. Jadi aku berbaik hati mengirim pesan bahwa kau tiba-tiba ada urusan mendadak dan tidak bisa turun untuk menemuinya," jawab Darius penuh kepuasan.
"Baik hati kau bilang?" Rea membelalak tak percaya dengan lancangnya Darius mengirim pesan singkat pada Raka di ponselnya.
"Sepertinya kau tidak mengakui kemurahan hatiku," gumam Darius sambil memasang ekspresi terluka yang di buat-buat dan sangat memuakkan. "Baiklah, sepertinya aku harus kembali ke rencana awalku. Aku harus menelfon dan memberitahunya bahwa aku yang melarangmu untuk tidak menemuinya. Aku lelah jika harus kembali turun ke bawah."
Rea memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan berat. "Aku benar-benar muak denganmu, Darius!" sembur Rea sebelum kemudian membalikkan badan dan naik ke atas ranjang. Menenggelamkan tubuh ke dalam selimut.
Rea sedikit penasaran akan pesan yang diketik dan dikirim Darius pada Raka. Berharap bisa mempercayai ucapan Darius tentang tiba-tiba ada urusan mendadak yang dikatakan Darius.
"Maafkan aku, Raka. Semalam aku tiba-tiba ada urusan mendadak dan tidak bisa menemuimu." Suara Rea penuh penyesalan dan perasaan bersalah oleh kebohongan yang terpaksa ia ucapkan untuk Raka.
"Kalau begitu, sebagai permintaan maafmu kau harus menemaniku makan siang ini. Bagaimana?" tawar Raka.
Rea sedikit lega Raka tidak menanyainya lebih lanjut tentang alasannya. Ia tak sampai hati berbohong lebih banyak lagi pada pria itu.
'Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak suka melihatmu menghabiskan waktu dengan pria lain, Rea. Atau aku harus memberitahu dia yang sebenarnya?' ancaman Darius benar-benar membuat Rea ragu untuk menerima ajakan Raka, bagaimanapun ia tidak bisa tiba-tiba menghilang dari hidup Raka begitu saja tanpa penjelasan apa pun.
"Rea? Apa kau masih di sana?" tanya Raka karena tidak ada suara apa pun dari seberang, akan tetapi durasi panggilan masih berjalan.
"Yyaa ...." Rea tersadar.
"Bagaimana? Apa kita bisa makan siang bersama?" Raka mengulangi pertanyaannya.
"Sepertinya ... siang ini aku tidak bisa.\," sesal Rea, "pekerjaanku sangat menumpuk. Tapi, mungkin nanti malam aku akan menemuimu. Bagaimana kalau kita bertemu di cafe kita biasa bertemu?" Rea butuh waktu untuk mempersiapkan diri, setidaknya sampai nanti malam untuk memikirkan pembicaraannya dengan Raka mengenai hubungan mereka.
"Ok. Itu penawaran yang sangat menarik," Raka menerima, "aku akan menunggumu jam delapan tepat."
Kembali dada Rea terasa sesak dipenuhi perasaan bersalah saat bisa merasakan senyum cerah Raka dari seberang. Begitu panggilan terputus, otaknya mulai memikirkan apa yang akan dikatakan pada Raka untuk tidak mengharapkan lebih lagi dari hubungan mereka saat ini. Hanya itu pilihan yang ia miliki.
Kenapa ia harus menjauhi orang yang ia cintai dan berlari ke pelukan Darius?
Tapi ... tidak!
Aku tidak akan kembali ke pelukan Darius.
Rea menatap amplop coklat yang dilemparkan Nadia Farick yang masih tetap di atas meja kerja.
Apa uang itu bisa membuatku menghilang dari kehidupan Darius?
Jika bisa, sepertinya aku harus menekan sedikit harga diri untuk kebebasanku?
***
Darius menyeringai, setelah mengedarkan pandangannya ke kursi-kursi yang mengeliling meja makan di kediaman Daniel Farick. Menatap Daniel Farick, Nadia Farick, Zaffya Farick dan seorang wanita yang terlihat masih cantik sejak terakhir kali mereka bertemu. Yang juga masih mengusik sedikit hatinya mengingat masa lalu mereka.
"Hai, Darius," sapa wanita itu dengan senyum cerahnya, "Lama tidak bertemu."
"Apakah ini acara makan malam yang Papa maksud?" Mata Darius melirik ke arah Daniel Farick yang duduk di kursi utama dengan sinis. "Dengan adanya orang a-sing?"
"Benar," sela Zaffya sambil beranjak dari duduknya menatap wanita yang duduk tepat di depannya sejenak. Lalu melirik Nadia Farick yang duduk di kursi sebelahnya. "Sepertinya aku tidak perlu menghabiskan waktu untuk makan malam bisnis ini dan menyelesaikan permasalahan kantorku yang lebih penting. Permisi," pamit Zaffya dan segera melangkah meninggalkan ruang makan itu.
"Gina sudah menjadi bagian keluarga kita sejak tiga tahun yang lalu, Darius, bantah Nadia.
"Dan sepertinya Mama juga sudah melupakan fakta bahwa pertunangan kami sudah berakhir sejak dia menghilang dari kehidupan kita." Darius membalas menatap manik mata Nadia tidak kalah tajamnya. Kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Gina dengan dingin, seketika senyum di wajah wanita itu lenyap digantikan ekspresi pucat pasi ketika mendengar pernyataan dingin yang keluar dari mulut Darius.
"Sepertinya kau membutuhkan waktu untuk bicara dengan Gina. Mungkin itu akan mengubah ...." sela Daniel berusaha menenangkan putranya.
"Aku tidak membutuhkan pembicaraan apa pun dengannya. Karena apa pun yang dikatakannya tidak akan mengubah apa pun diantara kita," tandas Darius memotong ucapan Papanya.
"Kenapa, Darius? Apa kau sudah mempunyai wanita lain yang menggantikan posisiku?" tanya Gina setenang dan sedatar mungkin. Ekspresi yang berusaha diperlihatkan senormal mungkin untuk menutupi sakit hatinya atas penolakan Darius. Bahkan diawal pertemuan mereka. Sekalipun ia sudah menduganya, tetap saja rasa sakit itu masih memenuhi dadanya. Lagi pula, wajar saja Darius bersikap seperti itu padanya. Mengingat apa yang sudah ia lakukan pada pria itu.
"Ya," jawab Darius dingin dan penuh keyakinan, "jika kau begitu penasaran."
Jawaban itu mampu membuat Gina membeku dan menutup mulut rapat-rapat.
"Sadarlah, Darius. Dia bukan wanita yang baik untukmu," ucap Nadia frustasi. "Wanita itu bahkan menjual hubungan kalian hanya dengan harga limaratus juta yang Mama berikan. Harus dengan cara apalagi Mama harus menyadarkan dan membuka matamu lebar-lebar?"
Seketika wajah Darius mengeras, melemparkan tatapan membunuh pada Nadia Farick. Kini kebencian memenuhi dadanya pada wanita yang menjadi mama tirinya itu. "Mama ... oh tidak." Darius mengelengkan kepala, "An-da sudah jauh melewati batas privasi saya," desis Darius dengan picingan mata yang sangat tajam dan dingin. Mengabaikan tatapan syok yang terpampang jelas di wajah Nadia dengan kata-kata yang ia pilih.
"Da ... rius?" Nadia terbata-bata. Dadanya begitu sesak saat anak yang selama ini ia sayangi seperti anak kandung kini tiba-tiba menganggapnya sebagai orang asing. Hanya karena wanira murahan itu!
"Darius, kau ..." Daniel Farick menyela, mencoba berbicara dengan Darius.
"Aku tidak pernah menghalangi Papa menikahi siapa pun. Jadi, jangan lakukan apa pun untuk menghalangi apa yang kuinginkan," potong Darius penuh nada peringatan pada Daniel Farick. Kemudian kembali memandang Nadia yang masih tampak terpukul.
"Dan saya akan memastikan uang yang Anda berikan pada Rea kembali ke tangan Anda dengan utuh. Karena saya tidak akan pernah membiarkan siapa pun membiayai hidup kekasih saya. Calon istri saya."
Cara Darius mengklaim siapa pun wanita yang menjadi kekasihnya, benar-benar menohok hati Gina. Membuatnya tak mampu lagi megeluarkan sepatah kata pun.
"Darius ..." kembali Daniel berusaha menenangkan Darius yang masih dipenuhi kemarahan. "... mamamu hanya ..."
"Dan jangan buat hubungan baik kita menjadi renggang." Darius kembali memotong ucapan papanya. Ia sudah cukup marah dengan ajakan makan malam keluarga yang ternyata berujung pada perjodohan. Apalagi kali ini mama tirinya berusaha menjodohkan dengan wanita yang benar-benar sudah pernah menggoreskan luka di hatinya.
"Darius! Darius!" Panggilan Daniel Farick benar-benar diabaikan oleh Darius ketika Darius membalikkan badan dan melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
***
"Apa kau sudah memikirkan jawaban untuk pertanyaanku?" tanya Raka sambil menggenggam tangan Rea, menarik tangan Rea ke bibirnya dan mendaratkan kecupan lembut di sana.
Rea membeku. Ya, ia sudah memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu. Masalahnya adalah mulutnya ikut membeku, tidak mampu untuk mengucapkan jawaban itu pada Raka. Haruskah seperti ini?
"Rea?" Raka terheran melihat sikap Rea yang aneh dan lebih pendiam dari biasanya.
Rea memejamkan mata sejenak, mengatur napas, berusaha membangun hati yang sudah hancur bahkan sebelum melihat pria yang sangat ia cintai itu ikut hancur. Sebelum kemudian menarik tangannya dari genggaman Raka dengan lembut. Beruntung Raka kali ini memesan ruang pribadi, sehingga ia tidak perlu mengkhawatirkan pengunjung lain yang menonton mereka.
Nanti ...
"Raka, maafkan aku," bisik Rea pelan.
Seketika senyum di wajah Raka lenyap. Bisikan itu lembut, tapi ia bisa mendengar dengan sangat jelas karena mengerti maksud tersembunyi dari kata itu. Matanya menatap Rea dengan tatapan ketidakpercayaan. "Apa ... apa maksudmu, Rea?" Sepertinya lebih mudah berpura-pura tidak mengerti.
Rea mengembuskan napasnya sekali lagi, lebih dalam dan lebih berat,. "Aku benar-benar minta maaf, tapi aku tidak bisa kembali ke sisimu."
"Kenapa?" tanya Raka. Jawaban Rea membuatya tak bisa menahan nada dingin yang terselip di antara suaranya.
"Maafkan aku."
"Aku tidak butuh maafmu." Suara Raka mulai meninggi. "Aku hanya butuh alasanmu. Apa hanya perasaanku saja yang bertepuk sebelah tangan sekarang?"
"Sama sekali bukan itu, Raka," jawab Rea kontan, seketika muncul penyesalan sudah mengatakan yang sebenarnya pada Raka, yang semakin mempersulit dirinya menjauh dari Raka.
"Lalu?"
Rea mengalihkan pandangan, tidak tahu harus menjawab apa.
"Jawab aku, Rea." Raka meraih wajah Rea, menangkup dan memusartkan perhatian wanita itu kembali padanya.
"Aku minta maaf, Raka. Aku tidak bisa mencoba hubungan kita untuk kedua kalinya," bisik Rea. Mengabaikan matanya yang mulai memanas.
"Katakan alasan yang masuk akal. Kita masih saling mencintai seperti dulu, bukan? Katakan aku benar."
"Mungkin perasaan ini masih sama seperti dulu, tapi. .. tapi aku bukanlah orang yang sama seperti yang kau kenal dulu."
"Orang memang selalu berubah, tidak ada yang salah dengan itu."
Sekali lagi Rea berpaling, matanya terpejam karena kehabisan kata-kata.
"Aku akan memastikan keluargaku ...."
"Aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan, aku akan pulang." Rea memotong ucapan Raka. Sejenak terdiam sebelum kemudian mengambil tas yang tersampir di punggung kursi dan bergegas pergi. Namun, belum sempat ia mengangkat kaki dan beranjak pergi, Raka menahan pergelangan tangannya.
"Aku tahu kau menginginkanku seperti aku menginginkanmu."
"Maafkan aku, Raka."
"Apa ini karena Darius?" tandas Raka.
"Aku benar-benar minta maaf." Hanya kata itu yang mampu diucapkan Rea.
"Katakan, apa ini karena Darius?" Raka mengulangi pertanyaan dengan keras kepala. Genggaman tangannya di pergelangan Rea semakin mengetat tak membiarkan wanita itu pergi barang selangkah pun.
"Lepaskan aku, Raka." Rea berusaha membebaskan pergelangan tangannya, akan tetapi Raka bersikeras menahannya.
"Tidak sebelum kau mengatakan yang sebenarnya," tegas Raka.
"Apa yang harus kukatakan padamu?" balas Rea yang mulai gusar dengan interogasi Raka. "Apa yang harus kujelaskan padamu? Aku tidak punya penjelasan apa pun untuk dikatakan padamu."
"Apa Darius memaksamu untuk kembali padanya?"
"Raka, aku ...."
"Aku akan menghadapinya. Kau tidak perlu takut, aku akan melindungimu."
"Tidak, Raka," tegas Rea. Bukan karena dia tidak yakin akan perlindungan Raka, akan tetapi karena dia sangat tahu kekejaman yang dimiliki Darius. Dia tidak mau membuat Raka menderita karena pelampiasan Darius nanti, setelah dia berhasil melakukan rencana untuk melarikan diri dari Darius juga.
"Kenapa?!" tanya Raka mulai marah.
Rea tercenung. Jika ini satu-satunya jalan yang terbaik untuk mereka bertiga. Jika ini satu-satunya jalan agar Raka menerima kepergiannya. "Aku memang masih sangat mencintaimu, Raka. Tapi ... tapi aku bukanlah orang yang sama yang kau cintai dulu."
"Aku masih tidak menemukan alasan yang tepat kenapa kau meninggalkanku," tandas Raka tak mau menyerah.
"Aku ...." Rea menelan ludahnya, mengatur napas untuk mempersiapkan diri dan hatinya. "aku hamil. Anak Darius."
###
Enjoy this part...
Kasih komen buat pengaturan bahasanya yg mungkin masih belum benar, buat ceritanya yg mungkin kurang ada feelnya, buat agar bisa memperbaiki kesalahan kesalahan sebelumnya untuk selanjutnya agar lebih baik, And...
Give me vote buat semangat melanjutkan next partnya.
(Dari tulisannya kelihatan ga kalau author orang yg kaku?)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top